*11 Tahun Lalu*
Suasana yang riuh dalam kelas menandakan bahwa belum ada guru yang masuk ke dalam kelas. Semua siswa saling bergerombol dengan geng mereka masing-masing sambil bersenda garau. Tidak sedikit juga iseng mengerjai teman-temannya agar suasana kelas menjadi semakin gaduh dengan tawa.
Seorang remaja laki-laki berlarian di dalam kelas dan dengan gesit menarik kuncir yang dipakai oleh Diani, gadis bertubuh kurus, namun memiliki kulit putih bersih dengan kacamata bulat yang terlihat lucu di pakainya.
Untuk beberapa orang, style Diani itu aneh, tapi laki-laki dengan mata jeli seperti remaja laki-laki yang menggodanya ini, tahu bahwa ada pesona tersembunyi dari seorang Diani Abhimaya. Anak seorang pengusaha restoran yang cukup terkenal seantero Jakarta.
“Alviiin! Rese’ banget sih lo!” teriak Diani dengan muka kesal dan mata yang mulai berkaca-kaca.
Alvin yang mendengarnya hanya menjulurkan lidahnya dengan muka meledek. Kedua sahabat Diani, Kanya dan Pita hanya bisa tersenyum geli dengan tingkah keduanya. Alvin sudah sangat sering menggoda Diani, jadi tidak ada yang merasa heran dengan tingkah keduanya. Semuanya asyik melihat bagaimana Diani dan Alvin berkejaran.
BRAK!
“Aduuh!” ucap Pak Budi mengadu kesakitan.
“PAAAK!!” jerit hampir seisi kelas melihat wali kelas mereka terhantam sepatu milik Diani. Seketika kelas itu menjadi hening dengan para murid yang menunjukkan berbagai ekspresi.
Diani seketika menghempaskan sepatunya dan menutup mulutnya. Raut mukanya seolah akan menangis dengan mata yang mulai berair.
“Ma – maaf, Paakk..” ucap Diani dengan mulut yang sudah bergetar.
“Kamu ngapain, Di? Lari-larian di kelas. Sudah kamu–”
“Pak, maaf tadi saya usilin Diani. Kalau mau hukum, saya aja Pak!” ucap Alvin yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Diani yang kini mulai terdengar menarik ingusnya.
“Ciiiiee!!” sorak satu kelas seolah lupa bagaimana kesakitannya pak budi saat terhantam sepatu milik Diani.
“Udah-udah! Malah cia cie! Alvin.. Alviiin! Kamu kalau gak Diani sampai nangis kok ya gak berhenti. Kalau disekolah itu ya belajar, pacarannya diluar jam sekolah aja!” tegur pak Budi serius.
“Saya bukan pacar dia, Pak!” elak Diani dengan keras sambil memukul lengan Alvin dengan keras.
“Hayo loooo!” sorak satu kelas dengan diiringi derai tawa melihat pemandangan lucu di hadapan mereka. Diani makin kesal mendengar itu dan memukul Alvin ke sembarang arah. Alvin tidak menghindari serangan Diani, bahkan ia hanya terdiam dengan muka menyesal.
“Huuusshhttt!! Udah-udah diem! Diani, Alvin, duduk!” bentak Pak Budi yang sebenarnya juga tidak tega membentak Diani. Dia tahu murid pintarnya itu sangat sensitif dan lembut hatinya. Apalah daya, dia harus menenangkan kelas yang sudah kacau itu.
Diani dengan sesenggukan berjalan menuju mejanya. Begitu juga dengan Alvin yang berjalan ke mejanya dengan sesekali melihat ke arah Diani. Ada perasaan bersalah yang hinggap di dadanya karena telah jahil kepada gadis yang selalu saja membuatnya gemas jika sudah cemberut.
Kanya dan Pita yang melihat interaksi di antara keduanya hanya bisa saling beradu pandang sambil tersenyum penuh arti. Saat semua siswa sudah memandang kembali ke arah depan kelasnya, senyuman para siswi menghilang berganti dengan muka terkejut dan takjub melihat seorang laki-laki tampan dengan kemeja yang sikunya tergulung rapi. Bentuk badan atletisnya tidak bisa disembunyikan lewat kemeja yang ia pakai. Bahkan Otot lengannya terlihat menonjol dibalik kemejanya. Membuat siapa saja yang melihatnya pasti salah fokus.
