POV Royyan
Keluarga kami sedang dilanda entah bahagia entah musibah. Bingung ngomongnya. Jadi, adik nomer tigaku si Rafiqa Nara Paramitha bikin geger. Dia minta dinikahkan sama cowok yang melamar dia kemarin di hari wisuda kami. Namanya Elang. Ckckck. Papah dan Mamah sempat kaget tapi Papah mengijinkan mereka menikah setelah Elang dan kedua orang tuanya datang melamar.
Sebenarnya aku sempat heran dengan Papah. Papah itu tipe ayah yang posesif banget tapi kok dengan gampangnya mengijinkan Fiqa nikah sama tuh si Elang. Seperti bukan Papah banget.
Fiqa juga aneh. Aku tahu selama ini Elang ngejar-ngejar Fiqa. Tapi bukannya Fiqa cuek ya? Kok ini mau-maunya dilamar dia? Dadakan lagi, nikahnya juga terkesan dadakan, hem ... jadi curiga.
Aslinya aku agak gimana gitu pas tahu calonnya Fiqa namanya Elang. Haduh, aku jadi kepikiran sahabatku sejak SMP itu, gimana ya perasaannya kalau sampai tahu Fiqa mau nikah. Calonnya Fiqa namanya sama pula ma dia.
POV AyanaMalam ini, pertama kalinya aku merasakan kehangatan keluarga. Ada ayah, ibu, kakak dan adik. Sesuatu yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.Aku tahu Fiqa punya kakak kembar. Dan aku tahu pula yang kutemui sejak tadi itu Royyan. Entah kenapa aku bisa membedakan kedua kakak Fiqa dari sorot matanya. Mereka berdua sama-sama ganteng hanya saja entah kenapa dari awal, aku selalu terpesona pada tatapan Mas Royyan. Tatapan matanya sangat lembut mirip mendiang papahku.Aku kehilangan kedua orang tuaku saat masih kecil. Katanya saat usiaku satu tahun. Mereka meninggal karena kecelakaan pesawat saat akan pergi ke Malaysia.Aku tak pernah tahu seperti apa wujud aslinya, hanya berupa lembaran foto yang tertangkap melalui retina mataku.Eyangku Aditya Pratama salah satu pengusaha tekstil terkenal di Jakarta. Kami memiliki darah Jawa, katanya. Tapi aku tak tahu Jawa bagian mana tepatnya. Karena yang kutahu sejak dulu aku tinggal di Jakarta.
POV RoyyanAku menyandarkan tubuhku pada sofa ruang tamu. Capeknya. Berangkat pagi pulang malam. Sebulan ini pekerjaanku benar-benar melelahkan. Wuih."Mas ...," bisik sebuah suara lembut."Astaghfirulloh! A ... Andita." Aku kaget, ART yang direkomendasikan Mbok Ijah tiba-tiba datang menghampiriku."Mas Royyan baru pulang?""Iya.""Mau saya masakin air anget Mas, mau saya bikinin kopi atau mau saya pijitin," tawarnya."Gak usah! Sudah sana kamu tidur aja."Aku memilih segera masuk ke kamarku. Fuih.Andita itu ART yang baru bekerja selama seminggu di rumahku, dia cucu tetangganya Mbok Ijah. Gadis berusia 20 tahunan yang katanya gak bisa melanjutkan kuliah karena terhalang biaya. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang aneh padanya.Dia itu seperti sengaja menggodaku. Seringkali kudapati dia berpakaian yang terlalu terbuka, belum lagi tingkah lakunya yang seperti berusaha menggodaku. Aku bingung, takutnya mem
