“Kau … kau!”
Jude membawa pandangannya ke arah Drake, dan melotot galak.
“Kau apakan aku, hah?”
“Hah?” Drake malah membeo.
“Ancalagon telah merobek pakaianku, dan dia melukai lenganku. Sekarang … sekarang, oh, astaga! Aku sudah berganti pakaian!” Jude merentangkan tangan kaget. Ia menunduk, memandangi dirinya dalam balutan piyama kain linen baru. Luka di bahunya pun sudah dibebat.
“Kau kah yang melakukannya?”
“Oh, itu.” Mendadak wajah Drake merona. “Aku, yeah, tidak bisa membiarkan lukamu terbuka tanpa perawatan, kan?”
“Seharusnya kau tidak boleh melakukannya! Belum pernah ada yang melihat … melihat tubuhku selain diriku sendiri.” Pipi Jude terbakar emosi.
Drake mengedik ringan. “Aku tidak bisa membiarkanmu tidur dengan pakaian compang-camping.”
“Kau ….” Jude menatap Drake yang balik menatapnya lugu. Mendadak, emosi itu sirna. Bahu Jude merosot lemas.
“Kau benar,” katanya kemudian, dengan nada rendah tanpa semangat. “Seharusnya aku berterima kasih padamu.”
“Eh.” Drake semakin bingung. “K-kenapa begitu?”
Jude menghela napas. Ia benci diingatkan lagi pada nasib buruk budak yang ia temui di ruangan Ancalagon, dan budak yang diseret Rodelline.
Jika dibandingkan budak naga lain, Drake memperlakukannya jauh lebih manusiawi. Bahkan, Drake tidak pernah menyentuhnya sama sekali, kecuali di ladang gandum pamannya ketika naga itu memberi tanda di kulitnya.
Sementara Jude tenggelam dalam keresahannya, Drake berdeham keras-keras.
“Kau tidak boleh memasang tampang menyedihkan seperti itu, saat aku sedang memarahimu, Jude.” Drake membusungkan dada, dan bicara dengan nada tegasnya yang semula.
“Aku tidak sedang memasang tampang menyedihkan untuk mendapat belas kasihmu.” Jude mendebat. “Aku serius soal berterima kasih.”
“Kendatipun demikian, kau tetap bersalah.” Drake tampak susah payah menjaga wibawanya. Jelas sekali, tidak ada sisa kemarahan di wajahnya yang rupawan. “Berjanjilah untuk tidak mengulangi kesalahan seperti ini. tindakanmu yang sudah melanggar perintah telah menyebabkan risiko fatal, Jude, kau bisa mati kalau aku tidak berhasil menemukannya tepat waktu.”
Jude menunduk hanya demi sopan santun. “Aku minta maaf,” katanya rendah hati. “Aku tidak akan mengulanginya. Semua yang kulakukan didorong oleh rasa takut yang seharusnya bisa kau mengerti.”
Drake menghela napas panjang. “Ya, aku bisa maafkan yang satu ini. Jika kau mengulanginya lagi, menempatkan dirimu dalam masalah lagi, terutama saat aku tidak ada … serius, Jude, aku akan menghukummu.”
Bulu kuduk Jude meremang saat mendengar kata hukuman. Ia tidak mau disiksa seperti budak Ancalagon, atau diseret seperti budak Rodelline. Diluar keinginannya, Jude mulai terisak.
“Hey, yang aku katakan adalah, jika nanti kau lakukan lagi kesalahan. Bukan berarti aku akan menghukummu sekarang.” Drake melembutkan suaranya.
“Aku hanya ….” Jude menangkup wajahnya yang basah oleh air mata, dan menyusut pipi dengan punggung tangan. “Aku hanya ingin pulang,” katanya serak.
“Aku ingin kembali ke ladang, walaupun kukira, jika aku punya kesempatan pergi dari sana, aku tidak akan pernah kembali. Selama ini kukira tinggal bersama paman dan bekerja di ladangnya merupakan siksaan berat, tapi, bekerja keras di ladang jauh lebih baik ketimbang harus hidup di dalam kastil penuh naga yang menyiksa manusia.”
Drake menggeleng sendu. “Kau tidak bisa pulang. Tidak ketika ada naga lain sedang mengincarmu. Nasibmu akan jauh lebih buruk, jika aku melepasmu pergi. Percayalah, Jude. Kau akan jauh lebih aman bersamaku.”
Jude terdiam. Ucapan Drake nyata adanya. Ia telah melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana nasib manusia lain di tangan naga selain Drake. Nasibnya jauh lebih baik. Setidaknya, sampai detik ini.
“Baiklah, aku berjanji tidak akan mencoba kabur lagi.”
“Bagus.” Drake mengangguk puas. “Jangan pernah lagi keluar dari ruangan ini tanpa aku menyertaimu, mengerti?”
“Ya.”
“Dan lagi, akhir-akhir ini aku akan sangat sibuk mengingat kaum naga sedang dalam persiapan menghadapi masa perang perebutan wilayah melawan kaum griffin.”
Jude mendengarkan dengan patuh.
“Pastikan kau akan tetap diam di ruangan ini, selama aku tidak ada.” Drake menambahkan.
Jude mengangguk tanpa ragu. “Ya,” katanya mantap.
Dan begitulah, di kemudian hari Jude tidak pernah pergi keluar ruangan selama Drake disibukkan urusan persiapan perang.
Namun nyatanya, tetap diam di dalam ruangan dan memastikan dirinya aman, tidaklah semudah yang Jude kira. Berkali-kali didapatinya, Ancalagon berusaha keras masuk ke dalam ruangan dengan berbagai alasan.
Suatu malam, ketika Drake tidak kembali karena disibukkan urusan pasukan perang para naga, Jude dibangunkan suara ketukan keras di pintu.
Gadis itu melirik jam yang menunjukkan waktu tengah malam. Ia ragu, Drake lah yang mengetuk pintu. Namun begitu, ia harus tetap bangun untuk memastikannya. Tanpa rasa curiga, Jude membuka pintu dan terkejut mendapati Ancalagon berdiri di sana.
“M-mau apa kau?” Jude bersiap menutup pintu kembali, namun sang naga kuning segera menahannya.
“Sabar dulu. Begitukah caramu menerima tamu? Apa tuanmu tak mengajarkan sopan santun?”
Kening Jude berkerut. Ia memang dilarang keluar ruangan, bukan berarti dia tak boleh menerima tamu.
“Aku … harus bertanya soal ini pada Drake.” Jude berkata gugup.
Ancalagon menjilati bibir menahan diri. “Hm, soal apa?”
“Menerima tamu,” ucap Jude polos. “Sebenarnya, Drake melarangku keluar sendirian.”
“Kau tak perlu keluar,” kata Ancalagon tidak sabar. “Aku yang masuk.”
“Um … maaf, aku tak yakin.” Jude bergerak gelisah.
“Biarkan aku masuk.” Ancalagon mendorong pintu terbuka lebih lebar, tapi Jude menahannya sekuat tenaga.
“Er, tunggu dulu.” Jude meringis salah tingkah. “Maukah kau … um, setidaknya memberiku waktu untuk … um, bersiap-siap.”
“Bersiap-siap?” Alis Ancalagon berkerut. “Untuk apa?”
“Menerima tamu.” Jude nyengir lebar. “Kau pasti lebih nyaman jika aku lebih … um … mempersiapkan diri.”
Jelas, Jude hanya beralasan. Ia hanya perlu menutup pintu dan menguncinya rapat. Tapi untuk itu, Jude perlu waktu. Setidaknya, Ancalagon harus mundur agar ia bisa menutup pintu, dan menguncinya.
Hati Jude berdegup keras. Ia berharap Ancalagon tidak mendengarnya. Jude tidak mau Ancalagon menangkap kegelisahannya yang mungkin akan merusak rencana.
“Apa itu benar-benar perlu?” Ancalagon menelengkan kepala.
“Sangat perlu.” Jude tersenyum sebaik yang ia bisa. “Aku tidak terbiasa menerima tamu, ehm, kehormatan, dengan penampilan seada-adanya.”
Mata Ancalagon membesar. Sorotnya berkilau penuh semangat.
“Baiklah,” katanya sambil mengambil langkah mundur. “Jangan lama-lama.”
“Oke.” Jude mengangguk sopan, dan tersenyum lagi. Ia harap, senyumnya kali ini terlihat jauh lebih manis dari sebelumnya.
