“Argh!”
Aisyah memekik kecil. Tak sengaja jarum yang sedang ia gunakan untuk menjahit renda pada kain yang sedang dirangkai menusuk ibu jarinya. Walaupun hanya sedikit yang tertusuk, rasanya perih sekali.
Wanita itu langsung meletakan kain dan peralatan jahitnya agar darah yang keluar dari lukanya tak menetes. Ia memijat lembut seraya meniup lukanya, berharap rasa sakit dan perihnya berkurang. Kemudian ia melangkah menuju meja kerjanya yang berada di sudut kamarnya, meraih tissue untuk membersihkan darah yang berhasil dikeluarkan dari ibu jarinya.
“Kok masih perih, yah!” gumam Aisyah dengan wajah sedikit meringis menahan sakit.
Aisyah pun memilih menghisap luka pada ibu jarinya setelah tak keluar darah. Berharap dengan cara tersebut rasa perih dan
Aisyah sedikit tersentak dengan pertanyaan Haikal. Cepat-cepat ia menghapus air matanya dan menunjukkan senyumannya yang kini tak tertutup cadar. Wanita cantik itu membungkuk dan menatap hangat wajah mungilnya Haikal.“Bunda nggak mau nemenin aku, ya?” tanya Haikal dengan nada sedih seraya menundukkan wajahnya. “Bunda pasti sedih karena harus nemenin aku,” duganya.“Kata siapa bunda sedih?” Aisyah balik bertanya sembari mengerutkan dahinya.Tangan Aisyah lantas meraih dagu mungilnya Haikal. Ia kembali memberikan tatapan hangat pada anak kecil yang tengan menurunkan kedua sudut bibirnya ke bawah. Aisyah lantas tertawa kecil, ekspresi Haikal benar-benar tampak menggemaskan.“Dengarkan bunda! Ada dua sebab kenapa orang dewasa itu menangis ... yang dikatakan Haikal benar kalau sedih akan menangis, tapi ada satu alasan lagi kenapa orang dewasa menangis.” Aisyah memberikan penjelasan yang menurutnya mudah dimengerti anak kecil di hadapannya. Tentu saja ia tak ingin membuat anak kecil itu s
Selama menunggu putranya ditangani tenaga medis, Harry, ayahnya Haidar mencari penyebab putranya menjadi korban kecelakaan tersebut. Beberapa fakta mengejutkan dirinya, terutama tentang perjanjian Toni dengan Haidar yang diberikan oleh petugas keamanan.Tentu saja, Harry merasa janggal saat melihat hasil rekaman CCTV di tempat parkir. Terlihat jelas bahwa kejadian tersebut bukanlah kecelakaan melainkan disengaja. Ia pun lantas memeriksa ponsel putranya. Untunglah Haidar tak pernah mengunci ponselnya, hingga Harry bisa leluasa memeriksa isi ponselnya. Beberapa dokumen dan bukti tentang Toni masih tersimpan rapi dalam ponsel Haidar. Termasuk identitas keluarganya Toni, yang menunjukkan bahwa pak Rudi adalah kepala sekolah.Alasan itulah yang membuat Harry berpikir bahwa pak Rudi lebih takut jika sampai Toni dipenjara karena sengaja mencelakai Haidar. Namun, yang membuat lelaki berparas bule itu menurut adalah mencari tahu pasti penyebab utama pemuda itu mencelakai putranya. Ia yakin se
“Nisa, kenapa bisa jadi begini? Kamu bilang yang bertanggung jawab atas Toni? Kenapa dia jadi anak nakal, bagaimana kalau orang-orang tahu jika anak seorang kepala sekolah mencelakai seorang dokter yang merupakan anak didiknya dulu?” Pak Rudi mencecar Nisa, kakaknya Toni yang bertanggung jawab atas anak tersebut.“Maafkan aku, Ayah. Aku juga nggak nyangka kalau Toni akan berbuat senekat ini,” sahut Nisa tak terima disalahkan.Pak Rudi yang kini sudah berusia hampir 60 tahun terlihat menahan amarahnya. Rambut hitamnya yang sudah berbaur dengan rambut putih, tetapi memberi kesan wibawa. Ia lantas mengatur napasnya mencoba untuk tenang. Anak lelakinya masih belum sadarkan diri di atas ranjang rawat.“Apa kamu sudah mencari tahu kenapa anak itu senekat itu?” tanya pak Rudi setelah emosinya sedikit reda. “Haidar adalah anak yang baik sejak masih sekolah, ayah tahu betul dia tak akan berani mengancam seseorang jika orang tersebut tidak salah,” ujarnya seraya memijat kepala bagian depannya.
