*Samudera POV*
Sudah hampir enam tahun sejak kematian istri cantikku, tapi rasanya seperti baru kemarin dia meninggalkanku. Waktu begitu cepat berlalu karena kesibukanku yang seolah tiada henti. Walaupun bumi mungkin berputar lebih cepat, juga tumpukan pekerjaan yang mungkin menyita sebagian besar waktuku. Tapi hingga kini, tak ada sedetikpun aku melupakan senyuman manis kekasih tercintaku yang ternyata pergi meninggalkanku lebih dulu. Kebersamaan kami terlalu singkat. Ia pergi terlalu cepat.
Sampai saat ini pula, tak ada sejengkal pun aku melupakan lekukan tubuhnya. Bahkan tak akan ku lupa suara lembutnya yang selalu menyapaku di pagi hari.
Mana mungkin aku melupakan wanita seberkesan itu dalam hidupku? Wajah cantiknya, lembut tuturnya, dan kecerdasannya begitu melekat dalam ingatanku. Bagaimana bisa aku melupakan wanita yang pergi dengan gadis mungilku? Gadis mungil yang bahkan belum pernah aku lihat wujudnya barang sedetik saja.
Kini aku menemukan lagi sosok perempuan ceria yang telah lama menghilang. Dulu dia menemaniku merintis usaha bimbingan belajar. Setelah usaha itu berkembang besar, gadis itu pamit mengundurkan diri karena akan menikah. Aku sudah bilang bahwa dia tak perlu datang ke kantor setiap hari jika itu kendalanya. Tapi, gadis itu tetap menolak dengan tegas.
Aku memaksanya untuk tetap bergabung di jaringan bimbingan belajar kami yang sudah dikembangkan selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya ada satu titik dimana aku menyerah menawarinya bergabung. Mengingat ia mengandung. Aku jadi teringat mendiang istriku saat itu. Aku memahami kekhawatiran suaminya dan keinginannya untuk selalu dekat dengan istrinya. Aku pun akan melakukan hal yang sama. Apalagi mengingat saat aku kehilangan Tania.
Hari itu terakhir kalinya aku menawarinya untuk tetap bergabung, hari itu pula semua mimpinya direnggut paksa oleh keadaan. Sekuat apa dirimu hingga kamu tetap biasa menghadapi semuanya dengan ketenanganmu. Apakah hatimu sekuat sikapmu, Riani Abhimaya?
Aku bersyukur bahwa Tuhan memiliki rencananya mempertemukan aku lagi denganmu. Kak Lian yang melahirkan anak ketiganya di rumah sakit ini, membuatku jadi bertemu dengan sahabat lamaku. Aku juga berterima kasih pada putri kecilku, Ruby, yang secara tak sengaja menemukan Riani.
Bagai oase di padang pasir. Aku seolah kembali bersemangat untuk hidup dengan menjaga Riani. Aku merasa diberi Tuhan kesempatan untuk menjaga wanita yang dulu tak sempat aku rawat dengan baik.
Sudah lima hari berturut-turut aku menemaninya. Menyuapinya, membantunya melakukan apapun, termasuk menyeka keringatnya. Tak ada yang dapat dia lakukan karena tubuhnya benar-benar lumpuh total.
"Akhir minggu nanti lo gak perlu dateng. Ada yang jaga gue. Lo sebenernya juga gak perlu tiap hari kesini, Sam. Lo kerja malah keganggu gue terus. Gue ada suster kok yang bisa bantuin gue," protes Riani.
"Gue butuh suasana baru, Ri. Bosen gue di kantor," ucapku menjawab sekenanya.
"Mana ada! Lo gak bakalan fokus kalo kerja disini. Lo ngapain sih kesini tiap hari?"
"Mau ngeribetin lo. Karyawan gue gak ada yang bisa diajak diskusi seasik lo," jawabku mencoba meyakinkan Riani.
Akhir-akhir ini aku memang sengaja mengajak Riani berdiskusi berbagai hal agar Riani tak bosan.
"Lo tuh! Ngerepotin gue aja. Udah tau gue lagi sakit. Masih aja diajak mikir!" ucap Riani sambil mencebik, membuatku tersenyum geli dengan ekspresinya yang tak pernah berubah.
