*Diani POV* “Hai, Kak!” sapaku pelan saat menemukan kak Riani sedang memakai kacamata baca dengan posisi ranjang rumah sakit setengah terduduk. Hebatnya lagi, satu tangan kanannya yang tergolek lemas di ranjang sedang dengan posisi memegang mouse. memang tangan Kak Riani tak sepenuhnya lumpuh, tapi aku tetap takjub karena dia bisa menggunakan telapak tangannya dan jarinya untuk memijit dan menggulir mouse yang terhubung dengan laptop dihadapannya. “Diani, pulang sore? Tumben?” tanya Kak Riani terdengar heran. “Iya, kebetulan kerjaan udah selesai semua Kak. Jadi aku minta balik cepet. Kakak lagi apa sih? Kayaknya sibuk? Ini laptop siapa?” tanyaku yang tak suka melihat kak Riani terlihat lelah denga
*Riani POV* “Kenapa? Apa ruangannya terlalu panas? Mau dinaikin suhunya?” tanya Samudera polos. Dasar pria bodoh dan tidak peka’! Dia masih sama saja. Membuatku jadi tertawa geli. Inilah yang membuatku selalu gagal terbawa perasaan dengan Samudera. Sepertinya, satu-satunya hal yang mudah dia pahami adalah perasaan mantan istrinya. “Malah ketawa lo! Serem ih,” ucapnya sambil bergidik ngeri. Tawaku malah semakin menjadi melihat wajah takutnya. Samudera dengan badan kekarnya masih tak berubah. Laki-laki yang selalu takut dengan sesuatu yang mistis. Aneh sekali. Muka dengan keberaniannya soal hal-hal gaib berbanding terbalik. “Udah ah. Banyak drama, sini! Gue harus apa?” Samudera kembali mendekat ke
*Samudera POV* "Udah, jangan diliatin mulu adek gue. Gimana? Cantik kan? Gemesin," ucap Riani bersemangat. Sial! Aku tertangkap basah memperhatikan Diani. "Adek lo beneran umur dua puluh sembilan tahun? Gue kira udah berubah, ternyata ngambekannya masih sama," timpalku sambil tertawa geli yang sebenarnya ku buat-buat. Aku berniat pulang karena tak enak hati dengan Diani. Mungkin Diani hanya ingin bersama kakaknya dan aku mengganggu mereka. tapi, Riani melarangku. Tak berapa lama setelah itu, Diani keluar dari kamar mandi. Aku memang merasa diperhatikan sejak ia melangkah menuju sofa dibelakangku. Aku berpura-pura menyamankan diriku sekedar untuk bisa mencuri pandang pada Diani. Aku tahu beb
Diani memasuki ruang rawat Kakaknya dengan menggerutu lirih."Mana ada tampang bule gitu minta dipanggil, Mas. Ih, bikin geli. Apa-apan sih dia. Sok akrab.""Kamu kenapa dek?" tanya Riani dengan senyum teduhnya. Sebenarnya ia dapat mendengar dengan jelas dumelan Diani. Tapi, jika sedang berdua seperti ini Riani memang tak lagi seheboh ketika ada Samudera. Ia terlihat lebih tenang."Gak apa-apa kok. Kakak udah makan?" tanya Diani mengalihkan pembicaraan.Ia berjalan mendekat ke arah dimana ia menyimpan roti. Mengambil beberapa lembar roti lalu mengoles dengan selai nanas kesukaannya. Tak lupa selai kacang untuk Kakaknya walaupun tampaknya tak ada jawaban dari pertanyaannya tadi."Samudera gak menua ya, Di. Dia masih aja ganten
Samudera membolak-balikkan dokumen sebelum akhirnya ia mengarahkan pandangannya pada sekretarisnya, Aleya."Jadwal untuk rapat hari ini jam berapa, Aleya?" tanya Samudera sambil melonggarkan dasinya yang terasa mencekik lehernya."Lepas makan siang, Pak. Sekitar pukul dua siang. Saya sudah konfirmasi ke perusahaan rekanan."Samudera hanya mengangguk lalu memberikan kode agar sekretarisnya meninggalkan ruangannya. Aleya yang sudah bertahun-tahun bekerja untuk Samudera pun menganggukkan kepalanya, tanpa kata lain yang terucap, dia meninggalkan ruangan itu dalam keheningan.Samudera menikmati secangkir kopinya sambil menikmati hiruk pikuk ibukota. Banyak pikiran berkelebat dalam otaknya. Hal-hal yang selama ini selalu mampu ia tutupi selama kesibukannya. Semua pemikir
