"Assalamu'alaikum, Bu?!" salam Raja mengangguk sopan, senyum mengembang membuat wajahnya semakin terlihat menawan. "Wa'alaikumussalam, Aa. Panggil Uwa saja. Uwa Epon. Ini anak Uwa, Lina," jawab Epon dengan ramah, mengusap lengan Raja saat lelaki itu menyalaminya. "Iya, Wa. Saya Raja.""Mani bagus namanya, seperti orangnya, kasep!" Cahaya menatap jengah, namun tidak bisa berbuat apa. "Raja, Teh." Raja mengulurkan tangan pada sepupu Cahaya. "Lina, A." Lina menerima tangan Raja dengan sopan. "Ayo, silakan masuk!" tambahnya. Mereka pun beriringan masuk ke dalam rumah Cahaya. Epon dan Lina langsung pamit, begitu Raja sudah duduk nyaman di sofa ruang tamu rumah Cahaya, mereka percaya Cahaya dan Raja tidak akan melakukan hal yang dilarang agama, ditambah adanya Binar di sana. "Tidur dulu, A. Nanti kesiangan," ingat Cahaya saat melihat Raja malah menonton pertandingan bola bersama Binar. Raja menoleh sekilas, lalu kembali serius menatap layar kaca. "Sebentar, Sayang, ini tinggal seben
"Baiklah, tapi jangan disela, ya? Jangan mengambil kesimpulan apa pun sebelum aku selesai bercerita." Raja meminta kesediaan Binar. Binar kembali mengangguk setuju. Raja pun dengan yakin menceritakan semua kisahnya dulu dengan Cahaya. Kisah cinta sesaat yang tidak disangka akhirnya. Kisah cinta yang membuatnya enggan membuka hati untuk yang lain. Kisah cinta segi tiga, antara dia, Cahaya, dan juga ... Kim Young Jin. Sahabatnya. Sesekali tangan Raja mengusap wajahnya, saat desir perih terasa lagi, perasaan cemburu yang harus dia tahan melihat kebersamaan Cahaya dan Kim, saat gadis yang dicintainya lebih memilih sahabatnya dengan alasan lebih dulu mencintai Kim. Pelukan perpisahan, juga penolakan kembali ungkapan cintanya. Binar menggeleng menanggapi cerita Raja, tak menyangka perjalanan cinta lelaki yang penuh pesona itu sedemikian rupa. Dan kakaknya, penyebab luka di hati sang Arjuna. Luar biasa. Padahal kalau dilihat dari fisik Raja, gadis mana yang akan menolak pesonanya? Tapi
Cahaya tidak bisa memejamkan mata, dia bingung dengan perasaannya sekarang. Percaya pada semua omongan Raja? Atau apa yang matanya lihat tadi? Berat. Cintanya kembali diuji. Dulu Raja, sekarang dia. Tak pernah berharap bisa bertemu kembali dengan Raja, tapi Tuhan berkehendak mereka dekat lagi. Berhubungan lagi, tapi kemudian terluka lagi. Dan lebih parah, dia yang menjadi orang ketiga kini. Raja sudah menikah. Cahaya berbaring menyamping, rungunya masih bisa mendengar suara TV yang menyiarkan pertandingan bola. Dia yang tadi sempat tertidur di perjalanan, sekarang seakan kantuk enggan menyapa. Bayangan kebersamaan Raja dengan keluarga kecilnya begitu menyiksa, senyum bahagia dari wajah istri Raja, tercetak jelas dalam benaknya. Benar-benar wanita yang cantik. Sangat cantik malah. Pantas saja Raja memilihnya sebagai pengganti dirinya. Penggantimu? Yakin?"Tapi kenapa harus bohong?" monolog Cahaya pelan, mengingat dengan ringannya bibir Raja mengucapkan kata cinta, tapi ternyata dia
Binar yang baru kembali dari toilet, ikut bergabung. Tadi Raja memang meminta izin padanya untuk berbicara pada Cahaya, dengan ada Binar bersama mereka tentunya. Binar duduk di sebelah Cahaya, sedang Raja di depan keduanya terhalang meja. "Ada apa sih, A? Udah malam ini," tanya Cahaya merasa tidak enak hati dengan Binar, menoleh ke adiknya yang fokus pada layar ponselnya, mengabaikan TV yang masih menyiarkan pertandingan bola. "Aku sudah menjelaskan pada Binar tentang Khadi." Raja menatap dalam Cahaya, terlihat gadis itu melirik pada Binar yang seakan tidak mendengarkan pembicaraan mereka, bahkan remaja itu menyumpal kedua telinganya dengan headset, agar tidak mendengar pembicaraan sepasang kekasih yang sedang salah paham itu, namun Cahaya enggan untuk berkata-kata. "Yang kamu lihat tadi itu adik aku, Sayang. Dan anak yang memanggil aku papa adalah anaknya, keponakanku. Sampai saat ini, aku belum pernah menikah. Aku masih lajang. Bujangan, bukan duda seperti yang kamu katakan tadi
