“Ki, bisakah ambilkan barangku yang tertinggal di apartemen Mas Devran?”Nayra menghubungi Kiki karena memerlukan jurnal kuliahnya. Dia tidak bisa datang ke tempat itu jadi meminta tolong Kiki mengambilkannya. “Maaf, Nyonya. Saya tidak berani seenaknya masuk ke aparteman Pak Devran. Tapi kalau nyonya mau, saya akan antarkan.”Nayra merasa enggan datang kembali ke tempat itu setelah waktu itu diminta pergi oleh Devran. kata-kata Devran itu seperti lem yang lengket di telinganya. bahwa Devran kesal padanya dan ingin dirinya kembali ke Kota Diraja saja agar tidak merepotkannya.Bukankah itu sebentuk mengusirnya? Saat pulang kuliah, dia menghampiri Kiki yang sudah menunggunya. Nayra masih mencoba membujuknya. Jurnal itu sangat diperlukannya. “Biar aku kirim pesan pada Mas Devran, nanti kamu saja ya yang ambil?” tukas Nayra.“Baik, nyonya.” Kiki langsung melaju ke arah apartemen demi mengambilkan barang sang nyonya. Setidaknya pesannya sudah terkirim pada Devran dan terbaca
[Datang ke pengadilan agama nanti. Kalau tidak aku yang akan menyeretmu!]Pesan dari Ananda terbaca di layar ponsel Devran. Membuat pria yang masih memimpin meeting bersama para dewan direksi perusahaaannya itu tersenyum miring.‘Ada yang sok jadi pahlawan, nih?’ batinnya.Sebenarnya kesal. Kenapa pria yang sudah diasingkannya ke Oxford itu masih bisa juga pulang pergi untuk sekedar membantu Nayra menguruskan perceraian mereka.Seorang Ananda yang digilai banyak perempuan sejak dulu, nyaris tak pernah melirik mereka. Begitu kedatangan Nayra, sepupunya itu langsung ngebet pengen merebutnya.Sebegitu menarikkah pesona istri orang di mata sepupunya itu?Walau begitu Devran tidak akan mangkir dari surat panggilan itu. Dia juga sudah memikirkan semuanya dengan baik.“Agenda kita apa setelah ini?” tanya Devran pada sekretarisnya. “Anda diagendakan sudah membuat janji temu dengan pihak pengembang dari group TP. Di...”“Oke, aku masih ingat. Ini kelanjutan pembahasaan minggu yang lalu, kan?
“Tidak apa dok, biar mereka bicara dan selesaikan beberapa hal. Setelah ini mereka juga akan bercerai.” Aulia melihat wajah Ananda yang tak suka karena di sana Nayra dan Devran sedang mengobrol.Baru pria itu menoleh ke arah Aulia. Benar juga apa kata Aulia, mungkin ada hal yang harus diselesaikan di antara mereka. “Hmm, baiklah. Kalau begitu kita pergi saja. aku masih ada urusan.” Ananda bangkit.Entah sejak kapan dia tidak tahan melihat kebersamaan dua orang itu.Ananda menyuruh Aulia mengirim pesan pada Nayra bahwa mereka harus pergi sekarang.“Dokter Ananda akan pergi. Aku permisi dulu, Mas.” Nayra yang melihat pesan itu sedikit tidak enak.Lagi pula untuk apa juga dia masih berada di sini bersama pria yang akan digugatnya? Sementara pria yang selama ini membantunya, menyempatkan waktunya yang tidak luang itu, diabaikannya dan dibiarkannya pergi begitu saja.“Biarlah. Nanti juga ketemu lagi, kan?” Devran masih menahan.“Dokter Ananda sibuk. Dia menyempatkan waktunya untuk memb