“Kamu percaya ‘kan padaku?” tanya Haidar lembut.Aisyah hanya berdeham pelan. Masih ada sedikit ragu dalam dirinya, tetapi ia tak ingin tenggelam dalam rasa bersalah.“Baiklah, aku percaya. Tapi jika Toni bertingkah lagi, biarkan aku terlibat dan memberinya peringatan,” jawab Aisyah mencoba tenang.“Tentu saja,” sahut Haidar lega dari balik telepon. “Apa Haikal menyusahkanmu?” tanyanya.“Tidak, dia begitu penurut. Bahkan dia menyukai masakanku,” sahut Aisyah diakhiri senyuman leganya.Terdengar suara dehaman lega dari balik telepon. Aisyah yakin Haidar pasti tenang mendengar Haikal tak mengkhawatirkan dirinya. “Ya sudah, sebaiknya kamu istirahat saja! Jangan cemaskan Haikal! Aku akan menjaganya selama tiga hari hingga kamu pulih,” ucapnya.“Terima kasih, Aisyah. Kamu juga beristirahat, ya!” sahut Haidar lembut.Aisyah berdeham pelan, lalu mengucapkan salam pamit. Setelah Haidar menjawab salamnya, ia pun langsung memutuskan sambungan teleponnya. Wanita itu lantas bangkit dari duduknya
Suara adzan Subuh langsung membangunkan Aisyah yang tertidur di samping Haikal. Pelan-pelan ia menurunkan tangan anak kecil itu dari pinggangnya agar tak membangunkan Haikal. Wajah anak kecil itu beringsut sebentar menyadari posisi tubuhnya sedikit berubah, karena Aisyah menggeser tubuhnya.Setelah yakin Haikal kembali pulas, barulah Aisyah menuruni ranjang dan segera ke kamar mandi untuk membilas tubuhnya sebelum menghadap pada Rabb-nya di hadapan sajadah. Ya, wanita itu harus menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim sebelum melanjutkan aktivitasnya di rumah itu. Tak terlalu sulitnya untuknya menyesuaikan diri di rumah Haidar. Rumah besar itu memiliki ruangan khusus untuk shalat, sehingga Aisyah tak kesulitan mencari arah kiblatnya. Wajah cantiknya tampak khusyu sejak awal takbir hingga salam. Tak lupa ia memanjatkan doa pada Sang Maha Pemilik hidup.Nama Haidar dan Haikal selalu hadir dalam doanya. Mereka memiliki peran penting menjaga wajahnya selalu mengukir senyuman. Tent
“Atau kamu bisa meminta pak Rudi menemui kyai Reza, abinya Nurul untuk menemui seorang korban!” Ucapan Aisyah dari balik telepon langsung membuat Haidar sedikit tersentak. Ia masih berada di atas ranjang rawat ditemani pak Rudi yang menunggui keputusan dirinya perihal tuntutan untuk Toni. Lelaki yang dulu menjadi gurunya menatapnya cemas, menyadari ekspresi Haidar terkejut dan manahan cemas.“Bisa kamu jelaskan maksudnya!” pinta Haidar mencoba tenang.“Sepertinya Nurul mencoba memperkeruh suasa. Dia menghubungiku dan memberikan beberapa bukti tentang semua kejahatan Toni, tapi aku yakin sekali kalau dia juga terlibat. Bukti sudah berada di tanganku ... aku sudah mengirimkannya padamu melalui surel, periksa saja!” Haidar langsung mengakhiri panggilan telepon Aisyah setelah menjawab salam penutup darinya. Ia lantas memeriksa pesan masuk pada surel dari ponselnya. Haidar tak memperdulikan pak Rudi yang masih menunggu dirinya.Informasi dari Aisyah tampaknya lebih penting. Sama seperti