Aku mendekat ke arahnya. Mencubit gemas pipinya dan menangkupnya. Tak mungkin ada perlawanan darinya membuatku jadi makin bersemangat mengerjainya dengan menarik hidung mancung Riani.
"Iiihh! Sam!" teriaknya histeris.
Aku menghentikan semua kegiatanku. Tanpa sengaja pandangan mata kami bertemu dan membuatku menatap lekat Riani. Ku susuri setiap jengkal wajahnya yang kini banyak berubah. Aku rasa dulu garis wajah Riani tak seperti ini. Wajahnya kini terlihat lebih tirus dengan warna kulit pucat. Cekungan di matanya pun terlihat jelas.
Sesaat kemudian Riani memalingkan wajahnya dariku. Wajah itu tiba-tiba terlihat muram setelah adegan saling pandang kami dengan jarak yang cukup dekat. Aku tahu, pasti canggung rasanya.
"Jangan liat-liat gue kayak gitu! Ntar lo naksir sama gue!" ucap Riani terdengar ketus.
"Kalo gue emang naksir, gimana?" tanyaku sambil menatapnya lekat.
Mata kami kembali beradu saat ini. Aku menatap lekat manik mata Riani yang terlihat tak bercahaya. Seperti orang yang sudah lama menenggelamkan harapan hidupnya. Mungkin semangat hidupnya memang sudah luntur sejak lama. Bahkan mungkin tidak pernah ada.
"Apa yang lo naksirin dari wanita yang cuma bisa rebahan, Sam? Jangan bercanda. Itu gak lucu," ucap Riani terdengar tenang, tanpa tekanan dan tanpa emosi apapun.
Aku mendekatkan wajahku. Menatap lekat wajah sahabat lamaku itu dengan seksama.
"Lo masih cantik, Ri. Secantik pertama kali gue kenal sama elo."
Tiba-tiba hawa terasa panas di sekitarku. Mungkin karena jarak diantara kami yang terlalu dekat. Hingga aku bisa merasakan helaan nafas Riani di kulit wajahku.
Sial! Kenapa aku menggoda temanku yang sakit hingga begini?!
Mata Riani mengerjap beberapa saat. Ia kemudian dengan cepat menghadap ke arah lain.
"Gue geli dengernya. Jangan deket-deket! Tangan gue mungkin gak bisa nabok elo. Tapi gue masih bisa gigit hidung lo! Minggir!" tukasnya tak senang.
Aku tertawa terbahak mendengar suara mengomelnya yang rasanya masih sama. Bertenaga dan tak terduga. Memang hanya dia satu-satunya yang tak pernah terbawa perasaan karena tingkahku. Setiap kali keadaan romantis tercipta diantara kami. Ia selalu melakukan komedi yang membuat kami keluar dari situasi canggung dan kembali berteman seperti biasa.
Aku pikir Riani sudah berubah karena kondisinya. Ternyata tidak, ia masih Riani yang sama. Riani yang berapi-api jika mendengar ide-ide konyolku. Riani yang selalu menyenangkan.
"Inget ya, Sam! Gue masih istri orang. Gak boleh naksir-naksir istri orang!"
Aku berdecak mendengar kalimat itu. Pria brengsek itu lagi yang disebut.
"Mana ada? Dia gak pernah kesini lagi kan? Dua tahun lo kayak gini dan dia gak ada. Masih aja sih ngarepin manusia kayak begitu?"
"Sam, selama Reval gak mengucapkan cerai di depan gue. Selama dia gak kirim surat cerai ke gue. Itu berarti gue masih sah istri Reval. Jadi, please! Tolong banget, jangan bercanda kayak gini lagi. Kita udah gak di umur yang bisa bercanda kayak gini," ucap Riani yang terdengar lelah di telingaku.
Aku hanya bisa menghirup udara sebanyak-banyaknya. untuk meredakan rasa tak nyaman dalam dadaku. Entah mengapa setelah ucapan Riani itu, dadaku terasa sesak. Bukan karena penolakannya untuk bercanda denganku. Tapi karena ia masih saja memikirkan pria yang sudah tega meninggalkannya dalam kondisi seperti ini.
