Beberapa bulan sebelumnya ....
“Aku enggak mau! Kamu ngebawa racun, bukan madu, Mas!”Saat itu, aku mendengar Anin berteriak. Pertama kalinya aku benar-benar melihat dan menyadari keberadaannya di akhir semester ganjil. Secara, kampus itu luas banget. Fakultasnya aja ada lebih dari lima, belum jurusannya, tetapi ... dia dari fakultas yang mana?Di ujung tempat parkir, dia saling berdebat dengan pria tua. Tebakanku mungkin si pria itu suaminya yang berusia sekitar empat atau lima puluh tahun dari kerut dan helai rambut yang memutih. Siapa tahu lebih muda kalau inget banyak orang yang memiliki uban lebih dini.“Mereka enggak malu diliatin orang apa?” Aku mengeluh sambil menyandarkan diri di sisi mobil Kea. Setelah jam ujian pertama, kami sepakat bertemu di pelataran parkir.Kuamati lagi sosok wanita itu. Enggak ada yang spesial. Kurang lebih kayak dosen lain yang berpakaian formal setiap mengajar. Rambut panjang Anin digerai ke depan pundak kanan sekali jemarinya menyugar diiringi air mata. Bikin aku terenyuh juga, tapi bisa lakuin apa?Suasana masih terlalu ramai untuk jadi tontonan. Beberapa mahasiswa sesekali memperhatikan, lebih banyak lagi yang hanya berlalu. Kalau boleh nebak, mungkin bukan pertama kali untuk mereka bertengkar di depan umum dari intonasi yang terlontar.Lama menjadi penonton, kakiku mengetuk pijakan. Waktu terasa lama. Bosan. Kulirik kotak rokok dan menghitung. Habis dua batang isapan tembakau hanya untuk menunggu Kea dan mendapat tontonan garing kayak pasangan suami istri itu. Kotak rokok di tanganku ini lucu juga ternyata, masang foto kanker tenggorokan, tapi tetap saja ada yang beli. Pada cari mati kayaknya yang ngisap. Aku juga.Jika tinggal puntungnya, kugesek sisa bara di ujung sol sepatu, lalu masuk lagi dalam kotak. Buang sampah sembarangan di sini tuh dendanya bisa sampai lima puluh juta, tapi buang asap sembarangan bebas masalah.Pas noleh ke arah wanita yang bertengkar tadi, tatapannya yang sempat berhenti padaku seolah meminta tolong, terlihat menyedihkan. Kutelisik lagi wajah Anin yang begitu sendu karena aliran air mata. Aku baru ingat, Anin mengajar di salah satu fakultas yang berbeda denganku.At least, aku pernah bertemu dengannya saat jadi volunteer tes UKBI, Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia, yang kekurangan peserta. Posisinya tepat di kursi sebelah ketika minjam pulpenku yang enggak pernah dikembalikan. Ya, tes gabungan antara mahasiswa dan jajaran dosen sebagai percobaan awal.Akhirnya pria tua yang menjadi biang keributan di area parkir ini pergi setelah lama berlutut. Sepertinya tidak kunjung mendapat jawaban memuaskan dari pasangannya. Minta maaf seperti apa yang berdalih menyalahkan si wanita dengan berbagai kekurangan hanya untuk perizinan menikah lagi? Dari sikap sampai urusan ranjang pun diumbar di depan umum seperti tadi. Kebayang banget gimana malunya kalau jadi Anin.Cokot-nya si suami ngalahin ibu-ibu tukang gosip.Lucu. Wanita mana di zaman ini yang setuju poligami? Kalau bisa, mereka tentu ingin dunia bahkan Tuhan memberi keadilan dengan memberi kesetaraan hak dalam berpasangan.Aku menertawakan pemikiran yang melintas. Akibat gabut, nih. Rasa bosan ini terasa akan membunuhku. Bolak balik merentangkan tangan atau berpindah posisi berdiri, tetap membuat tatapanku kembali beralih pada sosok wanita yang memilih tetap diam menunduk.Dia tampak menyerah berlagak kuat dengan terus berdiri. Syukur Anin mengenakan celana panjang. Kalau berjongkok pakai rok, mungkin aku bakal curi-curi ngintip juga.Sol sepatuku mulai bergeser, ingin menghampiri meski ragu. Namun ....