Kedua sahabat Diani yang duduk dibelakang Diani jelas terpesona melihat pemandangan laki-laki yang seperti model pembesar otot di depan ruang kelas. Bukan hanya mereka berdua, tapi hampir seluruh gadis di ruangan kelas itu sudah mulai berbisik dan heboh seolah melupakan kejadian dramatis antara Diani, pak Budi dan Alvin. Mereka bahkan melupakan si cengeng Diani yang masih saja sibuk menenangkan dirinya yang sesegukan. Kedua sahabat Diani, Pita dan Kanya juga sibuk memandangi wajah pria di hadapannya itu. Seolah menelitinya setiap inci wajahnya. Tatapannya tajam dan seketika keduanya meneguk ludahnya bersamaan saat memandangi tubuh pria itu secara keseluruhan.
Suara kasak-kusuk didalam kelas membuat suasana jadi riuh oleh bisik-bisik yang tak pelan sama sekali dari setiap mulut siswa-siswi di kelas itu.
“Anak-anak! Hayo! Aduh, kalian rame terus. Mau kenalan gak?” ucap Pak Budi yang jika didengar semenjak tadi, rasanya selalu emosi karena nadanya yang tidak bisa santai.
“Mau, Pak!” ucap para siswi dengan kompak seolah tak mau kehilangan moment.
Mendengar jawaban anak didiknya, Pak Budi hanya geleng-geleng sambil berdecak heran memperhatikan kelakuan anak-anak di kelas itu. Ia tahu, para remaja ini pasti senang sekali dapat guru semacam lelaki di sampingnya. Tampan, pintar, berotot, apa lagi?
“Perkenalkan ini Pak Samudera. Kelas kalian beruntung bisa dipilih untuk diajar materi matematika dan bahasa inggris karena ada tiga siswi berprestasi di ruangan ini.”
“Woooww!” ucap para siswi yang sudah kembali heboh mendengar pernyataan Pak Budi.
“Eh, denger dulu! Pak Samudera di kelas kalian cuma sampai akhir semester ini karena–“
“Yaaa.. Paaak!” para siswi kini sudah memasang wajah kecewa mereka atas pernyataan Pak Budi terakhir.
“Iya, didengar dulu dong! Bapak kan belum selesai ngomong.”
Kelas mendadak menjadi senyap memperhatikan dengan seksama kata lain yang akan diucapkan oleh Pak Budi. Para siswi pun menegakkan duduknya dan duduk dengan tegang. Mereka berharap mendapatkan kabar baik dari pernyataan Pak Budi selanjutnya.
“Pak Samudera akan meneruskan sekolahnya di Amerika. Jadi–”
“Yaaa... Paaakk!” koor para siswi satu kelas yang makin kecewa dengan pernyataan Pak Budi selanjutnya.
“Sudahlah, kalian gak mau dengerin Bapak ngomong. Silahkan Pak Samudera, memperkenalkan diri saja,” ucap Pak Budi yang langsung saja duduk di kursi guru dengan muka jengah melihat para siswanya yang rata-rata masih remaja tanggung.
Laki-laki yang bernama Samudera itu segera maju dengan senyuman yang membius seluruh ruangan. Wajahnya yang mirip dengan tokoh kisah romansa di media streaming membuat banyak mata tak berkedip memandang ketampanan Samudera.
“Halo semuanya,” ucap Samudera dengan senyuman manisnya. Wajah ala timur tengah yang menurun dari gen keluarga Adnan ditambah dengan kulit putih bersih khas kulit ibunya dan jangan lupakan hidung mancung dan alis tebal itu benar-benar membuat seisi kelas hening.
Mereka terlalu terkesima dengan Samudera hingga melupakan sapaan dengan nada bariton yang terdengar menarik ditelinga mereka. Bagaimana bisa ada orang semenarik ini?
