Xabiru melihat sesuatu yang beda pada Jasmin. Bukan sesuatu yang baik. Tampak dari gaya bicara dan sikap yang ditunjukkan wanita tersebut. "Maaf Jasmin, jangan bicara di sini, banyak orang. Aku tidak mau mereka salah paham pada kita," tolak Xabiru tak ingin membahas hal yang bersangkutan dengan masalah pribadi mereka. Apalagi dari mulut Jasmin tercium bau alkohol. Xabiru ingin melangkah pergi menjauh, tapi lengannya dipegang erat Jasmin membuat kakinya terhenti seketika. Ia terpaksa menoleh ke wanita tersebut. Pemandangan ini membuat beberapa tatap mata mengarah ke mereka. Termasuk Aira yang sedari tadi sudah memperhatikan Xabiru didekati Jasmin. Ia ingin pergi dan menghampiri, tapi sulit karena diajak bicara oleh kawanan istri pengusaha. Padahal obrolannya juga tidak jelas. Hanya seputar hobi dan gaya hidup. "Jangan pergi! Kita perlu bicara." Jasmin merengek masih memegang erat Xabiru. Xabiru mencoba mengurai pegangan Jasmin, tapi sulit. Tangak wanita itu mencengkram kuat lengan
Xabiru bingung. Di satu sisi Xabiru berusaha keras membawa Jasmin menjauh dari tatapan para tamu di pesta ini. Dia tidak menyangka kalau Jasmin bakal mempermalukan mereka dengan ocehannya yang tidak karuan jelas. Terutama pada Aira. Di sisi lain ingin sekali membela istrinya, tapi sulit. Akan jadi tontonan kalau dia memarahi Jasmin. Ketiganya akhirnya sampai di lobi hotel dan Jasmin dipapah Xabiru sampai bawah. Sebenarnya Aira ingin membantu tapi ditolak Xabiru karena kalau dilakukan berdua malah terasa berat bagi Xabiru. Jalannya jadi lambat. "Sial! Ririn mana sih? Kalau begini terus rencanaku bakal ketahuan." Jasmin mencuri pandang ke sekitarnya mencari sosok Ririn–sekretarisnya di lobi hotel. Namun tak terlihat. "Aku akan antar pulang Jasmin dulu sebentar. Keadaannya tidak memungkinkan menyetir sendiri. Kamu biar pulang sama Mang Ihwan. Aku minta dia buat jemput kamu di sini," ujar Xabiru memberi perintah. Ia tahu Jasmin membawa mobil sendiri tanpa supir pribadi. Ia takut kalau
"Hei, apa ini?" Xabiru bingung melihat bantal disusun di tengah kasur tempat tidur mereka. Ia baru keluar dari kamar mandi."Aku ngantuk. Jangan diganggu, ya?" jawab Aira dengan santainya sembari naik ke atas kasur dan merebahkan diri di sana. Aira mengenakan piyama setelan celana panjang, tidak seperti biasanya yang selalu memakai daster modern panjang selutut. Hari ini dia merasa sangat lelah meskipun tidak melakukan aktivitas berat. Baginya menghabiskan waktu berhias dari sore itu sangat menyita waktu dan fisik. Mau makan saja segan takut make upnya luntur. Xabiru mengernyit. "Memangnya siapa yang ganggu kamu? Kepedean!" timpal Xabiru seraya naik ke atas kasur. Ia berbaring terlentang menatap langit kamar. Aira tak menanggapi. Ia mencoba menahan rasa kantuk yang mendera. Beberapa kali menutup mulutnya yang terbuka lebar dengan sendirinya. "Soal ocehan Jasmin jangan dimasukin ke hati ya. Dia lagi mabuk." Aira memiringkan badannya menghadap xabiru. Bantal yang disusunnya di te
"Ai, kamu sudah tidur?" Xabiru memperhatikan lekat wanita yang berbaring di sebelahnya dengan mata terpejam. Terdengar juga dengkuran kecilnya. Wanita yang kalau diperhatikan dengan seksama ternyata memang cantik, pikirnya. Tangannya dikibaskan berulang kali di depan wajah Aira untuk memastikan kebenaran tersebut, tapi tak ada reaksi dari istrinya itu. "Iya, sepertinya dia memang sudah tidur. Cepat juga. Padahal aku masih penasaran soal Ruli. Kenapa bisa kenal dan kenal dimana. Dari lingkungan keduanya jelas bukan dari sana." Benak Xabiru bekerja keras menerka sendiri apa hubungan Aira dan Ruli. Xabiru belum mengalihkan pandangannya dari Aira. Ia tersenyum semringah saat menikmati wajah polos Aira yang masih tertidur lelap. Tangannya refleks terulur ke pucuk kepala Aira dan ingin mengusap lembut rambutnya. Namun tak jadi dilakukan saat wajah Jasmin muncul di benaknya. Ia jadi kepikiran wanita itu. Ia bangun dan meraih ponselnya yang terletak di atas nakas. Niatnya ingin menghubungi
"Siapa Pah? Jasmin?" Bu Tuti bertanya heran siapa lawan bicara suaminya di telepon setelah suaminya selesai bicara dan menutup teleponnya. Ia bertanya karena mendengar Pak Desta menyebut nama Jasmin disela obrolannya tersebut. Pak Desta mengangguk seraya mengambil kembali sendok dan pisau makan. "Dia minta maaf soal kejadian kemarin malam," imbuh Pak Desta memberitahukan. "Oh, Itu. Terus apa tanggapan Papah?" Pak Desta mengedikkan bahu. "Mau bagaimana lagi, marah tak ada guna, semua sudah terlanjur terjadi kan? Ya dimaafkan. Lagipula baru kali ini juga aku melihatnya mabuk dan tidak terkendali seperti itu. Biasanya tidak kan," ujar Pak Desta memberi jawaban. Bu Tuti mengangguk. "Ya, maafkan saja. Kalau lain kali terulang lagi, baru mikir dua kali memaafkan. Untung saja pesta kita tidak terganggu. Kalau iya, Aku yang tidak akan memaafkannya, dan memblokirnya dari kontak ponselku. Soal kemarin, Papah benar. Dia baru kali ini bertingkah seperti itu. Wajar lah, mungkin sakit hati,"
"Hm, itu karena sempat ngobrol, Te. Anaknya baik. Dia juga sopan.""Oh, gitu. Pantas. Padahal baru awal ngobrol dengannya sudah menyimpulkan demikian. Apa bedanya kamu sama kami, Rul? Sama saja kan? Setiap orang punya kesan pertamanya masing-masing dan kebanyakan pasti akan menunjukkan yang terbaik dari dirinya. Tante merasa dia memang sopan, sih. Attitude-nya juga bagus. Merendah juga kan waktu dipuji. Kalau tidak tahu kebenarannya, Tante mungkin tidak akan percaya kalau dia cuma lulusan SMA dan pernah jadi babysitter-nya anak Biru. Perawakannya seperti wanita pintar. Mirip kayak Jasmin. Cara dia ngomong itu, loh, Tante sebenarnya suka, tapi soal merebut milik orang lain, Tante nggak suka. Iya kan, Pah?""Wajar kalau Mami membela Jasmin. Wajar juga kalau Biru lebih tertarik sama Aira. Wanita itu jauh lebih muda dari Jasmin, sama-sama pintar juga dan poin plusnya menurutku karena dia babysitter anak Biru, pasti jadi pertimbangan tersendiri.""Poin plus bagaimana, Om?""Kedekatan emosi
Kesya tersenyum membaca pesan yang dikirim Jasmin. "Sudah kubilang turuti saranku, pasti berhasil. Hampir saja gagal gara-gara kamu terlalu lebay dan emosian," balas Kesya sembari menatap layar laptopnya. Ia menghubungi Jasmin karena malas berbalas pesan. "Aku kesal karena rencana kita buat menjebak Xabiru gagal. Si Aira ngotot mau ikut mengantarku pulang. Padahal tinggal sedikit lagi bakal berhasil." Jasmin sedikit mengecilkan suaranya tak ingin pembicaraan rahasia ini terdengar orang lain meskipun dia hanya sendiri di ruangannya yang tertutup. Sekarang ini ia berada di kantor. Pagi-pagi sekali datang ke kantor untuk menunjukkan sisi baiknya di hadapan orang banyak setelah insiden semalam yang cukup memalukan baginya. Semua atas saran Kesya. Kesya terkekeh di seberang sana. "Biar saja. Nanti bisa diatur kembali. Yang penting rencana kita yang pertama berhasil. Aku sangat yakin dengan mengambil hati orang banyak, pasti kamu mendapatkan dukungan. Lihat kan, rencanaku berhasil? Sek