Apa baiknya seorang pria yang menelantarkan dan meninggalkan istrinya dalam kondisi seperti ini? Apalagi yang perlu ditunggu dari pria yang melarikan diri dari tanggungjawabnya?
***
Riani membuka matanya perlahan. Awalnya pandangan itu terasa kabur. Beberapa detik kemudian, pandangannya telah jelas melihat kembali tembok putih dengan bau khas obat-obatan di sekelilingnya.Ia menghela nafas berat. Kenapa masih saja ia berada di ruangan ini? Padahal harapannya adalah pergi dari ruangan ini dan menemui anaknya. Atau Mama dan Papanya yang telah lama meninggalkannya. Ia merasa tak sanggup dengan sakitnya yang makin lama terasa semakin menyakitkan.Terakhir, asam lambungnya sering naik karena posisinya yang tak banyak berubah setelah makan. Juga karena ia tak lagi mengunyah makanan dengan baik.Kondisi lambungnya juga memang sudah tak baik-baik saja sejak beberapa waktu lalu. Entah vonis apalagi yang akan dokter keluarkan kali ini.Tak lagi ada ambisi, tak ada lagi keinginan dalam hidupnya. Ia hanya ingin mengakhiri semuanya secepatnya. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan, bahkan untuk dirinya sendiri.“Kak? Pagi! Akhirnya Kakak bangun, aku dah dari tadi nungguin Kakak ba
“Lho, Diani. Ngapain?” sapa seorang suster yang memang sudah sangat akrab dengan Diani karena Riani menghuni kamar itu hampir dua tahun ini.Suster itu merasa kasihan dengan Diani yang terisak hebat. Ia mencoba menenangkan dengan mengusap lembut pundak Diani.“Kak Grace..” lirih Diani masih dengan isakannya.Wanita yang akrab disapa Grace itu segera membantu Diani untuk berdiri. Ia juga membantu Diani untuk duduk di kursi tunggu depan ruangan Riani.“Kak Riani dua minggu ini gimana, Kak Grace?” tanya Diani sambil menahan isak tangisnya yang semakin membuat dadanya sesak.“Baik kok, baik banget malah. Seminggu terakhir ini malah dia ada yang nunggu tiap hari. Kadang bisa sampai jam sembilan malem,” ungkap Grace sambil sesekali ikut menyeka air mata dari sudut mata Diani.“Siapa?” tanya Diani heran.“Laki-laki, tinggi, tampan, siapa ya namanya? Lupa.”Diani menegang mendengar ciri-ciri yang disebutkan oleh Grace. Apakah itu Kakak iparnya? Apakah pria tidak tahu diri itu menemui Kakaknya
"Ri, kita nikah yuk. Gue bakal jagain lo, seumur hidup gue!" ucap Samudera dengan raut wajah serius dan binar wajah penuh harapan.‘Aku tak bodoh dan juga tidak gila untuk senang dengan harapan semu yang ditawarkan oleh anak salah seorang konglomerat di negeri ini. Orang bodoh mana yang mau merawat orang cacat dengan harapan hidup kecil sepertiku? Bahkan suamiku yang sudah berjanji sehidup semati denganku saja lari entah kemana setelah tahu bahwa aku tak bisa menjaga anaknya di tubuhku. Juga tak lagi bisa memberikannya anak.’‘Menikahi Samudera? Hah? Dalam keadaan sehat saja keluarga suamiku begitu membenciku. Mereka sekarang membawa suamiku entah kemana. Apalagi dalam keadaan penyakitan seperti ini. Keluarganya pasti butuh pewaris. Apa yang diharapkan dariku. Samudera anak laki-laki satu-satunya. Mana mungkin keluarganya dengan rela melepaskan anak lelakinya kepada wanita sepertiku.’‘Aku tahu keluarga Samudera tak pandang bulu. Tapi, bukan berarti wanita dengan keadaan sepertiku bis