Disaat semua terkesima dengan Samudera, mereka tak menyadari bahwa Samudera hanya memandang pada satu titik. Gadis yang masih saja sesegukan. Membuat Samudera entah mengapa begitu gemas. Ia sangat ingin mendekat dan menenangkan gadis itu.
Gemesin banget, ucap Samudera dalam hati.
***
Saat Samudera sedang asik memandang Diani, pemilik mata bulat itu ikut memandang Samudera. Samudera mengalihkan pandangannya dengan perlahan agar tak terlihat mencurigakan. Entah mengapa saling pandang dengan Diani membuatnya berdegup.Tak mendengar sapaannya dibalas, Samudera segera membuka suaranya kembali untuk menutupi rasa salah tingkahnya.“Perkenalkan nama saya Samudera, kalian bisa panggil saya Pak Sam. Seperti kata Pak Budi tadi, saya akan mengajar kalian matematika dan bahasa inggris selama kurang lebih empat bulan ini. Mohon kerjasamanya. Mungkin ada yang mau bertanya?” ucap Samudera dengan senyuman sejuta wattnya yang membuat banyak siswi di kelas itu rasanya kehabisan nafas diberondong oleh senyuman manisnya.“Pak, kok cuma sebentar sih? Ilmunya belum nyerep lho, Pak!” protes Cantika, salah satu siswi yang selalu terlihat centil.“Iya, Paaak!” koor siswi dalam kelas itu.“Seperti yang tadi Pak Budi bilang, saya harus kembali untuk melanjutkan studi saya. Semoga saja ilmu
Embun memandangi foto pernikahan Samudera dan mendiang menantunya yang terpajang di sudut meja ruang keluarga. Senyuman di bibirnya terlihat getir kala menatap foto yang menampakkan kebahagiaan bertahun-tahun lalu.Tak ada yang menyangka bahwa beberapa bulan setelah foto itu diambil, hidup mereka tak lagi sama.Enam tahun kejadian itu berlalu, tapi Samudera, putra bungsunya, masih berkutat dengan masa lalunya. Seolah tak mau beranjak dari sana.“Apa kabar menantu dan cucu Mama? Kalian senang disana?" ucap Embun yang kini sudah mengusap lembut foto Tania yang terlihat cantik dengan gaun mewah yang memperlihatkan perut buncit Tania."Tan, bantu Mama bujuk Sam. Mama benar-benar kasihan liat dia sendirian. Kamu tahu kan, hidupnya seperti robot, Tan. Kantor, rumah, gitu terus. Mungkin sekarang dia gak kerasa kesepian. Tapi, menua sendirian pasti sangat sepi, Tan. Mama–""Ma," sapa Samudera memotong ucapan Embun.Laki-laki dengan tubuh jangkung itu kini sudah berada di belakang tubuh Mamanya
"Segitu ngeganggunya ya gue, Kak?"Pertanyaan itu berhasil membuat Lian menatap sedih adiknya."Lo boleh temui Ruby, kapanpun lo mau. Tapi, please. Kasih gue dan Ruby space, Sam. Dia anak gue. Gue pengen nge-didik dia dengan cara gue. Kak Davino juga pengen banget ngabisin banyak waktu sama anaknya satu itu.""Ruby, gue angkat anak ya Kak. Biar dia ikut gue," mohon Sam."Gak, Sam. Gue masih sanggup dan lebih dari mampu untuk ngurus dia sendiri. Gimana pun dia anak gue dan gue sayang banget sama dia. Gue gak bisa kalau harus pisah dari dia. Jangan egois Sam," ucap Lian dengan tenang walaupun kesedihan mulai menyusup di hatinya."Lo sedih jauh dari Ruby, apa kabar suami gue? Dia selalu ngalah buat apapun demi lo, karena buat dia, elo itu adik kesayangannya. Gue tau semuanya berat buat lo, tapi please, ngerti juga keadaannya.""Hidup gue sepi Kak, kalau gak ada Ruby," ucap Samudera sambil menunduk, menyembunyikan wajah sendunya."Itu kenapa Mama minta lo nikah, Sam. Sekarang ataupun nant