Ancalagon memaku Jude dengan tatapannya untuk sepersekian detik. Sesaat, Jude mengira naga itu tahu akal bulusnya. Namun, ketika Ancalagon mengangkat bahu dan menyugar rambut penuh gaya, Jude tahu ia telah berhasil.
“Tunggu di sana.” Jude mengedip, sebelum mendorong pintu menutup dan menguncinya cepat.
Ia memasang gerendel raksasa, dan menambahkan beberapa barang seperti guci dan kursi-kursi yang ia dorong sekuat tenaga.
Setelahnya, Jude duduk memeluk lutut di atas ranjang. Detak jarum jam seolah menghitung sisa nyawanya, seandainya Ancalagon habis kesabaran di luar sana, dan Drake tidak kembali tepat waktu untuk menyelamatkan nyawanya.
Di tengah kegelisahan, pintu raksasa yang Jude awasi selama bermenit-menit, digedor keras. Cukup keras hingga membuat Jude terlonjak dari tempatnya.
“Buka atau kudobrak pintunya, Jude Smith!” Jude menutup kedua kuping dan menangis. Ia menunggu Ancalagon meledakkan pintu, dan menyongsong akhir hidupnya sambil menghitung mundur. “Tiga ….” “Jude, kau serius?” “Dua ….” Jude terisak semakin keras. “Sa ….” Brak! Pintu ganda keemasan yang menjulang megah, meledak seketika. Jude tidak berani membuka mata. Ia tetap duduk meringkuk di atas ranjang, dan menangis sampai matanya perih. Gadis itu sudah sangat siap jika Ancalagon menyerangnya sekarang. Namun, hal itu tidak kunjung terjadi. Alih-alih mendapat serangan brutal yang biasa dilancarkan Ancalagon, pergerakan lembut di sisi ranjang membuat Jude refleks mengangkat wajah. Wajah teduh Drake menatapnya khawatir. “Apa yang terja⸻” “Drake!” Jude melompat dari tempatnya duduk, dan nyaris menghambur ke pelukan Drake kalau saja ia tak menahan diri tepat waktu. Keduanya bergerak canggung dari jarak setipis helaian rambut. “Maaf, aku … um ….” Jude menjilat bibir gugup, dan berkali-kali
“Apa yang membuatmu berubah pikiran?” Jude balik bertanya. Drake tertawa kecil. “Kau harus belajar untuk menjawab pertanyaan dengan pernyataan, manusia kecil.” Jude cemberut. “Ya, aku memang lapar. Tapi kurasa, aku belum bisa menikmati hidangan yang disajikan di atas paksa dan siksa.” Drake tertawa ringan menanggapi sarkasme Jude. Dengan santai, ia mendului Jude duduk di kursi keemasan berpunggung tinggi, dan membalik piring. “Wah, tuna sirip biru kesukaanku!” Drake mengisi piringnya banyak-banyak, dan mulai makan dengan lahap. Jude memperhatikannya dengan sudut bibir terangkat. “Oh, lihat bagaimana dia begitu menikmati keringat manusia yang diperasnya.” “Jangan terus merutuk begitu. Datang dan makanlah bersamaku, atau akan kugigit kau!” Jude terbelalak ngeri, lalu buru-buru menghampiri Drake dan duduk berhadapan dengannya. “Makanlah,” kata Drake tanpa kehilangan senyuman. Ia selalu senang melihat wajah ketakutan budaknya yang manis. Jude mengambil sepotong kentang rebus, dan
“Agar kau senantiasa tampak tertutup.”Jude tersenyum sangat manis. “Ya, dengan senang hati.” Sesungguhnya ia tidak peduli sekalipun Drake memintanya hadir ke pesta dengan pakaian compang-camping. Jude hanya ingin datang dan melihat dengan mata kepala sendiri kemeriahan pesta dansa yang selama ini hanya ada dalam angan-angan.“Pestanya dimulai jam delapan nanti. Kita masih punya waktu sekitar dua jam. Apa makanan sudah tersedia?”“Ya, tentu.” Jude mengangguk tak sabar. “Kau bisa makan sendiri, sementara aku bersiap-siap, ya.”“Jangan, Jude.” Nada rendah sarat kewaspadaan dari ucapan Drake berhasil menghentikan langkah ceria Jude. “Kau harus menemani tuanmu makan kecuali jika aku memintamu pergi, begitu aturannya.”“Oh, maafkan aku.” Jude membungkuk-bungkuk. “Aku harus banyak bela
Saat Drake membuka pintu utama, angin malam dari lorong koridor berembus meniup rambut Jude ke balik bahu.Bulu kuduk si gadis meremang seketika. Terakhir kali ia pergi ke luar ruangan adalah di hari kala ia mencoba untuk kabur dari Drake.Jude pastikan itu akan jadi percobaan pertama dan terakhirnya, karena apa yang ia temui di luar sana jauh lebih mengerikan dibanding dikurung seorang diri di dalam aula Drake.Keduanya berjalan dalam diam. Hanya suara kelotakan sepatu yang terdengar memantul ke dinding batu sepanjang lorong. Setelah tiba di tikungan akhir menuju aula utama, suara-suara dengungan keramaian menjalar hingga tempat Jude berjalan. Semakin lama semakin jelas.Pencahayaan pun sudah tak lagi didominasi obor-obor. Pantulan api yang bergoyang-goyang di dinding batu berubah menyaru dengan kemerlap cahaya yang jauh lebih terang.Saat keduanya berbelok, nampak oleh Jude naga-naga berbagai jenis memenuhi lorong-lorong menuju aula besar. Gadis itu merinding ketakutan, tapi ia beru
“Hati-hati.” Drake menangkap lengan Jude tepat waktu sebelum si gadis jatuh menyentuh lantai. Kejadian itu menarik perhatian semua orang, tak terkecuali sang raja.“Oh, gaun yang indah, kan, Drake Aiden? Kau pintar memilih seorang budak.” Suara sang raja menggema ke dinding aula, sekalipun pria gagah itu bicara dengan nada tanpa tekanan.Drake tersenyum salah tingkah. “Aku tidak punya banyak persediaan. Dia budak pertamaku.”“Tidak apa-apa.” Raja Aiden tersenyum sumringah. Ia mengibaskan ekor jubahnya, dan duduk tegap di kursi megah ujung meja, menghadap pada kaumnya.“Nah, aku senang kalian bisa menikmati pesta walaupun kenyataannya, pesta ini hanya hiburan sebelum besok kita bermandi darah.” Raja Aiden melempar lelucon, memaksa para naga tertawa tak ingin.“Aku harap, sedikit hiburan bisa melemaskan otot-otot yang menegang, yang sudah ditempa di arena tarung belakangan ini, agar kita semua bisa turun ke medan laga dalam performa terbaik kita.” Raja Aiden memiringkan kepala ke arah p
“Jude Smith!” Drake memperingatkan Jude yang sudah kadung berang. Karena emosi yang begitu meluap-luap Jude jadi tidak bisa mendengar teguran Drake. Alih-alih menahan diri, Jude malah beranjak dari tempatnya duduk dan melangkah berani mengitari meja. Diraihnya lengan budak Ancalagon yang meringkuk di lantai, dan membujuknya agar mau bangkit.Gadis itu menggeleng-geleng ketakutan. Ia tidak mau membuat tuannya lebih marah lagi. Karena kasihan, Jude melepas selendang gaun dari bahunya, lalu menyelimuti budak Ancalagon yang tampak mengenaskan.Sama terkejut dengan yang lain, Ancalagon yang sempat tak bisa berkata-kata, kini telah kembali mendapatkan kesadarannya.Pertunjukkan heroik Jude telah mengusir rasa mabuk yang sempat membuat Ancalagon linglung. Sambil bertepuk tangan dengan gaya dibuat-buat, Ancalagon berbicara keras-keras hingga seluruh aula bisa mendengarnya.“Pertentangan seo