Kyai Reza bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia meminta Wahid untuk menggantikan dirinya memimpin pondok pesantren yang selama ini dibangunnya sebagai permintaan maafnya karena Nurul sudah menyulitkan hidupnya. Kyai Reza pun memberikan saran pada lelaki itu untuk menceraikan putrinya. Sungguh, ia tak sanggup menahan malu. Kyai Reza pun merasa bersalah pada Aisyah karena perbuatan putrinya, wanita itu harus menanggung akibatnya. Ia akan membawa Nurul menemui keluarga korban bersama dengan pak Rudi dan Toni, sebagai bentuk tanggung jawab mereka.“Aku akan ikut, Pak Kyai. Bagaimana pun juga sekarang Nurul sudah menjadi istriku dan akulah yang bertanggung jawabnya saat ini,” ucap Wahid membuat kyai Reza terkejut. “Walaupun itu adalah kesalahan Nurul di masa sebelumnya, tetapi saat ini aku adalah suaminya,” ujarnya.Kemudian Wahid meraih tangan kyai Reza, hingga lelaki paruh baya itu menatap menantunya heran. “Aku pernah melakukan kesalahan yang sangat fatal, menyia-nyiakan seorang istr
Aisyah hampir tersentak menyadari wajah Haikal berubah murung. Ia lantas mendekatkan wajahnya dengan anak kecil menggemaskan itu. Wanita itu tersenyum di balik cadarnya, tetapi tatapan lembutnya menggambarkan kehangatan.“Bunda seneng banget Ayah sudah pulang, tapi bunda ‘kan harus kerja kaya Ayah ... lagi pula Ayah baru pulang, jadi butuh waktu untuk istirahat dan ada Oma Reva di sini,” jelas Aisyah lembut.Sayangnya penjelasan Aisyah tak membantu anak kecil itu untuk sedikit lebih ceria. Haidar lantas memutar tubuh putranya menghadap dirinya yang tengah duduk di atas sofa. Tangan lembutnya Haidar membelai lembut wajah putranya.“Sayang, Bunda ‘kan sudah nemenin kamu selama tiga hari buat gantiin ayah. Kerjaan Bunda numpuk, jadi Bunda harus segera ngerjain biar cepat selesai ... nanti kalau kerjaan Bunda sudah selesai, pasti ke sini lagi buat nemenin Haikal dan ayah.” Haidar menasehatinya dengan lembut dan hangat.Haikal sedikit bergeming. Ia lantas menatap Revalina, seolah meminta p
Kehidupan Aisyah benar-benar terasa tenang. Dimas Fahri yang semula mencibir karena iri padanya, mulai menerima dan memahami alasan wanita cantik tersebut. Shahira yang benar-benar memutuskan berhenti dari dunia entertainer memilih membantu Aisyah membuat rancangan berbagai pakaian muslim.Bahkan Shahira memutuskan membeli sebuah ruko untuk membuka butik pakaian muslim dan Aisyah lah yang menjadi perancang busananya. Tentu saja, wanita itu lebih bersemangat. Hingga tak terasa masa iddahnya pun selesai dan rencana pernikahannya dengan Haidar akan terlaksana.Dokter tampan itu sudah merencanakan semuanya berjalan dengan lancar. Hingga di malam sebelum acara pernikahan mereka Zalimar mendatangi Haidar. Untuk pertama kalinya lelaki itu mendekati Zalimar dengan wajah penuh penyesalan yang sungguh-sungguh.Zalimar m
“Apa kita nggak kepagian, Aisyah?” tanya Nilam dengan tatapan bingung.Aisyah dan Nilam sudah berada di lokasi persidangan untuk kasus desainnya yang dicuri. Suasana di dalam gedung itu tampak sepi sekali, bahkan hanya ditemukan beberapa orang saja yang lalu lalang. Namun, Aisyah yakin ia tak terlalu pagi. Jadwal sidangnya memang di pagi hari dan sekitar 15 menit lagi persidangan akan di mulai.“Kayaknya nggak deh, Bu. Mungkin orang-orang memilih menunggu kedatangan kak Shahira yang akan melakukan wawancara sebentar dengan para wartawan sebelum acara sidang dimulai,” jelas Aisyah santun. Kemudian ia menunjuk bangku di samping gedung yang menghadap taman kecil. “Kita tunggu di sana saja, yuk!” ajaknya.Nilam menurut. Keduanya langsung berjalan dan duduk bangku yang masih koso
Usaha Haidar tak sia-sia. Kondisi Nurul kembali stabil. Ia pun lantas segera menyelesaikan operasinya, menutup lukanya dan menjahitnya dengan hati-hati.Haidar bisa saja memberikan tugas tersebut pada dokter lainnya yang berada di sana, karena itu adalah proses terakhir dan tak terlalu berat. Namun, ia memilih menuntaskannya sendiri. Haidar ingin bertanggung jawab penuh atas permintaan Wahid.Alasan lainnya, ia perlu memastikan bahwa pasien di hadapannya baik-baik saja agar bisa menjaga perasaan Wahid sebelum dirinya resmi menjadi suami dari mantan istri lelaki itu. Mungkin bisa diartikannya sebagai ucapan terima kasih sudah melepaskan Aisyah untuknya. Akan tetapi, ia tetap memastikan semua yang dilakukannya sesuai prosedur kesehatan.“Tutup lukanya dengan hati-hati!” perintah Haidar setelah selesai dan
Setelah mendapatkan persetujuan dari Aisyah, Haidar langsung bergegas ke rumah sakit. Sejujurnya, bukan persetujuan tetapi ia ingin memastikan Aisyah tak salah paham sebab Wahid memintanya secara khusus untuk menyelamatkan Nurul. Walaupun wanita itu pasti memahami dirinya yang seorang dokter, tak berhak untuk memilih pasien.Namun, kebesaran hati Aisyah tak bisa ia sepelekan. Wanita yang akan menjadi pasiennya adalah orang yang membuat hidup wanitanya hancur. Jadi, Haidar perlu memastikan perasaan Aisyah tak akan terluka.“Aku percaya padamu, Haidar. Lakukan tugasmu dengan baik!” Kalimat tersebut mampu menguatkan keberanian Haidar. Dokter tampan itu mampu mengesampingkan perasaan dan hatinya untuk fokus pada pekerjaannya. Tak butuh waktu lama, ia langsung menuju IGD dan bertepatan dengan Wahid yang baru saja tiba membawa istrinya.“Apa yang terjadi, Pak wahid?” tanya Haidar sembari menunggu petugas medis memindahkan tubuh Nurul ke ranjang beroda.Belum sempat Wahid menjawab, dokter t
“Bagaimana kamu masuk ke rumahku?” Nurul terkejut dan hampir saja ia terjengkang ke belakang. Toni tiba-tiba muncul di dalam rumahnya saat ia baru saja memasuki rumah setelah mengantar Wahid. Untunglah lelaki itu berhasil menahan tubuh wanita yang tengah hamil besar itu. Usia kandungannya yang sudah melewati tujuh bulan membuatnya kesulitan menjaga keseimbangannya. Namun, wanita itu langsung menepis kasar tangan Toni setelah berhasil menguasai keseimbangan tubuhnya. Wajah Nurul bahkan berubah panik dan cemas. “Mau apa lagi kamu menemuiku, Toni? Kita sudah tak ada hubungan apapun!” cecar Nurul cemas. Sesekali wanita itu menoleh ke arah pintu. Takut dan cemas, jika Wahid tiba-tiba kembali lalu memergoki dirinya bersama Toni. Ia sudah memutuskan untuk menuruti per
Sebuah mimpi yang begitu mengganggu Aisyah. Wanita bahkan tak bisa berpikir jernih. Takut jika mimpi itu menjadi kenyataan.Akankah kejadian yang sudah pernah ia alami akan kembali terulang? Aisyah benar-benar tak bisa tenang. Ia tak bisa berdiam diri hingga akhirnya memutuskan menemui Haidar di rumah sakit, tepat di jam istirahatnya.Tentu saja dokter tampan itu senang dikunjungi oleh Aisyah. Mereka memilih sebuah kafe di luar rumah sakit yang tak terlalu ramai. Setidaknya Aisyah perlu mengungkapkan rasa cemasnya dalam keadaan tenang.“Sepertinya ada masalah serius? Ada apa, Aisyah?” tanya Haidar yang bisa membaca jelas sorot mata wanitanya.Ya, walaupun hanya tatapannya saja, tanpa melihat wajahnya yang tertutup cadar Haidar bisa melihat tatapan gelisahnya.