POV AyanaSebulan sudah aku berada di tempatnya Fiqa. Selama sebulan ini Fiqa mengajakku muter-muter kawasan Sokaraja dan Purwokerto. Bahkan aku sering diajak main ke pantai di kawasan Cilacap seperti Teluk Penyu, Jetis, Widara Payung dan lainnya. Bahkan dia mengajakku menginap di Baturaden, 'puncak' ala Banyumas ceritanya.Saat aku sedang menuju ke dapur untuk mengambil minum, aku mendengar suara orang marah dan seseorang lagi seperti menangis. Jiwa kepoku keluar pemirsah, akhirnya aku menempelkan telingaku ke tembok untuk mengupingnya. Persis cicak nemplok di dinding posenya. Hihihi."Kamu itu sudah Mbok bilangin. Kalau mau kerja ya kerja bukannya menggoda." Kudengar suara Mbok Ijah seperti sedang memarahi seseorang."Tapi Dita suka sama Mas Royyan, Mbok? Lagian kan Dita cantik, Dita ini primadona di kampung loh. Masa gak bisa bikin Mas Royyan klepek-klepek. Gak papa gak dijadiin istri, jadi pacarnya atau simpanannya juga gak papa, Dita ikhlas Mbo
POV Royyan"Mas Roy mau ke Cilacap?""Iya. Nih mau berangkat, kenapa?" Kujawab pertanyaan Ayana sambil memakai sepatu."Mas ... belum dapat ART yang cocok kan?""Belum masih nyari nih. Kenapa?" Aku mengernyit melihat mata Aya yang tadi nangis bombay menjadi berbinar."Jadiin Aya upik abunya Mas Royyan ya," ucap Aya."APA!"Bukan hanya aku dan Fiqa yang kaget. Mamah dan Papah yang akan berangkat kerja pun kaget mendengar permintaan Ayana."Ya ... ya ... ya." Nah kan, dia malah menatap kami semua dengan sorot mata memelas yang bikin semua orang jadi gak tega buat nolak. Hadeh.?????"Aya yakin mau jadi ART-nya Roy?" Mamah memulai interogasi."Yakin Tante, lagian Aya udah terbiasa dengan kerjaan rumah tangga.""Tapi Royyan cowok loh, Aya gak takut dicaplok sama Roy?"Wadaw. Apa maksud Papah sih? Dipikir anaknya buaya apa? Main caplok orang segala."Gak kok Om, kalau Mas Roy nga
POV RoyyanGenap enam bulan Ayana menjadi upik abu cantikku. Kadang aku mikirnya dia itu bukan upik abu tapi istriku. Mana ada upik abu yang suka memarahi majikan gantengnya. Kayaknya cuma Ayana deh. Seperti pagi ini misalnya."Mas Roooooooyyy."Haduh drama pagiku dimulai. Tutup kuping! Tutup kuping!"Mas Roy ... udah Aya bilang naruh handuk itu di hanger atau di tempat handuk, dijembreng jangan main asal naruh, handuknya nanti jadi jamuran belum lagi basah dimana-mana.""Ini lagi udah dibilang kaus kaki selipin aja di sepatu kalau gak mau naruh di keranjang. Malah naruh kemana-mana, bau tahu.""Mas ... udah Aya bilangin jangan kebanyakan ngopi, masa sehari mau lima kali.""Tapi mas gak merokok Ay?""Gak merokok tapi ngopi sampai lima kali, gak sehat buat jantungnya. Ini ganti jus lebih sehat.""Mas ... udah dibilangin kalau mau bantu nyuci, masukin baju ke mesin cuci lihatin sakunya dulu. Lihat nih jadi kotor kan. Bisa-bisanya naruh pulp
Aku menoleh kearah Fiqa, raut mukanya memerah ketika melihat Elang dan Ayana berpelukan. Dia seperti ingin meremukkan sesuatu. Apa dia seperti aku, merasa ... cemburu. Oh tidak. Fiqa juga tampak menggeleng-gelengkan kepalanya."Kamu cemburu?" lirihku."Enggak." Fiqa memalingkan mukanya terlihat sebal."Kamu kok disini? Eyang Aditya nyari-nyari kamu terus loh. Sampai sakit juga." Kudengar Elang mulai bicara."Habis Eyang nyebelin, main jodohin aku segala. Mana calonnya buaya cap kadal buntung juga," sungut Ayana."Tapi gak maen kabur gini juga kali Ayana.""Tau ah. Kok Mas El disini?""Kamu lupa ya, Purwokerto itu tanah kelahiranku, Papahku, sama Eyang kamu.""Ooo. Apa?!" pekik Ayana."Jadi?" Ayana melihat ke arah Elang dengan tatapan tak percaya."Jadi kamu itu punya darah Purwokerto tahu.""Hah? Jadi kampungnya Eyang Aditya sama Eyang Adinata itu Purwokerto?""Iya betul sekali."Elang kemudian baru menyada