“Itu ….” Drake menarik-narik daun telinga gugup. “Sesuatu yang akan disiapkan pelayan istana, segera.”Tak lama, gaun yang dimaksudkan tiba. Seorang wanita kusut masai membawa peti kecil dan memberikannya pada Jude. Ia melirik sekilas ke arah Jude dengan mata sendu tak bercahaya, seolah mengasihani gadis molek di hadapannya itu.“Pakai semua itu, beberapa diantaranya akan melindungimu dari … um … goresan.” Drake tampak kacau. Ia berjalan hilir mudik di aula kastilnya, sambil menunggu Jude membongkar keseluruhan isi peti.“Apa ini?” Jude menarik keluar sebuah gaun mini berwarna kuning cerah yang seolah bisa bersinar dalam kegelapan.“Itulah gaun buruan.” Drake sendiri merasa geli melihatnya. Selama ini ia tidak pernah ikut serta setiap diadakannya acara tersebut. Baginya, berlomba mengejar para budak yang berlarian di seb
Jude mengerjap kaget.“Aku ….” Ia kehilangan kata untuk beberapa saat. Pasalnya, Jude merasa gadis Anglo itu benar. Dialah penyebab acara perburuan ini diadakan. Andai saja ia tidak bersikap sok pahlawan, mungkin malam ini dirinya sedang tidur nyenyak di kastil Drake.“Apa yang kau lakukan di pesta tadi … sungguh mengagumkan. Aku merasa gugup duduk di sampingmu, sementara diriku ingin sekali mengajakmu bicara.” Mata gadis itu berbinar-binar mengejutkan Jude.“Kau sungguh pemberani,” pujinya tulus.“Aku tidak ….” Jude mengedip-ngedip. “Sungguh, aku hanya … andai saja kau lihat bagaimana Ancalagon memperlakukan budaknya. Tapi sungguh, aku bukan pemberani seperti yang kau pikirkan. Kalau aku punya sedikit saja keberanian, mungkin, aku tidak akan ada di sini bersamamu.”Gadis itu tertawa. Sebuah t
Baik Jude maupun pria tua pemilik toko roti saling bertukar kedipan bingung. Keduanya diam sejenak sebelum kemudian pria tua itulah yang bicara.“B-bagaimana bisa … oh, astaga! Bagaimana bisa aku mengabaikan tanda itu di lehermu! Seumur hidup tak pernah kukira akan melihat tanda itu dengan mata kepalaku sendiri!”Kepanikan pria itu menular cepat pada Jude. Gadis itu meringis dan berkata, “Tanda apa?”Pria tua menunjuk leher Jude dengan jemari bergetar. “Kalung perbudakan!”Disitulah Jude ingat keberadaan kalung di lehernya. “Ah, ini.” Si gadis meraba lehernya. Kalung itu terasa dingin di jemari Jude. Jauh lebih dingin dari terakhir kali Jude ingat. Pikirannya melayang pada Drake dan merasa sangat menyesal karena telah membayangkan hal buruk terjadi pada sang naga biru.“Pergi sana!” Tahu-tahu pria tua itu berteriak. Jude terperanjat kaget.“Apa? T-tapi kenapa?”“Pergi! Aku tidak menerima apapun yang berhubungan dengan naga!”“Tapi, Sir⸻” Jude tak sempat menyelesaikan ucapannya karena
“Situasi sulit macam apa yang telah membuat naga biru tertunduk begitu lemah?” Tetua terkekeh. Ia memetik ujung daun hijau tua di hadapannya, dan memeriksa hal tersebut seolah itu adalah sesuatu paling penting yang harus ia lakukan.“Nyawaku.” Mata biru Drake berkilat muram, sejenak setelah ia mengatakan hal tersebut.Tatapan Tetua jatuh pada pelepah daun yang terkulai di jemarinya. Ia terlihat sedang berpikir keras hingga dahinya yang semula mulus kini berlipat-lipat.“Situasi sulit,” ucap Tetua nyaris tak terdengar. “Sangat sulit, Naga Biru….”***“Ssshhh ….” Dari tempatnya bersembunyi, Jade bisa melihat sosok naga kuning yang merayap berbahaya. Gadis itu gemetaran dari kepala hingga kaki. Desisan Ancalagon memanas di telinganya.Tak ada yang bisa dilakukan Jude kecuali terus bergerak mundur. Punggungnya menabrak deretan jubah besar dan berbulu, beberapa rompi perang dan deretan pakaian pesta aneka warna milik Drake, hingga kemudian Jude sadari Ancalagon tak terlihat lagi.Gadis itu