“Jadi gimana Eyang?” tanyaku penuh harap. Berharap masih ada yang bisa aku lakukan untuk membantu Sahabat terbaikku.“Harapan hidupnya tinggal keyakinannya untuk terus bertahan hidup, Sam. Kecelakaan itu menyebabkan cedera berat. Untuk hidup sehari-hari saja, Eyang yakin dia menahan rasa sakit dengan skala sembilan per sepuluh. Bayangkan, seperti apa rasa sakitnya itu?”Mendengarnya saja, tulang-tulangku ikut merasa ngilu. Tak bisa menggunakan tangan dan kakinya, bahkan harus merintih saat posisinya harus diubah membuatku seolah bisa merasakan sakitnya. Kamu sangat hebat bisa bertahan sejauh ini, Ri.“Hidupnya benar-benar bergantung pada painkiller, Sam. Itu pasti sangat menyakitkan,” lanjut Dokter Herman dengan tatapan sedihnya.“Bener-bener gak ada yang bisa kita lakuin, Eyang? Apapun itu? Samudera akan bantu biayanya.”“Ini gak hanya soal biaya, Sam. Lebih dari itu. Sebelum kamu datang memohon seperti ini. Adiknya sudah lebih dulu melakukan ini, Sam. Sama denganmu, kami juga mengus
*11 Tahun Lalu*Suasana yang riuh dalam kelas menandakan bahwa belum ada guru yang masuk ke dalam kelas. Semua siswa saling bergerombol dengan geng mereka masing-masing sambil bersenda garau. Tidak sedikit juga iseng mengerjai teman-temannya agar suasana kelas menjadi semakin gaduh dengan tawa.Seorang remaja laki-laki berlarian di dalam kelas dan dengan gesit menarik kuncir yang dipakai oleh Diani, gadis bertubuh kurus, namun memiliki kulit putih bersih dengan kacamata bulat yang terlihat lucu di pakainya. Untuk beberapa orang, style Diani itu aneh, tapi laki-laki dengan mata jeli seperti remaja laki-laki yang menggodanya ini, tahu bahwa ada pesona tersembunyi dari seorang Diani Abhimaya. Anak seorang pengusaha restoran yang cukup terkenal seantero Jakarta.“Alviiin! Rese’ banget sih lo!” teriak Diani dengan muka kesal dan mata yang mulai berkaca-kaca.Alvin yang mendengarnya hanya menjulurkan lidahnya dengan muka meledek. Kedua sahabat Diani, Kanya dan Pita hanya bisa tersenyum gel
Saat Samudera sedang asik memandang Diani, pemilik mata bulat itu ikut memandang Samudera. Samudera mengalihkan pandangannya dengan perlahan agar tak terlihat mencurigakan. Entah mengapa saling pandang dengan Diani membuatnya berdegup.Tak mendengar sapaannya dibalas, Samudera segera membuka suaranya kembali untuk menutupi rasa salah tingkahnya.“Perkenalkan nama saya Samudera, kalian bisa panggil saya Pak Sam. Seperti kata Pak Budi tadi, saya akan mengajar kalian matematika dan bahasa inggris selama kurang lebih empat bulan ini. Mohon kerjasamanya. Mungkin ada yang mau bertanya?” ucap Samudera dengan senyuman sejuta wattnya yang membuat banyak siswi di kelas itu rasanya kehabisan nafas diberondong oleh senyuman manisnya.“Pak, kok cuma sebentar sih? Ilmunya belum nyerep lho, Pak!” protes Cantika, salah satu siswi yang selalu terlihat centil.“Iya, Paaak!” koor siswi dalam kelas itu.“Seperti yang tadi Pak Budi bilang, saya harus kembali untuk melanjutkan studi saya. Semoga saja ilmu
Embun memandangi foto pernikahan Samudera dan mendiang menantunya yang terpajang di sudut meja ruang keluarga. Senyuman di bibirnya terlihat getir kala menatap foto yang menampakkan kebahagiaan bertahun-tahun lalu.Tak ada yang menyangka bahwa beberapa bulan setelah foto itu diambil, hidup mereka tak lagi sama.Enam tahun kejadian itu berlalu, tapi Samudera, putra bungsunya, masih berkutat dengan masa lalunya. Seolah tak mau beranjak dari sana.“Apa kabar menantu dan cucu Mama? Kalian senang disana?" ucap Embun yang kini sudah mengusap lembut foto Tania yang terlihat cantik dengan gaun mewah yang memperlihatkan perut buncit Tania."Tan, bantu Mama bujuk Sam. Mama benar-benar kasihan liat dia sendirian. Kamu tahu kan, hidupnya seperti robot, Tan. Kantor, rumah, gitu terus. Mungkin sekarang dia gak kerasa kesepian. Tapi, menua sendirian pasti sangat sepi, Tan. Mama–""Ma," sapa Samudera memotong ucapan Embun.Laki-laki dengan tubuh jangkung itu kini sudah berada di belakang tubuh Mamanya
"Segitu ngeganggunya ya gue, Kak?"Pertanyaan itu berhasil membuat Lian menatap sedih adiknya."Lo boleh temui Ruby, kapanpun lo mau. Tapi, please. Kasih gue dan Ruby space, Sam. Dia anak gue. Gue pengen nge-didik dia dengan cara gue. Kak Davino juga pengen banget ngabisin banyak waktu sama anaknya satu itu.""Ruby, gue angkat anak ya Kak. Biar dia ikut gue," mohon Sam."Gak, Sam. Gue masih sanggup dan lebih dari mampu untuk ngurus dia sendiri. Gimana pun dia anak gue dan gue sayang banget sama dia. Gue gak bisa kalau harus pisah dari dia. Jangan egois Sam," ucap Lian dengan tenang walaupun kesedihan mulai menyusup di hatinya."Lo sedih jauh dari Ruby, apa kabar suami gue? Dia selalu ngalah buat apapun demi lo, karena buat dia, elo itu adik kesayangannya. Gue tau semuanya berat buat lo, tapi please, ngerti juga keadaannya.""Hidup gue sepi Kak, kalau gak ada Ruby," ucap Samudera sambil menunduk, menyembunyikan wajah sendunya."Itu kenapa Mama minta lo nikah, Sam. Sekarang ataupun nant
Sudah lebih dari enam bulan aku tak mendengar kabar putra pertamaku. Permata hatiku yang mengajariku banyak hal. Dialah yang menyatukanku dengan Samudera. Jika bukan karena anak laki-laki pertamaku, mungkin pernikahanku tak akan bisa sejauh ini. Apa kabarmu, Banyu? Ibu sangat rindu. Ibu juga bertanya-tanya, apakah cucu Ibu sangat mirip denganmu waktu kecil. Ibu memang kecewa. Tapi, Ibu juga sebenarnya sangat antusias dan menanti kabar kalian. Kenapa kamu memilih memutus hubungan kita seperti ini. Sampai kapanpun, kamu adalah bayiku Banyu. Betapapun kecewanya Ibu, Ibu akan tetap menyayangimu dan memaafkan segala kesalahanmu. Mungkin kamu harus menerima hukuman atas apa yang kamu lakukan, tapi kasih sayang Ibu tidak akan pernah luntur untukmu, nak. Pulanglah, Banyu. "Ibu?" suara Aga terdengar di telingaku. Saat aku membuka mata, anak tengahku dengan konyolnya memunculkan kepalanya dan badannya masih berada di balik pintu. "Kamu ngapain, sih?" tanyaku dengan tergelak kecil. "Ibu ud
Usia kehamilan Meira sudah menginjak tiga puluh lima minggu. Lima minggu lagi dokter memperkirakan bayi mungil kami akan lahir. Aku sudah tak sabar untuk menyambut bayi mungil kami.Di rumah sederhana milik kami, sebuah kamar yang dipersiapkan untuk bayi mungil kami sudah siap dengan peralatan yang lengkap. Demi Meira, aku juga pulang pergi Solo - Yogyakarta setiap harinya. Naik kereta atau bis, apa saja yang ada supaya aku bisa setiap hari bersama Meira. Meski kadang aku bisa sampai tengah malam dan pagi harus kembali berkuliah, yang terpenting aku tak meninggalkan Meira sendiri.Seperti pagi ini, aku sudah berada di stasiun setengah tujuh pagi. Kereta commuter ini memang baru ada di jam ini. Sampai di yogyakarta, aku punya waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum kelas pertamaku di mulai.Seperti biasa, hari-hariku padat. Di waktu pergantian kelas dan senggang sekitar satu hingga dua jam, aku sempatkan untuk menelepon ke bengkel yang sekarang sepenuhnya di urus Attar untuk membic
Rasanya tidurku baru beberapa menit karena aku bangun dalam keadaan sakit hampir di sekujur tubuh. Padahal seingatku yang di hajar hanya wajahku, tapi rasa sakit yang aku rasakan mendera hampir seluruh tubuhku.Suara telepon memekakkan telingaku, membuatku segera menyambar ponselku dan mendapati nama Meira di sana. Cepat-cepat aku mengangkat telepon milik Meira."Haalo, Mei? Kenapa telepon pagi-pagi?""Nyu..""Iya, kenapa Mei?" tanyaku dengan degup jantung yang bahkan bisa aku dengar sendiri.Hening menyeruak diantara kami. Meira masih saja bungkam di seberang sana."Mei?""Aku-- aku hamil, Nyu."Pernyataan singkat itu membuatku terdiam juga. Aku seolah bermimpi. Benarkah dengan sekali percobaan Meira bisa langsung hamil? Apa aku bermimpi?"Nyu-- aku hamil. Aku..""Kamu dimana, Mei?" tanyaku memotong ucapan Meira."Aku di kos.""Pulang ya, Mei. Aku beliin tiket pesawat.""Nyu, aku gak mau.." ucap Meira dengan nada bergetar di ujung sana."Apa maksud kamu gak mau?" tanyaku dingin."Aku
Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Rumah Meira terasa begitu dingin bagiku yang baru pertama kali ini memasukinya.Pria di hadapanku menatapku dengan dingin. Melihatnya aku jadi menyadari bahwa posisiku sudah salah, jadi wajar jika pria di hadapanku begitu murka nanti saat aku menjelaskan semuanya. Mau bagaimana lagi. aku harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan.Walaupun ingatanku samar, tapi kejadian malam itu bisa dipastikan adalah kelakuanku yang sangat bodoh. Rasanya terlalu nyata jika itu hanya di dalam mimpi.Pria paruh baya di hadapanku menatapku dengan tatapan permusuhan. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi, setidaknya aku sudah mencobanya. Dibandingkan kemurkaan Papa Meira, aku yakin kemurkaan Papa lebih mengerikan."Saya selama ini bersama dengan Meira, Om."Pria di hadapanku malah menatapku heran. Mungkin dia bertanya-tanya bagaimana bisa aku bersama anak perempuannya."Maksud kamu?" tanya Om Rahman sambil menaikkan sebelah alisnya."Saya pacaran denga
Sudah akhir minggu dan aku sudah bersiap untuk menuju ke kota sebelah, tempat Meira berkuliah.Aku mengendarai sebuah mobil city car manual untuk sampai ke tempat Meira. Mobil pertama yang aku miliki dengan uangku sendiri ini, berhasil aku beli kemarin.Melihat uang di tabunganku, aku memberanikan untuk membeli mobil yang harganya kurang dari seratus juta dengan fasilitas yang seadanya buatku. Tapi tidak masalah, aku ingin Meira hidup dalam kenyamanan. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Aku berjanji akan bekerja lebih keras untuk bisa memberikan hidup yang jauh lebih dari kata nyaman.Saat aku sampai di kampus Meira, suasananya cukup sepi. Hanya tampak beberapa mahasiswa yang berlalu lalang, mungkin karena hari ini adalah hari jum'at.Aku segera menghubungi Meira, namun setelah hampir satu menit tak ada jawaban dari Meira.Kemana lagi perempuanku satu ini. Dia sekarang makin sulit untuk dihubungi. Apa ada yang salah dengan hari terakhir kami bertemu? Apa dia traum
Aku membuka mataku saat cahaya matahari seolah menusuk mataku. Belum lagi suara ponsel yang menggema kencang tepat di telingaku.Aku segera meraba sekitarku tanpa membuka mataku. Aku berhasil menggapai ponselku sambil mengeratkan selimut yang semula hanya sebatas dada untuk menutup tubuhku hingga leher.Sedikit aku membuka mata hanya untuk memencet tombol hijau di ponselku. Aku bahkan tak melihat siapa yang meneleponku."Halo,""Banyu! Kamu dimana? Kenapa telepon Ibu baru kamu angkat?!" mendengar suara khawatir Ibu membuatku memaksa seluruh kesadaranku untuk terkumpul."Emh, Ibu."Aku menjauhkan ponselku dan mengecek berapa banyak panggilan yang terlewat olehku. Aku sedikit memicingkan mata saat melihat angka tiga puluh dan jam yang menunjukkan Ibu sudah meneleponku semalam suntuk."Kamu semalem minum-minum kan sama temen kamu?! Kamu dimana sekarang?! Kenapa kamu susah banget di hubungi!" suara panik Ibu semakin menjadi.Kenapa Ibu bisa tahu aku minum semalam?Ponselku berdering dan m