*Diani Pov*Aku beranjak dari tempat dudukku, menatap lelah tumpukan pekerjaan yang rasanya tak ada habisnya. Mati satu, tumbuh seribu. Begitu istilahnya.Setelah kepulanganku dari Bali, pertengkaranku dengan Kak Riani kembali terjadi. Aku kira keinginannya untuk mengakhiri hidupnya telah sirna. Karena selama aku di Bali, tak kudengar kabar dia mengeluhkan keadaannya. Ternyata, aku salah.Kini tak hanya keinginan menyudahi hidupnya, ia malah sibuk mencari laki-laki kurang ajar yang menelantarkan dirinya sendirian setelah kecelakaan yang turut melibatkan manusia terkutuk itu. Sampai sekarang, aku tak habis pikir. Kenapa Kak Riani masih mencari laki-laki brengsek itu? Laki-laki yang beruntung hanya karena truk yang menabrak mobil mereka ikut bersalah. Seandainya itu kecelakaan tunggal. Sudah ku tuntut pria itu, tak peduli berapapun uang yang akan aku keluarkan.Ego prianya yang menjijikkan membuat Kakakku kehilangan dunianya. Tak lagi bisa menapakkan kakinya, bahkan untuk sekedar duduk
*DIANI POV*Hari itu adalah kali terakhir aku bertemu Reval. Tak pernah lagi aku mendengar kabarnya, aku pun tak mau tahu bagaimana kabarnya setelah membuat Kakakku hidup dalam neraka yang ia buat. Enyah dari hidup kami, adalah keputusan terbaik yang pernah dia buat.Mungkin itulah alasannya tak ada perpisahan untuk Kak Riani. Tapi, laki-laki tak tahu malu itu benar-benar keterlaluan. Hingga kini ia pun tak pernah mengucapkan kata perpisahan untuk Kak Riani. Laki-laki pengecut! Bagaimana bisa ada manusia tanpa empati sepertinya? Ya Tuhan, aku benar-benar mengutuk perbuatannya.Mataku kini beralih menatap ke dalam sebuah foto. Foto Keluarga yang berisi ayah, ibu, dan dua anak perempuannya. Senyum mereka tulus. Pasti tak akan ada pikiran, bahwa bertahun-tahun setelahnya, keluarga itu hancur karena ego seorang laki-laki yang hanya mementing
Drrttt.. drrttt..Getaran dari saku Diani membuat gadis itu terbangun. Badannya terasa remuk redam akibat tidur dalam posisi duduk. Ia mencoba untuk meregangkan otot-otot tubuhnya sambil mengerjapkan matanya berharap kesadarannya segera berkumpul.Diani baru mengambil ponselnya setelah getarannya terhenti. Ia melihat pada waktu yang tertera di ponselnya. Pukul tujuh pagi dan nama bos besar pemilik perusahaannya sudah nampak di menu panggilan tak terjawab.Diani hanya menghembuskan nafasnya lelah. Dia menoleh ke arah Kakaknya. Merapikan anak-anak rambut yang dirasa mengganggu wajah Riani. Senyuman tipis menghiasi wajah putih bersih Diani melihat Kakaknya tidur dengan damai.Diani bergegas mandi dan bersiap untuk bekerja lagi. Hari ini ada proyek penting yang haru
Drrt.. Drrt.. Diani baru saja meletakkan pantatnya saat ponselnya kembali bergetar. Emosinya kini memuncak. Baru saja ia selesai melakukan meeting untuk pematangan konsep hingga melupakan jam makan siangnya. Kini telepon masuk kembali terdengar dari ponselnya. Ia sudah bersumpah serapah jika itu bosnya. Berdoa agar bosnya terkena tipes karena sangat gila kerja. Baru saja ia akan mengumpat, namun wajahnya berubah panik ketika melihat nama Grace yang terpampang disana. “Halo Kak Grace? Ada apa Kak?” tanya Diani dengan wajah panik sambil menggigit kuku ibu jarinya. Diani akan selalu begitu jika dia sedang cemas. “Hai, sore Di. Maaf ya, gue ganggu. Lo sore ini ke rumah sakit?” ucap Grace dari ujung sana terdengar tenang. “Iya, habis ini Diani kesana. Ada sesuatu Kak?” tanya Diani masih panik dengan tubuh menegang. “Gak ada apa-apa. Kakak lo nanya aja. Yaudah, kalau gitu nanti gue sampein.” “Beneran gak ada apa-apa? Kak Riani kemana? Kenapa Kakak yang telepon? Biasanya kan Kak Rian