“Nenek sudah pergi ke Edinburgh seminggu yang lalu untuk mengujungi makam kakekmu.” Wanita itu tampak senang melihat kedatangan Nayra.“Oh, Nenek sudah ke Edinburgh?” Nayra terkejut. Dia tidak tahu hal itu.Bagaimana juga dia tahu? Dia dan Devran tidak pernah berkomunikasi. Kecuali saat Nayra meminta izin mengambil jurnal kuliahnya. Yang malah memergoki dia dan kekasihnya itu mabuk-mabukan.‘Hhg. Selamat deh, Mas. Tunggu sebentar lagi kita bercerai,’ gumam Nayra dalam hati. Masih sempat-sempatnya dia memikirkan hal itu di depan Renata.“Nenek sementara tinggal di sini dulu sampai benar-benar pulih. Di sana juga banyak dokter yang lebih baik. Tapi nenek lebih suka pengobatan di tanah air saja. Di sini ada cucu-cucu nenek.” Wanita tua itu tersenyum dengan hangat.Dada Nayra terasa sesak. apakah wanita ini tahu bahwa hubungannya dan Devran sebentar lagi akan diakhiri?“Malam ini tidur di sini saja, yah?” Renata meminta kesediaan Nayra.“Eng...” Nayra bingung.Kalau menginap di rumah in
Duduk di depan meja rias, Nayra menyisir rambutnya sembari menatap pantulan bayangannya dengan melamun.Kenapa mesti kembali terjebak dalam keintiman semalam? Bahkan Nayra pun ikut menikmatinya. Di awal terus menolak, pada akhirnya malah yang memohon-mohon Devran agar menuntaskan kegiatannya. “Ada apa?” tanya pria itu menggugah lamunan Nayra. Dia berdiri di belakang Nayra dan mengelus bahunya sembari menatap wajah Nayra yang sepagi ini sudah bengong itu.“Mas Devran tidak mencintaiku, kita juga akan segera bercerai, kenapa masih melakukannya?” keluh Nayra.“Apa cinta itu harus selalu diucapkan?”Keduanya terdiam saling menatap bayangan masing-masing dari cermin di depan.“Aku tidak sepercaya diri itu. Mas terlihat lebih mencintai Damayanti dan tidak menginginkanku.” Matanya sudah memerah, membuat Devran melenguh dan berjingkat menghindari menatapnya.Devran duduk di tepi ranjang, dan Nayra masih bisa melihatnya dari cermin.“Damayanti ditangkap polisi karena sudah membulimu.”Nayra t
“Aku mendapat kabar penerbanganmu masih nanti sore. Jadi masih ada waktu untukmu menunjukan rasa terima kasihmu padaku.”Devran menatap Nayra yang tampak tak percaya, di detik perpisahan ini dirinya masih perhitungan dengan sebuah kata terima kasih Nayra.“Mas masih tega menginginkan hal itu padaku?”“Aku tidak memaksamu, kok.” Devran tampak cuek dan duduk di sofa ruang depan dengan santai. "Itu kalau kau merasa berhutang budi saja." Nayra menatap pria itu dengan perasaan yang campur aduk. Mau kesal atau protes, memangnya bisa? Permintaan untuk minta dilayani adalah sebuah penandasan seperti apa dirinya di mata pria mesum itu.Tapi, tidak apa. Bukankah mereka masih suami istri? Jadi, biarlah Nayra akan melayaninya. Biar dia merasa tidak punya hutang budi sekalian.Nayra masuk ke kamar dan membuka lemari bajunya. Mengambil lingeri dan memakainya. Dia berdiri di depan cermin sebentar lalu menghela napas.“Baik, Mas. Ini juga akan jadi kado terindah untuk Mas Devran,” ujarnya kemudian
“Lebih baik kita pulang dulu. Ini sudah malam, Nyonya. Udara di sini juga dingin.” Kiki menggugah ketertegunan Nayra. Dia benar, mereka harus pulang dulu.Ketika memasuki halaman rumahnya, Nayra memberitahu sopir mobil grab itu.“Pak rumahnya bukan yang ini, tapi yang di samping.” Tunjuknya pada rumah kecil di samping rumah yang kini mobil itu berhenti.“Nyonya, mapsnya bilang di sini?” Kiki yang malah membenarkannya.“Iya Ki, ini memang rumah kami. Tapi waku itu rumah ini masih sengketa. Lagi pula surat-suratnya juga kabarnya sudah diatasnamakan istri kedua ayahku dan putrinya,” jelas Nayra teringat perkara itu.Geram, sih. Tapi bagaimana lagi? Nayra malas berurusan dengan mereka. Sampai di titik, kalau memang mau ambil, ambil saja. Tidak mau terlibat ribut perkara dengan mereka lagi.“Kalau rumah di samp