Aku merasa keputusanku untuk bersekolah di Jogja sangatlah tepat. Aku bisa melihat Meira setiap Sabtu dan Minggu. Bahkan saat aku suntuk, aku hanya tinggal membeli tiket kereta untuk pergi ke Solo.Seperti Hari ini, aku menghubungi Meira untuk bertemu. Namun, kali ini Meira ingin dirinya lah yang berangkat ke Jogja. Katanya ia ingin mencari suasana lain. Aku pun setuju dengan permintaan Meira.Aku menjemputnya di stasiun yogyakarta, biasanya disebut stasiun tugu. Aku menunggu di atas motor matic yang aku beli sendiri dari hasil keuntungan bengkel. Daripada memarkirkan motorku. Aku lebih memilih untuk menunggu di depan stasiun.Lima belas menit berlalu, aku melihat gadis mungil berlari kecil ke arahku. Rambut hitam legamnya bergerak mengikuti langah kakinya. Aku selalu tersenyum melihat tingakhnya yang menggemaskan.Dia nampak terengah saat sampai di hadapanku. Peluh terlihat membanjiri dahinya."Makanya gak usah lari-lari. Ngapain sih lari-lari segala? Aku kan tetep di sini. Aku gak m
Aku menjalani masa terakhirku disekolah dengan menyenangkan. Meira yang jauh di sana membuatku bisa fokus mengurus bengkel dan ujian akhir sekolah. Walaupun kami jauh, tak ada hari tanpa kami mengabari satu sama lain. Aku meneleponnya saat malam hari dan saling bertukar cerita tentang bagaimana hari kami berlangsung. Meski hubungan kami sedekat ini, nyatanya aku dan Meira tak berniat untuk memperjelas hubungan kami. Aku pikir, dekat saja sudah cukup untuk kami. Dengan saling mengabari dan menjaga hati masing-masing, kami bertekad untuk bersama. AKu mengasumsikan bahwa hubunganku bisa disebut hubungan pacaran. Malam ini aku sudah berada di depan komputer dengan headset yang terpasang. Dengan cepat aku mengklik beberapa bagian, hingga muncul nama Meira di komputerku. Lama aku menunggu, Meira tak kunjung menjawab teleponku. Kemana dia? Ketika sambungan terputus, aku mencoba untuk menghubungi Meira melalui sambungan telepon. Tersambung, tapi Meira tidak mengangkatnya. Baru pertama kal
Mama membawa seorang laki-laki yang nampaknya umurnya tak jauh dariku. Disampingnya ada seorang gadis muda yang masih aku tebak-tebak. Apakah dia Lila? Gadis kecil yang pernah aku temui dengan pipi tembamnya.Jika benar dia adalah Alila, sungguh ia berbeda sekali dengan gadis kecil yang aku kenal dulu. Gadis kecil pemberani yang selalu mengangkat dagunya dengan binar cerah terpancar dari matanya."Ini namanya Dimas, dia yang akan jaga rumah kita setiap hari karena rupanya dia mau pulang pergi dari kota kemari. Dekat katanya."Setelah mengatakan itu, Ibu kemudian berdiri di seberang Gadis yang semenjak kedatangannya hanya menatap lantai rumah kami."Ini Abang, pasti kenal. Dulu beberapa kali main bareng kan? Ini Lila Bang!" ucap Ibu dengan mata berbinar.Aku menjabat tangan DImas lalu beralih pada Lila. Gadis itu nampaknya ragu-ragu untuk menyambut tanganku. Entah mengapa jiwa jahilku muncul. Dengan cepat aku meraih lebih dahulu tangan Lila.Lila nampaknya terkejut dan langsung menatap