*Diani POV* “Hai, Kak!” sapaku pelan saat menemukan kak Riani sedang memakai kacamata baca dengan posisi ranjang rumah sakit setengah terduduk. Hebatnya lagi, satu tangan kanannya yang tergolek lemas di ranjang sedang dengan posisi memegang mouse. memang tangan Kak Riani tak sepenuhnya lumpuh, tapi aku tetap takjub karena dia bisa menggunakan telapak tangannya dan jarinya untuk memijit dan menggulir mouse yang terhubung dengan laptop dihadapannya. “Diani, pulang sore? Tumben?” tanya Kak Riani terdengar heran. “Iya, kebetulan kerjaan udah selesai semua Kak. Jadi aku minta balik cepet. Kakak lagi apa sih? Kayaknya sibuk? Ini laptop siapa?” tanyaku yang tak suka melihat kak Riani terlihat lelah denga
Sudah lebih dari enam bulan aku tak mendengar kabar putra pertamaku. Permata hatiku yang mengajariku banyak hal. Dialah yang menyatukanku dengan Samudera. Jika bukan karena anak laki-laki pertamaku, mungkin pernikahanku tak akan bisa sejauh ini. Apa kabarmu, Banyu? Ibu sangat rindu. Ibu juga bertanya-tanya, apakah cucu Ibu sangat mirip denganmu waktu kecil. Ibu memang kecewa. Tapi, Ibu juga sebenarnya sangat antusias dan menanti kabar kalian. Kenapa kamu memilih memutus hubungan kita seperti ini. Sampai kapanpun, kamu adalah bayiku Banyu. Betapapun kecewanya Ibu, Ibu akan tetap menyayangimu dan memaafkan segala kesalahanmu. Mungkin kamu harus menerima hukuman atas apa yang kamu lakukan, tapi kasih sayang Ibu tidak akan pernah luntur untukmu, nak. Pulanglah, Banyu. "Ibu?" suara Aga terdengar di telingaku. Saat aku membuka mata, anak tengahku dengan konyolnya memunculkan kepalanya dan badannya masih berada di balik pintu. "Kamu ngapain, sih?" tanyaku dengan tergelak kecil. "Ibu ud
Usia kehamilan Meira sudah menginjak tiga puluh lima minggu. Lima minggu lagi dokter memperkirakan bayi mungil kami akan lahir. Aku sudah tak sabar untuk menyambut bayi mungil kami.Di rumah sederhana milik kami, sebuah kamar yang dipersiapkan untuk bayi mungil kami sudah siap dengan peralatan yang lengkap. Demi Meira, aku juga pulang pergi Solo - Yogyakarta setiap harinya. Naik kereta atau bis, apa saja yang ada supaya aku bisa setiap hari bersama Meira. Meski kadang aku bisa sampai tengah malam dan pagi harus kembali berkuliah, yang terpenting aku tak meninggalkan Meira sendiri.Seperti pagi ini, aku sudah berada di stasiun setengah tujuh pagi. Kereta commuter ini memang baru ada di jam ini. Sampai di yogyakarta, aku punya waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum kelas pertamaku di mulai.Seperti biasa, hari-hariku padat. Di waktu pergantian kelas dan senggang sekitar satu hingga dua jam, aku sempatkan untuk menelepon ke bengkel yang sekarang sepenuhnya di urus Attar untuk membic
