"Bu-bukannya kau yang kalah? Kukira aku menang karena kamu pergi di tengah-tengah taruhan," terang Ryu. "Aku tidak kabur!" tampik Momo berteriak. "La-lalu kenapa kau mencuci piringmu?" "Ka-karena kamu berisik banget pas aku lagi sibuk. Jangan salah paham, aku cuma tidak mau kalau kau mengusik pekerjaanku," jelas Momo beralasan. Saat itu Momo memang merasa sudah kalah. Ia sadar betul kalau mulutnya sudah mengeluarkan desahan lirih. Namun, karena Ryu mengungkitnya, harga dirinya tidak terima kalau lelaki itu merasa sudah menang. "Lagi pula, kau tegang, kan?" tukas Momo lirih. Ryu tersentak, tapi berusaha tetap bersikap normal, meski bintik keringat mulai bermunculan di wajahnya. "Ja-jangan bercanda. Aku tidak tegang, kok. Ya, aku tidak tegang," kata Ryu meyakinkan. "Serius?" Momo menatap tajam seolah tak percaya. "Tentu saja! Memangnya kau lihat? Huh? Kau lihat?" Ryu akhirnya bisa mendapatkan lagi ket
Hart mulai sadar perlahan membuka mata, tapi pandangannya terhalang selembar kain hitam yang menutup wajahnya. Hart mencoba menggerakkan tangan kiri guna melepaskan kain yang menghalangi, tetapi tak bisa. Pergelangan tangan kirinya terikat pada sebatang tiang kecil, begitu juga dengan tangan kanan pria kidal itu. Bukan hanya tangan, ujung kedua kakinya yang mengangkang juga terikat. Hart yang mulai sadar dengan keadaan dirinya mencoba berteriak. Namun, tindakan itu sia-sia, ada lakban hitam yang melekat erat pada mulutnya mencegah ia melontarkan teriakan. Hart meronta, berusaha melepaskan tubuhnya yang terikat. "Huuustt, tenanglah anak muda," pinta seseorang pria yang menjaganya di ruangan itu. "Hmmm ... hmmm." Hart ingin mengatakan sesuatu. "Tenangkan dulu dirimu! Percayalah kami tidak akan menyakitimu," kata pria penjaga seraya mendekati tubuh Hart yang diikat diatas ranjang mewah. Melihat keadaan tawanannya mulai tenang,
Pindah ke Bakisah dengan judul "Gairah Terkutuk". Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus. Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus. Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus. Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus
Happy reading, guyss... "Jadi, perjanjian apa yang dimaksud wanita itu?" tanya Hart, pikiran yang segar kini siap menerima jawaban dari setiap pertanyaannya. "Liana sudah cerita tentang perjanjiannya, ya," cetus Ali. "Owh, jadi namanya Liana," sambung Hart, kini ia tahu nama wanita itu setelah apa yang mereka lalui bersama semalam. Hart kembali teringat saat pertama kali melihat Liana. Kejadian singkat yang berlangsung di klub tempat kerjanya. Waktu itu Hart baru saja tiba, menghampiri atasan yang sedang duduk menunggu, ditemani seorang wanita serta beberapa pengawal. "Jadi ini orangnya," ungkap Liana saat pertama kali melihat sosok Hart. Seorang pengawal mendekati Hart, menyemprotkan cairan seperti parfum tepat di hadapan wajahnya. Sejak saat itu Hart tak lagi ingat apa pun dan tiba-tiba telah terbaring di atas ranjang dengan kondisi tubuh terikat. "Ya ... dia bicara tentang perjanjian, tapi han
Happy reading, guyss... Limosin putih perlahan masuk pekarangan rumah, mengalihkan perhatian Hart yang sedang berbincang dengan Ali sambil menikmati kopi dia balkon lantai dua. "Permisi," pamit Ali, ia harus segera turun untuk menyambut Liana. "Akhirnya, dia datang juga," gumam Hart, ia terlihat sudah siap untuk segalanya. "Ali, suruh pelayan menyiapkan satu kamar untukku!" Liana berlalu di hadapan Ali, wanita itu langsung menuju sofa dan membuang tubuhnya di sana. Ali melangkah mendekati ujung sofa di mana Liana duduk, "Anda ingin kamar yang mana, Nona?" tanyanya. "Bekas kamarku. Cepatlah, aku ingin segera istirahat." Liana meregangkan seluruh tubuhnya yang kelelahan. Rumah yang mereka tempati sakarang adalah rumah lama milik almarhum orang tua Liana, terletak cukup jauh dari hiruk-pikuk kota Olympus. Sudah lama Liana tidak berkunjung, bangunan itu ditinggal dan dibiarkan kosong begitu saja. Tem
Happy reading, guyss.... Pukul 7 malam, Hart kembali duduk di ruangan tengah setelah mandi dan bersiap, pemuda itu masih mengenakan pakaian yang sama dengan semalam. Lalu Ali tiba, masuk bersama beberapa orang yang membawa koper pakaian. "Kalian lama sekali, aku mulai gatal." Hart langsung beranjak menghampiri mereka. "Tolong antar barang-barang itu ke kamarnya!" pinta Ali pada dua orang yang sebelumnya telah diminta menemaninya untuk mengambil barang-barang Hart di tempat tinggalnya dulu. "Ikut aku." Hart mengambil salah satu koper kecil, sisanya dibawa oleh mereka. Selesai mengganti pakaian, Hart kembali ke ruang tengah, disusul Liana dengan gaun hitam yang sebelumnya telah ia siapkan. Mereka langsung bertolak menuju pusat kota dengan sedan hitam yang biasanya dibawa oleh Ali. Limosin putih yang sebelumnya mengantar Liana telah kembali ke rumah utama keluarga Veronica, rumah yang akan mereka tuju.
Ambil napas dulu, hehehe. "Ali, minta perhatian semua orang!" Nyonya Elisa maju beberapa langkah lalu berhenti tiba-tiba, Hart yang masih berdiri di sana menghalangi jalan. Ali segera menarik tubuh Hart, menjauhkan dari hadapan Elisa. hal itu sontak menyadarkan Hart dari lamunan dan segera mengatur kembali posisi berdirinya. Dengan suara yang lantang, Ali mulai menarik perhatian orang-orang, "selamat malam para hadirin sekalian, mohon perhatiannya sebentar. Nyonya Veronica akan menyampaikan beberapa hal untuk kita." Perhatian setiap orang di ruang itu langsung tertuju pada Elisa, wanita berusia 60-an yang masih terlihat bugar. Ia mulai berbicara, diawali dengan ucapan selamat datang, ungkapan terima kasih dan beberapa lelucon basa-basi sebelum akhirnya mengumumkan keberhasilan perusahaan mereka. "Perusahaan keluarga kami akhirnya berhasil menempati posisi kedua sebagai pemegang saham terbesar Altar Group," ungkapnya penuh
Ceritanya mulai panas nih, happy reading. "Kau tidak dengar? Aku bilang lepaskan pakaianmu, sampah!" bentak Viana murka. Hart melihat Ali dengan tatapan meminta pertolongan. Jiwanya terguncang hebat, ia benar-benar tidak menyangka jika penghinaan itu akan terjadi padanya. Ini sangat berbeda dengan apa yang disampaikan Ali, berbeda dengan apa yang tertulis dalam berkas yang pernah ia baca. Budak, kata itu tidak tertulis di sana dan tak pernah juga disinggung oleh Ali sebelumnya. "Apa arti semua ini?" Pertanyaan itu terus terlintas di benak Hart. "Hei manusia rendahan! kenapa kau diam saja," geram Viana dengan mata melotot. Sekali lagi, Hart menatap Ali. Pemuda itu seharusnya bisa melawan, berontak dan pergi. Namun, entah kenapa ia tak bisa bergerak, seakan kakinya dirantai, mulutnya dibungkam. Semua karena tekanan seorang Veronica Erviana yang tiba-tiba, auranya yang benar-benar mencekam. Namun, Hart tidak merasa
