Tepat satu minggu, Mas Rayyan masih belum sadarkan diri. Aku rutin mengunjunginya setiap hari dan menemaninya sampai sore. Tiga hari ini aku sudah mulai merasakan kencang-kencang pada pinggang dan perutku. Aku tahu ini kontraksi palsu. Aku rajin berjalan-jalan selama menunggui Mas Rayyan.
Hari ini aku ditemani Mamah dan Rania. Raisa tadi pagi menengok kakaknya sebentar, bagaimanapun dia juga punya anak kecil yang masih butuh dijaga. Jadi tak bisa ikut menjaga kakaknya."Gimana Na? Masih suka kenceng-kenceng gak?""Masih Mah.""Kontraksinya sehari berapa kali?""Cuma pas malem sama pas pagi aja Mah.""Owh, Keluar lendir atau flek gak Sayang.""Enggak Mah.""Mamah jadi inget, waktu lahirin Rayyan gampang banget. Waktu itu Mas Surya lagi di Jakarta. Mamah cuma sama pembantu. Waktu itu Mamah panik banget tapi berusaha tenang. Alhamdulillah pembukaannya cepet," kenang Mama. Namun, mata Ibu mertuaku berkaca-kaca."DiAku tengah berbaring miring ke arah kiri menikmati rasa sakit akibat pembukaan jalan lahir. Sudah lima jam aku menahan sakit yang luar biasa. Ibu dengan setia menemaniku. Saat air ketubanku pecah, Mamah langsung membawaku menuju Margono bersama Rania. Papah Surya yang akhirnya menjaga Mas Rayyan bersama Michael, suami Raisa."Istighfar sayang." Ibu terus menyemangatiku."Iya Bu.""Ibu usap-usap ya?""Iya Bu."Ibu terus mengusap-usap punggungku. Terasa nyaman sekali, sedikit mengurangi rasa sakit yang kurasakan. Kulihat wajah ibuku yang terlihat khawatir namun berusaha tegar dihadapanku.Dokter Prita kebetulan sedang bertugas sehingga aku langsung bisa ditangani olehnya."Mbak cek dulu ya Na?""Iya Mbak." Mbak Prita langsung mengecek sudah masuk bukaan berapa."Sudah jalan tiga, Na. Tahan ya. Biasanya cepet kalau sudah begini.""Iya Mbak.""Aku ngecek pasien yang lain dulu ya Na," ucapnya.Aku hanya bisa mengangguk, te
POV RayyanBrakkk... Blummm... Brakkk."Nasha..."Aku membuka mataku, aku masih di dalam mobil. Posisi mobilku terbalik ke kanan. Area bahu kananku sakit, sepertinya ada yang patah mungkin tulang selangka. Rembesan darah keluar dari area kepala bagian kananku. Mungkin karena terkena serpihan kaca. Nafasku agak tersendat. Beberapa orang berusaha membalik mobilku, aku mendengar mereka bersuara walau samar. Nasha... Hanya nama istriku yang kuingat. Ya Allah kalau aku boleh meminta, beri aku kesempatan untuk bersamanya sampai aku tua.Aku merasakan tubuhku ditarik oleh beberapa orang."Mas, Mas bisa dengar gak?""Mas, astaghfirullah Masnya terluka.""Hati-hati.""Pelan-pelan nariknya.""Kamu coba pegang yang sana!"Aku hanya bisa mendengar percakapan mereka tanpa mampu menjawab. Mereka bergotong royong mencoba mengeluarkanku dan berhasil. Beberapa orang mengangkatku dan membawaku menuju mobil bak terbuka yang entah mereka dapat dar
POV NashaDua hari aku dirawat di rumah sakit. Setelah dicek keadaanku dan si kembar kami akhirnya pulang menuju rumah kedua orangtuaku. Sebelumnya kami mampir sebentar ke Orthopedi dengan mengajukan ijin menemui suamiku. Untung nama Mas Rayyan kategori dikenal oleh rekan sesama dokternya dan pihak rumah sakit pun mengijinkan.Tangis bahagia Mas Rayyan tak dapat dibendung, karena belum bisa bergerak leluasa si kembar hanya bisa ditaruh dalam dekapan sang Ayah bergantian. Begitupun denganku yang memeluknya mesra sebagai tanda kerinduan.*****Malam nanti acara akikah dan pemberian nama kedua putraku. Usia si kembar sudah seminggu. Keadaan Mas Rayyan sedikit membaik. Tangan kirinya sudah leluasa digerakkan sedangkan bahu kanannya harus menggunakan shoulder support.Mas Rayyan berubah menjadi bayi tua manja. Sebentar-sebentar meminta Rania meneleponku. Aku yang tengah sibuk mengurusi si kembar kadang tidak mengangkat teleponnya. Dan dia jadi marah-marah."