Mendengar pernyataan suaminya, Aira terkejut. Sampai ia bangun dari rebahan dan mengambil sikap duduk tegak. "Oh, i–iya. Boleh kok. Memangnya Mas tidak papa ikut ke panti?" "Memangnya kenapa?""Takut risih, takut merepotkan," jawab Aira ragu mengatakan hal tersebut. "Nggak. Biasa saja. Bisa kan ditunda. Sekalian kita bareng beli perlengkapan bahan sembakonya.""Hm, iya. Bisa kok. Aku senang dengarnya. Kalau boleh tahu kapan Mas?""Sabtu. Weekend nanti. Sekalian ajak Jingga. Tidak apa kan? Biar dia bisa merasakan vibes suasana panti dan mengerti bagaimana rasanya tidak mempunyai orang tua."Hening. Aira diam setelah mendengar perkataan Xabiru barusan.Xabiru yang baru sadar telah salah ucap segera meralat ucapannya. "Bukan begitu, maksudnya biar dia–""Tidak apa, Mas. Aku ngerti kok. Terima kasih ya Mas sudah peduli," sela Aira yang paham kemana arah perkataan suaminya. "Ya. Ada lagi yang mau diomongin?" "Tidak ada. Eh, anu. Mas nanti mau dimasakin apa malam ini? Mas pulang cepat
"Mas, kopinya." Aira masuk ke kamar membawakan secangkir kopi untuk Xabiru. "Terima kasih ya, maaf merepotkan." Segera meraih cangkir tersebut dari tangan Aira. "Masih sibuk, Mas?" Aira mengamati suaminya yang masih fokus ke layar laptop. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Hubungan keduanya makin baik pasca kecelakaan yang menimpa Xabiru. Sesuai dengan janji yang disepakati, Xabiru ingin memulai hubungan layaknya suami-istri pada umumnya. Surat perjanjiannya bersama Aira sudah dimusnahkannya. "Iya, banyak yang harus diselesaikan, besok ada meeting." Xabiru menjawab tanpa menoleh ke Aira. Ia terlalu fokus ke layar laptop. "Oh, tapi besok sidang 'kan, Mas? Mas nggak datang?" Aira mencoba mengingatkan. Xabiru menoleh sebentar. "Datang, kok. Masih bisa. Meetingnya sore. Kalau pun sidangnya lama, biar Pak Burhan saja yang urus."Aira manggut-manggut mendengarkan."Menurut Mas, gimana? Apa Mbak Jasmin bakal di penjara atau?" Aira membuka obrolan tentang sidang Jasmin yang a
Semalaman Aira dan Bu Laila di rumah sakit menjaga keadaan Xabiru. Sebenarnya Bu Laila tak tega pada Aira karena menantunya itu dalam keadaan hamil muda. Kesehatannya juga tak baik. Bu Laila sempat meminta Aira untuk pulang saja, tapi Aira menolak. Ia ingin menemani suaminya sampai sadar. Pulang tak kan membuat perasaannya tenang. Justru membuatnya tak bisa tidur dan kepikiran terus. ***"Ra, Aira," lirih Xabiru memanggil istrinya. Ingin mengusap kepala Aira, tapi tak bisa. Tenaganya tak kuat. Ia merasa sangat lemah. Saat matanya mengerjap, orang yang pertama dilihatnya adalah Aira yang duduk tertidur sambil merebahkan kepalanya di ranjang yang ditempatinya. Ia merasa bersalah. "Ra.""Mas! Kamu sudah sadar? Ada yang sakit? Tunggu! Biar Aira panggilkan dokter dulu." Aira terkesiap melihat Xabiru yang telah sadarkan diri. Aira bangkit dari duduknya dan tampak kebingungan. Namun ia akhirnya ingat harus memanggil dokter segera. Xabiru tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala. Meno