"Bu-bukannya kau yang kalah? Kukira aku menang karena kamu pergi di tengah-tengah taruhan," terang Ryu. "Aku tidak kabur!" tampik Momo berteriak. "La-lalu kenapa kau mencuci piringmu?" "Ka-karena kamu berisik banget pas aku lagi sibuk. Jangan salah paham, aku cuma tidak mau kalau kau mengusik pekerjaanku," jelas Momo beralasan. Saat itu Momo memang merasa sudah kalah. Ia sadar betul kalau mulutnya sudah mengeluarkan desahan lirih. Namun, karena Ryu mengungkitnya, harga dirinya tidak terima kalau lelaki itu merasa sudah menang. "Lagi pula, kau tegang, kan?" tukas Momo lirih. Ryu tersentak, tapi berusaha tetap bersikap normal, meski bintik keringat mulai bermunculan di wajahnya. "Ja-jangan bercanda. Aku tidak tegang, kok. Ya, aku tidak tegang," kata Ryu meyakinkan. "Serius?" Momo menatap tajam seolah tak percaya. "Tentu saja! Memangnya kau lihat? Huh? Kau lihat?" Ryu akhirnya bisa mendapatkan lagi ket
"Kau mau grepe-grepe, kan? Dasar orang jahat," lirih Momo tampak lelah. "Kalau kau menang, aku akan lakukan semua pekerjaan rumah. Kalau aku menang, lakukan bagianmu," kata Ryu mengingatkan tujuan taruhan mereka. "Woi! Kau dengar?" tanya Ryu sebab tak mendapat tanggapan. "Aku capek, mau tidur. Lakukan saja, kalau punyamu sudah 'naik', bangunkan aku," lirih Momo tanpa membuka mata, berniat tidur sambil duduk. "Cih! Dia meremehkanku. Waktu itu semuanya selesai sebelum aku menyentuhmu, tapi itu tidak akan terjadi lagi. Jangan main-main denganku, aku menang kali ini meski harus bertaruh nyawa," tekad Ryu dalam hati. Ryu menaikkan lutut kiri pada sofa tepat di samping tubuh Momo, lengan kirinya bertumpu pada punggung sofa di mana Momo bersandar. Telunjuk kanan Ryu bergerak perlahan ke arah tonjolan kecil pada pusat dada kiri Momo. Gadis itu jelas tak memakai kutang, hal itu bukan lagi kejutan bagi Ryu. Kali ini ia mampu bertahan dari j
"Apa lagi kalau bukan perempuan. Ryu pasti sudah dapat pacar baru, sepertinya lebih buruk dari mantannya." "Masa, sih? Tapi aku tidak sangka kalau Ryu itu tipe lelaki yang ganti kepribadian setiap kali ganti pacar. Dulu dia selalu tepat waktu, aku rasa kita harus berterima kasih pada mantannya." Diam-diam Ryu mendengar dan menyimak pembicaraan dua wanita yang terdengar sedikit prihatin padanya. Berbaliklah ia dan menyela. "Em ... aku pastikan tidak akan terjadi lagi, soal keterlambatan itu," kata Ryu tersenyum. "Wah! Maafkan aku!" Perempuan yang membicarakannya tersentak kaget. "Harusnya aku yang minta maaf. Kalian repot gara-gara aku selalu terlambat," balas Ryu. "Ya- ya sudah. Kami mau makan siang dulu. Permisi." Kedua wanita muda itu buru-buru pergi. "Jangan dimasukkan ke hati. Yah, seharusnya kau memperhatikan kondisimu, kau terlihat kelelahan. Aku paham kau ingin membantu temanmu, tapi kamu tidak bisa melakukannya k
