Beranda / Semua / Budak Cinta Si Tante / Wanita yang Kucintai

Share

Budak Cinta Si Tante
Budak Cinta Si Tante
Penulis: Aldrich Candra

Wanita yang Kucintai

Penulis: Aldrich Candra
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Aku enggak peduli! Mau kamu masih nikah, mau kamu sudah janda, aku enggak peduli!” Teriakanku menggelegar begitu saja ketika sadari wanita di sisiku telah beranjak.

Anin namanya, sosok wanita dewasa yang masih terlihat cantik menjelang usia empat puluh. Tubuh polos bak jam pasirnya ditutupi selimut yang jelas-jelas menelanjangiku ketika mulai mengambil setiap helai pakaian dari lantai.

Suara serak disertai isakannya menyuarakan, “Aryo ..., aku belum resmi bercerai. Harusnya kamu cari yang seusia kamu. Anggap saja semua yang telah kita lewati hanya sebatas kontrak hubungan kerja.”

Aku mengerjap, tak percaya. Anin menolakku seperti biasa, lagi. Suaranya melemah, seakan dia telah menyerah dengan hubungan kami selama ini.

Padahal beberapa jam lalu Anin katakan membutuhkanku, membuatku luluh untuk kembali bergumul dengannya dalam kamar hotel. Aku bahkan masih ingat lenguhannya yang setiap berhasil mencapai puncak kenikmatan surgawi dunia.

Tidak. Aku memang rela melakukannya, mempermainkan tiap sentuhan yang menyambar gairah terdalam sang pujaan. Aku juga menginginkan dirinya meski tak diminta sekali pun. Kemudian, dia berniat pergi semudah itu?

Brengsek!

“Ayolah! Ini konyol, Tan!” Aku segera bangkit dari ranjang begitu gagal menangkap jemari Anin, meraih tiap helai pakaian milikku untuk dikenakan secara kilat agar mampu mengejar dia yang telah keluar dari ruangan.

“Sial!”

Melirik pada nakas tempat ponselku berada, ternyata dia meninggalkanku lagi bersama amplop cokelat berisi lembaran rupiah di atas nakas. Jumlahnya memang jauh lebih banyak dari biasa. Namun, tetap enggak sebanding dengan yang kurasakan saat ini. Enggak sebanding sama perasaan yang membuncah ketika dia memilih pergi, memorak-porandakan asa yang terlanjur meledak.

“Tante? Anin? Anin!” Aku berteriak sedang dia tidak lagi ada, terduduk di permukaan lantai tepat pada ambang pintu yang telah dilaluinya bersama kekecewaan. Pengakuanku, tidakkah berarti untuknya?

"Perasaanku enggak semurah ini!" Genggamanku pada amplop di pangkuan mengerat. “Kamu dengar, Anin? Aku enggak butuh ini!”

Teriakan hanya sebatas suara tinggi yang tak menembus dinding. Kulemparkan amplop itu ke daun pintu yang telah tertutup hingga isinya bertebaran. Nyatanya, dia hanya datang—membuatku abai dengan harap lepas darinya—ketika butuh dan tak mampu kutolak.

***

“Nabastala!” Teriakan yang terdengar sukses menghentikan jemariku menulis, sebenarnya menyalin ulang penjelasan dosen dari rekaman di ponsel mengenai kekurangan laporan skripsiku. Entah rumus yang digunakan dan relevansinya dengan keadaan siswa di sekolah yang menjadi tujuan penelitian.

Ternyata jadi mahasiswa di tahun terakhir itu sangat-sangat merepotkan. Meski enggak ambil perkuliahan lagi, penelitian memaksaku bolak-balik ke sekolah cuma buat ngecek angket yang tersebar dan memastikan waktu untuk percobaan teknik pembelajaran.

Gadis berpenampilan boyish—kaus berlapis kemeja, lengkap dengan jins dan sepatu kets—yang tadi berteriak melepas pelantang di telinga kananku. Jelas, aku dengar. Telinga kananku hanya ditutup telapak tangan karena teriakannya yang memalukan. Gimana kalau kedengaran mahasiswa yang menggunakan kelas lain?