Samudera melangkah ringan menuju kamar Riani. Lily putih kesukaan Riani karena wanginya yang bisa menyamarkan bau obat di ruangannya sudah terbungkus rapi di tangan kirinya. Senyuman Samudera tak pudar mengiringi langkah kakinya menuju ruangan Riani.Klik!“Ri, pesenan bungamu nih!” ucap Samudera yang setelahnya mematung karena melihat seorang wanita yang berumur di akhir kepala empat sedang terduduk di sebelah ranjang Diani.Wanita itu tersenyum anggun pada Samudera yang membuat pria itu segan.“Sam, sini. Ini Tante gue. Namanya Tante Sita. Adik Papa. Lo masih inget gak yang gue pernah ceritain. Tante gue yang tinggal di Ternate,” ucap Riani terdengar Riang dan antusias.Sita segera menoleh k
Samudera terlalu asik memandang langit yang hanya menampilkan warna abu-abu. Ia tak sadar bahwa ada wanita yang hampir memasuki setengah abad sedang memandanginya dengan raut tak terbaca.“Samudera,” sapa Sita yang sudah berdiri di hadapan Samudera.“Eh, Tante–”“Tante boleh ngobrol sama kamu?”“Boleh. Silahkan Tante,” ucap Samudera sambil menggeser tubuhnya agar Sita bisa duduk disebelahnya.“Maaf kalau Riani merepotkanmu Sam,” ucap Sita setelah ia duduk dengan nyaman sambil menyandarkan tubuhnya di bangku itu.“Ah, enggak Tante. Saya senang bisa bantu Riani. Gimanapun Riani sudah bantu banyak hal termasuk id
“Kamu benar-benar tidak perlu merasa bersalah, Sam. Kenyatannya kamu memang tidak salah. Suami Riani itu terlalu pengecut dan pencemburu. Kamu pasti tahu itu kan? Kamu gak perlu merasa terbebani,” jelas Sita di lobby rumah sakit.Sita bersiap untuk kembali ke hotel dimana suaminya menginap. Ia memang tak bisa lama-lama untuk menjenguk keponakannya itu. Selain ia diam-diam menemui Riani, hubungan Suami Sita dengan keluarga Abhimaya memang tak bagus.Dulu Papa Riani dan Diani yang merupakan Kakak kandung Sita, begitu membenci Suami Sita yang hanya seorang abdi negara di pulau kecil di timur Indonesia. Sita diberi pilihan untuk memilih keluarganya atau suami pilihannya. Sita memilih suami pilihannya. Hingga akhirnya, ia tak lagi dianggap sebagai keturunan Abhimaya dan tak lagi dianggap dapat menerima warisan keluarga Abhimaya.
Sudah lebih dari enam bulan aku tak mendengar kabar putra pertamaku. Permata hatiku yang mengajariku banyak hal. Dialah yang menyatukanku dengan Samudera. Jika bukan karena anak laki-laki pertamaku, mungkin pernikahanku tak akan bisa sejauh ini. Apa kabarmu, Banyu? Ibu sangat rindu. Ibu juga bertanya-tanya, apakah cucu Ibu sangat mirip denganmu waktu kecil. Ibu memang kecewa. Tapi, Ibu juga sebenarnya sangat antusias dan menanti kabar kalian. Kenapa kamu memilih memutus hubungan kita seperti ini. Sampai kapanpun, kamu adalah bayiku Banyu. Betapapun kecewanya Ibu, Ibu akan tetap menyayangimu dan memaafkan segala kesalahanmu. Mungkin kamu harus menerima hukuman atas apa yang kamu lakukan, tapi kasih sayang Ibu tidak akan pernah luntur untukmu, nak. Pulanglah, Banyu. "Ibu?" suara Aga terdengar di telingaku. Saat aku membuka mata, anak tengahku dengan konyolnya memunculkan kepalanya dan badannya masih berada di balik pintu. "Kamu ngapain, sih?" tanyaku dengan tergelak kecil. "Ibu ud
Usia kehamilan Meira sudah menginjak tiga puluh lima minggu. Lima minggu lagi dokter memperkirakan bayi mungil kami akan lahir. Aku sudah tak sabar untuk menyambut bayi mungil kami.Di rumah sederhana milik kami, sebuah kamar yang dipersiapkan untuk bayi mungil kami sudah siap dengan peralatan yang lengkap. Demi Meira, aku juga pulang pergi Solo - Yogyakarta setiap harinya. Naik kereta atau bis, apa saja yang ada supaya aku bisa setiap hari bersama Meira. Meski kadang aku bisa sampai tengah malam dan pagi harus kembali berkuliah, yang terpenting aku tak meninggalkan Meira sendiri.Seperti pagi ini, aku sudah berada di stasiun setengah tujuh pagi. Kereta commuter ini memang baru ada di jam ini. Sampai di yogyakarta, aku punya waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum kelas pertamaku di mulai.Seperti biasa, hari-hariku padat. Di waktu pergantian kelas dan senggang sekitar satu hingga dua jam, aku sempatkan untuk menelepon ke bengkel yang sekarang sepenuhnya di urus Attar untuk membic