17 Tahun Kemudian"Mah, mana sepatu Royyan?""Mah, lihat buku Reihan gak?""Mah, kucirin rambut Fiqa.""Dek. Kamu lihat dasi warna biru punyanya Mas gak?""Nyam... Nyam... Nyam... Agi... Agi... Nak... Nak."Aku menghembuskan nafasku. Teriakan empat orang terkasihku sudah menggema rupanya. Inilah drama pagiku setiap hari. Padahal setiap malam aku sudah memastikan semua keperluan mereka tanpa sedikitpun yang terlupa. Tetapi pada prakteknya selalu begini."Roy, sepatu kamu di teras depan dekat pot bunga, kamu kemarin lupa asal naruh disana," teriakku."Rei, buku kamu ada di nakas dekat televisi, kamu tadi malam bawa kesana sambil nonton TV.""Mas, dasi Mas Rayyan ada di laci nomer dua.""Fiqa sini Nduk, ambil sisir, gelang karet sama jepitannya.""Oke Mah," seru semuanya kompak.Aku pun melanjutkan menyuapi Fina yang masih berusia tiga tahun. Anak keempatku yang kehadirannya tidak kusadari. Aku pikir aku gak baka
"Dek..." seru Mas Rayyan."Dalem," ucapku sambil memakaikan baju pada si bungsu, Rafina."Mana dompet Mas?"Aku menghembuskan nafasku kasar. Duh suamiku ini gak pernah berubah. Sikap pelupanya itu loh. Untung cinta."Di meja kerja coba cari!"Hening."Gak ada," teriaknya."Coba di meja rias Mas, kalau enggak di lacinya kalau enggak di kasur. Tadi malam kayaknya Mas ngambil uang buat beli bakso dech." Aku melanjutkan mendandani putri kecilku."Gak ada Dekkkkk."Huft... Setelah selesai dengan putri bungsuku, aku segera masuk ke kamar melewati Mas Rayyan yang sibuk memporak-porandakan kamar. Lalu langsung mencari dompet Mas Rayyan yang ngumpet di sela-sela tumpukan bantal."Ini apa Mas?" aku menyerahkan dompet kepadanya.Dia cuma menampilkan senyum pepsodentnya. Duh, manis."Mas... Mas... Sifat pelupa kok dipelihara, makanya kalau naruh barang penting itu jangan sembarangan. Taruh dong ditempatnya," omelku."Hehehe. Gak p
1. Naira"Assalamualaikum. Gimana Mas?" suara adik jutekku di seberang sana."Mas lagi ada kerjaan mendadak. Mesti balik dulu ke Cilacap sekalian pulang. Kamu nanti mau nitip dibawain apa?" sahutku."Gethuk sama keripik tempe buatan Eyang putri ya Mas.""Oke. Hati-hati ya kamu. Apa aku suruh Elang buat jemput kamu.""Plis deh Mas, aku udah gede kali gak usah main jemput kenapa?""Hahaha. Okelah. Hati-hati ya adekku yang paling jutek tapi gak paling cantik." Aku memutuskan sambungan telepon dengan Fiqa kemudian kuhubungi seseorang."Gimana Roy?" Suara seseorang diseberang sana."Katanya kamu lagi ikut temenmu ya menyelidiki sebuah kasus di Jogja?""Iya bener? Kenapa?""Bisa nitip adik jutekku bentar gak malam ini?""Hahaha." Terdengar suara tawa di seberang sana."Kenapa kamu ketawa?""Karena kamu lucu Roy, lupa adikmu itu pemegang sabuk hitam.""Iya, tetep aja aku was-was. Soalnya dia lagi main ke club.""B
POV AyanaSuasana riuh tengah berlangsung di sebuah hotel. Maklumlah ini adalah pernikahan istimewa yang melibatkan dua keluarga besar dan terpandang. Dekorasi mewah, makanan yang mewah serta para tamu dengan penampilan wah persis dengan penampilanku yang juga sangat mewah dan wah.Aku hanya duduk sambil menatap wajahku di cermin. Cantik. Aku hanya tersenyum.Ceklek.Suara pintu terbuka mengalihkan perhatianku. Aku tersenyum membalas senyuman ramah dari seseorang."Mas Arfan.""Aya. Kamu cantik sekali.""Terima kasih, Mas."Mas Arfan menatapku tajam membuatku kikuk. Sungguh tatapannya membuatku canggung. Kecanggunganku terhenti dengan kedatangan pria lain yang tak kalah tampan dengan Arfan. Amir, calon suamiku."Kamu cantik sekali Aya. Aku gak sabar segera menjalani malam pertama kita," ucapnya santai.Aku sungguh malu mendengar omongannya sedangkan Mas Arfan terlihat membuang muka."Ayok. Kita keluar Sayan
POV RoyyanKeluarga kami sedang dilanda entah bahagia entah musibah. Bingung ngomongnya. Jadi, adik nomer tigaku si Rafiqa Nara Paramitha bikin geger. Dia minta dinikahkan sama cowok yang melamar dia kemarin di hari wisuda kami. Namanya Elang. Ckckck. Papah dan Mamah sempat kaget tapi Papah mengijinkan mereka menikah setelah Elang dan kedua orang tuanya datang melamar.Sebenarnya aku sempat heran dengan Papah. Papah itu tipe ayah yang posesif banget tapi kok dengan gampangnya mengijinkan Fiqa nikah sama tuh si Elang. Seperti bukan Papah banget.Fiqa juga aneh. Aku tahu selama ini Elang ngejar-ngejar Fiqa. Tapi bukannya Fiqa cuek ya? Kok ini mau-maunya dilamar dia? Dadakan lagi, nikahnya juga terkesan dadakan, hem ... jadi curiga.Aslinya aku agak gimana gitu pas tahu calonnya Fiqa namanya Elang. Haduh, aku jadi kepikiran sahabatku sejak SMP itu, gimana ya perasaannya kalau sampai tahu Fiqa mau nikah. Calonnya Fiqa namanya sama pula ma dia.
"Dek, maafin Mas ya. Mas khilaf. Janji ini yang terakhir khilafnya." Aku hanya bisa menghembuskan nafas. Dulu sekali Mas Rei juga bilangnya khilaf tapi ini malah khilaf lagi. "Dek, jangan marah ya. Senyum dong." "Buat apa marah Mas? Toh udah kejadian bukan?" sahutku sinis. "Iya juga sih. Tapi Mas seneng kok bisa khilaf terus." "Ck." Aku mencebik dan mencubit perutnya. Dasar. Mas Reihan hanya tertawa, sesekali mencium tanganku dan keningku. Bahkan aku yakin kalau gak ada orang, pasti dia sudah mengajakku adu bibir. Haish. Punya suami kok gini amat, untung aku cinta. Mungkin karena aku diam saja Mas Reihan kembali membujukku dengan kata-kata manis. "Iya, iya nanti Mas lebih hati-hati tapi khilafnya gak bakalan ilang, Sayang." Dia mengucap dengan seringai jahil. Dih, dasar! Aku memilih mengerucutkan bibir. Bodo amat kelihatan jelek. Salah sendiri tuh Kulkas jadiin aku istri. Jadi harus terima dong lahir batin kecantikan sama kejelekanku kalau lagi ngambek. "Udah jangan marah ya B
"Kalian gak bawa baby sitter?" tanya Joshua."Gak.""Gak kerepotan?""Enggaklah," jawab Mas Reihan cuek."Kalian kok bisa cuma punya ART sekaligus pengasuh bayi tanpa pakai jasa baby sitter sih?""Ya bisalah," ucap Mas Reihan."Kok Zaza bisa ya ngajar sekaligus bisa kasih ASI. Eksklusif lagi.""Istriku gitu loh.""Iya-iya yang istrinya paling cantik, paling pinter, paling ter-semua pokoknya.""Harus. Kan istri sendiri bukan istri orang lain.""Ck. Dasar Dokter Kulkas." Joshua mengumpati suamiku. Lalu dia bergegas mengikuti gadis cilik yang berlari hendak bermain dengan air.Aku hanya bisa menahan tawa melihat bagaimana interaksi suamiku dengan para sahabat sekaligus rekan kerjanya."Mimik muka suamimu loh Za, gak berubah. Bisa datar gitu. Kok kamu mau sih nikah sama dia.""Eh Bu Mila." Aku menyalami Bu Mila, salah satu istri dari rekan Mas Reihan. Dokter Siswo, spesialis jant
Sepuluh hari aku dan Baby Twins di rumah sakit. Kini kami kembali ke Sokaraja dan disana aku dan Twins disambut oleh seluruh keluarga. Bahkan, Tante Raisa sekeluarga pun datang.Malamnya acara akikah kedua anakku diselenggarakan dengan meriah. Sebetulnya acara akikah standar, hanya saja malam ini semua keluargaku dan Mas Reihan datang jadi sangat ramai.Seperti biasa Royya dan Rael akan bertengkar. Kali ini mereka bertengkar memperebutkan siapa yang jadi saudara ketiga. Astaga.Acara akikah sudah selesai dari tadi tapi kami masih sibuk bercengkrama. Aku yang merasa lelah meminta ijin untuk ke kamar lebih dulu, tentu saja dengan diantar oleh Mas Reihan."Mas temeni yang lain aja. Rana gak papa sama Twins.""Oke. Tidur yang nyenyak ya Dek.""Iya."Mas Reihan mencium pipi Twins dan terakhir mencium keningku mesra."Tidur ya, Mas keluar dulu.""Oke."Aku merebahkan diri di samping si kembar. Kami memutuskan meme
"Mereka luar biasa Mas.""Iya. Sangat luar biasa."Aku dan Mas Reihan tengah menatap baby twins. Keduanya benar-benar luar biasa. Mereka adalah hadiah terindah bagi kami setelah tiga tahun penantian. Aku bersyukur, Allah memberi kami kepercayaan dua buah hati sekaligus. Mana kembar sepasang lagi.Cup.Aku menoleh ke arah Mas Reihan. Lalu mencubit perutnya."Mas!" bentakku sambil memelototinya. Dasar! Suka sekali cari kesempatan."Apa? Hem ...." Dia hanya tersenyum dan menatapku jahil. Bahkan tangannya sudah memainkan kerudungku dari tadi dan diputar-putarnya."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Refleks Mas Reihan menghentikan aksi anehnya dan berdiri menyambut tamu yang datang."Zazaaaaa.""Yayaaaa."Yaya menuju ke ranjangku. Dia langsung memelukku dan aku balik memeluknya, heboh pokoknya. Aku menyambut uluran tangan semua rekan kerjaku yang datang."Wah ganteng dan cantik ya Za
POV RanaAku terbangun di sebuah hamparan pasir yang indah. Kutatap sekelilingku. Pantai?Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Sepi. Kemana semua orang?Mana Mas Reihan? Dan ... kenapa perutku kempes? Dimana bayiku? Aku panik. Aku mencoba berlari mencari orang-orang tapi tak ada satupun yang kutemui. Hingga kulihat sebuah perahu di sana. Aku berlari menuju perahu yang masih berada di bibir pantai sepertinya mereka akan berlayar."Permisi ... permisi. Bolehkah sa-" Aku tertegun. Mataku berkaca-kaca. Aku segera berlari menyongsong kedua orang yang sangat kurindu."Ayah, Bunda, Rana kangen." Kedua orang tuaku memelukku. Lama kami berpelukan."Kalian mau kemana?""Berlayar," ucap Ayah."Boleh Rana ikut?""Boleh," kini Bunda yang menyahut.Aku menggenggam tangan Ayah dan Bunda di kanan kiriku. Aku bahagia sekali. Kami berjalan bergandengan tangan dan akan naik ke perahu. Ayah yang pertama naik, kemudian Ayah mengulurkan t