Pantas saja perasaan Aira tak enak sejak kepergian suaminya. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal, tapi tak tahu apa itu, ternyata Mas Xabiru. Suaminya itu mengalami kecelakaan. Bergegas Aira menyiapkan diri untuk pergi ke rumah sakit. Ia berganti pakaian dulu, baru setelah itu mengambil beberapa baju buat suaminya. Ia tak tahu seberapa parah keadaan Xabiru, tapi pasti akan membutuhkan beberapa lembar pakaian ganti untuk berada di sana. Ia berharap, suaminya tidak apa-apa. Hanya luka ringan saja. Aira masuk ke dalam kamar putrinya, Jingga. Memeriksa keadaan putrinya itu sebelum ditinggal pergi. Nanti ada Bi Siti yang akan menemani Jingga sementara ia pergi ke rumah sakit. Jingga tertidur pulas. Rasanya enggan kalau membangunkan anaknya itu apalagi memberitahukan keadaan ayahnya. Memang lebih baik, Jingga tak perlu tahu dulu dan tetap berada di rumah. Hampir setengah jam Aira menunggu, baru Mang Diman dan Bi Siti tiba di rumahnya. Bergegas Aira menghampiri dengan setengah ber
"Nikahi aku, Mas. Jadi kedua pun tak masalah asal bisa bersamamu." Jasmin tampak pasrah. Apa pun akan dilakukannya meskipun harus tersakiti. Xabiru menghela napasnya. Terasa berat memenuhi keinginan wanita di sampingnya ini. "Aku tak bisa, Jas. Aku sudah membuat keputusan untuk menjalankan pernikahanku bersama Aira. Apalagi sekarang dia sedang mengandung anakku."Brug! Xabiru tersentak kaget mendapati serangan tak terduga. Jasmin memukulkan bantal sofa ke arahnya. Wanita itu kesal karena Xabiru tak bisa menepati janjinya. Katanya dulu tidak akan tergoda atau meniduri istrinya, tapi sekarang, wanita itu malah hamil juga. "Dasar lelaki! Omongannya tidak bisa dipercaya!""Ya, memang laki-laki itu egois. Seperti yang dulu kulakukan padamu. Aku tahu kamu menyukaiku, Jas. Namun sayangnya aku lebih menyukai kakakmu."Jasmin mendelik tak suka. Kembali bantal di tangannya, dihantamkan ke tubuh Xabiru. "Sudah, Jas. Hentikan!" Xabiru meminta Jasmin berhenti, karena rasanya tak enak dipuku
Xabiru akhirnya pergi. Terpaksa karena ia pikir ini adalah kesempatan terakhirnya bertemu Jasmin. Ia ingin memperbaiki semuanya. Ingin juga mengakhiri dengan benar hubungan mereka yang sempat terjalin meskipun ia telah menikah. Ia ingin membatalkan janjinya untuk menikahi wanita tersebut. meski terdengar egois, tapi itu adalah jalan terbaik. Daripada tetap bersama dengan perasaan yang telah berubah. Bagaimanapun juga Xabiru sadar ia telah mencintai Aira, bukan Jasmin. Bahkan nama wanita tersebut sulit untuk ia masukkan ke dalam hatinya. ***Xabiru sekarang sudah berada di depan pintu unit apartemen Jasmin. Ia menunggu dibukakan pintu oleh wanita tersebut. "Masuk, Mas." Pintu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya tanpa terlihat sosok Jasmin di depan pintu. Hanya suaranya yang terdengar mempersilakan masuk. Xabiru sedikit heran tapi dia tetap masuk ke dalam. Baru berjalan beberapa langkah, Tiba-tiba dia tersentak kaget mendengar pintu apartemen tertutup. Ia berbalik dan melihat Jasmi
Xabiru tertegun membaca pesan yang baru saja dikirim Jasmin. Dia baru tahu kalau Jasmin ingin pergi keluar negeri, tapi dalam rangka apa? Setahu Xabiru, tidak ada kunjungan ke luar negeri dari kantor dan kalaupun urusan pribadi, kenapa terkesan mendadak? "Mas.""Mas Xabiru." "Mas ....""Ya, a--apa?" jawab Xabiru tergagap baru tersadar karena panggilan Aira. Ia sedang memikirkan Jasmin. "Mas kenapa? Dari tadi kupanggil nggak jawab. Mas kayak mikirin sesuatu." Aira heran dan mulai berpikir negatif kalau suaminya tersebut tidak begitu senang dengan kehamilannya ini. Xabiru seperti banyak pikiran. Banyak termenung sedari tadi diperhatikannya. Wanita itu ingat kalau Xabiru berharap pernikahan mereka hanya berumur setahun dan akan segera berpisah secepatnya. apa itu pemicunya? apa suaminya kebingungan untuk mengakhiri semuanya setelah tahu ia hamil? "Tidak. Tidak apa," jawab Xabiru datar. Menambah kepiluan hati Aira. "Kalau begitu, habiskan makanan Mas, biar secepatnya kubereskan." Ai
Yusi menggeleng lemah. "Maaf, Bu, saya tidak tahu.""Hm … apa Ibu perlu sesuatu? Apa Ibu mau minum? Biar saya ambilkan." Dengan takut-takut Yusi menawarkannya. Ia merasa tak enak pada majikannya tersebut karena perintah untuk menahan Jasmin tak mampu dilakukannya. Jangankan untuk menahan, bertanya Jasmin mau kemana saja tak mampu keluar dari mulutnya. Ia sudah gemetaran saat melihat raut wajah tak bersahabat yang ditunjukkan Jasmin padanya saat keluar dari kamarnya. Bu Mita menggeleng. "Saya mau ke kamar saja." Wanita tersebut mengubah posisi rebahan menjadi duduk. Lalu kemudian beranjak bangun ingin menuju ke kamar. Bu Mita merasa perlu istirahat sebentar karena kepalanya sungguh terasa pusing. Entah tensinya naik mendengar kelakuan Jasmin atau kondisi badannya yang memang sejak kemarin sudah tidak sehat. "Baik, Bu."***"Tunggu, Bu! Jangan masuk!" Lola–sekretaris Xabiru melonjak terkejut dari tempat duduknya melihat Jasmin tiba-tiba berjalan menuju ruangan atasannya–Xabiru dengan
"Aaargh!" Jasmin mengamuk kembali. Kamarnya seperti kapal pecah hingga kalau ada yang masuk ke dalamnya, harus hati-hati melangkah karena banyak serpihan kaca pecah berserakan di lantai. Yusi dan Anggi saling tatap kala mendengar suara keributan dari lantai atas rumah Bu Mita. "Non Jasmin kenapa lagi, Mbak Yus? Aku takut ke atas," ujar Anggi seraya menatap ke atas tangga yang menghubungkan lantai atas dan bawah. Dadanya berdegup kencang seiring terdengar suara benda-benda berbunyi tak enak di telinganya. Apalagi saat ini Bu Mita–majikannya lagi di luar, tidak ada di rumah. "Huuussst! Kalau nggak penting, nggak usah ke atas. Kamu nyari mati kalau pergi ke sana terus masuk ke kamarnya Non Jasmin. Itu sama saja seperti masuk ke kandang harimau. Seram," balas Yusi sambil bergidik ngeri membayangkannya. "Mbak enak sudah terbiasa karena sudah lama tinggal di sini. Lah, saya baru hitungan bulan sudah spot jantung saja tiap dengar suara prang-prang kedubrak dari kamar Non Jasmin." Anggi y
"Aira, kamu baik-baik saja?" Bu Laila datang menghampiri menantunya dengan raut khawatir. Wanita paruh baya tersebut memeluk Aira dengan erat. "Nggak papa kok, Bu. Aira baik-baik saja." Senyum terulas di bibir pucat Aira setelah mengurai pelukan mertuanya. Dia senang diperhatikan mertuanya. "Nenek, kata Ayah, Bunda punya dede bayi, loh di perutnya. Jingga katanya bakal jadi kakak, Jingga senang dengarnya." Jingga berceloteh menghampiri Bu Laila sembari memeluknya. "Iya, Jingga bakal jadi kakak. Nanti harus sayang ya sama dedenya, nggak boleh marah atau bertengkar." Bu Laila menasihati seraya mencubit pelan pipi Jingga. Lalu mengusap pucuk kepalanya. Gadis kecil tersebut mengiakan dengan anggukkan kepala. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Ia kesenangan. Tak sabar menunggu adiknya lahir. "Tapi Jingga jangan ganggu Bunda ya? Bunda lagi sakit.""Iya, Nek. Kata Ayah, Jingga nggak boleh minta ini minta itu sama Bunda. Harus ambil sendiri. Harus kerjakan sendiri. Jangan nyusahin Bunda,"