“Maafkan aku, Aisyah. Aku tak bisa melanjutkan rencanaku menikahimu … Kita batalkan saja pernikahan ini!”Tubuh Aisyah terasa disambar petir di siang bolong. Kedua bola matanya yang membulat sempurna langsung tersiram air mata, banjir dan deras bak air terjun. Bibirnya bergetar, hingga ia kesulitan untuk membuka mulutnya.Aisyah sungguh tak menyangka, Haidar mengatakan hal tersebut tepat di hadapan kedua orang tuanya yang percaya sepenuhnya pada dirinya. Bukan itu saja yang membuatnya terasa terguncang, gaun putih yang menutupi tubuhnya tanpa memperlihatkan lekuk indah tubuhnya, serta rangkaian bunga melati yang menghiasi hijab lebarnya.Ya, di hari pernikahannya yang seharusnya berikrar sebuah akad, tetapi Haidar mengikrarkan kata maaf. Tak ada sirat penyesalan pada wajah lelaki itu. Hatiny
“Kak Shahira yakin?” tanya Aisyah sedikit tak percaya.Shahira yang dikenal sebagai artis yang selalu modis dan glamor, serta tak malu dengan pakaian seksi meski usianya sudah tak lagi muda. Itulah imej yang melekat pada artis cantik itu. Satu hal lagi, Shahira dikenal sebagai artis yang santun dan ramah, yang membuatnya tetap terkenal dan tak kalah dengan artis pendatang baru.Hari ini, Aisyah dan Haidar mendengar ungkapan hatinya. Artis cantik itu ternyata menyimpan beban yang berat. Shahira tak segera menjawab pertanyaan Aisyah.“Maafkan aku, Kak. Maksudku ... aku senang jika Kak Shahira ingin berubah menjadi lebih tertutup, tetapi harus dari hati agar Kakak bisa menemukan kedamaian dan ketenangan,” jelas Aisyah hati-hati, berharap kata-katanya tak menyinggung artis cantik itu. “Mm ... jika aku boleh kasih saran tentang rumah tangga Kak Shahira, sebaiknya coba jalin hubungan lebih baik lagi dengan suaminya. Menurutku dukungan dari suami adalah yang paling berharga, seberat apapun
Shahira tak segera menjawab. Artis cantik itu menurunkan tumpangan kakinya dan menegapkan wajahnya dengan ekspresi datar. Tentu saja tindakannya membuat sorot mata Aisyah cemas.“Aisyah sama sekali tak berniat untuk melanggar kontrak kerja, Kak. Dia hanya ingin mencoba desain pakaian yang tertutup tetapi tetap anggun,” seru Haidar mencoba menengahi. “Bukankah di kontrak hanya dicantumkan Aisyah membuat desain sesuai keinginan Kak Shahira, tidak dispesifikan bagaimana jenis desainnya,” imbuhnya.“Tidak spesifik? Contohnya?” selidik Shahira dengan tatapan penuh arti pada Haidar.Haidar mengulum bibir bawah dan atasnya ke dalam sembari berpikir. Jawaban apa yang bisa diterima oleh Shahira. “Maksud saya, desain pakaiannya tidak dijelaskan harus seksi dan terbuka,” jawabnya hati-hati, tetapi terdengar tegas.Asiyah sedikit bersyukur Haidar bisa membantu mengeluarkan rasa cemasnya, tetapi kini ia merasa was-was. Khawatir, jika respon Shahira justru memberikan penolakan. Terlihat jelas saat