“Kamu enggak bisa bicara lebih pelan? Kelas di sebelah lagi belajar.” Aku mengumpulkan kertas yang bertebaran di beberapa meja sekaligus karena sempat terkejut dengan suara lantangnya dan menutup tampilan layar ponsel. Sengaja, aku menggunakan kelas kosong untuk merevisi bakal skripsi yang terus mendapat coretan menggunakan rekaman kritikan sebelumnya. Biar enggak ada yang mengintervensi, kayak gadis ini contohnya.

"Kamu dipanggilin dari tadi enggak nyaut. Dicariin dospem, noh!” Kea—mantanku yang jadi teman—menunjuk luar ruangan dari jendela transparan yang membatasi. Suaranya jauh lebih pelan dibanding awal.

Kuhela napas karena harus memasukkan semua bahan dalam tas map. Susunannya masih bisa dibereskan nanti. “Baru ketemu Pak Dandy tadi. Masa dipanggil lagi?” protesku. Salahnya, Kea enggak tahu-menahu.

Kea mengangkat bahu. Biasanya info dari gadis itu selalu up to date kalau soal skripsi. Apalagi kami dibimbing sama satu dospem.

“Bareng lulus, ya,” pesannya tiap kali ketemu saat bimbingan di dekanat, tapi belakangan jadi lebih sering ketemu bahkan ngerjain bareng.

Senyuman Kea tuh manis, dengan gigi kelinci di depan. Kalau kubilang, wajahnya sekilas mirip Nasya Marcella. Cantik. Tingginya sebatas daguku. Aku juga bingung kenapa bisa putus dulu. Nyatanya, memang kami selama ini nyaman terhubung sebatas pertemanan.

Apa, ya? Bisa dibilang enggak canggung untuk bicara atau sibuk menjaga jarak karena perasaan yang berdebar.

Kea menyejajari langkahku melintas di koridor kampus. Ramai di sepanjang jalan setapak pada penghujung sore, mungkin para mahasiswa bersiap untuk kelas malam.

“Yakin harus ketemu Pak Dandy sekarang?”

Kulihat Kea sendiri ragu untuk mengangguk. “Tadi sih diminta temuin beliau. Enggak tau kenapa. Ada yang ketinggalan mungkin.”

Sempat berhenti di depan ruang kesehatan, aku numpang bercermin di depan dinding kacanya. “Masih cakep kan, Ke?” tanyaku seraya melebarkan senyum, memastikan enggak bakal malu-maluin ketemu dosen.

Kalau dilihat lagi, mataku sipit. Kea pernah bilang kayak orang ngantuk. Menang putih doang. Terkadang dia nanya resep bisa putih dan selalu kujawab, “Keturunan.”

Kebiasaan cewek zaman sekarang, terjebak dengan paradigma kalau putih itu cantik. Eh, tapi aku cowok. Masa mau dikatain cantik?

Kea yang turut berhenti, berkelakar, “Kapan lagi kamu enggak narsis?” Dia menggeleng, menertawakan kebiasaanku jika bertemu kaca.

“Ye, namanya seharian enggak pulang. Berantakan kali, Ke.”

Kea tergelak pada tingkahku yang sesekali mengecek aroma tubuh dan merapikan kemeja tanpa malu. “Masih wangi, Bas. Masih.”

Sebenarnya aku lebih suka mengenakan kaus, tapi aturan kampus, terutama fakultas pendidikan, mengharuskan mahasiswa minimal mengenakan pakaian semi-formal.

Di penghujung koridor dekat dekanat, sosok yang berminggu-minggu terakhir kurindukan melintas. Dia selalu menunduk, menghindari tatapan tiap mahasiswa, termasuk denganku. Padahal wajahnya tergolong cantik. Mata lebar, hidung mancung, dan bibir tipis yang tampak menggoda. Untukku. Tingginya enggak jauh beda dengan Kea, sebatas bahuku.

Enggak bakal ada yang nyangka kalau usianya sekitar akhir tiga puluhan. Terlihat begitu tertutup dan dingin dari cara berpakaian yang selalu kelam. Pemilihan sederhananya dari segi riasan menonjolkan kesehatan kulit tanpa kerutnya.