Rasanya tidurku baru beberapa menit karena aku bangun dalam keadaan sakit hampir di sekujur tubuh. Padahal seingatku yang di hajar hanya wajahku, tapi rasa sakit yang aku rasakan mendera hampir seluruh tubuhku.Suara telepon memekakkan telingaku, membuatku segera menyambar ponselku dan mendapati nama Meira di sana. Cepat-cepat aku mengangkat telepon milik Meira."Haalo, Mei? Kenapa telepon pagi-pagi?""Nyu..""Iya, kenapa Mei?" tanyaku dengan degup jantung yang bahkan bisa aku dengar sendiri.Hening menyeruak diantara kami. Meira masih saja bungkam di seberang sana."Mei?""Aku-- aku hamil, Nyu."Pernyataan singkat itu membuatku terdiam juga. Aku seolah bermimpi. Benarkah dengan sekali percobaan Meira bisa langsung hamil? Apa aku bermimpi?"Nyu-- aku hamil. Aku..""Kamu dimana, Mei?" tanyaku memotong ucapan Meira."Aku di kos.""Pulang ya, Mei. Aku beliin tiket pesawat.""Nyu, aku gak mau.." ucap Meira dengan nada bergetar di ujung sana."Apa maksud kamu gak mau?" tanyaku dingin."Aku
Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Rumah Meira terasa begitu dingin bagiku yang baru pertama kali ini memasukinya.Pria di hadapanku menatapku dengan dingin. Melihatnya aku jadi menyadari bahwa posisiku sudah salah, jadi wajar jika pria di hadapanku begitu murka nanti saat aku menjelaskan semuanya. Mau bagaimana lagi. aku harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan.Walaupun ingatanku samar, tapi kejadian malam itu bisa dipastikan adalah kelakuanku yang sangat bodoh. Rasanya terlalu nyata jika itu hanya di dalam mimpi.Pria paruh baya di hadapanku menatapku dengan tatapan permusuhan. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi, setidaknya aku sudah mencobanya. Dibandingkan kemurkaan Papa Meira, aku yakin kemurkaan Papa lebih mengerikan."Saya selama ini bersama dengan Meira, Om."Pria di hadapanku malah menatapku heran. Mungkin dia bertanya-tanya bagaimana bisa aku bersama anak perempuannya."Maksud kamu?" tanya Om Rahman sambil menaikkan sebelah alisnya."Saya pacaran denga
Sudah akhir minggu dan aku sudah bersiap untuk menuju ke kota sebelah, tempat Meira berkuliah.Aku mengendarai sebuah mobil city car manual untuk sampai ke tempat Meira. Mobil pertama yang aku miliki dengan uangku sendiri ini, berhasil aku beli kemarin.Melihat uang di tabunganku, aku memberanikan untuk membeli mobil yang harganya kurang dari seratus juta dengan fasilitas yang seadanya buatku. Tapi tidak masalah, aku ingin Meira hidup dalam kenyamanan. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Aku berjanji akan bekerja lebih keras untuk bisa memberikan hidup yang jauh lebih dari kata nyaman.Saat aku sampai di kampus Meira, suasananya cukup sepi. Hanya tampak beberapa mahasiswa yang berlalu lalang, mungkin karena hari ini adalah hari jum'at.Aku segera menghubungi Meira, namun setelah hampir satu menit tak ada jawaban dari Meira.Kemana lagi perempuanku satu ini. Dia sekarang makin sulit untuk dihubungi. Apa ada yang salah dengan hari terakhir kami bertemu? Apa dia traum
Aku membuka mataku saat cahaya matahari seolah menusuk mataku. Belum lagi suara ponsel yang menggema kencang tepat di telingaku.Aku segera meraba sekitarku tanpa membuka mataku. Aku berhasil menggapai ponselku sambil mengeratkan selimut yang semula hanya sebatas dada untuk menutup tubuhku hingga leher.Sedikit aku membuka mata hanya untuk memencet tombol hijau di ponselku. Aku bahkan tak melihat siapa yang meneleponku."Halo,""Banyu! Kamu dimana? Kenapa telepon Ibu baru kamu angkat?!" mendengar suara khawatir Ibu membuatku memaksa seluruh kesadaranku untuk terkumpul."Emh, Ibu."Aku menjauhkan ponselku dan mengecek berapa banyak panggilan yang terlewat olehku. Aku sedikit memicingkan mata saat melihat angka tiga puluh dan jam yang menunjukkan Ibu sudah meneleponku semalam suntuk."Kamu semalem minum-minum kan sama temen kamu?! Kamu dimana sekarang?! Kenapa kamu susah banget di hubungi!" suara panik Ibu semakin menjadi.Kenapa Ibu bisa tahu aku minum semalam?Ponselku berdering dan m
Aku merasa keputusanku untuk bersekolah di Jogja sangatlah tepat. Aku bisa melihat Meira setiap Sabtu dan Minggu. Bahkan saat aku suntuk, aku hanya tinggal membeli tiket kereta untuk pergi ke Solo.Seperti Hari ini, aku menghubungi Meira untuk bertemu. Namun, kali ini Meira ingin dirinya lah yang berangkat ke Jogja. Katanya ia ingin mencari suasana lain. Aku pun setuju dengan permintaan Meira.Aku menjemputnya di stasiun yogyakarta, biasanya disebut stasiun tugu. Aku menunggu di atas motor matic yang aku beli sendiri dari hasil keuntungan bengkel. Daripada memarkirkan motorku. Aku lebih memilih untuk menunggu di depan stasiun.Lima belas menit berlalu, aku melihat gadis mungil berlari kecil ke arahku. Rambut hitam legamnya bergerak mengikuti langah kakinya. Aku selalu tersenyum melihat tingakhnya yang menggemaskan.Dia nampak terengah saat sampai di hadapanku. Peluh terlihat membanjiri dahinya."Makanya gak usah lari-lari. Ngapain sih lari-lari segala? Aku kan tetep di sini. Aku gak m
Aku menjalani masa terakhirku disekolah dengan menyenangkan. Meira yang jauh di sana membuatku bisa fokus mengurus bengkel dan ujian akhir sekolah. Walaupun kami jauh, tak ada hari tanpa kami mengabari satu sama lain. Aku meneleponnya saat malam hari dan saling bertukar cerita tentang bagaimana hari kami berlangsung. Meski hubungan kami sedekat ini, nyatanya aku dan Meira tak berniat untuk memperjelas hubungan kami. Aku pikir, dekat saja sudah cukup untuk kami. Dengan saling mengabari dan menjaga hati masing-masing, kami bertekad untuk bersama. AKu mengasumsikan bahwa hubunganku bisa disebut hubungan pacaran. Malam ini aku sudah berada di depan komputer dengan headset yang terpasang. Dengan cepat aku mengklik beberapa bagian, hingga muncul nama Meira di komputerku. Lama aku menunggu, Meira tak kunjung menjawab teleponku. Kemana dia? Ketika sambungan terputus, aku mencoba untuk menghubungi Meira melalui sambungan telepon. Tersambung, tapi Meira tidak mengangkatnya. Baru pertama kal
Mama membawa seorang laki-laki yang nampaknya umurnya tak jauh dariku. Disampingnya ada seorang gadis muda yang masih aku tebak-tebak. Apakah dia Lila? Gadis kecil yang pernah aku temui dengan pipi tembamnya.Jika benar dia adalah Alila, sungguh ia berbeda sekali dengan gadis kecil yang aku kenal dulu. Gadis kecil pemberani yang selalu mengangkat dagunya dengan binar cerah terpancar dari matanya."Ini namanya Dimas, dia yang akan jaga rumah kita setiap hari karena rupanya dia mau pulang pergi dari kota kemari. Dekat katanya."Setelah mengatakan itu, Ibu kemudian berdiri di seberang Gadis yang semenjak kedatangannya hanya menatap lantai rumah kami."Ini Abang, pasti kenal. Dulu beberapa kali main bareng kan? Ini Lila Bang!" ucap Ibu dengan mata berbinar.Aku menjabat tangan DImas lalu beralih pada Lila. Gadis itu nampaknya ragu-ragu untuk menyambut tanganku. Entah mengapa jiwa jahilku muncul. Dengan cepat aku meraih lebih dahulu tangan Lila.Lila nampaknya terkejut dan langsung menatap