POV Royyan"Brother," ucapku duduk di samping Reihan."Hem."Hening. Kulirik Reihan tengah berkutat dengan laptopnya."Kalau mau nikah, nikah aja. Jodoh siapa yang tahu, jangan sampai Ayana diambil yang lain," ucap Reihan."Belum juga ngomong kok tahu kalau aku mau curhat tentang Ayana," sahutku."Lupa kita kembar.""Hehehe. Bener. Kamu sendiri gimana Rei? Kamu normal, 'kan?"Pletak!"Sakit Rei." Aku mengusap-usap dahiku."Apa aku harus nyium seorang cewek di bawah taburan bintang biar semua orang tahu kalau aku normal?" sindir Reihan."Hehehe. Peace habis aku gak tahan Rei," ucapku sambil cengengesan."Jangan sampai kebablasan aja. Apalagi kalian sering berduaan.""Makanya ini pengin kuhalalin. Langsung lamar aja kali ya?""Harus, udah icip-icip juga."Aku cuma nyengir lagi tanpa dosa."Rei.""Hem.""Beberapa kali aku ketemu Karina, dia nanyain kamu terus ta
POV Ayana"Eyang sakit apa katanya Mas?""Penyakit tua kata dr. Susilo." Kelakar Mas Elang."Sudah baikan 'kan katanya?""Sudah."Hening."Huh! Eyang itu memang selalu menuruti apa maunya Aya, Mas. Sayang masalah jodoh otoriter banget," sungutku."Tenang. Eyang Adinata udah turun tangan. Bahkan Eyang Rukmini juga.""Beneran?""Iya. Waktu kegagalan pernikahan kamu dan kamu kabur. Eyangku marah-marah tahu. Lucu pokoknya, tahu sendiri kan Eyangku pensiunan TNI lebih galak dari Eyang kamu. Belum lagi Eyang Rukmini yang cerewetnya minta ampun. Hahaha.""Hahaha. Bisa Aya bayangin kalau Eyang pasti cuma bisa duduk menunduk gak bisa ngomong apa-apa sama kakak dan adiknya.""Betul sekali. Dua bulan sejak kamu kabur, Eyang Aditya drop. Semua usahanya diserahkan sama Gatot, cucu Eyang Rukmini.""Gatot udah selesai kuliahnya Mas?""Udah. Sekarang dia yang menghandel semua usaha Eyang kamu.""Syukur
"Dek, maafin Mas ya. Mas khilaf. Janji ini yang terakhir khilafnya." Aku hanya bisa menghembuskan nafas. Dulu sekali Mas Rei juga bilangnya khilaf tapi ini malah khilaf lagi. "Dek, jangan marah ya. Senyum dong." "Buat apa marah Mas? Toh udah kejadian bukan?" sahutku sinis. "Iya juga sih. Tapi Mas seneng kok bisa khilaf terus." "Ck." Aku mencebik dan mencubit perutnya. Dasar. Mas Reihan hanya tertawa, sesekali mencium tanganku dan keningku. Bahkan aku yakin kalau gak ada orang, pasti dia sudah mengajakku adu bibir. Haish. Punya suami kok gini amat, untung aku cinta. Mungkin karena aku diam saja Mas Reihan kembali membujukku dengan kata-kata manis. "Iya, iya nanti Mas lebih hati-hati tapi khilafnya gak bakalan ilang, Sayang." Dia mengucap dengan seringai jahil. Dih, dasar! Aku memilih mengerucutkan bibir. Bodo amat kelihatan jelek. Salah sendiri tuh Kulkas jadiin aku istri. Jadi harus terima dong lahir batin kecantikan sama kejelekanku kalau lagi ngambek. "Udah jangan marah ya B
"Kalian gak bawa baby sitter?" tanya Joshua."Gak.""Gak kerepotan?""Enggaklah," jawab Mas Reihan cuek."Kalian kok bisa cuma punya ART sekaligus pengasuh bayi tanpa pakai jasa baby sitter sih?""Ya bisalah," ucap Mas Reihan."Kok Zaza bisa ya ngajar sekaligus bisa kasih ASI. Eksklusif lagi.""Istriku gitu loh.""Iya-iya yang istrinya paling cantik, paling pinter, paling ter-semua pokoknya.""Harus. Kan istri sendiri bukan istri orang lain.""Ck. Dasar Dokter Kulkas." Joshua mengumpati suamiku. Lalu dia bergegas mengikuti gadis cilik yang berlari hendak bermain dengan air.Aku hanya bisa menahan tawa melihat bagaimana interaksi suamiku dengan para sahabat sekaligus rekan kerjanya."Mimik muka suamimu loh Za, gak berubah. Bisa datar gitu. Kok kamu mau sih nikah sama dia.""Eh Bu Mila." Aku menyalami Bu Mila, salah satu istri dari rekan Mas Reihan. Dokter Siswo, spesialis jant
Sepuluh hari aku dan Baby Twins di rumah sakit. Kini kami kembali ke Sokaraja dan disana aku dan Twins disambut oleh seluruh keluarga. Bahkan, Tante Raisa sekeluarga pun datang.Malamnya acara akikah kedua anakku diselenggarakan dengan meriah. Sebetulnya acara akikah standar, hanya saja malam ini semua keluargaku dan Mas Reihan datang jadi sangat ramai.Seperti biasa Royya dan Rael akan bertengkar. Kali ini mereka bertengkar memperebutkan siapa yang jadi saudara ketiga. Astaga.Acara akikah sudah selesai dari tadi tapi kami masih sibuk bercengkrama. Aku yang merasa lelah meminta ijin untuk ke kamar lebih dulu, tentu saja dengan diantar oleh Mas Reihan."Mas temeni yang lain aja. Rana gak papa sama Twins.""Oke. Tidur yang nyenyak ya Dek.""Iya."Mas Reihan mencium pipi Twins dan terakhir mencium keningku mesra."Tidur ya, Mas keluar dulu.""Oke."Aku merebahkan diri di samping si kembar. Kami memutuskan meme
"Mereka luar biasa Mas.""Iya. Sangat luar biasa."Aku dan Mas Reihan tengah menatap baby twins. Keduanya benar-benar luar biasa. Mereka adalah hadiah terindah bagi kami setelah tiga tahun penantian. Aku bersyukur, Allah memberi kami kepercayaan dua buah hati sekaligus. Mana kembar sepasang lagi.Cup.Aku menoleh ke arah Mas Reihan. Lalu mencubit perutnya."Mas!" bentakku sambil memelototinya. Dasar! Suka sekali cari kesempatan."Apa? Hem ...." Dia hanya tersenyum dan menatapku jahil. Bahkan tangannya sudah memainkan kerudungku dari tadi dan diputar-putarnya."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Refleks Mas Reihan menghentikan aksi anehnya dan berdiri menyambut tamu yang datang."Zazaaaaa.""Yayaaaa."Yaya menuju ke ranjangku. Dia langsung memelukku dan aku balik memeluknya, heboh pokoknya. Aku menyambut uluran tangan semua rekan kerjaku yang datang."Wah ganteng dan cantik ya Za
POV RanaAku terbangun di sebuah hamparan pasir yang indah. Kutatap sekelilingku. Pantai?Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Sepi. Kemana semua orang?Mana Mas Reihan? Dan ... kenapa perutku kempes? Dimana bayiku? Aku panik. Aku mencoba berlari mencari orang-orang tapi tak ada satupun yang kutemui. Hingga kulihat sebuah perahu di sana. Aku berlari menuju perahu yang masih berada di bibir pantai sepertinya mereka akan berlayar."Permisi ... permisi. Bolehkah sa-" Aku tertegun. Mataku berkaca-kaca. Aku segera berlari menyongsong kedua orang yang sangat kurindu."Ayah, Bunda, Rana kangen." Kedua orang tuaku memelukku. Lama kami berpelukan."Kalian mau kemana?""Berlayar," ucap Ayah."Boleh Rana ikut?""Boleh," kini Bunda yang menyahut.Aku menggenggam tangan Ayah dan Bunda di kanan kiriku. Aku bahagia sekali. Kami berjalan bergandengan tangan dan akan naik ke perahu. Ayah yang pertama naik, kemudian Ayah mengulurkan t