“Aku pikir Dokter Ananda yang melakukan semua ini,” gumam Nayra.Ada rasa bersalah karena dia pernah dengan terang-terangan menyampaikan di depan Devran bahwa Anandalah yang selama ini membantunya.“Apa kau tahu hubungan Mas Devran dengan Damayanti?” tanya Nayra sembari melanjutkan langkahnya.“Saya kurang paham, nyonya. Tapi sepanjang pengetahuan saya, Pak Devran tidak pernah terlihat bersama wanita itu kecuali karena urusan dengan Nyonya Tamara.”“Jangan bilang tidak pernah melihatnya bersama, Ki. Kita pernah kan memergoki mereka di apartemen? Bahkan Mas Devran malah mengusirku dan membentakku.”Kiki terdiam. Untuk urusan itu dia juga tidak tahu.“Hanya saja, kalau Pak Devran memang ada hubungan dengan Damayanti, tidak mungkin juga sampai membuat skenario penangkapan artis itu. Pak Devran jug
“Ikut aku, Nay!” Devran menarik lengan Nayra. Padahal masih ada Ludwig dan Farah di sana.“Mas?” Nayra hendak protes walau dia tidak berdaya hanya bisa mengikuti Devran.“Sudah jangan bawel!” Devran langsung meminta Nayra masuk mobil yang diparkirnya tak jauh dari tempat itu lalu segera dilajukannya pergi.Sedangkan di sana, Ludwig dan Farah hanya menatap tanpa bisa menahan seorang Devran.“Maaf, kalau sikap Devran seperti itu.” Ludwig sampai meminta maaf pada Farah.Setahunya Devran pria yang dingin dan sedikit kasar, bahkan pada mamanya sendiri. Tidak berlebihan kalau dia sampai berpikir Devran juga seperti itu ke semua orang. “Ah, Devran memang kelihatannya dingin. Tapi aku tahu kok, dia baik.” Farah menyampaikannya, sekedar mengoreksi pemikiran Ludwig.“Oh, maaf, aku tidak banyak tahu tentang dia.”Farah melirik pria itu dan baru menyadari bahwa Ludwig tampak sedih melihat sikap putranya yang tidak pernah mau sekedar duduk menikmati kopi bersama. Farah jadi kasihan.“Jangan
Ananda anak pintar dan kutu buku sejak kecil. Dia selalu mendapat prestasi di sekolah karena memang dia tipikal anak yang tidak mau terlihat buruk.Pernah ada anak baru yang lebih menonjol mengalahkan Ananda, hal itu saja sudah membuat anak itu mengurung diri sepanjang waktu di kamarnya.“Bujuklah Ananda agar mau makan. Kasihan sepupumu, Dev!” Rosa waktu itu meminta Devran membantunya.Dengan sedikit usaha, Devran bisa masuk dari jendela, Ananda malah melemparinya dengan benda-benda yang ada di dekatnya.“Keluar! Kalau aku bilang tidak mau makan bukan urusanmu!” Ananda meneriaki Devran.“Ayolah, bro. Itu hanya tentang nilai. Kau bisa mengejarnya lain waktu.” Devran menghibur sepupunya.“Kau tak tahu apa-apa, Dev! Kau tak tahu rasanya belajar sampai tengah malam dan begitu keesokan harinya kau ujian, CBT komputermu tak berjalan. Waktu habis dan aku tertinggal. Enak saja mereka bilang aku tidak bisa mengulang ujian itu hanya karena tidak ada jadwa ujian susulan. Lebih enak lagi, anak
Perasaan Nayra sepagi ini sudah terasa manis. Nenek Renata menelpon dan bermimpi bahwa anak yang dikandung Nayra berjenis kelamin perempuan. Nayra suka sekali anak perempuan.Nanti kalau memang anak perempuan yang dilahirkannya, dia sudah tidak sabar menguncir rambutnya, membuatkannya baju rajut yang cantik, juga menghias kuku-kukunya.Mudah-mudahan mimpi Nenek Renata bisa terwujud.“Jangan terus tersenyum begitu, aku memang pandai memuaskanmu, tapi tak perlu juga mendeklarasikannya dengan senyuman sepanjang hari,” tukas Devran sembari memakai kemejanya. Dia harus segera berangkat kerja. Ada banyak agenda hari ini.Mendengar Devran mengatakan demikian Nayra langsung melototinya. “Besar kepala sekali Anda? Siapa juga yang senyum-senyum untuk Anda?”“Oh. Bukan senyum-senyum untukku? Atau senyum itu untuk....”“Jangan mulai deh, Mas. Mau kita bertengkar lagi sepagi ini?” Nayra mengingatkan.Jadi malah terbalik begini. Biasanya dialah yang suka memulai sebuah pertengkaran.“Emang kau piki
“Ouuuh, Mas!” Nayra sampai terlihat tak berdaya. Menggapai-gapai sesuatu di sekitarnya sekedar untuk diremasnya sebagi buncahan rasa itu.“Mas???” jeritnya tapi dia begitu menikmatinya.Peluh dikeningnya bercucuran dan tubuhnya benar-benar bergetar. Entah bagaiamana bisa pria itu tanpa memasukinya dengan sebagaimana mestinya, sudah membuat Nayra gelonjotan seperti ini.Nayra bahkan sudah mencambaki rambut kepala yang menyerusuk di sela kedua kakinya itu, namun Devran tak berhenti. Dia juga mau Nayra merasakan sensasi yang sama saat barusan tadi dirinya terpuaskan.“Sudah, Mas. Jangan heboh-heboh...”Devran baru mengurangi usahanya itu saat teringat istrinya sedang hamil dan tak boleh terlalu heboh. Takut mengusik janin yang anteng di dalam sana.Keduanya kembali terkulai di atas ranjang itu sambil saling memeluk dan tak rela terpisahkan.Devran juga tak mau Nayra sampai kelaparan, jadinya sembari menunggu Nayra selesai mandi, Devran memesankan makanan untuknya.Selesai memesan, dia
Devran sudah lama tidak memukuli orang. Sekarang mumpung ada mangsa dan juga suasana hatinya yang mendukung adrenalinnya naik, Devran tampak kesetanan menghajar tiga cecunguk itu satu persatu sampai mereka ampun-ampun dan mencium sepatu Devran.“Ampun, bos, ampun! Kita cuma cari sesuap nasi untuk anak istri kita!” salah satu pria yang sudah babak belur memohon-mohon.“Kembalikan barang istriku!” Devran merebut tas dan jam tangan Nayra.Tidak sulit membelikan lagi Nayra barang-barang mahal untuknya. Tapi tindakan mencuri atau merampok tentu tidak bisa dibenarkan dan dibiarkan begitu saja.Tapi, kali ini Devran bermurah hati. Dia tidak berlanjut mempolisikan mereka. “Pergi sebelum aku berubah pikiran!” ketusnya pada mereka.Sedikit tergesa sembari menyeret teman yang pingsan mereka pun langsung masuk ke dalam mobil dan meluncur menghilang.Saat itu Devran berbalik dan melihat Nayra berlari kecil untuk melihat Devran. Namun Ananda masih mempengaruhi Nayra.“Devran tidak kenapa-kenap
“Aku dengar, Devran melaporanku ke organisasi dokter. Tidak tahu benar atau tidaknya, tapi aku yakin undangan itu untuk menyidangku.” Ananda mengutarakan keresahannya pada Nayra.Pria itu tahu Nayra tidak mengerti apa-apa. Kalau dia membuka sedikit saja memori saat Nayra sebelum amnesia, yakin lah dia bisa memporak porandakan hubungan Devran dan Nayra kembali.“Ke-kenapa Mas Devran melaporkan Dokter? Apa ada yang salah?” Nayra bingung dan heran.“Dia...” Ananda hendak mengatakan sesuatu, tapi mendadak terhenti karena seorang wanita menghampiri mereka.“Mas Nanda?” tegurnya. Raut wajahnya resah dan sedih. Membuat Ananda juga Nayra menatapanya heran.Nayra terkejut karena dia mengenalnya. “Lho, kamu kan yang...”Belum juga berlanjut ucapan Nayra, Ananda memotongnya. “Nay. Dia putri teman mamaku. Aku izin ngobrol sebentar, ya? Sebentar saja, kok!”Nayra tentu mengiyakan. Aulia diminta menemani Nayra dulu sembari menunggunya membereskan masalah dengan gadis satu ini.“Apa maumu, Yasmin?
“Terima kasih atas sarannya, Nyonya. Sebaiknya Anda keluar karena saya banyak pekerjaan hari ini.” Devran tak peduli. Dia mengabaikan Tamara dengan duduk di kursi kerjanya dan menghubungi sekretarisnya.“Rudi, bawakan aku dokumen kontrak kerjasama dengan perusahaan Malaysia. Aku mau pelajari dulu!”Tamara masih belum menyerah mengusik sang putra. Dia menjalankan kursi rodanya mendekati meja kerja Devran. Sedikit melembutkan suaranya dia menyampaikan, “Papamu ulang tahun hari ini, kau tidak mau mengucapkannya?”Devran menampakkan ketidakpeduliannya dengan memeriksa ponselnya. Terasa geli saja di telinganya mendengar Tamara menyebutkan papa untuk Ludwig.“Dev?” Tamara meminta perhatian putranya itu. “Hargai sedikit keberadaannya di hidupmu, Dev. Dia ayah biologismu. Dia orang pertama yang sangat bahagia mendengar mama hamil.”Devran menghela napas. Kalau tidak disudahi, wanita ini tidak akan berhenti menganggu waktunya. Memang seperti itulah mamanya.“Sudah tua juga ulang tahun, kayak
Tatapan Nayra membulat mendengar Devran kembali ingin mengukungnya. Tapi dia jadi ingin menggoda Devran. “Kalau sama gadis cantik selalu ada yang mendesak ya, Mas?”Sialnya yang Nayra tahu, pria ini selalu dikelilingi wanita cantik.Jadi ingat Damayanti yang super model itu. bukan hanya cantik, tentu saja bodinya juga seksi. Semua pria pasti setuju Damayanti itu wanita yang bisa memuaskan visual para pria.Kalau begini, Nayra kembali tergoda membayangkan, saat Devran berpacaran dengan Damayanti, seheboh apa pergulatan mereka di atas ranjang?Hal itu selalu membuatnya cemburu.“Maksudnya apa ngomong begitu? Mau bertengkar lagi?” Devran menaikan alisnya tidak suka Nayra memancing-mancing pembahasan. “Ya, gimana? Mas Devran kalau di ranjang buas banget kayak srigala lapar. Enggak mungkin juga kan dulu-dulu enggak begini?”Nayra sudah berbesar hati saat awal-awal tahu kehidupan Devran. Bahwa semua itu masa lalu. Tapi terkadang, dia juga penasaran.“Ya gimana? Emang suamimu ini pejantan t
“Orang merem melek keenakan begitu, ngapain juga kemarin nolak-nolak?” Sindir Devran kala selesai kegiatan olahraga pagi mereka pada Nayra yang tampak terkulai lemas namun bibirnya tak berhenti menyunggingkan senyum.“Gimana enggak nolak? Mas Devran kan yang lebih dulu nolak aku. Melorot banget harga diriku ditolak begitu, Mas. Kesannya aku ini enggak banget di mata Mas Devran.” Nayra mengungkapkan perasaannya kala itu.Mereka sudah sama-sama pelepasan dan lega satu sama lain melewati sikap saling kesal dan ingin membalas. Karenanya, obrolannya pun sudah kembali santai tanpa ada otot dan ego yang tak mau kalah.“Jangan overthinking begitulah, masa sampai sebegini kau masih meragukan cintaku? Enggak pernah lho aku seperti ini dulu sama perempuan. Cuma sama kamu sampe aku bela-belain hampir gila.” Devran memberitahu gadis yang selalu meragukannya ini.“Kapan Mas Devran begitu?” Nayra hampir tak percaya.“Kamu memang tak pernah percaya sama aku, tapi kalau Ananda yang ngomong, enggak ben