“Hm … aku bisa mencium baumu, Sayang. Dekat … dekat sekali.” Suara Ancalagon menggeram rendah menyakiti telinga Jude yang berusaha bergerak tanpa suara.Jude memejamkan mata. Ia menunggu Ancalagon yang mengintai di sisi ranjang sedikit menjauh, sebelum kembali bergerak sangat hati-hati.Beruntungnya, tubuh mungil Jude bisa diajak bekerja sama dengan baik. Seprai beludru merah yang melingkupi ranjang menutupinya dengan sempurna. Dan Ancalagon dalam bentuk naganya terlalu besar untuk bisa membungkuk serendah batas seprai.Saat naga itu mengitari sisi lain ranjang, Jude tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan gesit, ia menyelinap ke kaki ranjang yang berbonggol-bonggol, merayap ke sisi lemari dan menyelundup ke balik peti baju zirah.Sialnya, kaki Jude menyenggol helm tempur di dalam peti menyebabkan bunyi kemeretak pelan. Gadis itu mengutuki diri.“Dasar, Bodoh!” erangnya dengan gigi terkatup.“Aha!” Suara Ancalagon terdengar sangat gembira. Dari tempatnya bersembunyi, Jude bisa melihat
Nyatanya, semakin Jude mengabaikan suara itu malah semakin jelas terdengar. Si gadis kembali duduk tegap. Diperhatikannya daun pintu dengan hati berdegup kencang.“Drake?” panggilnya serak. Jude menyesali suaranya yang tercekat. Ia tidak pernah menyukai rasa takut, namun sepertinya takdir senang bermain-main dengan hal-hal menakutkan.“Tenang, Jude, Ancalagon sedang pergi berperang, kan. Tidak ada yang lebih mengerikan dari naga kuning satu itu.” Jude mengusap dada, menenangkan diri.Ia menunggu beberapa saat hingga suara garukan itu menghilang. Lama Jude terdiam dalam gelisah, hingga kemudian ia memberanikan diri untuk pergi memeriksa pintu.Drake sudah menambah pengamanan khusus yang membuat pintu bisa dibuka dari luar hanya oleh sang naga seorang. Tak ada yang bisa membukanya dengan mudah, jika tidak memiliki identitas pemilik kastil. Begitulah yang Drake katakan pada Jude untuk menenangkan si gadis sejak Ancalagon berhasil merangsek masuk.Jude menghampiri pintu, menempelkan telin
“Apa yang Anda inginkan dariku, Tuan?” Jude tersenyum manis walaupun matanya sudah sangat mengantuk.Drake menelusur wajah Jude, turun ke leher dan tubuhnya, hingga kemudian berakhir di kaki.“Aku perlu sedikit penyemangat sebelum pergi berperang,” kata Drake kemudian.Jude berpikir keras. “Apa itu misalnya?”“Hm, sedikit hiburan.” Drake memberi saran.“Hiburan seperti apa?” Kening Jude berkerut bingung. Pasalnya, ia tidak pernah mengenal hiburan sepanjang hidup yang ia habiskan bersama perkakas kebun di ladang gandum.“Kau bisa menari?” Drake memiringkan kepala.Wajah Jude mendadak merah padam. “T-tidak. Kuharap kau tidak memintaku menari di depanmu.”“Kenapa memangnya? Bukankah tadi kau sendiri yang mengajukan diri untuk memenuhi permintaanku?”“Ya, tapi ….”“Nah, menarilah untukku.” Drake bersidekap, siap untuk menyaksikan pertunjukan.Jude bergerak gelisah. “Tarian macam apa? Aku tidak pernah menari sebelum ini.”“Apa saja. Aku hanya ingin sedikit hiburan di sini.”Jude termenung
“Kau benar.” Drake kembali menghadap Jude. Mata birunya menyapu wajah Jude yang kemerahan.“Selama aku memilikimu, kau belum pernah melakukan sesuatu untukku. Alih-alih punya budak, aku jadi seperti punya kucing peliharaan yang selalu merepotkan dan sulit diatur.” Ucapan Drake mengubah roman malu-malu Jude menjadi sebal. Gadis itu cemberut masam.“Lekas selesaikan urusanmu, dan temui aku di ruang makan.” Drake bergegas meninggalkan Jude yang malu sendiri karena perbuatannya.“Yang benar saja! Ancalagon mengejarku seperti orang gila, sementara dia tidak menggubrisku sama sekali.” Jude menatap pintu kamar mandi yang menutup di belakang punggung Drake dengan mulut ternganga.Gadis itu segera merendam tubuh serta rasa malunya ke dalam cairan beraroma bunga dan rumput segar. Menikmati kehangatan yang begitu nyaman di atas luka-lukanya.Jude sangat ingin berendam lebih lama lagi, namun ia ingat perintah Drake untuk berendam hanya tiga puluh menit saja. Maka, Jude memaksa dirinya untuk kelua
Sekali lagi, Jude merasa terseret oleh riak biru mata Drake yang begitu berkilau. Seolah-olah ia tenggelam dalam biru lautan nan menyilaukan mata. Itulah sebabnya Jude terpejam. Mendadak, hatinya jadi hangat.“Benarkah itu? Kau bisa merasakan apa yang aku rasakan?” Suara Drake begitu lembut di telinga Jude.Gadis itu mengangguk. “Dan nyatanya, semua ini tidak mengganggumu, kan?”Drake meringis. “Aku … tidak yakin,” katanya gugup. “Jujur, ini belum pernah terjadi sebelumnya.”Sang naga menatap budaknya kebingungan. “Tidak ada yang bisa meretas ke dalam bathin naga, apapun hubungannya. Tidak antar pasangan, apalagi budak dan tuannya.”Jude cemberut. Gadis itu mengedikkan bahu, dan menepis jemari Drake yang tergantung di atas lukanya. “Ya, mana aku tahu. Kalau kau pikir aku membual, terserah saja. Lagipula, tidak ada untungnya bagiku kau percaya atau tidak. Yang jelas, kau tidak bisa berbohong padaku, Tuan.”Si gadis memberi cengiran jahil. “Aku akan tahu perasaanmu, sekalipun bibir somb
“Jangan ikut campur urusan orang lain, Jude. Pikirkan dirimu sendiri. Bersembunyilah sampai aku menemukanmu.” Suara Drake berdengung di kepala Jude, tumpang tindih dengan erangan dari balik batang pohon mati.“T-tolonglah ….”“Sial!” Jude menjejak tanah kesal, mengerem kakinya yang berlari, dan berbalik arah. Sambil mengutuki diri sendiri, Jude melompat ke balik batang pohon dan terkesiap melihat seorang pemuda sekarat menatapnya merana.“K-kau!” Jude terbelalak menatap budak Rodelline, terluka di wajah dan bahunya. “Apa yang telah terjadi padamu?”“A … aku … d-disiksa ….”Jude mengabaikan rasa melilit di ulu hati. Ia berusaha menahan muntah di dekat budak Rodelline yang akan menambah buruk harinya.Susah payah Jude membantu pemuda itu berdiri. Darah mengucur dari tulang selangkanya.“Kau bisa berdiri?”Budak itu mengangguk gemetar. Jude tahu mereka tak punya pilihan selain berusaha sekeras mungkin untuk tetap bertahan hidup.Mengerahkan sisa tenaga, Jude menghela pemuda itu bangkit d
Jude mengerjap kaget.“Aku ….” Ia kehilangan kata untuk beberapa saat. Pasalnya, Jude merasa gadis Anglo itu benar. Dialah penyebab acara perburuan ini diadakan. Andai saja ia tidak bersikap sok pahlawan, mungkin malam ini dirinya sedang tidur nyenyak di kastil Drake.“Apa yang kau lakukan di pesta tadi … sungguh mengagumkan. Aku merasa gugup duduk di sampingmu, sementara diriku ingin sekali mengajakmu bicara.” Mata gadis itu berbinar-binar mengejutkan Jude.“Kau sungguh pemberani,” pujinya tulus.“Aku tidak ….” Jude mengedip-ngedip. “Sungguh, aku hanya … andai saja kau lihat bagaimana Ancalagon memperlakukan budaknya. Tapi sungguh, aku bukan pemberani seperti yang kau pikirkan. Kalau aku punya sedikit saja keberanian, mungkin, aku tidak akan ada di sini bersamamu.”Gadis itu tertawa. Sebuah t