“Bas! Lama?” Panggilan Kea mengejutkan. Seperti biasa, dia memukul pundakku dengan keras. Sudah kukatakan bukan, dia memang enggak cocok jadi pacar. Kea terlalu aktif untuk diajak romantisan. Perlakuannya padaku enggak ada lembut-lembutnya.Sejauh ini, enggak bisa diajak naik ranjang meski kadang aku cuma becandaan soal friend for benefit. Hubungan pertemanan saling menguntungkan dalam kepuasan gairah? Enggak mempan. Kea selalu mengingatkanku pesan dari bapaknya yang kolot itu."Kalau mau buat anak itu abis nikah, Bas!"Zaman gini? Mungkin Kea hanya menutup mata dari kebiasaan teman-teman di sekitar kami yang sebenarnya sangat terang-terangan bicara mengenai kebiasaan ranjang. Apalagi kalau ada yang nyebut-nyebut alat kelamin pas saling manggil teman di kelas dulu. Dia yang paling dulu tutup telinga.Aku melihat lagi ke arah Anin dari kejauhan. Saat itu, aku lupa namanya. Hanya sempat melambaikan tangan dan mengangguk ketika sorot tajam dari mata kelamnya menyadari kehadiranku. Kesan awal, mata sendu berbalut air mata miliknya terlihat menarik. Mungkin, aku sudah melebarkan garis bibir, meski sekadar tersenyum.Untuk apa? Enggak tahu.Apa aku tertarik? Iya, aku tertarik.Atau sekadar euforia mendapat mangsa baru? Enggak tahu juga. Mungkin hanya penasaran.Kunaikkan bahu sesaat begitu sadari pertanyaanku hanya sekadar monolog lepas yang tidak butuh jawaban. Di sisiku, Kea selalu mendampingi meski tidak ada lagi hubungan di luar pertemanan. Ingin berharap lebih, tetapi asa yang terbentang di hadapan semakin memupuskan.Bisakah dia menerima kehidupan yang aku jalani kini jika kesempatan untuk hubungan kami terbuka lagi? Wanita mana yang bisa menerima sisi gelap pasangan ketika hubungan normal yang kami jalani dulunya saja diwarnai perbedaan?"Ke?" tanyaku ketika sadari Kea membanting pintu mobil setelah masuk.Dia menurunkan jendela di samping bangku penumpang dan berteriak memerintah, "Masuk, Bas!"Kea sedang cemburu? Biasanya gitu, sih. Meski putus, aku cukup tahu gimana dia ngebalas pesan-pesan para cewek di kelas yang bertukar nomor di ponselku. Apa, ya? Aku masih biasa memberi kuasa buat dia megang ponselku kalau lagi bareng.Kalau ponselku buat kerja, beda lagi. Dia enggak tau."Ibu yang tadi cantik, ya." Sengaja emang kupanasin begitu ngelihat rautnya yang kesal dan mengerucutkan bibir sepanjang menyetir keluar dari pelataran parkir kampus. Belum termasuk gayanya yang mempermainkan pedal gas dan rem secara brutal."Naksir?" tanya Kea setelah mengembuskan napas dan menutup mata. Kami menunggu lampu merah yang menghentikan laju mobilnya berganti."Iya, aku naksir." Jawabanku ditanggapi dengan klakson kencang yang ditekannya berkali-kali. Aku benar kali ini. "Ke?""Bas, tadi itu suaminya. Masa kamu mikir mau naksir istri orang?" Kea menyorot tajam ke arahku, lalu kembali pada kemacetan yang mengular. Lampu hijau cepat berganti ke warna kuning, kemudian merah lagi saat kami belum mencapai jalur zebra. "Kenapa pake macet segala, sih?""Aku becanda kali, Ke. Pengin tau aja reaksi kamunya gimana." Aku menaikkan kedua kaki pada dasbor dan menurunkan sandaran bangku. Sekali lirik dan bertemu tatap dengan sang pengemudi, kuselorohkan tanya, Cemburu, ya?""Kagak!" Meski menolak, raut Kea menegaskan jika dia masih punya perasaan padaku. Hati ini juga.Namun, siapa yang tahu kelak aku akan benar-benar jatuh hati terhadap sosok wanita seperti Anin? Kerapuhan Anin seolah membutuhkan keberadaanku untuk tetap di sisinya.“Ngeliatin siapa?” tanya wanita yang meliuk-liuk di hadapanku seiring entakan musik yang semakin menggila.“Teman, Tan!” Alasanku ketika menyadari seseorang yang kukenal berada di deretan kursi bar.Ya, aku masih sangat betah memperhatikan setiap perubahan mimik dari wajah tirus dosen wanita yang pernah menerima perlakuan kasar di depanku itu. Anin.Jujur, aku enggak suka kekerasan terhadap wanita. Aku lebih suka memberi pelayanan saling menguntungkan seperti terhadap wanita yang kini dengan beraninya menggesekkan belakang tubuhnya pada bagian tersensitifku ketika DJ yang di atas sana mengganti musik beraliran melow ala-ala biola Titanic.Berasa pengin ngumpat. Anjing! Bangsat! Musik apaan ini?Serius, aku sempat gelagapan terbawa efek alkohol yang masih ingin diguncang.“Kenapa masih dipanggil tante aja? Yang mesra, dong.” Tambah lagi rengekan manja dari wanita yang menarik pergelangan tanganku biar melingkari pinggangnya ini.Emang sih ya ketemu wanita-wanita butuh kasih sayang ini b
“Kamu lagi?”Anin menghela napas berat begitu menyadari aku berdiri di depannya. Setelah pertengkaran suami istri ke sekian yang tidak sengaja kudengar, wanita itu masih membuatku penasaran.Sore di penghujung Sabtu selalu sepi di lorong menuju kelas. Jarang mahasiswa mengambil kelas akhir pekan. Kalaupun ada, seperti aku yang mengejar tambahan nilai jika dosen meminta.Aku enggak bodoh. Cuma menyukai tantangan, meski jumlah beasiswa tidak seberapa.Bukankah dekat dengan dosen mempermudah koneksi? Terakhir malah ditawarin ngambil beasiswa tugas akhir. Semacam pengajuan di awal semester, lalu dapat transferan ketika lolos. Biasanya bertepatan dengan akhir semester.“Sudah kukatakan, kamu bisa hubungi aku kalau perlu teman.” Aku mengulang perkataan yang sama ke sekian kali saat membantunya berdiri. Lut
“Aku membayarmu cuma buat teman bicara, bukan bercumbu, Aryo.” Sang primadona ruangan malam ini memprotesku. Dia memilih tetap berdiri menghadap dinding kaca, melihat luar ruangan, dibanding duduk di hadapanku.Lucu, sih. Biasanya wanita yang membayarku akan mengambil keuntungan sebanyak mungkin dari pelayanan, terutama karena sentuhanku dianggap sangat melenakan hingga mereka ketagihan. Namun, Anin hanya menekankan teman bicara dalam kontraknya yang baru saja kutandatangani.“Apa bedanya? Harganya sama saja, Sayang. Atau kamu ingin dipanggil dengan kata lain?” Aku menertawakan pilihan Anin setelah menghabiskan kudapan manis. Mungkin cokelat atau kopi, yang jelas seperti ada biskuit lumer di dalam mulutku.“Ini apa namanya?” Aku mengacungkan potongan di atas garpu kecil dalam pegangan yang sekejap berpindah ke mulut.“Tiramisu,” k
“Sama siapa, Bas?” Dean—teman yang kukenal semenjak menginjak bangku perkuliahan dan terkenal sering bergonta-ganti pasangan—menghampiri. Dia sadar kalau aku berada di tempat yang sama.Padahal sejak awal ngelihat keberadaan Dean dalam klub, aku sudah memilih tempat untuk menyingkir dari keramaian, menemani Anin yang bersandar pada sofa di pojokan setelah minum beberapa tegukan. Lagian, buat apa juga Anin mabuk di tempat seperti ini sendirian setelah menghubungiku? Apa Anin sedang menghadapi masalah lagi?Aku menjawab pertanyaan Dean dengan menggerakkan kepala, menunjukkan wanita di sisi yang telah menutup mata. Tubuh Anin masih mengenakan pakaian formal setelah mengajar tertutupi jaket milikku. Bisa aja kan banyak lelaki yang mengambil kesempatan karena kondisi Anin kalau enggak hubungi aku sejak awal?“Baru lagi?” Dean melepaskan rangkulannya pada gadis yang
