Hadi yang tengah berbincang dengan Yusuf, menoleh ke bagian depan rumah saat tawa Raja dan putrinya terdengar. Sekilas lalu, Hadi sempat melihat raut wajah tak nyaman dari Yusuf. Dia paham, sangat paham, kalau saat ini Yusuf pasti tengah menahan diri atas semua keadaan yang dihadapinya. Tapi apa yang harus dilakukan? Hubungan Yusuf dan Cahaya sudah jauh tertinggal di belakang, walau Yusuf pernah mengatakan niatnya untuk mempersunting Cahaya, tapi dia tidak memberikan keputusan sama sekali waktu itu, karena tidak ingin salah mengambil tindakan dalam memutuskan masa depan putrinya. Dan itu terbukti, karena Cahaya ternyata memiliki seseorang yang diam-diam memujanya, bahkan keluarganya pun bisa dengan tulus menerima segala keterbatasan ekonomi keluarganya. "Nar, coba panggil si teteh, malah becanda di depan. Bukannya mereka mau pergi? Nanti keburu malam," kata Hadi pada Binar yang duduk di dekat Rosita. "Iya, Pak." Binar dengan sigap beranjak bangun, melangkah ke depan rumah untuk mem
Merasa tidak nyaman, Yusuf pun akhirnya memilih untuk pamit. Berada terlalu lama di tengah kebahagiaan keluarga Cahaya, hanya menambah sakit hatinya saja. Mengeluarkan amplop yang sudah diisi beberapa lembaran rupiah, Yusuf mendekat pada Rosita. "Ambu, Yusuf pamit. Ini ada tanda sayang Yusuf sama Ambu, tolong jangan ditolak." Yusuf menyisipkan amplop itu disela tangan Rosita. Rosita yang tidak menyangka Yusuf akan memberinya uang, menatap bergantian tangan dan wajah Yusuf, sementara yang lain hanya diam menyaksikan. "Ini apa, Aa?""Mohon diterima Ambu, hanya sekadarnya tanda kasih sayang saya sama Ambu. Maaf untuk yang lain, jangan merasa tersinggung dengan pemberian saya untuk ambu, itu tanda kasih sayang saya pada Ambu." Yusuf menoleh bergantian pada Hadi, Cahaya, dan terakhir Raja. Dia menatap Raja cukup lama, karena Yusuf sudah mulai mengira siapa Raja dari keterangan yang Hadi jabarkan tadi, dia tak ingin Raja tersinggung karena telah memberikan sejumlah uang pada Rosita. Raj
"Nanti kalau Teteh pulang Ambu tidak ada, tolong jangan sedih, ya? Jangan nangis, kan sekarang udah ada si Aa yang jagain Teteh, mencintai juga menyayangi Teteh. Ada ummi juga yang akan menjadi pengganti Ambu nanti," kata Rosita saat Cahaya menyalaminya untuk berpamitan, mendengar perkataan ibunya, Cahaya mengernyitkan dahi heran. Entah apa yang menjadi pemikiran Rosita berkata seperti itu. "Emang Ambu mau pergi kemana? Lagian cuma tiga hari Aya nanti balik lagi, sabtu sore juga udah ke sini lagi." Cahaya memeluk tubuh Rosita hati-hati, tak ingin pelukannya mengenai badan Rosita yang masih sakit. "Ya bisa saja kan Ambu lagi pergi ngurus keperluan Teteh, kan nggak ketemu.""Iya, Aya tidak akan menangis. Orang cuma ditinggal sebentar, masa nangis? Aneh aja Ambu ini." Cahaya terkekeh, melabuhkan kecupan-kecupan kecil di pipi Rosita, entah kenapa ada rasa berat meninggalkan ibunya itu. Rosita tersenyum merasakan peluk dan ciuman yang Cahaya berikan, tangannya menepuk lengan Cahaya yang
Menyamankan duduknya, Cahaya menatap lurus ke depan, menatap jalanan yang akan dilewati meninggalkan tanah kelahirannya. Di sampingnya Raja tampak sedikit gelisah, Raja ingin segera menyampaikan kabar yang entah akan ditanggapi seperti apa oleh kekasihnya itu. Apa akan bahagia? Atau mungkin merasa kecewa? "Emm ... Sayang?!" Cahaya membuka obrolan keduanya, dia melihat pada Raja yang menoleh karena panggilannya. "Ya?!""Apa untuk cincin sudah dibicarakan sama ummi?""Belum, seperti yang aku bilang kemarin malam, nunggu modelnya dari kamu." Raja kembali menatap ke depan. "Kan sudah aku bilang gimana baiknya aja, takutnya malah nggak keburu kalau pesannya mendadak.""Sepertinya masih bisa, Sayang. Tenang aja.""Yakin?""Tentu, makanya sekarang kita ke rumah Khadi dulu sebelum ke kosan kamu, ya?""Apa tidak terlalu malam nanti pulangnya?""Ya kamu nginap aja di rumah Khadi kalau begitu.""Yee, sama aja bohong. Kamu nggak nginap di rumahku, aku yang nginap di rumah Khadi."Raja tertawa