Siapa yang tahu dosen di salah satu fakultas seperti Anindya Betari itu justru membutuhkan kehangatan dari penghibur sepertiku? Tidak ada kesan masalah dari raut wajahnya.

“Bas! Kenapa diam?” protes Kea.

Langkahku berhenti, membiarkan dosen wanita itu melintas lebih dulu. Setelahnya, aku menggeleng, beralasan, “Enggak apa-apa. Pak Dandy nyuruh apa aja tadi?”

Kea meneruskan penjelasannya mengenai konsep penelitian dengan berbagai rumus yang meragukan. Sementara aku memperhatikan kepergian ‘dia’ yang sempat menoleh saat menyadari keberadaanku. Bertemu tatap rasanya membawa angin segar dalam sekejap.

Tanpa sadar, aku menggerakkan bibir membentuk kalimat, “I love you,” dan tersenyum pada Anin.

Wanita itu langsung berbalik dan mempercepat langkah, membuatku ingin tertawa.

“Kamu bilang apa, Bas?” Pertanyaan Kea spontan membuatku sadar dan kembali fokus pada langkah yang hampir menyerempet selokan.

Aku menggeleng. Mungkin harus lebih banyak mendengarkan penjelasan Kea, menyingkirkan perasaan untuk sementara waktu sampai Anin memberi kepastian. Setidaknya, pertemuan terakhir dengan Anin takkan melemahkan. Dia pasti akan menghubungiku lagi nanti. Pasti.

Aku mendengkus, menyadari dia mencariku hanya saat butuh. Ya. Cuma aku yang tahu masalah kehidupan ranjangnya, bukan lelaki lain.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
At Taqwa
ah,, gimana aku gak jatuh... kalo gini Al ?
goodnovel comment avatar
At Taqwa
Al ...... apa semua tokohnya ada benang yang mengaitkan...
goodnovel comment avatar
At Taqwa
aku jadi baca mundur ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Budak Cinta Si Tante   Mangsa Baru

    Beberapa bulan sebelumnya ....“Aku enggak mau! Kamu ngebawa racun, bukan madu, Mas!”Saat itu, aku mendengar Anin berteriak. Pertama kalinya aku benar-benar melihat dan menyadari keberadaannya di akhir semester ganjil. Secara, kampus itu luas banget. Fakultasnya aja ada lebih dari lima, belum jurusannya, tetapi ... dia dari fakultas yang mana?Di ujung tempat parkir, dia saling berdebat dengan pria tua. Tebakanku mungkin si pria itu suaminya yang berusia sekitar empat atau lima puluh tahun dari kerut dan helai rambut yang memutih. Siapa tahu lebih muda kalau inget banyak orang yang memiliki uban lebih dini.“Mereka enggak malu diliatin orang apa?” Aku mengeluh sambil menyandarkan diri di sisi mobil Kea. Setelah jam ujian pertama, kami sepakat bertemu di pelataran parkir.Kuamati lagi sosok wanita itu. Enggak ada yang spesial. Kurang lebih kayak dosen lain yang berpakaian formal setiap mengajar. Rambut panjang Anin digerai ke depan pundak kanan sekali jemarinya menyugar diiringi air ma

  • Budak Cinta Si Tante   Namaku Aryo

    “Ngeliatin siapa?” tanya wanita yang meliuk-liuk di hadapanku seiring entakan musik yang semakin menggila.“Teman, Tan!” Alasanku ketika menyadari seseorang yang kukenal berada di deretan kursi bar.Ya, aku masih sangat betah memperhatikan setiap perubahan mimik dari wajah tirus dosen wanita yang pernah menerima perlakuan kasar di depanku itu. Anin.Jujur, aku enggak suka kekerasan terhadap wanita. Aku lebih suka memberi pelayanan saling menguntungkan seperti terhadap wanita yang kini dengan beraninya menggesekkan belakang tubuhnya pada bagian tersensitifku ketika DJ yang di atas sana mengganti musik beraliran melow ala-ala biola Titanic.Berasa pengin ngumpat. Anjing! Bangsat! Musik apaan ini?Serius, aku sempat gelagapan terbawa efek alkohol yang masih ingin diguncang.“Kenapa masih dipanggil tante aja? Yang mesra, dong.” Tambah lagi rengekan manja dari wanita yang menarik pergelangan tanganku biar melingkari pinggangnya ini.Emang sih ya ketemu wanita-wanita butuh kasih sayang ini b

  • Budak Cinta Si Tante   Air Mata Duka

    “Kamu lagi?”Anin menghela napas berat begitu menyadari aku berdiri di depannya. Setelah pertengkaran suami istri ke sekian yang tidak sengaja kudengar, wanita itu masih membuatku penasaran.Sore di penghujung Sabtu selalu sepi di lorong menuju kelas. Jarang mahasiswa mengambil kelas akhir pekan. Kalaupun ada, seperti aku yang mengejar tambahan nilai jika dosen meminta.Aku enggak bodoh. Cuma menyukai tantangan, meski jumlah beasiswa tidak seberapa.Bukankah dekat dengan dosen mempermudah koneksi? Terakhir malah ditawarin ngambil beasiswa tugas akhir. Semacam pengajuan di awal semester, lalu dapat transferan ketika lolos. Biasanya bertepatan dengan akhir semester.“Sudah kukatakan, kamu bisa hubungi aku kalau perlu teman.” Aku mengulang perkataan yang sama ke sekian kali saat membantunya berdiri. Lut

  • Budak Cinta Si Tante   Gairah Angin Malam

    “Aku membayarmu cuma buat teman bicara, bukan bercumbu, Aryo.” Sang primadona ruangan malam ini memprotesku. Dia memilih tetap berdiri menghadap dinding kaca, melihat luar ruangan, dibanding duduk di hadapanku.Lucu, sih. Biasanya wanita yang membayarku akan mengambil keuntungan sebanyak mungkin dari pelayanan, terutama karena sentuhanku dianggap sangat melenakan hingga mereka ketagihan. Namun, Anin hanya menekankan teman bicara dalam kontraknya yang baru saja kutandatangani.“Apa bedanya? Harganya sama saja, Sayang. Atau kamu ingin dipanggil dengan kata lain?” Aku menertawakan pilihan Anin setelah menghabiskan kudapan manis. Mungkin cokelat atau kopi, yang jelas seperti ada biskuit lumer di dalam mulutku.“Ini apa namanya?” Aku mengacungkan potongan di atas garpu kecil dalam pegangan yang sekejap berpindah ke mulut.“Tiramisu,” k

  • Budak Cinta Si Tante   Wajah Kemerahannya

    “Sama siapa, Bas?” Dean—teman yang kukenal semenjak menginjak bangku perkuliahan dan terkenal sering bergonta-ganti pasangan—menghampiri. Dia sadar kalau aku berada di tempat yang sama.Padahal sejak awal ngelihat keberadaan Dean dalam klub, aku sudah memilih tempat untuk menyingkir dari keramaian, menemani Anin yang bersandar pada sofa di pojokan setelah minum beberapa tegukan. Lagian, buat apa juga Anin mabuk di tempat seperti ini sendirian setelah menghubungiku? Apa Anin sedang menghadapi masalah lagi?Aku menjawab pertanyaan Dean dengan menggerakkan kepala, menunjukkan wanita di sisi yang telah menutup mata. Tubuh Anin masih mengenakan pakaian formal setelah mengajar tertutupi jaket milikku. Bisa aja kan banyak lelaki yang mengambil kesempatan karena kondisi Anin kalau enggak hubungi aku sejak awal?“Baru lagi?” Dean melepaskan rangkulannya pada gadis yang

  • Budak Cinta Si Tante   Persetujuan Anin

    Kupastikan alamat yang diberikan Anin sesuai dengan rumah di depan mata. Fotonya sama. Rumah dominasi batuan alam dari luar dengan furnitur kursi dan meja rotan yang sudah langka ditemukan pada masa kini, tersusun melingkar di pelataran. Hal moderen yang bisa ditemukan hanya pada sistem keamanan seperti pengunci pintu menggunakan kata sandi dan beberapa kamera pengawas.Anin sudah memberitahu kalau aku bebas masuk, menelisik koridor berlantai vinyl corak kayu yang terlihat sejuk sejak pertama menginjakkan kaki. Seperti yang dia bilang, rumahnya sangat sepi.Beberapa kali Anin bercerita mengenai jarangnya interaksi di dalam rumah. Bangunan besar yang dimilikinya hanya tempat persinggahan di kala istirahat. Harusnya. Apa yang terjadi ketika satu-satunya sandaran Anin, si suami, malah jadi orang yang menciptakan neraka dalam hidupnya?“Enggak perlu buka sepatu, ka

  • Budak Cinta Si Tante   Ketinggian Menegangkan

    “Yo! Balikin!” Wajah Anin tampak panik ketika menyadari ponselnya berada di tanganku. Rengutannya menjadi hiburan tambahan setelah permainan panas kami.Berapa kali? Mungkin tiga atau empat klimaks untukku semenjak tiba di rumah Anin. Langit yang tampak di balik jendela sudah sangat gelap tentunya.Obviously, Anin sangat tidak konvensional. Dia mencoba berbagai macam cara saling memuaskan yang bisa aku tunjukkan.Ah, membayangkannya saja sudah menggelikan untukku."Balikin ponselku, Yo!" Anin berusaha meski tahu kalau tangan langsingnya itu enggak bakal sampai kalau menggapai dari balik bahuku.“Enggak ....” Membelakangi Anin hanya akan menggesekkan aset kencangnya di punggungku dan semakin mempertegas ereksi yang menyakitiku. Kugigit bibir bawah untuk menahan desahan yang tetap saja lolos.“Ary

  • Budak Cinta Si Tante   Brengsek yang Dibayar

    “Poligami seperti apa yang dimulai dengan perselingkuhan? Kamu pikir aku bodoh dengan syariat?” Anin berteriak. Bisa kudengar suara barang-barang jatuh, atau mungkin dilempar?Suara pria tua yang menjadi suami Anin juga tidak kalah keras. Syukur-syukur rumah Anin tergolong jauh dari para tetangga.Kebiasaan para pemburu nafsu yang setahuku menjadikan landasan agama sebagai dasar pembenaran untuk menambah jumlah istri. Pernah dengar, sih, saat Dean mengundang ustaz untuk pengajian di rumahnya bilang, “Poligami itu dasarnya boleh, tapi menjadi haram ketika berbuat zalim.”Tahu apa sih aku?Jadi menertawakan diri sendiri yang sok tahu. Perbuatanku berkali-kali bersama Anin juga terhitung dosa, bukan? Kalau dalam hukum agamanya Dean, pendosa sepertiku bisa dirajam. Lempar batu sampai mati.Aku berjongkok

Bab terbaru

  • Budak Cinta Si Tante   Suami Anin

    "Pergi dari sini," desis pria tua beruban yang mencegatku di pintu masuk IGD saat mengiringi brankar dorong Anin. Sosok tidak lebih tinggi dariku itu berkacak pinggang dan membusungkan dada meski berkali-kali kudorong."Enggak bisa gitu dong, Om!" Bagaimana aku enggak protes? Aku yang susah payah membawa Anin dari rumah, malah dia mengusir begitu saja. Apa haknya?"Saya masih suami sah Anin! Kamu yang harusnya pergi dari sini!" Pake ngaku-ngaku lagi. Ke mana aja dia selama ini ketika sang istri mengalami luka fisik dan batin?"Tante enggak bakal pernah mau terima Om kembali!"Bisa dibilang kedua tanganku sudah mengepal di sisi badan meski tahu kekuatanku enggak bakal mungkin menandinginya dari pukulan-pukulan yang pernah suami Anin itu layangkan. Hanya susunan kata protes yang harus diredam karena keberadaan kami di tempat umum penuh pasien seperti ini."Kamu yang bilang?" Sering

  • Budak Cinta Si Tante   Anin Pingsan

    “Berhenti, Yo," protes Anin ketika sentuhanku menjalar ke depan perutnya.Aku menggeleng, menikmati tiap jengkal aroma di sepanjang lengannya yang terjangkau. “Enggak mau ....”“Geli! Nanti keciprat!” Ocehannya terdengar manja. Sesekali dia mengacungkan sutil panas ke arahku. Kejam.Masih kupeluk dia dari belakang. Sesekali kutenggelamkan ciuman di ceruk lehernya yang nyaman, enggak peduli kesibukan Anin menggoreng ayam dengan minyak panas. Rambut diikat tinggi dan terusan putih selutut bertali yang dikenakannya benar-benar menggoda, terutama karena peluh yang masih meninggalkan jejak pergumulan kami sebelumnya di seluruh permukaan kulit Anin mencetak lekuknya dengan sempurna. Seksi.“Kenapa enggak beli aja, sih?” Tanganku merambat naik menyusuri sepasang gundukan di depan tubuhnya, terasa jauh lebih padat dari biasa. Tanpa dalaman, bisa kusentuh puncaknya ya

  • Budak Cinta Si Tante   Suami Anin

    "Pergi dari sini," desis pria tua beruban yang mencegatku di pintu masuk IGD saat mengiringi brankar dorong Anin. Sosok tidak lebih tinggi dariku itu berkacak pinggang dan membusungkan dada meski berkali-kali kudorong."Enggak bisa gitu dong, Om!" Bagaimana aku enggak protes? Aku yang susah payah membawa Anin dari rumah, malah dia mengusir begitu saja. Apa haknya?"Saya masih suami sah Anin! Kamu yang harusnya pergi dari sini!" Pake ngaku-ngaku lagi. Ke mana aja dia selama ini ketika sang istri mengalami luka fisik dan batin?"Tante enggak bakal pernah mau terima Om kembali!"Bisa dibilang kedua tanganku sudah mengepal di sisi badan meski tahu kekuatanku enggak bakal mungkin menandinginya dari pukulan-pukulan yang pernah suami Anin itu layangkan. Hanya susunan kata protes yang harus diredam karena keberadaan kami di tempat umum pe

  • Budak Cinta Si Tante   Anin Pingsan

    “Berhenti, Yo," protes Anin ketika sentuhanku menjalar ke depan perutnya.Aku menggeleng, menikmati tiap jengkal aroma di sepanjang lengannya yang terjangkau. “Enggak mau ....”“Geli! Nanti keciprat!” Ocehannya terdengar manja. Sesekali dia mengacungkan sutil panas ke arahku. Kejam.Masih kupeluk dia dari belakang. Sesekali kutenggelamkan ciuman di ceruk lehernya yang nyaman, enggak peduli kesibukan Anin menggoreng ayam dengan minyak panas. Rambut diikat tinggi dan terusan putih selutut bertali yang dikenakannya benar-benar menggoda, terutama karena peluh yang masih meninggalkan jejak pergumulan kami sebelumnya di seluruh permukaan kulit Anin mencetak lekuknya dengan sempurna. Seksi.“Kenapa enggak beli aja, sih?” Tanganku merambat naik menyusuri sepasang gundukan di depan tubuhnya, terasa jauh lebih padat dari biasa. Tanpa dalama

  • Budak Cinta Si Tante   Rencana Tuhan

    "Rese lo nanyain kabar Anin di depan Kea!" Aku jelas protes dengan candaan enggak lucunya Dean abis dia berantem mulut sama Kea. Padahal aku aja baru selesai nego sama Kea mengenai pembicaraan tentang si tante biar enggak berlarut-larut.Kea ampe pamit balik duluan, batal deh rencana mau malam mingguan. Kali kan dapet yang panas kalau jalan bareng macam cari tempat makan soto atau sup. Enggak mungkin banget ngajak Kea mabuk. Bisa gagal lamaran entar kalau ketahuan bapaknya."Bukannya lo lagi pendekatan sama Anin?" Dean menghindari tonjokanku. Bukan pukulan serius, cuma kebiasaan jika manusia satu ini bisa jadi sasaran samsak hidup buat aku dan Kea kalau lagi suntuk.Dia menunjuk tangga menuju 'rumah pohon', mengisyaratkan aku untuk mengikutinya naik dan berhenti di satu sisi pagar yang menunjukkan keramaian kafe. Bangunan kayu di belakang kafe yang bertopang pa

  • Budak Cinta Si Tante   Katakan Cemburu

    “Kamu enggak pulang? Ibu nanyain aku terus.” Kea mengadu lagi padaku, padahal belum juga duduk manis pada kursi kosong di seberangnya.Kami sepakat bertemu di salah satu kafe Dean yang baru buka, lagi. Dean ini kebanyakan buka tempat nongkrong kayak punya rupiah enggak ada limitnya. Bukan rooftop seperti kafe-kafe yang aku desain sebelumnya, melainkan taman di pertengahan kota yang kontras dengan segala kerumitan di sekitar. Tempat ini jauh lebih kecil, tapi memanfaatkan konsep alam. Pohon-pohon teduh di pinggiran dengan akar menggantung yang digantungi lampu-lampu berwarna. Meja dan kayu dari potongan pohon yang dipernis. Suasana di sini lebih nyaman untuk mengistirahatkan mata dari penatnya kesibukan dunia kerja.“Aku baru dari rumah malahan abis pulang kerja. Ibu enggak bilang apa-apa soal kamu pas aku mampir tadi, makanya aku kaget diajak ketemuan," alasanku setelah mendaratkan pantat di

  • Budak Cinta Si Tante   Harapan Ibu

    “CCTV-nya terhubung ke mana aja, Tan?” Setengah berlari, aku kembali ke dalam rumah dan menemukan Anin mengambil gelas di dapur.Pertanyaanku sukses membuat Anin meletakkan benda dari kaca itu di meja kabinet dan menghubungi seseorang. Dia bicara beberapa menit dari sambungan panggilan dari ponselnya menggunakan istilah-istilah yang tak kumengerti dengan orang di seberang.“Siapa, Tan?” Aku bertanya lagi ketika dia menutup layar ponsel.Anin mengisi air dari dispenser ke gelasnya. “Teknisi. Minta cabut sekalian kameranya.” Berusaha tenang pun, jemari Anin bergetar membawa gelas sampai harus kuambil alih dari tangannya.Sepertinya aku bakal bolos kerja hari ini setelah melihat kerut di antara kedua alis Anin. Dia khawatir sampai memeluk diri, mengusap kedua lengan atasnya ketika menyelisik kekosongan ruangan di segala arah yang jel

  • Budak Cinta Si Tante   Sengketa Keluarga

    “Enggak lucu, Yo!”Anin merajuk seketika. Kepalaku langsung berpindah ke lantai dengan keras begitu dia bangkit akibat bersandar di bahunya ketika bicara.“Siapa yang bilang lucu?” Bergegas aku duduk lagi, memastikan sendi-sendi yang nyeri dengan gerakan memutar bahu. Baru kerasa, ya?“Jangan main-main, Yo!” Pelototan Anin ketika meninggalkanku sambil menunjuk-nunjuk tampak mengerikan, apalagi dengan riasan lunturnya. Kayak lihat Harley Quinn abis patah hati ditinggal Joker.Ada yang salah? Kayaknya beberapa kali aku lupa menggunakan 'sarung sakti' itu juga Anin enggak terlalu repot, selama aku enggak bilang. Harusnyaplay safe gitu kalau ikut aturan kerja di dunia hitam kayak gini, cuma aku yakin aja kalau Anin bukan orang yang patut diwaspadai berpenyakit.Kususul Anin yang duduk menghadapi meja rias, memegang pundakny

  • Budak Cinta Si Tante   Enggak Pakai Pengaman

    “Kenapa? Om nggak bisa bikin istrinya hot?” Aku berteriak setelah Zaki—bakal mantan suami Anin—menyiram seember air ke tempat peristirahatan kami. Ya, aku tahu seenggaknya dari ember besar yang dipegang tangan besarnya. Ketahuan banget itu tangan biasa buat mukul dari padatan yang membentuk kapalan, seperti Bapak dulu ketika meninggalkan bogem mentah di pipi kiriku. Nyeri.Siapa yang enggak bakal kaget? Dibangunin kayak anak kecil yang abis ngompol. Lagi tenang-tenangnya di dunia mimpi, malah kebanting gegara air. Kirain abis kebawa banjir tahunan yang biasa mampir ke rumah, tahunya ditambah tonjokan.Lagian, gimana bisa lelaki tua yang harusnya lebih dewasa secara perilaku itu masuk ketika ruangan sedang dikunci? Aku ingat banget, meski hanya berdua di dalam rumah bersama Anin, pintu kamar tetap dikunci. Artinya kan si Zaki itu memiliki kunci lain.Anin merund

DMCA.com Protection Status