Rasanya tidurku baru beberapa menit karena aku bangun dalam keadaan sakit hampir di sekujur tubuh. Padahal seingatku yang di hajar hanya wajahku, tapi rasa sakit yang aku rasakan mendera hampir seluruh tubuhku.Suara telepon memekakkan telingaku, membuatku segera menyambar ponselku dan mendapati nama Meira di sana. Cepat-cepat aku mengangkat telepon milik Meira."Haalo, Mei? Kenapa telepon pagi-pagi?""Nyu..""Iya, kenapa Mei?" tanyaku dengan degup jantung yang bahkan bisa aku dengar sendiri.Hening menyeruak diantara kami. Meira masih saja bungkam di seberang sana."Mei?""Aku-- aku hamil, Nyu."Pernyataan singkat itu membuatku terdiam juga. Aku seolah bermimpi. Benarkah dengan sekali percobaan Meira bisa langsung hamil? Apa aku bermimpi?"Nyu-- aku hamil. Aku..""Kamu dimana, Mei?" tanyaku memotong ucapan Meira."Aku di kos.""Pulang ya, Mei. Aku beliin tiket pesawat.""Nyu, aku gak mau.." ucap Meira dengan nada bergetar di ujung sana."Apa maksud kamu gak mau?" tanyaku dingin."Aku
Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Rumah Meira terasa begitu dingin bagiku yang baru pertama kali ini memasukinya.Pria di hadapanku menatapku dengan dingin. Melihatnya aku jadi menyadari bahwa posisiku sudah salah, jadi wajar jika pria di hadapanku begitu murka nanti saat aku menjelaskan semuanya. Mau bagaimana lagi. aku harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan.Walaupun ingatanku samar, tapi kejadian malam itu bisa dipastikan adalah kelakuanku yang sangat bodoh. Rasanya terlalu nyata jika itu hanya di dalam mimpi.Pria paruh baya di hadapanku menatapku dengan tatapan permusuhan. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi, setidaknya aku sudah mencobanya. Dibandingkan kemurkaan Papa Meira, aku yakin kemurkaan Papa lebih mengerikan."Saya selama ini bersama dengan Meira, Om."Pria di hadapanku malah menatapku heran. Mungkin dia bertanya-tanya bagaimana bisa aku bersama anak perempuannya."Maksud kamu?" tanya Om Rahman sambil menaikkan sebelah alisnya."Saya pacaran denga
Sudah akhir minggu dan aku sudah bersiap untuk menuju ke kota sebelah, tempat Meira berkuliah.Aku mengendarai sebuah mobil city car manual untuk sampai ke tempat Meira. Mobil pertama yang aku miliki dengan uangku sendiri ini, berhasil aku beli kemarin.Melihat uang di tabunganku, aku memberanikan untuk membeli mobil yang harganya kurang dari seratus juta dengan fasilitas yang seadanya buatku. Tapi tidak masalah, aku ingin Meira hidup dalam kenyamanan. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Aku berjanji akan bekerja lebih keras untuk bisa memberikan hidup yang jauh lebih dari kata nyaman.Saat aku sampai di kampus Meira, suasananya cukup sepi. Hanya tampak beberapa mahasiswa yang berlalu lalang, mungkin karena hari ini adalah hari jum'at.Aku segera menghubungi Meira, namun setelah hampir satu menit tak ada jawaban dari Meira.Kemana lagi perempuanku satu ini. Dia sekarang makin sulit untuk dihubungi. Apa ada yang salah dengan hari terakhir kami bertemu? Apa dia traum
Aku membuka mataku saat cahaya matahari seolah menusuk mataku. Belum lagi suara ponsel yang menggema kencang tepat di telingaku.Aku segera meraba sekitarku tanpa membuka mataku. Aku berhasil menggapai ponselku sambil mengeratkan selimut yang semula hanya sebatas dada untuk menutup tubuhku hingga leher.Sedikit aku membuka mata hanya untuk memencet tombol hijau di ponselku. Aku bahkan tak melihat siapa yang meneleponku."Halo,""Banyu! Kamu dimana? Kenapa telepon Ibu baru kamu angkat?!" mendengar suara khawatir Ibu membuatku memaksa seluruh kesadaranku untuk terkumpul."Emh, Ibu."Aku menjauhkan ponselku dan mengecek berapa banyak panggilan yang terlewat olehku. Aku sedikit memicingkan mata saat melihat angka tiga puluh dan jam yang menunjukkan Ibu sudah meneleponku semalam suntuk."Kamu semalem minum-minum kan sama temen kamu?! Kamu dimana sekarang?! Kenapa kamu susah banget di hubungi!" suara panik Ibu semakin menjadi.Kenapa Ibu bisa tahu aku minum semalam?Ponselku berdering dan m
Aku merasa keputusanku untuk bersekolah di Jogja sangatlah tepat. Aku bisa melihat Meira setiap Sabtu dan Minggu. Bahkan saat aku suntuk, aku hanya tinggal membeli tiket kereta untuk pergi ke Solo.Seperti Hari ini, aku menghubungi Meira untuk bertemu. Namun, kali ini Meira ingin dirinya lah yang berangkat ke Jogja. Katanya ia ingin mencari suasana lain. Aku pun setuju dengan permintaan Meira.Aku menjemputnya di stasiun yogyakarta, biasanya disebut stasiun tugu. Aku menunggu di atas motor matic yang aku beli sendiri dari hasil keuntungan bengkel. Daripada memarkirkan motorku. Aku lebih memilih untuk menunggu di depan stasiun.Lima belas menit berlalu, aku melihat gadis mungil berlari kecil ke arahku. Rambut hitam legamnya bergerak mengikuti langah kakinya. Aku selalu tersenyum melihat tingakhnya yang menggemaskan.Dia nampak terengah saat sampai di hadapanku. Peluh terlihat membanjiri dahinya."Makanya gak usah lari-lari. Ngapain sih lari-lari segala? Aku kan tetep di sini. Aku gak m
Aku menjalani masa terakhirku disekolah dengan menyenangkan. Meira yang jauh di sana membuatku bisa fokus mengurus bengkel dan ujian akhir sekolah. Walaupun kami jauh, tak ada hari tanpa kami mengabari satu sama lain. Aku meneleponnya saat malam hari dan saling bertukar cerita tentang bagaimana hari kami berlangsung. Meski hubungan kami sedekat ini, nyatanya aku dan Meira tak berniat untuk memperjelas hubungan kami. Aku pikir, dekat saja sudah cukup untuk kami. Dengan saling mengabari dan menjaga hati masing-masing, kami bertekad untuk bersama. AKu mengasumsikan bahwa hubunganku bisa disebut hubungan pacaran. Malam ini aku sudah berada di depan komputer dengan headset yang terpasang. Dengan cepat aku mengklik beberapa bagian, hingga muncul nama Meira di komputerku. Lama aku menunggu, Meira tak kunjung menjawab teleponku. Kemana dia? Ketika sambungan terputus, aku mencoba untuk menghubungi Meira melalui sambungan telepon. Tersambung, tapi Meira tidak mengangkatnya. Baru pertama kal
Mama membawa seorang laki-laki yang nampaknya umurnya tak jauh dariku. Disampingnya ada seorang gadis muda yang masih aku tebak-tebak. Apakah dia Lila? Gadis kecil yang pernah aku temui dengan pipi tembamnya.Jika benar dia adalah Alila, sungguh ia berbeda sekali dengan gadis kecil yang aku kenal dulu. Gadis kecil pemberani yang selalu mengangkat dagunya dengan binar cerah terpancar dari matanya."Ini namanya Dimas, dia yang akan jaga rumah kita setiap hari karena rupanya dia mau pulang pergi dari kota kemari. Dekat katanya."Setelah mengatakan itu, Ibu kemudian berdiri di seberang Gadis yang semenjak kedatangannya hanya menatap lantai rumah kami."Ini Abang, pasti kenal. Dulu beberapa kali main bareng kan? Ini Lila Bang!" ucap Ibu dengan mata berbinar.Aku menjabat tangan DImas lalu beralih pada Lila. Gadis itu nampaknya ragu-ragu untuk menyambut tanganku. Entah mengapa jiwa jahilku muncul. Dengan cepat aku meraih lebih dahulu tangan Lila.Lila nampaknya terkejut dan langsung menatap