Kupastikan alamat yang diberikan Anin sesuai dengan rumah di depan mata. Fotonya sama. Rumah dominasi batuan alam dari luar dengan furnitur kursi dan meja rotan yang sudah langka ditemukan pada masa kini, tersusun melingkar di pelataran. Hal moderen yang bisa ditemukan hanya pada sistem keamanan seperti pengunci pintu menggunakan kata sandi dan beberapa kamera pengawas.
Anin sudah memberitahu kalau aku bebas masuk, menelisik koridor berlantai vinyl corak kayu yang terlihat sejuk sejak pertama menginjakkan kaki. Seperti yang dia bilang, rumahnya sangat sepi.
Beberapa kali Anin bercerita mengenai jarangnya interaksi di dalam rumah. Bangunan besar yang dimilikinya hanya tempat persinggahan di kala istirahat. Harusnya. Apa yang terjadi ketika satu-satunya sandaran Anin, si suami, malah jadi orang yang menciptakan neraka dalam hidupnya?
“Enggak perlu buka sepatu, kan?” Aku masih sempat bertanya pada ruang kosong. Lucu. Masuk lebih jauh, terdengar kecipak air. Mungkin ada kolam di dalam.
Benar saja. Kulihat Anin naik ke pinggiran. Dia hampir duduk pada kursi santai jika tidak menyadari keberadaanku yang lebih dulu menempati.
“Enggak pakai bikini, Tan?” tanyaku saat dia meraih handuk yang kuambilkan dari pinggiran kursi.
Kaus putih dan celana pendek yang Anin kenakan tampak mencetak tubuhnya, memperlihatkan pakaian dalam yang kontras. Hitam. Black and bold always sexy.
“Gerah. Langsung aja nyelam.” Anin duduk pada kursi santai lain, meminum cairan hijau kental dari gelas di meja. Handuknya menggantung, menutupi pundak yang basah.
Setelah insiden di hotel, sebenarnya cukup lama Anin tidak menghubungiku. Tanpa kabar, lalu mendadak dia mengajak bertemu? Apa mungkin ada sesuatu hingga Anin memerlukan kehadiranku?
Insiden yang terjadi saat itu ketika aku harus mengganti pakaian Anin yang basah karena muntah dadakan di kamar mandi setelah buang air. Alhasil, aku jadi harus menghubungi Dean yang kebetulan berada di hotel yang sama.
Sempat aja gitu si playboy demit buang benih di penghujung malam menjawab panggilan? Jijik dengerin dia iya-iya pakai suara latar perempuan mendesah.
Balik lagi ke nyonya besar, Anindya Betari. Biasanya Anin baru memanggilku setelah pertengkaran hebat. Dia selalu ngerasa butuh teman berbagi kisah. Semacam buang sampah biar bisa lega, aku yang kebagian baunya.
Kalau dia minta pendapat, jawabanku masih sama. “Kenapa enggak nyoba ke psikolog?”
“Aku enggak gila, Yo.”
Ayolah! Ke psikolog bukan hanya untuk masalah gangguan jiwa.
“Kamu bisa konsultasi soal pernikahan sama suami. Saling memperbaiki diri. Nggak harus gila buat datang ke psikolog.” Aku menggeleng setelah mendengar tanggapan spontan Anin. “Atau keluargamu? Keluarga dia?”
Anin tergelak dengan opsi yang kuberikan. “Kamu bilang, aku bisa memanggilmu jika butuh teman bicara. So, buat apa manggil psikolog?”
That’s the main point. Harusnya keberadaanku jadi pilihan terakhir jika Anin tidak ingin melangkah dalam dosa. Bukankah kembali pada keluarga adalah hal terbaik jika lelah bertualang?
Aku merebahkan diri pada kursi santai setelah melepas sepatu, menikmati cahaya matahari yang terik di musim kemarau. Untuk beberapa daerah, mungkin musim ini akan sangat kering. Bahkan air di rumahku terkadang tidak mengalir. Sedang Anin, dengan mudahnya berenang dan menganggap masalahnya paling pelik se-dunia. Terdengar lucu.
Ada teman yang bilang, masalah tiap orang pasti berbeda tingkatannya. Seperti aku yang punya masalah dengan syahwat yang sulit dikendalikan. Godaannya besar untuk tidak bermain elup-celupan, tapi uang masih lebih berkuasa dan menjadikan perainan justru pembawa rupiah terbaik.
“Keluarga? Siapa yang bisa disebut keluarga saat enggak ada satu pun yang bertahan ketika sulit?” Lagi, Anin berkelit.
Aku sempat menertawakannya. “Keluarga tetaplah keluarga. Biar enggak dekat, darah yang mengalir sama, Tan.”
Darah yang mengalir sama belum tentu dekat, mengingatkanku pada seseorang di masa lalu. Bapak. Dia justru menganggapku saingan ketika istri mudanya justru lebih sering menempel padaku. Padahal Ibu sudah terlampau sabar menerima pernikahan mereka yang jelas tidak diakui pihak gereja.
Anin menggeleng, sepertinya menolak membicarakan urusan keluarga lebih lanjut. Mungkin ada hal lain di masa lalu yang menyakitkan untuknya dan tidak boleh kugali.
“Mas Zaki meminta tanda tanganku untuk surat persetujuan nikah," ucap Anin setelah menyesap isi gelas dan meluruskan kaki mulusnya di perpanjangan kursi.
Aku terdiam sesaat, membiarkan kedua mata mensyukuri pemandangan memancing imajinasi untuk menyentuhnya. Salah. Anin belum memberi izin.
“Kenapa enggak milih cerai?” tanyaku setelah mempertimbangkan kalimat apa yang dibutuhkannya kali ini.
Anin menghela napas. Sepertinya ada lagi hal lain yang tidak perlu kuketahui.
Hidup ... kesulitan tiap orang enggak bisa disamaratakan. Anggap aja di sini posisiku sebagai setannya, memengaruhi dia untuk keuntunganku sendiri. Kepuasan dan uang jajan.
Daripada ngebayar PSK atau menjalin hubungan yang mengharuskan bermanis muka tetapi berjalan lambat. Aku enggak bakal munafik untuk urusan selangkangan dan isi dompet.
Lagi pula, pacaran itu butuh biaya. Buat traktir atau memberi hadiah, minimal uang transportasi. Mungkin, aku tipe yang enggak mau rugi.
Seperti waktu masih bareng Kea. Kencan ke mana? Nemenin main GTA di Playstation atau Stronghold doang? Atau PUBG pas sudah temenan kayak sekarang biar dapet wifi gratis?
Aku jadi merasa enggak ada perkembangan. Jalan di tempat. Kadang ngebayangin bisa melakukan hal lebih sama Kea, tapi urung karena dia sendiri selalu nolak. Belum lagi orang tuanya yang sangat menjaga si anak gadis.
“Enggak boleh ngelanggar aturan,” kata Kea.
Tanpa sadar aku menertawakan masa lalu bersama cewek itu. Mungkin cuma penasaran sama dia dan aku milih enggak cerita sama Ibu daripada dikasih aturan yang bisa kulanggar sewaktu-waktu. Kea bisa jadi tameng sempurna buat alasan keluar rumah.
Toh, Ibu cuma bilang, “Jangan ngehamilin anak orang!” bukan melarang seks.
“Kamu bilang dia mengeluh karena kamu konservatif? Maksu kamu mainnya gitu-gitu aja?”
Aku mengulang keluhan Anin di pertemuan sebelumnya. Mungkin, aku hampir terpejam karena mulai bosan dengan pembicaraan. Kulirik Anin yang membisu, menggoyangkan gelasnya yang sudah kosong.
“Aku dibayar, loh. Tante perlu apa? Mau aku ajarin yang ekstrim? Atau Tante mau ngasih tau gimana imajinasi Tante mengenai ini?” Sengau dalam kalimatku begitu kentara ketika mengisyaratkan lingkaran dan tusukan dari jemari.
Aku butuh semangat, dan menggodanya pun mampu menaikkan hasrat terdalamku.
Anin tertegun saat aku kembali duduk. Bola matanya terlihat bergerak, tidak tenang. Kurasa, tebakanku benar. Dia beranjak, mungkin akan meninggalkanku lagi jika menghindari pembicaraan.
Aneh. Anin tuh selalu pergi, menghindar, tapi masih manggil lagi.
“Mau ke mana?” Kuraih tangannya ketika melangkah di dekatku.
Anin terdiam. Jemarinya seolah bergetar meremas gelas dalam pegangannya ketika menjawab, “Naruh ini.”
Aku mengerutkan kening, merasa lebih aneh lagi. Apa Anin terlalu takut dengan sentuhan?
“Letakkan di sini saja. Tante mau aku makan gaji buta dengan jadi patung tak tersentuh?” Kuambil gelas dari tangannya, memindahkan ke atas meja tanpa melepaskan tangannya yang lain.
Jemari Anin yang dingin dalam genggaman kutarik mendekat. Jari-jarinya panjang dan lentik, hanya kukunya yang kurang rapi.
“Tante nguli?” tebakku. Pertanyaan yang bersarang dalam pikiran semenjak memangkas jarak dengannya di awal.
Anin tertawa mendengar tebakanku, memecah kecanggungan yang sempat hampiri.
“Kenapa ketawa? Ini enggak dirawat? Ke salon gitu, Tan. Meni-pedi. Masa muka aja yang cantik, tapi jarinya gini?”
Kekehanku membuatnya langsung mengulum senyum. Aku hanya mengulang istilah yang biasa disebut pelanggan sebelumnya kalau aku memuji soal kuku mereka yang cantik.
“Mas Zaki minta aku mengurus rumah sebesar ini. Katanya kalau pakai pembantu, mahal. Padahal aku juga kerja. Lagian, rumah ini juga punyaku. Tapi tahu sendiri bagaimana orang tua zaman dulu memandang seorang wanita? Istri? Harus bisa mengurus rumah biarpun kerja.”
Penjelasan Anin membuatku langsung terdiam. Enak banget jadi suami Anin. Merasa tuan, tapi sebenarnya tidak memiliki apa pun. Kerjanya apa?
Aku enggak tahu dari mana asal kekayaan Anin, karena dia juga belum mau cerita.
“Tan, aku penasaran.”
“Apa?”
“Konservatif itu seperti apa, sih? Ajarin, ya?”
Spontan kedua pipi Anin merona, paham maksud dari pertanyaanku. Dia masih bergeming, melemparkan pandangan ke arah lain, menghindari tatapan. Jemarinya yang masih dalam genggaman, kuhidu perlahan. Bisa kurasakan rambut di lengannya meremang.
“Apa seperti ini?”
Anin menggeleng cepat.
“Enggak, Yo.” Dia hampir mundur jika tidak segera kutahan.
“Perlu kulanjutkan?”
Tidak ada suara. Hanya anggukan sebagai jawaban. Anin telah setuju.
***
“Yo! Balikin!” Wajah Anin tampak panik ketika menyadari ponselnya berada di tanganku. Rengutannya menjadi hiburan tambahan setelah permainan panas kami.Berapa kali? Mungkin tiga atau empat klimaks untukku semenjak tiba di rumah Anin. Langit yang tampak di balik jendela sudah sangat gelap tentunya.Obviously, Anin sangat tidak konvensional. Dia mencoba berbagai macam cara saling memuaskan yang bisa aku tunjukkan.Ah, membayangkannya saja sudah menggelikan untukku."Balikin ponselku, Yo!" Anin berusaha meski tahu kalau tangan langsingnya itu enggak bakal sampai kalau menggapai dari balik bahuku.“Enggak ....” Membelakangi Anin hanya akan menggesekkan aset kencangnya di punggungku dan semakin mempertegas ereksi yang menyakitiku. Kugigit bibir bawah untuk menahan desahan yang tetap saja lolos.“Ary
“Poligami seperti apa yang dimulai dengan perselingkuhan? Kamu pikir aku bodoh dengan syariat?” Anin berteriak. Bisa kudengar suara barang-barang jatuh, atau mungkin dilempar?Suara pria tua yang menjadi suami Anin juga tidak kalah keras. Syukur-syukur rumah Anin tergolong jauh dari para tetangga.Kebiasaan para pemburu nafsu yang setahuku menjadikan landasan agama sebagai dasar pembenaran untuk menambah jumlah istri. Pernah dengar, sih, saat Dean mengundang ustaz untuk pengajian di rumahnya bilang, “Poligami itu dasarnya boleh, tapi menjadi haram ketika berbuat zalim.”Tahu apa sih aku?Jadi menertawakan diri sendiri yang sok tahu. Perbuatanku berkali-kali bersama Anin juga terhitung dosa, bukan? Kalau dalam hukum agamanya Dean, pendosa sepertiku bisa dirajam. Lempar batu sampai mati.Aku berjongkok
Kata orang, move on itu bukan melupakan, tapi menghadapi. Cuma kalau hari-hari ketemu Anin, bagaimana mau move on?Sebenarnya kami beda fakultas, sih. Kebetulan belakangan kami sering berpapasan terus di koridor fakultas. Enggak satu-dua kali dia menemui dosen--yang membimbingku untuk urusan skripsi--dalam kurun waktu seminggu.Masalahnya, beberapa minggu setelah kejadian terakhir, dia memblokir semua kontakku, dari telepon sampai media sosial. Padahal permainan terakhir kali di rumahnya waktu itu sangat menegangkan. Kalau ikut perjanjian, rasanya enggak mungkin menegur Anin langsung di depan umum. Apalagi aku bukan mahasiswa mata kuliah yang diajarkannya. Berbahaya untuk bayaran dalam kontrakku.“Kamu kenal sama ibu tadi?” Pertanyaan Kea menyadarkanku dari lamunan. Padahal cuma karena melihat Anin lewat tanpa menoleh.Terkesan so
“Harusnya Anda yang bisa jaga baik-baik istri Anda!” Aku berusaha membela diri ketika mendapat pukulan dan hujatan berkali-kali dari pria tua di depan umum seperti ini.Hal yang kukhawatirkan terjadi. Suami Anin melabrakku di area parkir kampus. Dulu kukira yang beginian cuma terjadi di sinetron atau cerita fiksi. Atau seenggaknya hanya dilakukan para perempuan yang berebut lelaki kaya. Nyatanya, aku ngalamin.Masalahnya, aku dipukul tepat di depan Kea. Apa yang bakal Kea pikirin kalau mendengar segala tuduhan dari suami Anin?Zaki—suami Anin—hampir melayangkan pukulan lagi jika saja Kea tidak merentangkan tangan di depan, melindungiku. Kepalan tangannya berhenti tepat di depan kening Kea."Brengsek!" Kudengar umpatan meluncur cepat. Tidak hanya mengucilkanku, tetapi juga menjelek-jelekkan Kea dengan kata-kata tidak pantas.
“Apa bedanya aku dengan si bangkot itu kalau menerima ajakanmu?” ucap Anin saat menamparku. Dia menolak tawaran ketika aku berhasil memojokkannya di meja wastafel dalam toilet perempuan.Tidak peduli dengan ancaman pelecehan, aku mengikutinya masuk. Toh, Anin tidak berteriak meski setiap permukaan kulitnya telah kusentuh.Tentu saja kampus sudah sepi ketika kelas malam berakhir dan aku menemukan dia baru keluar dari kelas setelah semua mahasiswa pergi.Aku tergelak. “Jelas saja beda. Bukankah kukatakan jasaku ini tidak gratis? Dia berselingkuh, sedangkan kamu membayarku.” Embus napasku masih membelai sudut telinganya.Susah payah menahan diri lakukan hal lebih dari rengkuhan meski nyatanya tubuh ini butuh, meski kejadian terakhir menyakitkan hati karena dia menginginkan hubungan kami berakhir.Bisa kulihat Anin menutup mata,
"Hei!" Aku menyapa begitu bertemu tatap dengan Anin di koridor dekanat fakultas bahasa. Enggak sengaja ketemu, sih.Meski satu kampus, kami berada pada fakultas berbeda. Jadi sebenarnya susah banget buat ketemu di luar perjanjian. Aku mahasiswa akhir di fakultas keguruan, sedangkan dia dosen di fakultas bahasa. Kadang ketemu di fakultasku karena dia punya kegiatan gabungan, tetapi seminar itu juga sudah berakhir.Makin pupus harapan ketemu Anin semenjak pengakuannya tentang larangan si suami bangkot biar tidak menghubungi siapa pun tanpa izin. Otoriter sekali. Rumah tangga seperti apa yang dijalani wanita moderen seperti Anin?"Kamu ngapain di sini?" Mata lebar Anin tampak menjelajahi kesunyian di sekeliling, lalu melotot lagi ke arahku. Ngapain juga dia menampakkan kekhawatiran berlebihan seperti itu kalau toh kami bisa berlagak seperti mahasiswa-dosen biasa.