Kupastikan alamat yang diberikan Anin sesuai dengan rumah di depan mata. Fotonya sama. Rumah dominasi batuan alam dari luar dengan furnitur kursi dan meja rotan yang sudah langka ditemukan pada masa kini, tersusun melingkar di pelataran. Hal moderen yang bisa ditemukan hanya pada sistem keamanan seperti pengunci pintu menggunakan kata sandi dan beberapa kamera pengawas.Anin sudah memberitahu kalau aku bebas masuk, menelisik koridor berlantai vinyl corak kayu yang terlihat sejuk sejak pertama menginjakkan kaki. Seperti yang dia bilang, rumahnya sangat sepi.Beberapa kali Anin bercerita mengenai jarangnya interaksi di dalam rumah. Bangunan besar yang dimilikinya hanya tempat persinggahan di kala istirahat. Harusnya. Apa yang terjadi ketika satu-satunya sandaran Anin, si suami, malah jadi orang yang menciptakan neraka dalam hidupnya?“Enggak perlu buka sepatu, ka
“Yo! Balikin!” Wajah Anin tampak panik ketika menyadari ponselnya berada di tanganku. Rengutannya menjadi hiburan tambahan setelah permainan panas kami.Berapa kali? Mungkin tiga atau empat klimaks untukku semenjak tiba di rumah Anin. Langit yang tampak di balik jendela sudah sangat gelap tentunya.Obviously, Anin sangat tidak konvensional. Dia mencoba berbagai macam cara saling memuaskan yang bisa aku tunjukkan.Ah, membayangkannya saja sudah menggelikan untukku."Balikin ponselku, Yo!" Anin berusaha meski tahu kalau tangan langsingnya itu enggak bakal sampai kalau menggapai dari balik bahuku.“Enggak ....” Membelakangi Anin hanya akan menggesekkan aset kencangnya di punggungku dan semakin mempertegas ereksi yang menyakitiku. Kugigit bibir bawah untuk menahan desahan yang tetap saja lolos.“Ary
“Poligami seperti apa yang dimulai dengan perselingkuhan? Kamu pikir aku bodoh dengan syariat?” Anin berteriak. Bisa kudengar suara barang-barang jatuh, atau mungkin dilempar?Suara pria tua yang menjadi suami Anin juga tidak kalah keras. Syukur-syukur rumah Anin tergolong jauh dari para tetangga.Kebiasaan para pemburu nafsu yang setahuku menjadikan landasan agama sebagai dasar pembenaran untuk menambah jumlah istri. Pernah dengar, sih, saat Dean mengundang ustaz untuk pengajian di rumahnya bilang, “Poligami itu dasarnya boleh, tapi menjadi haram ketika berbuat zalim.”Tahu apa sih aku?Jadi menertawakan diri sendiri yang sok tahu. Perbuatanku berkali-kali bersama Anin juga terhitung dosa, bukan? Kalau dalam hukum agamanya Dean, pendosa sepertiku bisa dirajam. Lempar batu sampai mati.Aku berjongkok
Kata orang, move on itu bukan melupakan, tapi menghadapi. Cuma kalau hari-hari ketemu Anin, bagaimana mau move on?Sebenarnya kami beda fakultas, sih. Kebetulan belakangan kami sering berpapasan terus di koridor fakultas. Enggak satu-dua kali dia menemui dosen--yang membimbingku untuk urusan skripsi--dalam kurun waktu seminggu.Masalahnya, beberapa minggu setelah kejadian terakhir, dia memblokir semua kontakku, dari telepon sampai media sosial. Padahal permainan terakhir kali di rumahnya waktu itu sangat menegangkan. Kalau ikut perjanjian, rasanya enggak mungkin menegur Anin langsung di depan umum. Apalagi aku bukan mahasiswa mata kuliah yang diajarkannya. Berbahaya untuk bayaran dalam kontrakku.“Kamu kenal sama ibu tadi?” Pertanyaan Kea menyadarkanku dari lamunan. Padahal cuma karena melihat Anin lewat tanpa menoleh.Terkesan so
"Pergi dari sini," desis pria tua beruban yang mencegatku di pintu masuk IGD saat mengiringi brankar dorong Anin. Sosok tidak lebih tinggi dariku itu berkacak pinggang dan membusungkan dada meski berkali-kali kudorong."Enggak bisa gitu dong, Om!" Bagaimana aku enggak protes? Aku yang susah payah membawa Anin dari rumah, malah dia mengusir begitu saja. Apa haknya?"Saya masih suami sah Anin! Kamu yang harusnya pergi dari sini!" Pake ngaku-ngaku lagi. Ke mana aja dia selama ini ketika sang istri mengalami luka fisik dan batin?"Tante enggak bakal pernah mau terima Om kembali!"Bisa dibilang kedua tanganku sudah mengepal di sisi badan meski tahu kekuatanku enggak bakal mungkin menandinginya dari pukulan-pukulan yang pernah suami Anin itu layangkan. Hanya susunan kata protes yang harus diredam karena keberadaan kami di tempat umum penuh pasien seperti ini."Kamu yang bilang?" Sering