Binar yang melihat Raja kegirangan setelah Cahaya pergi ke kamarnya, membuka sumbatan earphone di Kedua telinganya. Dia tersenyum turut merasakan kebahagiaan Raja, yang walau dia belum tahu cerita sebenarnya. "A!" panggil Binar mengalihkan perhatian Raja. Raja menoleh pada calon adik iparnya, menyebrangi meja memeluk Binar."Dia mau, Nar! Cahaya mau menerima lamaranku!" ucap Raja penuh rasa kebahagiaan. Mendengar itu, Binar menepuk punggung Raja dengan bangga. "Wah, selamat, A!""Iya, Nar! Terima kasih." pelukan mereka pun terurai. "Emang kapan Aa mau lamar Teh Aya?" Binar kembali duduk setelah Raja juga menghempaskan tubuhnya di sofa. "Minggu ini, Nar. Tapi aku belum bilang sama bapak kamu, nanti ingetin Cahaya untuk bilang sama beliau, ya?""Tapi ... ambu kan masih sakit, A!" euforia kebahagiaan Raja terhenti, dia lupa keberadaannya di rumah Cahaya saat ini adalah karena Rosita yang mengalami musibah, tapi mengapa dia bisa lupa? "Ah, iya, Nar. Kenapa aku bisa lupa?" keluh Raja
"Aya ... Sayang!" Raja menggeram pelan, "Kamu malah menyiksaku dengan kata itu. Kalau kamu mau, hari ini pun aku sanggup melakukannya, tapi tentunya aku tidak bisa begitu saja. Kamu terlalu berharga untukku, aku ingin memberikan pernikahan yang menjadi impianmu, seperti keinginanmu."Cahaya tersenyum, dia sama tidak sabarnya dengan Raja sekarang. Membayangkan Raja menjadi suaminya kelak, membuat hatinya berdesir hangat. "Aku tidak menginginkan apa yang mungkin Aa bayangkan tentang pernikahan impian itu, cukup bagiku kata akad nanti kamu ucapkan dengan lantang.""Kamu tahu?" Raja melangkah perlahan, sedang Cahaya mundur menghindar. "Mendengar kamu berkata seperti itu, jiwa liarku terpanggil, Sayang!" Cahaya menahan tawa dan juga takut yang bersamaan, dia terus mundur dengan sesekali melihat kebelakang mencari celah untuk lepas dari ancaman tatapan lapar Raja, hingga begitu sampai di depan kamar dia berbalik dan langsung menutup pintu sambil berteriak. Brak!"Tunggu di sana! Aku ambi
Memasuki rumah Khadijah dengan semangat, kedatangan Raja disambut Syena yang menangis kencang di depan kamarnya. Gadis kecil itu terbangun, dan mencari keberadaan ibunya yang tidak terlihat begitu dia membuka mata. Raja menderap langkah memburu Syena, segera menggendong Syena yang langsung memeluknya erat, Raja mengusap punggung keponakannya itu sayang. "Kenapa, Sayang?" tanya Raja menenangkan, dia mencoba membujuk Syena agar sedikit tenang. "Bunda nggak ada, Papa!" jawab Syena di antara sedu sedannya."Nggak ada?" Raja menoleh mencari keberadaan adiknya, sejak dia masuk tadi, memang belum menemukan keberadaan Khadijah. "Lagi di belakang mungkin, Syena udah cari?" Syena menggeleng dalam pelukan Raja. "Ya sudah, kita cari bunda sama Papa."Raja melangkah menuju bagian belakang rumah Khadijah, begitu sampai dapur dia melihat Bi Sari--Assisten rumah tangga Khadijah--sedang menuangkan nasi goreng ke dalam mangkuk besar untuk majikannya sarapan. Wanita berumur empat puluhan itu, melih
Raja melangkah cepat karena dia terlambat lima menit dari waktu masuk kerja. Sungguh bukan sikap yang patut dibanggakan di hari kedua dia masuk kerja, untunglah tidak ada yang menyadari keterlambatannya selain kedua orang yang berjaga di lobi tadi. Raja menghampiri Indra yang selama ini menjabat sebagai manajer pemasaran sementara, selama manajer baru belum ada. "Pagi, Pak. Maaf saya terlambat tadi," sesal Raja pada Indra yang tersenyum menanggapi. "Iya, Pak Raja. Tidak apa. Oh, ini nanti tolong diperiksa ya, Pak? Barang reject banyak sekali, Mr. Park sampe geleng kepala ini." Indra menunjukkan kertas di tangannya. "Ini barangnya sudah balik lagi, Pak?" tanya Raja memeriksa kertas pemberian dari Indra. "Siang ini sepertinya. Dan wacana mengirimkan karyawan ke Korea, sepertinya tidak bisa dihindari," terang Indra mengalihkan perhatian Raja dari kertas yang dipegangnya. "Pengiriman karyawan ke Korea?""Iya, untuk mempelajari apa penyebab barang yang kita produksi meledak saat dipa
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe