Ambil napas dulu, hehehe.
"Ali, minta perhatian semua orang!" Nyonya Elisa maju beberapa langkah lalu berhenti tiba-tiba, Hart yang masih berdiri di sana menghalangi jalan.Ali segera menarik tubuh Hart, menjauhkan dari hadapan Elisa. hal itu sontak menyadarkan Hart dari lamunan dan segera mengatur kembali posisi berdirinya.
Dengan suara yang lantang, Ali mulai menarik perhatian orang-orang, "selamat malam para hadirin sekalian, mohon perhatiannya sebentar. Nyonya Veronica akan menyampaikan beberapa hal untuk kita."
Perhatian setiap orang di ruang itu langsung tertuju pada Elisa, wanita berusia 60-an yang masih terlihat bugar.
Ia mulai berbicara, diawali dengan ucapan selamat datang, ungkapan terima kasih dan beberapa lelucon basa-basi sebelum akhirnya mengumumkan keberhasilan perusahaan mereka.
"Perusahaan keluarga kami akhirnya berhasil menempati posisi kedua sebagai pemegang saham terbesar Altar Group," ungkapnya penuh kebanggaan yang disambut tepuk tangan meriah semua orang.
"Kalian pastinya sudah tahu kebiasaan keluarga kami, yaitu gemar membeli seseorang yang kemudian dijadikan sebagai budak." Hart semakin merasa ada yang tidak beres setelah mendengar pemaparan Elisa.
Lalu Elisa berbalik sedikit dan menunjuk ke arah Hart, "Pria ini ... budak baru kami, dia milik salah satu cucuku. Kalian boleh melakukan apa saja terhadapnya, tapi dengan izin Liana, pemiliknya," ungkapnya.
Hart dapat melihat tatapan setiap orang yang mengarah padanya, tatapan merendahkan, tatapan yang memandang hina.
"Silakan nikmati pestanya," kata Elisa mengakhiri.
Beberapa tamu mulai menghampiri nyonya besar itu, memberi ucapan selamat dan menjilat.
Sementara Hart yang masih terpukul dengan ucapan Elisa hanya bisa menatap Liana dan menahan amarah.
"Apa maksud ucapan wanita tua itu, Ali?" tanya Hart dengan mata menyala.
"Tolong jaga kata-katamu, Hart! Wanita itu bisa membunuhmu jika mendenggar ucapanmu," bisik Ali satu-satunya tempat bagi Hart untuk mendapatkan jawaban.
"Ikut aku," ajak Ali.
Begitu berbalik, seseorang yang tiba-tiba ada di sana menghentikan langkah mereka.
"Budak Liana cukup menarik juga, tampan dan ... tubuhnya bagus." Wanita itu mulai meraba tubuh Hart.
"Heii, apa yang kau lakukan!" Bentak Hart menyingkirkan tangannya.
"Awwhh," rintihnya manja.
"Nona Viana, mohon maafkan dia," pinta Ali membungkuk meminta ampun untuk Hart.
"Kau kasar, ya. Aku suka pria kasar. Siapa namamu?" Tampaknya Viana tidak mempermasalahkan perlakuan kasar Hart padanya.
"Rainer Hart," jawab Hart yang mulai menjaga sikapnya, ia tak ingin Ali mendapat masalah karena dirinya.
Veronica Arviana, wanita berusia 35 tahun, tapi masih tampak seperti gadis 18 tahun. Semuanya karena perawatan yang mahal.
Viana adalah adik kandung ibu Liana, wanita ini juga memimpin salah satu perusahaan milik keluarga Veronica. Perusahaan yang ia pimpin tidak memperkerjakan leki-laki satu orang pun, semua karyawannya adalah wanita.
Viana tidak pernah punya niat untuk menikah semenjak hatinya disakiti oleh seorang lelaki. Wanita itu juga memiliki budak, beberapa orang budak sebagai mainannya, tentu saja semuanya lelaki tampan dan masih muda.
"Hart? Rusa jantan." Viana membisikkan makna nama Hart tepat di telinga pemuda itu, bisikan lirih seakan mendesah dengan kedua telapak tangan menempel pada dada Hart.
"Hei kau, ke mari!" Viana memanggil salah satu pelayan yang membawa minuman untuk para tamu.
"Maaf, Nona. Kami minta izin untuk keluar sebentar," pinta Ali yang terlihat panik, tapi permohonannya ditampik dengan tangan lentik Viana.
Entah kenapa Ali terlihat panik.
Setelah mengambil segelas minuman pada nampan yang dibawa pelayan, Viana langsung menuangkan minuman itu di atas kepala Hart.
"Kalian semua lihatlah, budak hina ini berani menggodaku!" Teriakan tuduhan Viana menarik perhatian semua orang.
Hart ingin meronta, tapi dengan sigap Ali menangkap tangannya sebelum diayunkan. Ali menatap mata Hart, memberinya isyarat agar tetap tenang.
"Setelah melihat sikap kurang ajar budak ini, minuman kalian pasti terasa menjijikkan. Tuangkan saja ke wajahnya dan ganti dengan yang baru." Viana kembali berteriak, menatap benci ke arah Hart.
Orang-orang mulai bergantian menumpahkan minuman ke arah Hart, atau menuangkan langsung di atas kepala pemuda malang itu sambil tertawa.
"Aku mohon, jangan melawan." Ali berbisik pada Hart saat ia ikut menuangkan minuman padanya. Hanya itu cara agar ia bisa mendekati Hart tanpa dicurigai.
Setelah mendapatkan peringatan dari Ali, Hart hanya bisa diam dengan semua penghinaan yang ia terima. Hart tidak ingin bertindak bodoh, hal yang mungkin semakin merugikan dirinya dan Ali.
Lalu, ke mana Liana?
Wanita itu ada di sudut ruangan, duduk di kursi mini bar, menikmati pemandangan penghinaan terhadap Hart dengan sebotol anggur yang didatangkan langsung dari luar negeri. Bukannya menghentikan mereka, ia justru menjadikan hal itu sebagai tontonannya.
"Lepaskan pakaianmu!" perintah Viana menunjuk wajah Hart.
"Huh?"
"Kau tidak dengar? Aku bilang lepaskan pakaianmu, sampah!" bentak Viana murka.
Ceritanya mulai panas nih, happy reading. "Kau tidak dengar? Aku bilang lepaskan pakaianmu, sampah!" bentak Viana murka. Hart melihat Ali dengan tatapan meminta pertolongan. Jiwanya terguncang hebat, ia benar-benar tidak menyangka jika penghinaan itu akan terjadi padanya. Ini sangat berbeda dengan apa yang disampaikan Ali, berbeda dengan apa yang tertulis dalam berkas yang pernah ia baca. Budak, kata itu tidak tertulis di sana dan tak pernah juga disinggung oleh Ali sebelumnya. "Apa arti semua ini?" Pertanyaan itu terus terlintas di benak Hart. "Hei manusia rendahan! kenapa kau diam saja," geram Viana dengan mata melotot. Sekali lagi, Hart menatap Ali. Pemuda itu seharusnya bisa melawan, berontak dan pergi. Namun, entah kenapa ia tak bisa bergerak, seakan kakinya dirantai, mulutnya dibungkam. Semua karena tekanan seorang Veronica Erviana yang tiba-tiba, auranya yang benar-benar mencekam. Namun, Hart tidak merasa
Happy reading, guyss. "Kau berani bicara dan bahkan menolak perintahku. Lakukan kataku! Jika tidak ...." "Kenapa jika tidak?" sela seseorang memotong ucapan Viana. "Nona Riana," sapa Ali memberi hormat pada wanita yang datang dari arah belakan Viana. "Kakak?" Viana tampak terkejut saat wanita itu melintas di hadapannya, mengabaikan tegurannya dan berlalu begitu saja. Veronica Meriana, dia adalah kakak dari Viana. Wanita dewasa ini memiliki kecantikan yang berbeda, ia terlihat menarik bukan karena kosmetik tebal yang menempel di wajah, atau perawatan mahal dari klinik kecantikan seperti yang dilakukan Viana. Bahkan wajahnya hampir tidak dihiasi satu pun riasan, tapi kecantikan Viana akan luntur jika ia berdiri di samping kakaknya ini. Riana mampu mencuri perhatian setiap orang di sekitarnya sehingga semua pandangan akan tertuju padanya. Karena itulah terkadang Viana merasa sangat membencinya. Kecantikan Riana
Happy reading, guyss .... Tatapan itu menuntut sebuah jawaban, jawaban tentang sesuatu yang tidak pernah dijelaskan padanya. Jawaban yang akan menentukan keputusan Hart selanjutnya. "Ali, kenapa kau diam?" tanya Hart mendesak. "Hart, aku sungguh minta maaf tentang itu." "Maaf? jadi maksudmu ...." "Ya, itu benar bahwa sekarang kau adalah budak Liana. Akan tetapi budak Liana memiliki arti yang berbeda dengan budak Viana." Ali berusaha membuat pemuda itu mengerti, tapi ucapannya sulit dipahami Hart. "Budak tetaplah budak. Jika saja kau mengatakannya lebih awal padaku, maka aku bisa pergi hari itu juga dan aku tidak perlu menerima penghinaan Viana malam ini." Hart memutar badannya membelakangi Ali, ia berniat meninggalkan pria itu dan segera keluar dari rumah keluarga Veronica. "Hart, tunggu!" tegas Ali mencegahnya dan berlari kecil ke arah Hart. "Maaf Ali, tapi aku tak sudi menjadi budak wanita itu, aku punya hak untuk memutuskan sebab aku tidak terikat dengan perjanjian apa pun."
Happy rading. "Liana, aku ingin mengatakan satu hal lagi." Wajah Riana terlihat lebih serius, apa yang ingin ia katakan mungkin merupakan sesuatu yang amat penting. Liana yang masih tertunduk malu, kini mulai mengangkat kepalanya untuk menyimak baik-baik apa yang akan dikatakan Riana-tantenya. "Tadi aku membicarakan tentang permintaanmu untuk tinggal di rumah lama itu dengan Oma kamu," ungkap Riana sembari melambai memanggil pelayan. "Soal itu? Ya, beliau melarangku tinggal di sana," keluh Liana. "Hart, kau mau minum apa?" tanya Riana pada pemuda yang telah menarik perhatiannya. "Beri dia secangkir kopi, dia tidak akan menolak," sela Liana menjawab pertanyaan untuk Hart. "Jadi kau sudah tahu minuman kesukaannya." Riana tersenyum merayu. "Tante," rintih Liana dengan wajah cemberut manja. "Hahaha, wajahmu memerah," goda Hart meledek, meskipun tanpa menatap ke arah Liana. "Ini karena aku terlal
Ketiganya dikagetkan oleh suara hantaman di belakang mereka, suaranya seperti handuk basah yang dipukulkan ke tembok. Mereka semakin terkejut saat mengetahui penyebab suara itu. "Aahhh!" Liana menjerit histeris, spontan memejamkan matanya dan menutup wajah dengan telapak tangannya. "Masuklah, Nona." Liana yang ketakutan masuk ke mobil tanpa membuka matanya, pemandangan yang ia lihat benar-benar membuatnya terpukul. "To ... tolong!" Suara lirih seorang wanita yang bersimbah darah, terkapar lemah tak berdaya di atas jalanan beton yang mengarah ke pintu utama rumah Veronica. Tatapannya yang mulai kosong memandang sayu ke arah Hart. Mengulurkan tangannya untuk meraih apapun yang dapat menolongnya. Hart mengenalnya, Hart pernah melihat wanita yang kini kesakitan di hadapannya. Pemuda itu langsung melompat mendekatinya, merangkul tubuh wanita itu dan menopang kepalanya. "Kau akan baik-baik saja, tetaplah sadar.
Hart menatap jam tangannya, "Sudah larut rupanya," ungkapnya.Ia kembali ke depan, berharap dapat menemukan taksi jam sekian untuk tumpangan pulang.Entah kenapa Hart mengkhawatirkan kondisi Liana yang kurang baik, ingin segera melihat wanita itu dan memastikan keadaannya.Kini Hart berdiri di depan rumah sakit mengawasi sekitar, tapi yang ia lihat hanya kendaraan pribadi yang parkir di sana."Di depan ada jalanan umum, pasti akan ada taksi yang lewat," ungkap Hart dalam hati dan mulai melangkah."Hart, di sini!""Ali?"Hart menghampiri Ali yang baru saja keluar dari dalam sedan hitam dan berteriak memanggilnya."Kau di sini?""Ya, aku baru saja tiba.""Untung saja kau datang sebelum aku pulang.""Masuklah! Kita pulang sekarang," ajak Ali."Bagaimana keadaan Liana?"Hart bertanya saat kendaraan yang dibawa Ali mulai melaju."Dia baik-baik saja, Liana tertidur saat aku ke sini menj
"Bagaimana jika terjadi sesuatu padaku saat kau pergi. Tetaplah di sini dan temani aku." "Huh?" "Huh?" Liana mengucapkan kata yang sama. "Kau bercanda." Hart tersenyum tipis, kembali melangkah dengan niat yang sama. "Baiklah, kau boleh pergi. Jika terjadi sesuatu yang buruk padaku, maka itu salahmu." Liana menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya, termasuk kepalanya. Tangan Hart sudah menempel pada gagang pintu, tinggal memutarnya sebelum keluar dari kamar Liana. Namun, Hart mengurungkan niatnya setelah mendengarkan ucapan Liana. "Biasakan mengunci pintu kamarmu," saran Hart sembari memutar logam yang menancap pada lubang kunci. Dari balik selimut, Liana mendengar suara langkah kaki Hart semakin mendekat. Setelah suara itu menghilang, Liana merasakan kasur tempat tidurnya terguncang seperti ombak. Sigap Liana membuka selimut yang menutupi kepalanya. Hanya menunjukkan wajahnya dengan ekspresi
Liana tidak melepaskan diri hingga pagi, wajah Hart menjadi pemandangan pertama yang ia lihat begitu membuka matanya. Masih dalam dekapan Hart seperti guling. Liana menyeret tubuhnya sedikit ke atas, berusaha mencapai puncak wajah Hart. Lalu mendaratkan kecupan manis pada kening lelaki yang sedang memeluknya itu. Entah dari mana Liana mendapatkan inisiatif dan keberanian melakukannya. Keberanian Liana kali ini berbeda dengan waktu itu, malam di mana Liana membelai nakal tubuh Hart di bawah kuasanya. Kali ini tidak ada pengaruh anggur, tidak ada efek cairan perangsang, cairan serupa yang diberikan pada Hart. Kecupan kali ini murni hasil inisiatif dan keberaniannya sendiri. Kecupan yang dibalut dengan kasih sayang sebagai ucapan terima kasih. Liana bersyukur telah menyeret Hart ke dalam hidunya. "Kau tidak bisa lagi mengelak, kau menciumku diam-diam," lirih Hart dengan suara serak, tapi dengan mata yang masih tertutup. Liana y
"Bu-bukannya kau yang kalah? Kukira aku menang karena kamu pergi di tengah-tengah taruhan," terang Ryu. "Aku tidak kabur!" tampik Momo berteriak. "La-lalu kenapa kau mencuci piringmu?" "Ka-karena kamu berisik banget pas aku lagi sibuk. Jangan salah paham, aku cuma tidak mau kalau kau mengusik pekerjaanku," jelas Momo beralasan. Saat itu Momo memang merasa sudah kalah. Ia sadar betul kalau mulutnya sudah mengeluarkan desahan lirih. Namun, karena Ryu mengungkitnya, harga dirinya tidak terima kalau lelaki itu merasa sudah menang. "Lagi pula, kau tegang, kan?" tukas Momo lirih. Ryu tersentak, tapi berusaha tetap bersikap normal, meski bintik keringat mulai bermunculan di wajahnya. "Ja-jangan bercanda. Aku tidak tegang, kok. Ya, aku tidak tegang," kata Ryu meyakinkan. "Serius?" Momo menatap tajam seolah tak percaya. "Tentu saja! Memangnya kau lihat? Huh? Kau lihat?" Ryu akhirnya bisa mendapatkan lagi ket
"Kau mau grepe-grepe, kan? Dasar orang jahat," lirih Momo tampak lelah. "Kalau kau menang, aku akan lakukan semua pekerjaan rumah. Kalau aku menang, lakukan bagianmu," kata Ryu mengingatkan tujuan taruhan mereka. "Woi! Kau dengar?" tanya Ryu sebab tak mendapat tanggapan. "Aku capek, mau tidur. Lakukan saja, kalau punyamu sudah 'naik', bangunkan aku," lirih Momo tanpa membuka mata, berniat tidur sambil duduk. "Cih! Dia meremehkanku. Waktu itu semuanya selesai sebelum aku menyentuhmu, tapi itu tidak akan terjadi lagi. Jangan main-main denganku, aku menang kali ini meski harus bertaruh nyawa," tekad Ryu dalam hati. Ryu menaikkan lutut kiri pada sofa tepat di samping tubuh Momo, lengan kirinya bertumpu pada punggung sofa di mana Momo bersandar. Telunjuk kanan Ryu bergerak perlahan ke arah tonjolan kecil pada pusat dada kiri Momo. Gadis itu jelas tak memakai kutang, hal itu bukan lagi kejutan bagi Ryu. Kali ini ia mampu bertahan dari j
"Apa lagi kalau bukan perempuan. Ryu pasti sudah dapat pacar baru, sepertinya lebih buruk dari mantannya." "Masa, sih? Tapi aku tidak sangka kalau Ryu itu tipe lelaki yang ganti kepribadian setiap kali ganti pacar. Dulu dia selalu tepat waktu, aku rasa kita harus berterima kasih pada mantannya." Diam-diam Ryu mendengar dan menyimak pembicaraan dua wanita yang terdengar sedikit prihatin padanya. Berbaliklah ia dan menyela. "Em ... aku pastikan tidak akan terjadi lagi, soal keterlambatan itu," kata Ryu tersenyum. "Wah! Maafkan aku!" Perempuan yang membicarakannya tersentak kaget. "Harusnya aku yang minta maaf. Kalian repot gara-gara aku selalu terlambat," balas Ryu. "Ya- ya sudah. Kami mau makan siang dulu. Permisi." Kedua wanita muda itu buru-buru pergi. "Jangan dimasukkan ke hati. Yah, seharusnya kau memperhatikan kondisimu, kau terlihat kelelahan. Aku paham kau ingin membantu temanmu, tapi kamu tidak bisa melakukannya k
Apa-apaan ini?' Ryu tertunduk diam menahan kesal sebelum mulai bicara, "Apa kau pernah dengar tentang 'hormon gila pria'?" lirihnya bertanya. "Pernah. Itu saat mereka mendapat rangsangan tertentu, bukan?" "Kadang saat lelaki kelelahan, dia bisa tegang dengan sendirinya. Itulah yang terjadi padaku saat di kereta, itu bukan seperti kau yang membuatku tegang atau semacamnya. Dan aku bukan penjahat kelamin, kau pasti menyadari semua itu, kan?" jelas Ryu menegaskan. "Sebaliknya, orang yang terangsang itu justru kau. Kau cuma ingin memutar balikkan fakta dan menuduhku jadi tersangka. Tapi tinggal dengan orang itu ... bahkan memintaku memijatmu. Aku tak tahu mana penjahat kelamin atau yang mesum di sini! Faktanya, mungkin kau sengaja mengintipku di kamar mandi kemarin!" lanjut Ryu menuduh. Momo hanya diam saja menyimak, menahan suara tak mengatakan apa pun. Namun, bagi Ryu, hal itu justru lebih menakutkan dibanding gadis itu membalas tuduhannya
"Apa? Kok, tidak bisa?" Saat Ryu akan menjelaskan alasannya, seseorang mendorong lelaki itu dari belakang hingga ia harus menempelkan tubuhnya ke dada Momo. Paha Ryu bahkan menyusup di antara paha Momo dan menyentuh selangkangannya. Namun, Momo seolah tak peduli dan mencoba memohon lagi. "Tolonglah. Tolong biarkan aku menyewa kamarmu," pinta Momo menatap Ryu dengan wajah sedih penuh harap. Tatapan itu berdampak kuat pada mental Ryu. "Ini, kan ...? Mirip di film-film ... yang ada yang sales sedang jualan," batin Ryu. Imajinasi nakalnya mulai berkeliaran, membayangkan Momo menyerahkan tubuhnya demi mendapatkan sebuah kamar. "Sial ...! Anuku bangun. Apa dia menyadarinya. Apa dia serius, tinggal serumah dengan seorang lelaki yang bisa saja hilang kendali?" batin Ryu bertanya-tanya. Meskipun kemarin Momo terlihat sangat percaya diri, kali ini dia tampak begitu lemah. Ryu kasihan melihatnya, merasa ingin menolong, tapi membantu
"Hei, apa kau serius bilang kalau aku yang terangsang?" Nada bicara Momo terdengar berat. "Eh? Ti- tidak." Ryu coba mengelak, menarik kembali ucapannya. "Kau yakin tidak akan tegang meski kau menyentuhku?" Momo bertanya lagi. "Be- benar." Ryu menjawab singkat, mulai menyesali perkataan sebelumnya. "Baiklah. Ayo kita taruhan! Sentuh aku sepuasmu," tantang Momo. "Apa? A- apa kau bilang? Taruhan?" tanya Ryu gugup. "Aku kesal, kau ngoceh terus dari tadi dengan alasan konyol." "Bukan. Tadi itu bukan alasan." "Cukup! Ayo kita jadikan kesempatan ini untuk menyelesaikan segalanya. Aturannya mudah saja. Selama sepuluh menit, kau boleh menyentuh bagian mana saja di tubuhku. Kalau aku mulai mendesah, kau yang menang. Tapi kalau kau tegang sebelum aku mendesah, aku yang menang," tutur Momo menjelaskan. Mereka bukan pasangan kekasih, bahkan baru kenal beberapa jam yang lalu. Semua berawal di hari sebelumnya, kehidupan R
Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus. Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus. Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus
"Jalan ini sengaja dibuat hingga terlihat seperti jalan buntu, tapi aku yakin ada sesuatu di balik dinding ini," sambung Gabriel."Kalau ini pintu, apa bisa dibuka dari luar?" Abi mencoba menggeser beton itu sekuat tenaga."Sepertinya tidak. Tempat seperti ini bukanlah tempat di mana siapa saja bisa meluar masuk.""Kau benar," sambung Hart membenarkan ucapan Gabriel. "Kita hanya menunggu sampai mereka membuka pintu ini," lanjutnya."Kau yakin wanita itu di dalam sana?""Aku tidak meragukan pelacak yang diberikan Jack, dan pelacak menunjuk titik ini," jawab Hart."Sebaiknya kita di dalam mobil."Seperti yang disarankan Gabriel, empat lelaki itu dengan sabar menunggu di dalam mobil, berharap pintu tebal itu segera terbuka.Gabriel mematikan lampu serta mesin mobilnya, menyamarkan mereka dalam kegelapan."Bangunkan aku kalau pintunya terbuka." Betha mulai bosan menunggu dan berniat tidur.Sesaat setelah lelaki besar
Britavia merupakan negara kerajaan di benua selatan dengan wilayah yang tidak terlalu luas. Namun, Britavia adalah negara paling maju di dunia dari bidang teknologi dan ilmu pengetahuan. Raja sebelumnya, yakni kakek Hart menjalankan sebuah proyek pengembangan teknologi tinggi. Para ilmuan dan mekanik dari Britavia menciptakan pasukan robot yang dapat dikendalikan seorang pilot layaknya pesawat. Tujuan pesawat robot itu diciptakan hanya untuk pertahanan, sebab desas-desus akan pecahnya perang dunia mulai terdengar. Namun, belum cukup setahun Argus berkuasa, perang dunia langsung pecah. Britavia dengan pasukan robotnya mendominasi setiap pertempuran. Britavia mengusai seluruh benua selatan, menyatukan benua paling kecil itu dalam satu negara kerajaan di bawah bendera Britavia Raya, menjadikan Britavia sebagai negara paling luas Argus belum puas dengan itu, invasinya terus berlanjut hingga menguasai satu benua di utara Britavia. Tersisa tiga benua besar