“Sama siapa, Bas?” Dean—teman yang kukenal semenjak menginjak bangku perkuliahan dan terkenal sering bergonta-ganti pasangan—menghampiri. Dia sadar kalau aku berada di tempat yang sama.
Padahal sejak awal ngelihat keberadaan Dean dalam klub, aku sudah memilih tempat untuk menyingkir dari keramaian, menemani Anin yang bersandar pada sofa di pojokan setelah minum beberapa tegukan. Lagian, buat apa juga Anin mabuk di tempat seperti ini sendirian setelah menghubungiku? Apa Anin sedang menghadapi masalah lagi?
Aku menjawab pertanyaan Dean dengan menggerakkan kepala, menunjukkan wanita di sisi yang telah menutup mata. Tubuh Anin masih mengenakan pakaian formal setelah mengajar tertutupi jaket milikku. Bisa aja kan banyak lelaki yang mengambil kesempatan karena kondisi Anin kalau enggak hubungi aku sejak awal?
“Baru lagi?” Dean melepaskan rangkulannya pada gadis yang mengiringi. Mereka berpamitan dengan saling berbalas cium pipi. Mungkin sudah bertukar kontak atau bahkan janji temu di tempat lain melihat isyarat Dean.
“Lumayan.” Kubenahi posisi Anin, memindahkan bahunya dalam rangkulan. Namun, Anin malah telungkup di pangkuanku. Bahaya.
"Tante? Tante Anin?" Kuguncang tubuh yang sebenarnya lebih kecil dariku ini, tetapi geliat Anin justru membangunkan kobra dalam celanaku.
Sialnya, Dean malah tertawa dan duduk pada kursi di depanku, mengambil botol yang masih sisa setengah di meja untuk dituang pada gelas bekas Anin.
“Enggak bisa beli baru?" Kualihkan perhatian dari godaan Anin dengan mendebat Dean. "Kayak enggak modal.”
Apa suaraku terdengar mendesah? Entah. Ini sebenarnya nikmat, kalau aja Anin melakukannya dengan sadar ..., dan tanpa penghalang.
“Gratis.” Dean meneguk isi gelas seperti tanpa beban dan mengangguk-angguk mengikuti hentakan musik.
Aku mendesis, ingin dia segera pergi daripada terus melihat perbuatan Anin padaku. Dasar otak mesum!
“Pacar?" Dean mengedikkan dagu ke arah Anin. Dinyalakannya batang nikotin dari kotak milikku yang tergeletak di meja.
“Belum.” Harapanku, sih. Apalagi kontrak yang kami tandatangani menyebutkan kemungkinan naik ke tingkat berikutnya dengan perjanjian ulang. Aku snagat tidak sabar bisa menaklukan kebekuan Anin.
“Gimana Kea?” Malah dia nanyain si mantan. Padahal jelas-jelas kami satu angkatan di perkuliahan, cuma si Dean aja yang belum tuntasin beberapa mata kuliah dan dipastikan tertunda urus skripsinya.
Aku mengambil gelas yang diletakkan Dean dan mengisinya dengan cairan dari botol. Sekali tegukan enggak bakal bikin mabuk. “Enggak tau. Kenapa?” Kutanya balik meski tahu jawabannya.
“Enggak. Kali dia tau gebetan elo.”
“Bisa dilabrak kali.”
Dean tertawa lagi. Kenyataannya, enggak sekali dua kali Kea melabrak cewek di kampus yang mencoba dekat denganku. Sekadar meminta id Line aja, malah nyambungnya ke ponsel dia.
Kebayang apa yang bakal Kea lakuin kalau berkirim pesan atas namaku? Dia bakal buat cewek-cewek pada illfeel buat temuin aku lagi. Entah foto jelek sampai pengakuannya tentang hubungan kami yang sudah kandas.
Dean kembali turun ke lantai dansa setelah bergantian menghabiskan isi botol bersamaku, mengikuti pengunjung lain yang bergerak mengikuti hentakan musik. Sedangkan aku, meresapi pemandangan yang tersaji di depan mata.
Wajah tenang Anin setelah benar-benar tak bergerak seperti bidadari tanpa cela. Anggaplah aku memanfaatkan keadaan ketika meraih wajahnya untuk mendekat, menyentuh bentuk rahang atau hidungnya yang mancung, dan menyapu lembut bibir tipisnya yang membuatku penasaran.