Sudah tiga hari, Rana masih tak sadarkan diri. Menurut ahli obgyn, perut Rana mengalami benturan yang cukup keras. Namun tak membahayakan rahimnya. Aku masih ingat, bagaimana Rana berkutat dengan Karina yang ingin memukul perutnya saat itu. Berulangkali dia menghalangi tinju Karina. Ya Allah. Semoga Engkau membalas perlakuan Karina sesuai dengan tindakannya, amin.Pembersihan rahim juga sudah dilaksakan. Nindy bilang, tak ada masalah. Ketidaksadaran Rana diakibatkan kelelahan dan pasokan oksigen ke otak yang hampir saja berkurang.Selama tiga hari ini kondisi baby twins mulai stabil. Mereka sudah dipindahkan ke ruang anak. Bersyukur Aya dan Fiqa memiliki ASI yang melimpah. Riyyan dan Ela juga sudah berusia satu tahun dan sudah makan. Jadi, ibu mereka bisa mendonorkan ASI-nya untuk kedua anakku."Kondisi mereka sudah stabil." Mamah menghampiriku dan mengelus kedua pipi cucu kembarnya. Mamah habis melaksanakan sholat tahajud di masjid."Iy
"Dek ... Dek," panggilku.Rana tersenyum kearahku. Aku menggenggam tangannya dan sesekali menciumnya."Kamu bisa. Kamu bilang kamu ingin mereka selamat kan?"Dia mengangguk, dengan susah payah Rana menahan rasa sakitnya. Aku tahu pembukaan sudah sempurna hanya saja Rana mungkin sudah tak punya tenaga untuk mengejan. Sementara perjalanan kami masih lama."Eghhh ... huft ... egghhh ....""Dorong sayang, ingat Allah, ingat anak kita. Kamu mau mereka selamat kan? Ingat, surga kita ada pada mereka Sayang?"Rana menatapku dengan mata berkaca, entah kenapa aku seperti melihat pancaran semangat dalam matanya.Meski susah payah Rana berusaha mengejan dan aku mencoba membantunya. Rana terus mengejan hingga tangisan pertama keluar."Eaaaaa ...."Aku segera mengeluarkan bayiku, melepas bajuku dan kuselimuti bayi lelakiku."Mbak, pegang!""Oke."Setelah menyerahkan kepada rekan Elang, aku segera menyemangati Rana
POV ReihanAku membaca chat dari Rana yang meminta ijin menjenguk Diva yang sedang sakit. Aku pun mengijinkannya.Hampir satu jam kemudian HP-ku berdering terus. Aku mengeceknya. Pak Yadi."Kenapa Pak?""Mas Rei, Mbak Zaza gak ada. Tadi saya disuruh beli apel sama Mbak Zaza. Eh pas balik mereka udah gak ada.""Oke. Kamu tetap tunggu disitu. Cari terus."Aku segera mematikan sambungan dan menghubungi Elang."El, tolong lacak Rana. Dia menghilang.""Oke."Aku segera mengambil kunci mobilku dan berpesan pada Suster Dira untuk meminta bantuan Dokter Joko menangani pasien-pasienku. Aku berlari menuju ke mobil. Entah kenapa firasatku tak enak."Iya El, bagaimana?""Mereka ke arah Baturaden. Aku sharelock lokasinya. Aku dan kawan-kawan menuju kesana."Aku segera memacu mobilku dengan kecepatan maksimal yang aku bisa. Kurang lebih tiga puluh menit aku sampai di sebuah vila. Aku parkir di tempat j
Karina kembali mengelus perutku dengan penuh pemujaan sedangkan aku benar-benar ketakutan. Karina menatapku dengan seringai jahat.Bugh."Aw ...." Aku meringis karena Karina memukul perutku.Aku merintih menahan rasa sakit."Kak Karin jangan!""Hahahaha."Karina menatapku dengan tatapan penuh kebencian. Aku masih berusaha menahan rasa sakit."Kamu tahu, ibuku benar-benar wanita menjijikkan. Entah berapa pria yang pernah tidur sama dia. Sungguh menyebalkan." Karina menoleh ke arah Dinda. Kemudian dia mengelus pipi Dinda membuat Dinda ketakutan bahkan berusaha memalingkan wajahnya."Aku dan Dinda berasal dari rahim yang sama namun ayah berbeda. Dan yang menyebalkan, kami tak tahu siapa mereka.""Bukannya kakak, anak mendiang Dokter Wijaya?" cicit Dinda."Hahaha. Bukan! Sayangnya bukan! Kalau bukan karena otak cerdikku dan keinginan Ibu kita untuk lepas dari kemiskinan, tak mungkin aku bisa sampai disini."