“Berhenti, Yo," protes Anin ketika sentuhanku menjalar ke depan perutnya.Aku menggeleng, menikmati tiap jengkal aroma di sepanjang lengannya yang terjangkau. “Enggak mau ....”“Geli! Nanti keciprat!” Ocehannya terdengar manja. Sesekali dia mengacungkan sutil panas ke arahku. Kejam.Masih kupeluk dia dari belakang. Sesekali kutenggelamkan ciuman di ceruk lehernya yang nyaman, enggak peduli kesibukan Anin menggoreng ayam dengan minyak panas. Rambut diikat tinggi dan terusan putih selutut bertali yang dikenakannya benar-benar menggoda, terutama karena peluh yang masih meninggalkan jejak pergumulan kami sebelumnya di seluruh permukaan kulit Anin mencetak lekuknya dengan sempurna. Seksi.“Kenapa enggak beli aja, sih?” Tanganku merambat naik menyusuri sepasang gundukan di depan tubuhnya, terasa jauh lebih padat dari biasa. Tanpa dalaman, bisa kusentuh puncaknya ya
"Pergi dari sini," desis pria tua beruban yang mencegatku di pintu masuk IGD saat mengiringi brankar dorong Anin. Sosok tidak lebih tinggi dariku itu berkacak pinggang dan membusungkan dada meski berkali-kali kudorong."Enggak bisa gitu dong, Om!" Bagaimana aku enggak protes? Aku yang susah payah membawa Anin dari rumah, malah dia mengusir begitu saja. Apa haknya?"Saya masih suami sah Anin! Kamu yang harusnya pergi dari sini!" Pake ngaku-ngaku lagi. Ke mana aja dia selama ini ketika sang istri mengalami luka fisik dan batin?"Tante enggak bakal pernah mau terima Om kembali!"Bisa dibilang kedua tanganku sudah mengepal di sisi badan meski tahu kekuatanku enggak bakal mungkin menandinginya dari pukulan-pukulan yang pernah suami Anin itu layangkan. Hanya susunan kata protes yang harus diredam karena keberadaan kami di tempat umum pe
“Berhenti, Yo," protes Anin ketika sentuhanku menjalar ke depan perutnya.Aku menggeleng, menikmati tiap jengkal aroma di sepanjang lengannya yang terjangkau. “Enggak mau ....”“Geli! Nanti keciprat!” Ocehannya terdengar manja. Sesekali dia mengacungkan sutil panas ke arahku. Kejam.Masih kupeluk dia dari belakang. Sesekali kutenggelamkan ciuman di ceruk lehernya yang nyaman, enggak peduli kesibukan Anin menggoreng ayam dengan minyak panas. Rambut diikat tinggi dan terusan putih selutut bertali yang dikenakannya benar-benar menggoda, terutama karena peluh yang masih meninggalkan jejak pergumulan kami sebelumnya di seluruh permukaan kulit Anin mencetak lekuknya dengan sempurna. Seksi.“Kenapa enggak beli aja, sih?” Tanganku merambat naik menyusuri sepasang gundukan di depan tubuhnya, terasa jauh lebih padat dari biasa. Tanpa dalama
"Rese lo nanyain kabar Anin di depan Kea!" Aku jelas protes dengan candaan enggak lucunya Dean abis dia berantem mulut sama Kea. Padahal aku aja baru selesai nego sama Kea mengenai pembicaraan tentang si tante biar enggak berlarut-larut.Kea ampe pamit balik duluan, batal deh rencana mau malam mingguan. Kali kan dapet yang panas kalau jalan bareng macam cari tempat makan soto atau sup. Enggak mungkin banget ngajak Kea mabuk. Bisa gagal lamaran entar kalau ketahuan bapaknya."Bukannya lo lagi pendekatan sama Anin?" Dean menghindari tonjokanku. Bukan pukulan serius, cuma kebiasaan jika manusia satu ini bisa jadi sasaran samsak hidup buat aku dan Kea kalau lagi suntuk.Dia menunjuk tangga menuju 'rumah pohon', mengisyaratkan aku untuk mengikutinya naik dan berhenti di satu sisi pagar yang menunjukkan keramaian kafe. Bangunan kayu di belakang kafe yang bertopang pa
“Kamu enggak pulang? Ibu nanyain aku terus.” Kea mengadu lagi padaku, padahal belum juga duduk manis pada kursi kosong di seberangnya.Kami sepakat bertemu di salah satu kafe Dean yang baru buka, lagi. Dean ini kebanyakan buka tempat nongkrong kayak punya rupiah enggak ada limitnya. Bukan rooftop seperti kafe-kafe yang aku desain sebelumnya, melainkan taman di pertengahan kota yang kontras dengan segala kerumitan di sekitar. Tempat ini jauh lebih kecil, tapi memanfaatkan konsep alam. Pohon-pohon teduh di pinggiran dengan akar menggantung yang digantungi lampu-lampu berwarna. Meja dan kayu dari potongan pohon yang dipernis. Suasana di sini lebih nyaman untuk mengistirahatkan mata dari penatnya kesibukan dunia kerja.“Aku baru dari rumah malahan abis pulang kerja. Ibu enggak bilang apa-apa soal kamu pas aku mampir tadi, makanya aku kaget diajak ketemuan," alasanku setelah mendaratkan pantat di
“CCTV-nya terhubung ke mana aja, Tan?” Setengah berlari, aku kembali ke dalam rumah dan menemukan Anin mengambil gelas di dapur.Pertanyaanku sukses membuat Anin meletakkan benda dari kaca itu di meja kabinet dan menghubungi seseorang. Dia bicara beberapa menit dari sambungan panggilan dari ponselnya menggunakan istilah-istilah yang tak kumengerti dengan orang di seberang.“Siapa, Tan?” Aku bertanya lagi ketika dia menutup layar ponsel.Anin mengisi air dari dispenser ke gelasnya. “Teknisi. Minta cabut sekalian kameranya.” Berusaha tenang pun, jemari Anin bergetar membawa gelas sampai harus kuambil alih dari tangannya.Sepertinya aku bakal bolos kerja hari ini setelah melihat kerut di antara kedua alis Anin. Dia khawatir sampai memeluk diri, mengusap kedua lengan atasnya ketika menyelisik kekosongan ruangan di segala arah yang jel
“Enggak lucu, Yo!”Anin merajuk seketika. Kepalaku langsung berpindah ke lantai dengan keras begitu dia bangkit akibat bersandar di bahunya ketika bicara.“Siapa yang bilang lucu?” Bergegas aku duduk lagi, memastikan sendi-sendi yang nyeri dengan gerakan memutar bahu. Baru kerasa, ya?“Jangan main-main, Yo!” Pelototan Anin ketika meninggalkanku sambil menunjuk-nunjuk tampak mengerikan, apalagi dengan riasan lunturnya. Kayak lihat Harley Quinn abis patah hati ditinggal Joker.Ada yang salah? Kayaknya beberapa kali aku lupa menggunakan 'sarung sakti' itu juga Anin enggak terlalu repot, selama aku enggak bilang. Harusnyaplay safe gitu kalau ikut aturan kerja di dunia hitam kayak gini, cuma aku yakin aja kalau Anin bukan orang yang patut diwaspadai berpenyakit.Kususul Anin yang duduk menghadapi meja rias, memegang pundakny
“Kenapa? Om nggak bisa bikin istrinya hot?” Aku berteriak setelah Zaki—bakal mantan suami Anin—menyiram seember air ke tempat peristirahatan kami. Ya, aku tahu seenggaknya dari ember besar yang dipegang tangan besarnya. Ketahuan banget itu tangan biasa buat mukul dari padatan yang membentuk kapalan, seperti Bapak dulu ketika meninggalkan bogem mentah di pipi kiriku. Nyeri.Siapa yang enggak bakal kaget? Dibangunin kayak anak kecil yang abis ngompol. Lagi tenang-tenangnya di dunia mimpi, malah kebanting gegara air. Kirain abis kebawa banjir tahunan yang biasa mampir ke rumah, tahunya ditambah tonjokan.Lagian, gimana bisa lelaki tua yang harusnya lebih dewasa secara perilaku itu masuk ketika ruangan sedang dikunci? Aku ingat banget, meski hanya berdua di dalam rumah bersama Anin, pintu kamar tetap dikunci. Artinya kan si Zaki itu memiliki kunci lain.Anin merund