Anin mengerang sesaat. Dia meracau, mengerutkan wajah, seolah menahan perlakuan menyakitkan. Dia... menangis dalam tidur. Isakannya begitu halus. Entah apa yang dikatakannya, lebih seperti gumaman dalam bungkam.
Apa Anin selalu menahan diri selama ini? Apa yang pelru dikatakannya?
Enggak tega ngebangunin Anin, tapi aku jadi bingung sendiri. Kalau aku bawa dia ke basemen, aku enggak bisa menyetir mobil. Mau manggil Dean, kayaknya si playboy sudah menghilang di antara kerumunan, enggak kelihatan batang hidungnya.
Harus kubawa Anin ini ke mana?
***
“Kita di mana, Yo?” tanya Anin begitu sadarkan diri. Dia tampak memeriksa pakaian di balik selimut.
“Enggak kuganti, Tan. Takut amat.” Aku hampir tertidur di sofa karena menunggu semalaman. Nyatanya, aku masih menopang dagu menggunakan lengan di pinggiran sofa.
Takut juga kalau aku enggak bisa nahan diri sampai berkali-kali mencoba push up biar capek dan terlelap. Siapa tahu kalap masih kuat malah ngegasak si tante pas enggak sadar?
Kuusap kedua mata yang terlihat merah saat berkaca pada kamera ponsel. Harusnya tidur aja daripada berjaga. Toh, Anin juga enggak bakal mikirin cowok panggilannya ini bakalan pergi atau berada di sampingnya.
“Ke mana, Yo?” Anin nanya pas aku berusaha berdiri. Dia menyingkap selimut, memperlihatkan pakaian semalam berlapis jaketku yang tidak tersentuh sama sekali.
“Cuci muka. Mandi mungkin.” Susah imbang kalau masih di bawah pengaruh minuman, tapi aku perlu menyegarkan diri, terutama mendinginkan ketegangan di bawah sana karena ulah Anin semalam.
Hampir lupa. Aku berbalik dan menunjukkan tas kertas di samping ranjang. "Semalam aku pesenin baju ganti buat kamu. Jangan lupa transfer bayaran gantinya ke rekeningku."
Mungkin lain kali tolak aja kalau ajakan Anin cuma buat nemenin minum. Kapok. Biar sudah kena air juga, tetap aja mata ini berat. Sayangnya yang di bawah malah bangun. Aih, Anin.
Ternyata enggak bisa nyari ke lain karena perjanjian jadi peliharaan itu menyiksa juga. Enggak ada pelampiasan. Ayo, Nabastala! Kuat! Bentar lagi pasti si tante luluh.
Aku melepas pakaian, sepertinya butuh mandi air dingin sekalian biar benar-benar sadar. Baru juga masuk dalam bak, ketukan dari luar sudah mengganggu.
“Aryo! Gantian!” Anin memanggil. Enggak bisa disebut berteriak kalau suaranya rendah. Beda banget sama Kea yang enggak tanggung-tanggung biar di samping telinga.
Apa? Gantian pakai kamar mandi? Perasaan belum lama.
“Sebentar!” Segera kuraih handuk dari kabinet di samping wastafel dan melingkarkannya di pinggang.
Kayak enggak ada istirahatnya kalau teken perjanjian sama Anin. Baru juga nemu air. Kalau enggak inget digit bayarannya, bakal kugasak di tempat juga kayak si Dean kalau nyari cewek buat memenuhi kebutuhan lubang.
Enggak ketemu mangsa buat diajak mandi kucing, istilahnya si Aksa—teman lama yang memperkenalkanku pada dunia menghibur dalam tanda kutip —kalau ngebahas soal menaiki ranjang dan beradu gairah. Lama juga enggak ketemu tuh anak kalau diingat-ingat.
“Cepet, Yo!” Lagi, Anin mendesak dengan ketukan di pintu.
“Bentar.”
“Kebelet!”
Pantas. Enggak bisa nahan bentar, ya?
Anin terkejut ketika aku keluar hanya mengenakan handuk di pinggang. Dia spontan menunduk, menyembunyikan rona yang jelas menguasai.
“Lihat apa?” Aku bertanya ketika dia justru berhenti sesaat.
Jemarinya sempat menyentuh lekuk yang terbentuk pada otot perutku. Tangan Anin terdiam, tidak bergerak di sana.
“Pegang aja lama-lama, Tan.”
Anin segera menggeleng, mendorongku keluar sebelum menutup pintu. Dia merona. Beneran.
Kupastikan alamat yang diberikan Anin sesuai dengan rumah di depan mata. Fotonya sama. Rumah dominasi batuan alam dari luar dengan furnitur kursi dan meja rotan yang sudah langka ditemukan pada masa kini, tersusun melingkar di pelataran. Hal moderen yang bisa ditemukan hanya pada sistem keamanan seperti pengunci pintu menggunakan kata sandi dan beberapa kamera pengawas.Anin sudah memberitahu kalau aku bebas masuk, menelisik koridor berlantai vinyl corak kayu yang terlihat sejuk sejak pertama menginjakkan kaki. Seperti yang dia bilang, rumahnya sangat sepi.Beberapa kali Anin bercerita mengenai jarangnya interaksi di dalam rumah. Bangunan besar yang dimilikinya hanya tempat persinggahan di kala istirahat. Harusnya. Apa yang terjadi ketika satu-satunya sandaran Anin, si suami, malah jadi orang yang menciptakan neraka dalam hidupnya?“Enggak perlu buka sepatu, ka
“Yo! Balikin!” Wajah Anin tampak panik ketika menyadari ponselnya berada di tanganku. Rengutannya menjadi hiburan tambahan setelah permainan panas kami.Berapa kali? Mungkin tiga atau empat klimaks untukku semenjak tiba di rumah Anin. Langit yang tampak di balik jendela sudah sangat gelap tentunya.Obviously, Anin sangat tidak konvensional. Dia mencoba berbagai macam cara saling memuaskan yang bisa aku tunjukkan.Ah, membayangkannya saja sudah menggelikan untukku."Balikin ponselku, Yo!" Anin berusaha meski tahu kalau tangan langsingnya itu enggak bakal sampai kalau menggapai dari balik bahuku.“Enggak ....” Membelakangi Anin hanya akan menggesekkan aset kencangnya di punggungku dan semakin mempertegas ereksi yang menyakitiku. Kugigit bibir bawah untuk menahan desahan yang tetap saja lolos.“Ary
“Poligami seperti apa yang dimulai dengan perselingkuhan? Kamu pikir aku bodoh dengan syariat?” Anin berteriak. Bisa kudengar suara barang-barang jatuh, atau mungkin dilempar?Suara pria tua yang menjadi suami Anin juga tidak kalah keras. Syukur-syukur rumah Anin tergolong jauh dari para tetangga.Kebiasaan para pemburu nafsu yang setahuku menjadikan landasan agama sebagai dasar pembenaran untuk menambah jumlah istri. Pernah dengar, sih, saat Dean mengundang ustaz untuk pengajian di rumahnya bilang, “Poligami itu dasarnya boleh, tapi menjadi haram ketika berbuat zalim.”Tahu apa sih aku?Jadi menertawakan diri sendiri yang sok tahu. Perbuatanku berkali-kali bersama Anin juga terhitung dosa, bukan? Kalau dalam hukum agamanya Dean, pendosa sepertiku bisa dirajam. Lempar batu sampai mati.Aku berjongkok
Kata orang, move on itu bukan melupakan, tapi menghadapi. Cuma kalau hari-hari ketemu Anin, bagaimana mau move on?Sebenarnya kami beda fakultas, sih. Kebetulan belakangan kami sering berpapasan terus di koridor fakultas. Enggak satu-dua kali dia menemui dosen--yang membimbingku untuk urusan skripsi--dalam kurun waktu seminggu.Masalahnya, beberapa minggu setelah kejadian terakhir, dia memblokir semua kontakku, dari telepon sampai media sosial. Padahal permainan terakhir kali di rumahnya waktu itu sangat menegangkan. Kalau ikut perjanjian, rasanya enggak mungkin menegur Anin langsung di depan umum. Apalagi aku bukan mahasiswa mata kuliah yang diajarkannya. Berbahaya untuk bayaran dalam kontrakku.“Kamu kenal sama ibu tadi?” Pertanyaan Kea menyadarkanku dari lamunan. Padahal cuma karena melihat Anin lewat tanpa menoleh.Terkesan so
“Harusnya Anda yang bisa jaga baik-baik istri Anda!” Aku berusaha membela diri ketika mendapat pukulan dan hujatan berkali-kali dari pria tua di depan umum seperti ini.Hal yang kukhawatirkan terjadi. Suami Anin melabrakku di area parkir kampus. Dulu kukira yang beginian cuma terjadi di sinetron atau cerita fiksi. Atau seenggaknya hanya dilakukan para perempuan yang berebut lelaki kaya. Nyatanya, aku ngalamin.Masalahnya, aku dipukul tepat di depan Kea. Apa yang bakal Kea pikirin kalau mendengar segala tuduhan dari suami Anin?Zaki—suami Anin—hampir melayangkan pukulan lagi jika saja Kea tidak merentangkan tangan di depan, melindungiku. Kepalan tangannya berhenti tepat di depan kening Kea."Brengsek!" Kudengar umpatan meluncur cepat. Tidak hanya mengucilkanku, tetapi juga menjelek-jelekkan Kea dengan kata-kata tidak pantas.
“Apa bedanya aku dengan si bangkot itu kalau menerima ajakanmu?” ucap Anin saat menamparku. Dia menolak tawaran ketika aku berhasil memojokkannya di meja wastafel dalam toilet perempuan.Tidak peduli dengan ancaman pelecehan, aku mengikutinya masuk. Toh, Anin tidak berteriak meski setiap permukaan kulitnya telah kusentuh.Tentu saja kampus sudah sepi ketika kelas malam berakhir dan aku menemukan dia baru keluar dari kelas setelah semua mahasiswa pergi.Aku tergelak. “Jelas saja beda. Bukankah kukatakan jasaku ini tidak gratis? Dia berselingkuh, sedangkan kamu membayarku.” Embus napasku masih membelai sudut telinganya.Susah payah menahan diri lakukan hal lebih dari rengkuhan meski nyatanya tubuh ini butuh, meski kejadian terakhir menyakitkan hati karena dia menginginkan hubungan kami berakhir.Bisa kulihat Anin menutup mata,
"Hei!" Aku menyapa begitu bertemu tatap dengan Anin di koridor dekanat fakultas bahasa. Enggak sengaja ketemu, sih.Meski satu kampus, kami berada pada fakultas berbeda. Jadi sebenarnya susah banget buat ketemu di luar perjanjian. Aku mahasiswa akhir di fakultas keguruan, sedangkan dia dosen di fakultas bahasa. Kadang ketemu di fakultasku karena dia punya kegiatan gabungan, tetapi seminar itu juga sudah berakhir.Makin pupus harapan ketemu Anin semenjak pengakuannya tentang larangan si suami bangkot biar tidak menghubungi siapa pun tanpa izin. Otoriter sekali. Rumah tangga seperti apa yang dijalani wanita moderen seperti Anin?"Kamu ngapain di sini?" Mata lebar Anin tampak menjelajahi kesunyian di sekeliling, lalu melotot lagi ke arahku. Ngapain juga dia menampakkan kekhawatiran berlebihan seperti itu kalau toh kami bisa berlagak seperti mahasiswa-dosen biasa.
Abis mengajukan lamaran kerja di beberapa instansi di pertengahan kota, langkahku memilih menumpang angkutan kota ke wilayah perumahan di wilayah barat kota. Hanya sampai gapura terluar. Untuk masuk lebih dalam sebenarnya bisa menggunakan jasa ojek, tetapi sayang mengeluarkan isi dompet yang sudah tipis.Bisa aja tarik tunai pada atm di pinggiran jalan, cuma aku masih bisa berjalan kaki sekitar satu-dua kilometer mencapai blok paling depan. Rumah didominasi suasana kayu yang hangat tampak di depan mata, tetapi kakiku ragu bergerak maju.Apa Anin mau menemuiku tanpa janji?Aku hanya khawatir. Perasaanku seakan meronta tanpa sebab. Akhirnya, aku berbalik. Urung temui meski sudah sejauh ini. Aku tidak ingin ditolak lagi.Sepatuku nyaris menjejak pergi. Nyaris. Aku malah berlari ke dalam rumah begitu mendengar suara pecahan kaca. Tida
"Pergi dari sini," desis pria tua beruban yang mencegatku di pintu masuk IGD saat mengiringi brankar dorong Anin. Sosok tidak lebih tinggi dariku itu berkacak pinggang dan membusungkan dada meski berkali-kali kudorong."Enggak bisa gitu dong, Om!" Bagaimana aku enggak protes? Aku yang susah payah membawa Anin dari rumah, malah dia mengusir begitu saja. Apa haknya?"Saya masih suami sah Anin! Kamu yang harusnya pergi dari sini!" Pake ngaku-ngaku lagi. Ke mana aja dia selama ini ketika sang istri mengalami luka fisik dan batin?"Tante enggak bakal pernah mau terima Om kembali!"Bisa dibilang kedua tanganku sudah mengepal di sisi badan meski tahu kekuatanku enggak bakal mungkin menandinginya dari pukulan-pukulan yang pernah suami Anin itu layangkan. Hanya susunan kata protes yang harus diredam karena keberadaan kami di tempat umum penuh pasien seperti ini."Kamu yang bilang?" Sering
“Berhenti, Yo," protes Anin ketika sentuhanku menjalar ke depan perutnya.Aku menggeleng, menikmati tiap jengkal aroma di sepanjang lengannya yang terjangkau. “Enggak mau ....”“Geli! Nanti keciprat!” Ocehannya terdengar manja. Sesekali dia mengacungkan sutil panas ke arahku. Kejam.Masih kupeluk dia dari belakang. Sesekali kutenggelamkan ciuman di ceruk lehernya yang nyaman, enggak peduli kesibukan Anin menggoreng ayam dengan minyak panas. Rambut diikat tinggi dan terusan putih selutut bertali yang dikenakannya benar-benar menggoda, terutama karena peluh yang masih meninggalkan jejak pergumulan kami sebelumnya di seluruh permukaan kulit Anin mencetak lekuknya dengan sempurna. Seksi.“Kenapa enggak beli aja, sih?” Tanganku merambat naik menyusuri sepasang gundukan di depan tubuhnya, terasa jauh lebih padat dari biasa. Tanpa dalaman, bisa kusentuh puncaknya ya
"Pergi dari sini," desis pria tua beruban yang mencegatku di pintu masuk IGD saat mengiringi brankar dorong Anin. Sosok tidak lebih tinggi dariku itu berkacak pinggang dan membusungkan dada meski berkali-kali kudorong."Enggak bisa gitu dong, Om!" Bagaimana aku enggak protes? Aku yang susah payah membawa Anin dari rumah, malah dia mengusir begitu saja. Apa haknya?"Saya masih suami sah Anin! Kamu yang harusnya pergi dari sini!" Pake ngaku-ngaku lagi. Ke mana aja dia selama ini ketika sang istri mengalami luka fisik dan batin?"Tante enggak bakal pernah mau terima Om kembali!"Bisa dibilang kedua tanganku sudah mengepal di sisi badan meski tahu kekuatanku enggak bakal mungkin menandinginya dari pukulan-pukulan yang pernah suami Anin itu layangkan. Hanya susunan kata protes yang harus diredam karena keberadaan kami di tempat umum pe
“Berhenti, Yo," protes Anin ketika sentuhanku menjalar ke depan perutnya.Aku menggeleng, menikmati tiap jengkal aroma di sepanjang lengannya yang terjangkau. “Enggak mau ....”“Geli! Nanti keciprat!” Ocehannya terdengar manja. Sesekali dia mengacungkan sutil panas ke arahku. Kejam.Masih kupeluk dia dari belakang. Sesekali kutenggelamkan ciuman di ceruk lehernya yang nyaman, enggak peduli kesibukan Anin menggoreng ayam dengan minyak panas. Rambut diikat tinggi dan terusan putih selutut bertali yang dikenakannya benar-benar menggoda, terutama karena peluh yang masih meninggalkan jejak pergumulan kami sebelumnya di seluruh permukaan kulit Anin mencetak lekuknya dengan sempurna. Seksi.“Kenapa enggak beli aja, sih?” Tanganku merambat naik menyusuri sepasang gundukan di depan tubuhnya, terasa jauh lebih padat dari biasa. Tanpa dalama
"Rese lo nanyain kabar Anin di depan Kea!" Aku jelas protes dengan candaan enggak lucunya Dean abis dia berantem mulut sama Kea. Padahal aku aja baru selesai nego sama Kea mengenai pembicaraan tentang si tante biar enggak berlarut-larut.Kea ampe pamit balik duluan, batal deh rencana mau malam mingguan. Kali kan dapet yang panas kalau jalan bareng macam cari tempat makan soto atau sup. Enggak mungkin banget ngajak Kea mabuk. Bisa gagal lamaran entar kalau ketahuan bapaknya."Bukannya lo lagi pendekatan sama Anin?" Dean menghindari tonjokanku. Bukan pukulan serius, cuma kebiasaan jika manusia satu ini bisa jadi sasaran samsak hidup buat aku dan Kea kalau lagi suntuk.Dia menunjuk tangga menuju 'rumah pohon', mengisyaratkan aku untuk mengikutinya naik dan berhenti di satu sisi pagar yang menunjukkan keramaian kafe. Bangunan kayu di belakang kafe yang bertopang pa
“Kamu enggak pulang? Ibu nanyain aku terus.” Kea mengadu lagi padaku, padahal belum juga duduk manis pada kursi kosong di seberangnya.Kami sepakat bertemu di salah satu kafe Dean yang baru buka, lagi. Dean ini kebanyakan buka tempat nongkrong kayak punya rupiah enggak ada limitnya. Bukan rooftop seperti kafe-kafe yang aku desain sebelumnya, melainkan taman di pertengahan kota yang kontras dengan segala kerumitan di sekitar. Tempat ini jauh lebih kecil, tapi memanfaatkan konsep alam. Pohon-pohon teduh di pinggiran dengan akar menggantung yang digantungi lampu-lampu berwarna. Meja dan kayu dari potongan pohon yang dipernis. Suasana di sini lebih nyaman untuk mengistirahatkan mata dari penatnya kesibukan dunia kerja.“Aku baru dari rumah malahan abis pulang kerja. Ibu enggak bilang apa-apa soal kamu pas aku mampir tadi, makanya aku kaget diajak ketemuan," alasanku setelah mendaratkan pantat di
“CCTV-nya terhubung ke mana aja, Tan?” Setengah berlari, aku kembali ke dalam rumah dan menemukan Anin mengambil gelas di dapur.Pertanyaanku sukses membuat Anin meletakkan benda dari kaca itu di meja kabinet dan menghubungi seseorang. Dia bicara beberapa menit dari sambungan panggilan dari ponselnya menggunakan istilah-istilah yang tak kumengerti dengan orang di seberang.“Siapa, Tan?” Aku bertanya lagi ketika dia menutup layar ponsel.Anin mengisi air dari dispenser ke gelasnya. “Teknisi. Minta cabut sekalian kameranya.” Berusaha tenang pun, jemari Anin bergetar membawa gelas sampai harus kuambil alih dari tangannya.Sepertinya aku bakal bolos kerja hari ini setelah melihat kerut di antara kedua alis Anin. Dia khawatir sampai memeluk diri, mengusap kedua lengan atasnya ketika menyelisik kekosongan ruangan di segala arah yang jel
“Enggak lucu, Yo!”Anin merajuk seketika. Kepalaku langsung berpindah ke lantai dengan keras begitu dia bangkit akibat bersandar di bahunya ketika bicara.“Siapa yang bilang lucu?” Bergegas aku duduk lagi, memastikan sendi-sendi yang nyeri dengan gerakan memutar bahu. Baru kerasa, ya?“Jangan main-main, Yo!” Pelototan Anin ketika meninggalkanku sambil menunjuk-nunjuk tampak mengerikan, apalagi dengan riasan lunturnya. Kayak lihat Harley Quinn abis patah hati ditinggal Joker.Ada yang salah? Kayaknya beberapa kali aku lupa menggunakan 'sarung sakti' itu juga Anin enggak terlalu repot, selama aku enggak bilang. Harusnyaplay safe gitu kalau ikut aturan kerja di dunia hitam kayak gini, cuma aku yakin aja kalau Anin bukan orang yang patut diwaspadai berpenyakit.Kususul Anin yang duduk menghadapi meja rias, memegang pundakny
“Kenapa? Om nggak bisa bikin istrinya hot?” Aku berteriak setelah Zaki—bakal mantan suami Anin—menyiram seember air ke tempat peristirahatan kami. Ya, aku tahu seenggaknya dari ember besar yang dipegang tangan besarnya. Ketahuan banget itu tangan biasa buat mukul dari padatan yang membentuk kapalan, seperti Bapak dulu ketika meninggalkan bogem mentah di pipi kiriku. Nyeri.Siapa yang enggak bakal kaget? Dibangunin kayak anak kecil yang abis ngompol. Lagi tenang-tenangnya di dunia mimpi, malah kebanting gegara air. Kirain abis kebawa banjir tahunan yang biasa mampir ke rumah, tahunya ditambah tonjokan.Lagian, gimana bisa lelaki tua yang harusnya lebih dewasa secara perilaku itu masuk ketika ruangan sedang dikunci? Aku ingat banget, meski hanya berdua di dalam rumah bersama Anin, pintu kamar tetap dikunci. Artinya kan si Zaki itu memiliki kunci lain.Anin merund