Sudah tiga hari, Rana masih tak sadarkan diri. Menurut ahli obgyn, perut Rana mengalami benturan yang cukup keras. Namun tak membahayakan rahimnya. Aku masih ingat, bagaimana Rana berkutat dengan Karina yang ingin memukul perutnya saat itu. Berulangkali dia menghalangi tinju Karina. Ya Allah. Semoga Engkau membalas perlakuan Karina sesuai dengan tindakannya, amin.Pembersihan rahim juga sudah dilaksakan. Nindy bilang, tak ada masalah. Ketidaksadaran Rana diakibatkan kelelahan dan pasokan oksigen ke otak yang hampir saja berkurang.Selama tiga hari ini kondisi baby twins mulai stabil. Mereka sudah dipindahkan ke ruang anak. Bersyukur Aya dan Fiqa memiliki ASI yang melimpah. Riyyan dan Ela juga sudah berusia satu tahun dan sudah makan. Jadi, ibu mereka bisa mendonorkan ASI-nya untuk kedua anakku."Kondisi mereka sudah stabil." Mamah menghampiriku dan mengelus kedua pipi cucu kembarnya. Mamah habis melaksanakan sholat tahajud di masjid."Iy
"Dek ... Dek," panggilku.Rana tersenyum kearahku. Aku menggenggam tangannya dan sesekali menciumnya."Kamu bisa. Kamu bilang kamu ingin mereka selamat kan?"Dia mengangguk, dengan susah payah Rana menahan rasa sakitnya. Aku tahu pembukaan sudah sempurna hanya saja Rana mungkin sudah tak punya tenaga untuk mengejan. Sementara perjalanan kami masih lama."Eghhh ... huft ... egghhh ....""Dorong sayang, ingat Allah, ingat anak kita. Kamu mau mereka selamat kan? Ingat, surga kita ada pada mereka Sayang?"Rana menatapku dengan mata berkaca, entah kenapa aku seperti melihat pancaran semangat dalam matanya.Meski susah payah Rana berusaha mengejan dan aku mencoba membantunya. Rana terus mengejan hingga tangisan pertama keluar."Eaaaaa ...."Aku segera mengeluarkan bayiku, melepas bajuku dan kuselimuti bayi lelakiku."Mbak, pegang!""Oke."Setelah menyerahkan kepada rekan Elang, aku segera menyemangati Rana
POV ReihanAku membaca chat dari Rana yang meminta ijin menjenguk Diva yang sedang sakit. Aku pun mengijinkannya.Hampir satu jam kemudian HP-ku berdering terus. Aku mengeceknya. Pak Yadi."Kenapa Pak?""Mas Rei, Mbak Zaza gak ada. Tadi saya disuruh beli apel sama Mbak Zaza. Eh pas balik mereka udah gak ada.""Oke. Kamu tetap tunggu disitu. Cari terus."Aku segera mematikan sambungan dan menghubungi Elang."El, tolong lacak Rana. Dia menghilang.""Oke."Aku segera mengambil kunci mobilku dan berpesan pada Suster Dira untuk meminta bantuan Dokter Joko menangani pasien-pasienku. Aku berlari menuju ke mobil. Entah kenapa firasatku tak enak."Iya El, bagaimana?""Mereka ke arah Baturaden. Aku sharelock lokasinya. Aku dan kawan-kawan menuju kesana."Aku segera memacu mobilku dengan kecepatan maksimal yang aku bisa. Kurang lebih tiga puluh menit aku sampai di sebuah vila. Aku parkir di tempat j
Karina kembali mengelus perutku dengan penuh pemujaan sedangkan aku benar-benar ketakutan. Karina menatapku dengan seringai jahat.Bugh."Aw ...." Aku meringis karena Karina memukul perutku.Aku merintih menahan rasa sakit."Kak Karin jangan!""Hahahaha."Karina menatapku dengan tatapan penuh kebencian. Aku masih berusaha menahan rasa sakit."Kamu tahu, ibuku benar-benar wanita menjijikkan. Entah berapa pria yang pernah tidur sama dia. Sungguh menyebalkan." Karina menoleh ke arah Dinda. Kemudian dia mengelus pipi Dinda membuat Dinda ketakutan bahkan berusaha memalingkan wajahnya."Aku dan Dinda berasal dari rahim yang sama namun ayah berbeda. Dan yang menyebalkan, kami tak tahu siapa mereka.""Bukannya kakak, anak mendiang Dokter Wijaya?" cicit Dinda."Hahaha. Bukan! Sayangnya bukan! Kalau bukan karena otak cerdikku dan keinginan Ibu kita untuk lepas dari kemiskinan, tak mungkin aku bisa sampai disini."