Abis mengajukan lamaran kerja di beberapa instansi di pertengahan kota, langkahku memilih menumpang angkutan kota ke wilayah perumahan di wilayah barat kota. Hanya sampai gapura terluar. Untuk masuk lebih dalam sebenarnya bisa menggunakan jasa ojek, tetapi sayang mengeluarkan isi dompet yang sudah tipis.Bisa aja tarik tunai pada atm di pinggiran jalan, cuma aku masih bisa berjalan kaki sekitar satu-dua kilometer mencapai blok paling depan. Rumah didominasi suasana kayu yang hangat tampak di depan mata, tetapi kakiku ragu bergerak maju.Apa Anin mau menemuiku tanpa janji?Aku hanya khawatir. Perasaanku seakan meronta tanpa sebab. Akhirnya, aku berbalik. Urung temui meski sudah sejauh ini. Aku tidak ingin ditolak lagi.Sepatuku nyaris menjejak pergi. Nyaris. Aku malah berlari ke dalam rumah begitu mendengar suara pecahan kaca. Tida
"Tante sih pakai naik segala!" Aku hampir menekan tombol pemanggil petugas jaga, tetapi Anin lebih dulu menahan lenganku dan menggeleng.Jelas aku enggak bisa nolak kalau wajahnya dibuat memelas gitu. Kayak ngelihat dia pas lagi ceri kepuasan di atasku."Abis gimana? Mau ...."Ya Tuhan! Kalau enggak ingat kondisi punggung Anin, sudah aku pompa kedalaman dirinya selama mungkin. Tapi, permainan lambat tadi sudah membuat Anin mengeluhkan nyeri."Nanti, kalau benar-benar sembuh." Aku turun dari brankar Anin dan menempati kursi yang tersedia sebelum sesi pemeriksaan lanjutan datang. Siapa tahu? Aku tidak menghafal jadwalnya.Kubantu Anin berbaring miring menghadap keberadaanku. Dia ... tidak melepaskan pegangan pada sela-sela jariku sama sekali. Pakai senyum segala.Kalau bo
"Pergi dari sini," desis pria tua beruban yang mencegatku di pintu masuk IGD saat mengiringi brankar dorong Anin. Sosok tidak lebih tinggi dariku itu berkacak pinggang dan membusungkan dada meski berkali-kali kudorong."Enggak bisa gitu dong, Om!" Bagaimana aku enggak protes? Aku yang susah payah membawa Anin dari rumah, malah dia mengusir begitu saja. Apa haknya?"Saya masih suami sah Anin! Kamu yang harusnya pergi dari sini!" Pake ngaku-ngaku lagi. Ke mana aja dia selama ini ketika sang istri mengalami luka fisik dan batin?"Tante enggak bakal pernah mau terima Om kembali!"Bisa dibilang kedua tanganku sudah mengepal di sisi badan meski tahu kekuatanku enggak bakal mungkin menandinginya dari pukulan-pukulan yang pernah suami Anin itu layangkan. Hanya susunan kata protes yang harus diredam karena keberadaan kami di tempat umum penuh pasien seperti ini."Kamu yang bilang?" Sering
“Berhenti, Yo," protes Anin ketika sentuhanku menjalar ke depan perutnya.Aku menggeleng, menikmati tiap jengkal aroma di sepanjang lengannya yang terjangkau. “Enggak mau ....”“Geli! Nanti keciprat!” Ocehannya terdengar manja. Sesekali dia mengacungkan sutil panas ke arahku. Kejam.Masih kupeluk dia dari belakang. Sesekali kutenggelamkan ciuman di ceruk lehernya yang nyaman, enggak peduli kesibukan Anin menggoreng ayam dengan minyak panas. Rambut diikat tinggi dan terusan putih selutut bertali yang dikenakannya benar-benar menggoda, terutama karena peluh yang masih meninggalkan jejak pergumulan kami sebelumnya di seluruh permukaan kulit Anin mencetak lekuknya dengan sempurna. Seksi.“Kenapa enggak beli aja, sih?” Tanganku merambat naik menyusuri sepasang gundukan di depan tubuhnya, terasa jauh lebih padat dari biasa. Tanpa dalaman, bisa kusentuh puncaknya ya
"Pergi dari sini," desis pria tua beruban yang mencegatku di pintu masuk IGD saat mengiringi brankar dorong Anin. Sosok tidak lebih tinggi dariku itu berkacak pinggang dan membusungkan dada meski berkali-kali kudorong."Enggak bisa gitu dong, Om!" Bagaimana aku enggak protes? Aku yang susah payah membawa Anin dari rumah, malah dia mengusir begitu saja. Apa haknya?"Saya masih suami sah Anin! Kamu yang harusnya pergi dari sini!" Pake ngaku-ngaku lagi. Ke mana aja dia selama ini ketika sang istri mengalami luka fisik dan batin?"Tante enggak bakal pernah mau terima Om kembali!"Bisa dibilang kedua tanganku sudah mengepal di sisi badan meski tahu kekuatanku enggak bakal mungkin menandinginya dari pukulan-pukulan yang pernah suami Anin itu layangkan. Hanya susunan kata protes yang harus diredam karena keberadaan kami di tempat umum pe
“Berhenti, Yo," protes Anin ketika sentuhanku menjalar ke depan perutnya.Aku menggeleng, menikmati tiap jengkal aroma di sepanjang lengannya yang terjangkau. “Enggak mau ....”“Geli! Nanti keciprat!” Ocehannya terdengar manja. Sesekali dia mengacungkan sutil panas ke arahku. Kejam.Masih kupeluk dia dari belakang. Sesekali kutenggelamkan ciuman di ceruk lehernya yang nyaman, enggak peduli kesibukan Anin menggoreng ayam dengan minyak panas. Rambut diikat tinggi dan terusan putih selutut bertali yang dikenakannya benar-benar menggoda, terutama karena peluh yang masih meninggalkan jejak pergumulan kami sebelumnya di seluruh permukaan kulit Anin mencetak lekuknya dengan sempurna. Seksi.“Kenapa enggak beli aja, sih?” Tanganku merambat naik menyusuri sepasang gundukan di depan tubuhnya, terasa jauh lebih padat dari biasa. Tanpa dalama
"Rese lo nanyain kabar Anin di depan Kea!" Aku jelas protes dengan candaan enggak lucunya Dean abis dia berantem mulut sama Kea. Padahal aku aja baru selesai nego sama Kea mengenai pembicaraan tentang si tante biar enggak berlarut-larut.Kea ampe pamit balik duluan, batal deh rencana mau malam mingguan. Kali kan dapet yang panas kalau jalan bareng macam cari tempat makan soto atau sup. Enggak mungkin banget ngajak Kea mabuk. Bisa gagal lamaran entar kalau ketahuan bapaknya."Bukannya lo lagi pendekatan sama Anin?" Dean menghindari tonjokanku. Bukan pukulan serius, cuma kebiasaan jika manusia satu ini bisa jadi sasaran samsak hidup buat aku dan Kea kalau lagi suntuk.Dia menunjuk tangga menuju 'rumah pohon', mengisyaratkan aku untuk mengikutinya naik dan berhenti di satu sisi pagar yang menunjukkan keramaian kafe. Bangunan kayu di belakang kafe yang bertopang pa
“Kamu enggak pulang? Ibu nanyain aku terus.” Kea mengadu lagi padaku, padahal belum juga duduk manis pada kursi kosong di seberangnya.Kami sepakat bertemu di salah satu kafe Dean yang baru buka, lagi. Dean ini kebanyakan buka tempat nongkrong kayak punya rupiah enggak ada limitnya. Bukan rooftop seperti kafe-kafe yang aku desain sebelumnya, melainkan taman di pertengahan kota yang kontras dengan segala kerumitan di sekitar. Tempat ini jauh lebih kecil, tapi memanfaatkan konsep alam. Pohon-pohon teduh di pinggiran dengan akar menggantung yang digantungi lampu-lampu berwarna. Meja dan kayu dari potongan pohon yang dipernis. Suasana di sini lebih nyaman untuk mengistirahatkan mata dari penatnya kesibukan dunia kerja.“Aku baru dari rumah malahan abis pulang kerja. Ibu enggak bilang apa-apa soal kamu pas aku mampir tadi, makanya aku kaget diajak ketemuan," alasanku setelah mendaratkan pantat di
“CCTV-nya terhubung ke mana aja, Tan?” Setengah berlari, aku kembali ke dalam rumah dan menemukan Anin mengambil gelas di dapur.Pertanyaanku sukses membuat Anin meletakkan benda dari kaca itu di meja kabinet dan menghubungi seseorang. Dia bicara beberapa menit dari sambungan panggilan dari ponselnya menggunakan istilah-istilah yang tak kumengerti dengan orang di seberang.“Siapa, Tan?” Aku bertanya lagi ketika dia menutup layar ponsel.Anin mengisi air dari dispenser ke gelasnya. “Teknisi. Minta cabut sekalian kameranya.” Berusaha tenang pun, jemari Anin bergetar membawa gelas sampai harus kuambil alih dari tangannya.Sepertinya aku bakal bolos kerja hari ini setelah melihat kerut di antara kedua alis Anin. Dia khawatir sampai memeluk diri, mengusap kedua lengan atasnya ketika menyelisik kekosongan ruangan di segala arah yang jel
“Enggak lucu, Yo!”Anin merajuk seketika. Kepalaku langsung berpindah ke lantai dengan keras begitu dia bangkit akibat bersandar di bahunya ketika bicara.“Siapa yang bilang lucu?” Bergegas aku duduk lagi, memastikan sendi-sendi yang nyeri dengan gerakan memutar bahu. Baru kerasa, ya?“Jangan main-main, Yo!” Pelototan Anin ketika meninggalkanku sambil menunjuk-nunjuk tampak mengerikan, apalagi dengan riasan lunturnya. Kayak lihat Harley Quinn abis patah hati ditinggal Joker.Ada yang salah? Kayaknya beberapa kali aku lupa menggunakan 'sarung sakti' itu juga Anin enggak terlalu repot, selama aku enggak bilang. Harusnyaplay safe gitu kalau ikut aturan kerja di dunia hitam kayak gini, cuma aku yakin aja kalau Anin bukan orang yang patut diwaspadai berpenyakit.Kususul Anin yang duduk menghadapi meja rias, memegang pundakny
“Kenapa? Om nggak bisa bikin istrinya hot?” Aku berteriak setelah Zaki—bakal mantan suami Anin—menyiram seember air ke tempat peristirahatan kami. Ya, aku tahu seenggaknya dari ember besar yang dipegang tangan besarnya. Ketahuan banget itu tangan biasa buat mukul dari padatan yang membentuk kapalan, seperti Bapak dulu ketika meninggalkan bogem mentah di pipi kiriku. Nyeri.Siapa yang enggak bakal kaget? Dibangunin kayak anak kecil yang abis ngompol. Lagi tenang-tenangnya di dunia mimpi, malah kebanting gegara air. Kirain abis kebawa banjir tahunan yang biasa mampir ke rumah, tahunya ditambah tonjokan.Lagian, gimana bisa lelaki tua yang harusnya lebih dewasa secara perilaku itu masuk ketika ruangan sedang dikunci? Aku ingat banget, meski hanya berdua di dalam rumah bersama Anin, pintu kamar tetap dikunci. Artinya kan si Zaki itu memiliki kunci lain.Anin merund