"Aku nggak menyangka kamu bisa berpikir seperti itu. Aku tahu, aku sudah sangat menyakiti kamu dulu, menghancurkan hati kamu. Tapi sungguh, aku tidak seperti apa yang kamu pikirkan, Sayang," ucap Cahaya dengan suara bergetar kecewa, ternyata begitu menyakitkan mendapati lelaki yang begitu menguasai hati, tidak percaya padanya. Raja terkesiap, tak menyangka kalau pemikirannya membuat Cahaya bersedih. "Sayang ... maaf." Dan meminggirkan mobil adalah pilihan Raja selanjutnya untuk memberikan penjelasan. "Aku minta maaf sudah berpikir sedangkal itu." Raja meraih tangan Cahaya. "Terus terang aku seharian ini bingung dengan hasil rapat tadi, memikirkan akan kembali berjauhan dengan kamu selama paling sebentar enam bulan, membuatku dadaku sesak. Kita baru saja kembali bersama, tapi enam bulan perpisahan sudah membayang di depan mata. Apalagi kemungkinan kamu bertemu kembali dengan dia di sana sangat besar, belum apa-apa saja hatiku sudah meradang ... cemburu, Sayang! Ditambah lagi tadi ad
Cahaya terus saja tidak mau melihat ke arah Raja, kekasihnya itu telah membuatnya malu dua kali. Karena lagi Raja mengambil ciumannya yang kedua, dengan lebih lama dan lembut. Dan, kembali Cahaya pun tak mampu menolak. Dih, bilang aja mulai doyan. Diam! Raja terus tersenyum atas kemenangannya, dia sungguh tidak menyangka Cahaya belum pernah berciuman, dia pikir dengan Kim Cahaya pasti pernah melakukannya, tapi ternyata itu salah besar. Dan dia sangat yakin akan cinta Cahaya untuknya sekarang, bahwa dari dulu dialah yang dicintai gadis itu, bukan Kim. Jadi tak ada kekhawatiran sama sekali untuk melepaskan Cahaya pergi ke Korea, apalagi statusnya kini adalah calon istrinya, Raja akan memberikan kepercayaan penuh pada Cahaya."Sayang?!" Raja menoleh pada Cahaya yang terus memalingkan wajah, mereka sudah kembali melanjutkan perjalanan, dan sebentar lagi akan memasuki keramaian kota tempat mereka mengadukan nasib mencari rupiah. "Hmm?!" Cahaya menjawab enggan. Bukan enggan tapi malu.
"Assalamu'alaikum. Kenapa Ummi belum tidur? Sudah malam loh ini," tanya Cahaya setelah menyalami dan mendapatkan pelukan hangat dari Mukta. "Wa'alaikumussalam, Cantik. Ummi sengaja nunggu anak Ummi. Kenapa malam sekali? Kalian pergi kemana dulu memangnya? Ayo, masuk." Mukta menarik tangan Cahaya lembut, mengabaikan Raja yang berjalan di belakang calon menantunya. "Sepertinya sekarang yang anak Ummi Cahaya, deh." Raja merajuk, mengikuti langkah dua perempuan terkasihnya. Mukta menoleh sekilas menanggapi omongan Raja, namun tidak berniat menjawab sama sekali. Rupanya bukan hanya Mukta yang masih terjaga, begitu Cahaya memasuki ruang tengah. Tampak Denni, Khadijah, juga Farhat seperti sengaja tengah menunggu kedatangannya. Hanya Syena yang nampak tertidur lelap di karpet bulu depan TV yang menyala. "Malam sekali, Teh? Diajak kemana dulu sama si Aa?" tanya Khadijah pada Cahaya begitu calon kakak iparnya memasuki ruangan, dengan Mukta yang seakan tidak ingin melepas genggaman tanganny
Cahaya langsung menundukkan kepala, saat kembali Ingatannya terpusat pada sentuhan lelaki tampan, yang sudah tidak bisa dia ingkari lagi ketergantungannya akan keberadaan Raja. "Hei! Kok malah nunduk?!" tanya Raja merasa heran, namun saat Cahaya kembali mendongak dan menatap matanya, Raja bisa melihat rona merah di wajah Cahaya. Lelaki itu tersenyum simpul, gemas dan merasa sangat ingin merengkuh Cahaya dalam dekapan hangatnya. "Jadi?" "Aku cocok dengan keduanya, jadi tinggal kamu saja sih yang nentuin lebih mau yang mana," jawab Cahaya dengan kembali memalingkan muka, dan kini tatapannya bersirobok dengan Mukta yang terus tersenyum. "Aku pilih ini kalau begitu, deal ya?" Cahaya kembali melihat pada ponsel Raja, kemudian mengangguk setuju. "Ok, aku kirim ke Khadi kalau gitu.""Nginap di sini ya, Sayang?" tawar Mukta pada Cahaya setelah Raja memutuskan cincin pilihan mereka. Cahaya menoleh pada Raja, yang kini sudah memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku kemeja. Raja hanya meng
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe