Mendengar pernyataan suaminya, Aira terkejut. Sampai ia bangun dari rebahan dan mengambil sikap duduk tegak. "Oh, i–iya. Boleh kok. Memangnya Mas tidak papa ikut ke panti?" "Memangnya kenapa?""Takut risih, takut merepotkan," jawab Aira ragu mengatakan hal tersebut. "Nggak. Biasa saja. Bisa kan ditunda. Sekalian kita bareng beli perlengkapan bahan sembakonya.""Hm, iya. Bisa kok. Aku senang dengarnya. Kalau boleh tahu kapan Mas?""Sabtu. Weekend nanti. Sekalian ajak Jingga. Tidak apa kan? Biar dia bisa merasakan vibes suasana panti dan mengerti bagaimana rasanya tidak mempunyai orang tua."Hening. Aira diam setelah mendengar perkataan Xabiru barusan.Xabiru yang baru sadar telah salah ucap segera meralat ucapannya. "Bukan begitu, maksudnya biar dia–""Tidak apa, Mas. Aku ngerti kok. Terima kasih ya Mas sudah peduli," sela Aira yang paham kemana arah perkataan suaminya. "Ya. Ada lagi yang mau diomongin?" "Tidak ada. Eh, anu. Mas nanti mau dimasakin apa malam ini? Mas pulang cepat
"Ibu? Kok datang tidak ngasih tahu?" Aira terkejut saat membuka pintu rumah ternyata Bu Laila–ibu mertuanya yang datang. "Memang kenapa? Memangnya Ibu tidak boleh ya mampir ke rumah anak-mantunya sendiri?" Alis Bu Laila terangkat mempertanyakan. Ia masuk ke dalam setelah dipersilahkan Aira. Mereka berjalan bersisian.Aira tersenyum tipis mendengar pertanyaan ibu mertuanya seraya menggandeng tangannya. "Bukan Bu, bukan begitu. Aira kaget saja. Kalau Ibu bilang kan, Aira bisa persiapan dulu. Masak dan beres-beres rumah. Eh, Ibu bakalan nginap di sini ya?" Sambil jalan, keduanya berbincang santai. "Ehm, nggak. Cuma mampir saja, kebetulan lewat sini. Ah, kamu segitunya. Biar pun Ibu tidak nginap atau ngasih tahu kamu bakalan datang kemari, Ibu yakin kamu sudah beres-beres rumah dan masak enak," tutur Bu Laila membuat Aira tersanjung. "Ini Ai, Ibu bawakan sesuatu buat kamu." Bu Laila menyodorkan tiga buah paperbag ke arah Aira. Aira menyambutnya dengan tersenyum tipis. Sedari awal ibu
Aira menggelengkan kepala. "Sudah tidak pernah, Bu. Entah kalau di luar, Aira tak tahu dan Aira tak ingin tahu. Aira percaya sama Mas Xabiru." Bu Laila tersenyum mendengar jawaban menantunya. Memang ia tidak salah pilih. Apalagi Aira sangat mirip dengan Aurora, bagaimana caranya bicara dan menanggapi masalah. "Kamu baik-baik saja kan? Tidak ada mendengar sesuatu yang aneh atau ada yang membicarakanmu, yang menghina atau mengejek gitu?" Aira menggeleng lemah. "Aira baik-baik saja, Bu. Memangnya ada apa? Apa ada sesuatu yang–""Tidak! Tidak ada kok. Ibu cuma mengkhawatirkanmu atau takut ada yang mengganggumu," sela Bu Laila sembari menggaruk tengkuknya. Bu Laila bersyukur kalau Aira ternyata baik-baik saja setelah insiden semalam yang membuatnya dipermalukan Jasmin. Bu Laila meskipun tidak hadir di sana, tapi ia tahu ada kejadian tersebut. Apalagi ada yang membagikan video tersebut ke nomornya dan tentu saja ia jadi melihatnya. Bu Laila bahkan marah dan kecewa sama Xabiru karena memb
"Mas, capek ya?" Aira bertanya melihat suaminya pulang dengan wajah lesu. Xabiru yang baru pulang kerja, tidak langsung berjalan ke arah kamar melainkan merebahkan badannya dulu ke bahu sofa di ruang tamu. Laki-laki itu tersentak kaget saat tangan Aira menyentuh bahunya. Namun akhirnya dibiarkan saja saat pijatan lembut di sana membuatnya merasa nyaman. Mengendurkan sedikit ketegangan di bagian sana. "Ya," jawab Xabiru singkat merasa sangat lelah karena hari ini di kantor penuh tekanan. Beberapa klien membatalkan kerja sama, belum lagi tekanan dari atasan. "Maaf ya Mas, membuat Mas bekerja keras. Tetap semangat! Fighting!" Aira mengepalkan tangannya, kode memberi semangat pada suaminya tersebut. Ia sering melihat adegan tersebut di drama Korea dan penasaran untuk mencobanya. Netra Xabiru mengerjap sebentar mendengar ucapan Aira barusan. Terdengar lucu, aneh di telinganya disemangati seperti itu, tapi cukup menghibur. Namun tak ada tanggapan darinya. Ia lagi menikmati pijatan lembu
"Mas, kamu baik-baik saja kan?" Aira dengan berani memeluk Xabiru yang sedang berdiri di depan lemari pakaiannya. Laki-laki itu baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih melilit di pinggang. Badan Xabiru bergetar hebat saat tangan Aira menyentuh dadanya yang basah. Muncul degupan kencang tak beraturan di sana yang membuatnya gugup tak karuan rasa. Tak tahan dengan gejolak yang memuncak, Xabiru berbalik dan merangsek Aira dengan ciuman bertubi-tubi hingga membuat netra istrinya tersebut membulat sempurna saking terkejutnya. Bukan ini maksud Aira. Ia memeluk suaminya tersebut hanya untuk memberikan ketenangan. Namun ternyata disalah artikan. "Bukan salahku ini terjadi. Kamu sendiri yang telah membangunkan macan tidur," ujar Xabiru dengan napas terengah. Xabiru terus membabi buta menyerang Aira sampai pakaiannya terlepas dari badannya. Aira tak bisa mengelak. Dia pasrah dan menuruti irama suaminya yang menuntunnya berlabuh ke peraduan. "Bunda ….""Bunda di kam
"Keributan apa lagi itu?" Bu Mita bergumam sendiri mendengar keributan kecil di lantai bawah rumahnya. Ia bergerak menuju ke sana dari lantai dua, kamarnya. Jasmin. Bu Mita sudah menduganya. Siapa lagi yang berteriak keras kalau bukan Jasmin, anaknya tersebut. Wanita paruh baya tersebut geleng-geleng kepala setelah tahu anak gadisnya lah yang membuat keributan kecil di malam hari. Dari pakaiannya, Jasmin baru saja pulang dari kantor. "Ada apa Jasmin? Kamu baru pulang kerja, Nak?" tanya Bu Mita ramah berbasa-basi lebih dulu menyapa Jasmin dengan lembut seraya melirik ke arah Yusi–asisten rumah tangganya. wajah ART-nya itu ketakutan. Pasti habis dimarahi Jasmin. "Capek Bu! Lihat bajuku kotor gara-gara nih orang jalan nggak pake mata!" Jasmin menunjuk Yusi dengan wajah marah. Atasan baju putihnya terkena tumpahan minuman jenis sirup berwarna merah dan itu nampak sekali di bajunya. Tentu saja Jasmin sangat kesal jadinya. "Maaf, Bu, saya tidak sengaja. Saya minta maaf Non," sahut Y
"Cuma dikasih SP? Nggak dipecat aja?" Bu Laila kesal mendengar kabar kalau Jasmin hanya diberi surat peringatan dari kantor. Padahal dia sudah meminta Lukman memberi tindakan tegas bukan hanya sekedar memberikan SP."Nggak bisa begitu, Mbak. Ada aturannya. Semua perlu persetujuan banyak orang, bukan keputusan sepihak," jawab Lukman yang menerima telepon dari Bu Laila. Jauh hari sebelumnya, Lukman sudah dicecar banyak pesan dari kakaknya tersebut. Jadi mau tidak mau telepon ini harus dijawabnya kalau tidak ingin kena omelan panjang Bu Laila. "Alaaah! Padahal bisa itu, kamu saja yang nggak mau urus. Iya kan?""Lukman hanya menjalankan kewajiban saja, Mbak. Nggak boleh asal main kasih keputusan yang bakal merugikan orang lain. Kan Mbak yang ngajarin gitu? Belum lagi, Jasmin banyak memberi kontribusi di perusahaan kita, Mbak, dan ini juga baru kasus pertamanya.""Ya sudahlah! Capek ngomong sama kamu. Nggak didengar. Tutup saja teleponnya.""Bukan gitu Mbak, tapi–" Sambungan telepon su
"Karena Jingga." Jawaban Bunda Ina tak lagi mengejutkan Xabiru. Ia yakin itu salah satu alasan terbesar Aira bersedia menikah dengannya. "Tahu alasannya?" Bunda Ina masih saja tertarik membicarakan hal tersebut. Seolah memaksa Xabiru untuk tahu semua hal yang dirahasiakan Aira. "Perlu, Bun?" tanya Xabiru seperti enggan ingin tahu. Namun ia bersikap sedatar mungkin tidak ingin menunjukkannya. Ia masih mencoba menghormati ibu yang telah merawat istrinya dengan baik. Meskipun ia tahu wanita di depannya ini tampak tak menyukainya dari awal bertemu. "Harus! Kamu harus tahu bagaimana perasaannya dan apa yang dirahasiakannya. Jangan hanya mementingkan diri sendiri. Ini demi kelangsungan rumah tangga kalian. Jangan hanya menimpakan semua beban padanya. Dia juga berhak bahagia." Xabiru terkejut. Ia bingung kenapa Bunda Ina seolah-olah tahu apa yang terjadi dalam rumah tangganya. Ia curiga kalau Aira banyak curhat pada Bunda Ina mengenai biduk rumah tangganya selama ini. Makanya Bunda Ina s
"Mas, kopinya." Aira masuk ke kamar membawakan secangkir kopi untuk Xabiru. "Terima kasih ya, maaf merepotkan." Segera meraih cangkir tersebut dari tangan Aira. "Masih sibuk, Mas?" Aira mengamati suaminya yang masih fokus ke layar laptop. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Hubungan keduanya makin baik pasca kecelakaan yang menimpa Xabiru. Sesuai dengan janji yang disepakati, Xabiru ingin memulai hubungan layaknya suami-istri pada umumnya. Surat perjanjiannya bersama Aira sudah dimusnahkannya. "Iya, banyak yang harus diselesaikan, besok ada meeting." Xabiru menjawab tanpa menoleh ke Aira. Ia terlalu fokus ke layar laptop. "Oh, tapi besok sidang 'kan, Mas? Mas nggak datang?" Aira mencoba mengingatkan. Xabiru menoleh sebentar. "Datang, kok. Masih bisa. Meetingnya sore. Kalau pun sidangnya lama, biar Pak Burhan saja yang urus."Aira manggut-manggut mendengarkan."Menurut Mas, gimana? Apa Mbak Jasmin bakal di penjara atau?" Aira membuka obrolan tentang sidang Jasmin yang a
Semalaman Aira dan Bu Laila di rumah sakit menjaga keadaan Xabiru. Sebenarnya Bu Laila tak tega pada Aira karena menantunya itu dalam keadaan hamil muda. Kesehatannya juga tak baik. Bu Laila sempat meminta Aira untuk pulang saja, tapi Aira menolak. Ia ingin menemani suaminya sampai sadar. Pulang tak kan membuat perasaannya tenang. Justru membuatnya tak bisa tidur dan kepikiran terus. ***"Ra, Aira," lirih Xabiru memanggil istrinya. Ingin mengusap kepala Aira, tapi tak bisa. Tenaganya tak kuat. Ia merasa sangat lemah. Saat matanya mengerjap, orang yang pertama dilihatnya adalah Aira yang duduk tertidur sambil merebahkan kepalanya di ranjang yang ditempatinya. Ia merasa bersalah. "Ra.""Mas! Kamu sudah sadar? Ada yang sakit? Tunggu! Biar Aira panggilkan dokter dulu." Aira terkesiap melihat Xabiru yang telah sadarkan diri. Aira bangkit dari duduknya dan tampak kebingungan. Namun ia akhirnya ingat harus memanggil dokter segera. Xabiru tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala. Meno
Pantas saja perasaan Aira tak enak sejak kepergian suaminya. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal, tapi tak tahu apa itu, ternyata Mas Xabiru. Suaminya itu mengalami kecelakaan. Bergegas Aira menyiapkan diri untuk pergi ke rumah sakit. Ia berganti pakaian dulu, baru setelah itu mengambil beberapa baju buat suaminya. Ia tak tahu seberapa parah keadaan Xabiru, tapi pasti akan membutuhkan beberapa lembar pakaian ganti untuk berada di sana. Ia berharap, suaminya tidak apa-apa. Hanya luka ringan saja. Aira masuk ke dalam kamar putrinya, Jingga. Memeriksa keadaan putrinya itu sebelum ditinggal pergi. Nanti ada Bi Siti yang akan menemani Jingga sementara ia pergi ke rumah sakit. Jingga tertidur pulas. Rasanya enggan kalau membangunkan anaknya itu apalagi memberitahukan keadaan ayahnya. Memang lebih baik, Jingga tak perlu tahu dulu dan tetap berada di rumah. Hampir setengah jam Aira menunggu, baru Mang Diman dan Bi Siti tiba di rumahnya. Bergegas Aira menghampiri dengan setengah ber
"Nikahi aku, Mas. Jadi kedua pun tak masalah asal bisa bersamamu." Jasmin tampak pasrah. Apa pun akan dilakukannya meskipun harus tersakiti. Xabiru menghela napasnya. Terasa berat memenuhi keinginan wanita di sampingnya ini. "Aku tak bisa, Jas. Aku sudah membuat keputusan untuk menjalankan pernikahanku bersama Aira. Apalagi sekarang dia sedang mengandung anakku."Brug! Xabiru tersentak kaget mendapati serangan tak terduga. Jasmin memukulkan bantal sofa ke arahnya. Wanita itu kesal karena Xabiru tak bisa menepati janjinya. Katanya dulu tidak akan tergoda atau meniduri istrinya, tapi sekarang, wanita itu malah hamil juga. "Dasar lelaki! Omongannya tidak bisa dipercaya!""Ya, memang laki-laki itu egois. Seperti yang dulu kulakukan padamu. Aku tahu kamu menyukaiku, Jas. Namun sayangnya aku lebih menyukai kakakmu."Jasmin mendelik tak suka. Kembali bantal di tangannya, dihantamkan ke tubuh Xabiru. "Sudah, Jas. Hentikan!" Xabiru meminta Jasmin berhenti, karena rasanya tak enak dipuku
Xabiru akhirnya pergi. Terpaksa karena ia pikir ini adalah kesempatan terakhirnya bertemu Jasmin. Ia ingin memperbaiki semuanya. Ingin juga mengakhiri dengan benar hubungan mereka yang sempat terjalin meskipun ia telah menikah. Ia ingin membatalkan janjinya untuk menikahi wanita tersebut. meski terdengar egois, tapi itu adalah jalan terbaik. Daripada tetap bersama dengan perasaan yang telah berubah. Bagaimanapun juga Xabiru sadar ia telah mencintai Aira, bukan Jasmin. Bahkan nama wanita tersebut sulit untuk ia masukkan ke dalam hatinya. ***Xabiru sekarang sudah berada di depan pintu unit apartemen Jasmin. Ia menunggu dibukakan pintu oleh wanita tersebut. "Masuk, Mas." Pintu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya tanpa terlihat sosok Jasmin di depan pintu. Hanya suaranya yang terdengar mempersilakan masuk. Xabiru sedikit heran tapi dia tetap masuk ke dalam. Baru berjalan beberapa langkah, Tiba-tiba dia tersentak kaget mendengar pintu apartemen tertutup. Ia berbalik dan melihat Jasmi
Xabiru tertegun membaca pesan yang baru saja dikirim Jasmin. Dia baru tahu kalau Jasmin ingin pergi keluar negeri, tapi dalam rangka apa? Setahu Xabiru, tidak ada kunjungan ke luar negeri dari kantor dan kalaupun urusan pribadi, kenapa terkesan mendadak? "Mas.""Mas Xabiru." "Mas ....""Ya, a--apa?" jawab Xabiru tergagap baru tersadar karena panggilan Aira. Ia sedang memikirkan Jasmin. "Mas kenapa? Dari tadi kupanggil nggak jawab. Mas kayak mikirin sesuatu." Aira heran dan mulai berpikir negatif kalau suaminya tersebut tidak begitu senang dengan kehamilannya ini. Xabiru seperti banyak pikiran. Banyak termenung sedari tadi diperhatikannya. Wanita itu ingat kalau Xabiru berharap pernikahan mereka hanya berumur setahun dan akan segera berpisah secepatnya. apa itu pemicunya? apa suaminya kebingungan untuk mengakhiri semuanya setelah tahu ia hamil? "Tidak. Tidak apa," jawab Xabiru datar. Menambah kepiluan hati Aira. "Kalau begitu, habiskan makanan Mas, biar secepatnya kubereskan." Ai
Yusi menggeleng lemah. "Maaf, Bu, saya tidak tahu.""Hm … apa Ibu perlu sesuatu? Apa Ibu mau minum? Biar saya ambilkan." Dengan takut-takut Yusi menawarkannya. Ia merasa tak enak pada majikannya tersebut karena perintah untuk menahan Jasmin tak mampu dilakukannya. Jangankan untuk menahan, bertanya Jasmin mau kemana saja tak mampu keluar dari mulutnya. Ia sudah gemetaran saat melihat raut wajah tak bersahabat yang ditunjukkan Jasmin padanya saat keluar dari kamarnya. Bu Mita menggeleng. "Saya mau ke kamar saja." Wanita tersebut mengubah posisi rebahan menjadi duduk. Lalu kemudian beranjak bangun ingin menuju ke kamar. Bu Mita merasa perlu istirahat sebentar karena kepalanya sungguh terasa pusing. Entah tensinya naik mendengar kelakuan Jasmin atau kondisi badannya yang memang sejak kemarin sudah tidak sehat. "Baik, Bu."***"Tunggu, Bu! Jangan masuk!" Lola–sekretaris Xabiru melonjak terkejut dari tempat duduknya melihat Jasmin tiba-tiba berjalan menuju ruangan atasannya–Xabiru dengan
"Aaargh!" Jasmin mengamuk kembali. Kamarnya seperti kapal pecah hingga kalau ada yang masuk ke dalamnya, harus hati-hati melangkah karena banyak serpihan kaca pecah berserakan di lantai. Yusi dan Anggi saling tatap kala mendengar suara keributan dari lantai atas rumah Bu Mita. "Non Jasmin kenapa lagi, Mbak Yus? Aku takut ke atas," ujar Anggi seraya menatap ke atas tangga yang menghubungkan lantai atas dan bawah. Dadanya berdegup kencang seiring terdengar suara benda-benda berbunyi tak enak di telinganya. Apalagi saat ini Bu Mita–majikannya lagi di luar, tidak ada di rumah. "Huuussst! Kalau nggak penting, nggak usah ke atas. Kamu nyari mati kalau pergi ke sana terus masuk ke kamarnya Non Jasmin. Itu sama saja seperti masuk ke kandang harimau. Seram," balas Yusi sambil bergidik ngeri membayangkannya. "Mbak enak sudah terbiasa karena sudah lama tinggal di sini. Lah, saya baru hitungan bulan sudah spot jantung saja tiap dengar suara prang-prang kedubrak dari kamar Non Jasmin." Anggi y
"Aira, kamu baik-baik saja?" Bu Laila datang menghampiri menantunya dengan raut khawatir. Wanita paruh baya tersebut memeluk Aira dengan erat. "Nggak papa kok, Bu. Aira baik-baik saja." Senyum terulas di bibir pucat Aira setelah mengurai pelukan mertuanya. Dia senang diperhatikan mertuanya. "Nenek, kata Ayah, Bunda punya dede bayi, loh di perutnya. Jingga katanya bakal jadi kakak, Jingga senang dengarnya." Jingga berceloteh menghampiri Bu Laila sembari memeluknya. "Iya, Jingga bakal jadi kakak. Nanti harus sayang ya sama dedenya, nggak boleh marah atau bertengkar." Bu Laila menasihati seraya mencubit pelan pipi Jingga. Lalu mengusap pucuk kepalanya. Gadis kecil tersebut mengiakan dengan anggukkan kepala. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Ia kesenangan. Tak sabar menunggu adiknya lahir. "Tapi Jingga jangan ganggu Bunda ya? Bunda lagi sakit.""Iya, Nek. Kata Ayah, Jingga nggak boleh minta ini minta itu sama Bunda. Harus ambil sendiri. Harus kerjakan sendiri. Jangan nyusahin Bunda,"