Apa-apaan ini?' Ryu tertunduk diam menahan kesal sebelum mulai bicara, "Apa kau pernah dengar tentang 'hormon gila pria'?" lirihnya bertanya. "Pernah. Itu saat mereka mendapat rangsangan tertentu, bukan?" "Kadang saat lelaki kelelahan, dia bisa tegang dengan sendirinya. Itulah yang terjadi padaku saat di kereta, itu bukan seperti kau yang membuatku tegang atau semacamnya. Dan aku bukan penjahat kelamin, kau pasti menyadari semua itu, kan?" jelas Ryu menegaskan. "Sebaliknya, orang yang terangsang itu justru kau. Kau cuma ingin memutar balikkan fakta dan menuduhku jadi tersangka. Tapi tinggal dengan orang itu ... bahkan memintaku memijatmu. Aku tak tahu mana penjahat kelamin atau yang mesum di sini! Faktanya, mungkin kau sengaja mengintipku di kamar mandi kemarin!" lanjut Ryu menuduh. Momo hanya diam saja menyimak, menahan suara tak mengatakan apa pun. Namun, bagi Ryu, hal itu justru lebih menakutkan dibanding gadis itu membalas tuduhannya
"Apa? Kok, tidak bisa?" Saat Ryu akan menjelaskan alasannya, seseorang mendorong lelaki itu dari belakang hingga ia harus menempelkan tubuhnya ke dada Momo. Paha Ryu bahkan menyusup di antara paha Momo dan menyentuh selangkangannya. Namun, Momo seolah tak peduli dan mencoba memohon lagi. "Tolonglah. Tolong biarkan aku menyewa kamarmu," pinta Momo menatap Ryu dengan wajah sedih penuh harap. Tatapan itu berdampak kuat pada mental Ryu. "Ini, kan ...? Mirip di film-film ... yang ada yang sales sedang jualan," batin Ryu. Imajinasi nakalnya mulai berkeliaran, membayangkan Momo menyerahkan tubuhnya demi mendapatkan sebuah kamar. "Sial ...! Anuku bangun. Apa dia menyadarinya. Apa dia serius, tinggal serumah dengan seorang lelaki yang bisa saja hilang kendali?" batin Ryu bertanya-tanya. Meskipun kemarin Momo terlihat sangat percaya diri, kali ini dia tampak begitu lemah. Ryu kasihan melihatnya, merasa ingin menolong, tapi membantu
"Hei, apa kau serius bilang kalau aku yang terangsang?" Nada bicara Momo terdengar berat. "Eh? Ti- tidak." Ryu coba mengelak, menarik kembali ucapannya. "Kau yakin tidak akan tegang meski kau menyentuhku?" Momo bertanya lagi. "Be- benar." Ryu menjawab singkat, mulai menyesali perkataan sebelumnya. "Baiklah. Ayo kita taruhan! Sentuh aku sepuasmu," tantang Momo. "Apa? A- apa kau bilang? Taruhan?" tanya Ryu gugup. "Aku kesal, kau ngoceh terus dari tadi dengan alasan konyol." "Bukan. Tadi itu bukan alasan." "Cukup! Ayo kita jadikan kesempatan ini untuk menyelesaikan segalanya. Aturannya mudah saja. Selama sepuluh menit, kau boleh menyentuh bagian mana saja di tubuhku. Kalau aku mulai mendesah, kau yang menang. Tapi kalau kau tegang sebelum aku mendesah, aku yang menang," tutur Momo menjelaskan. Mereka bukan pasangan kekasih, bahkan baru kenal beberapa jam yang lalu. Semua berawal di hari sebelumnya, kehidupan R
Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus. Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus. Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus
"Jalan ini sengaja dibuat hingga terlihat seperti jalan buntu, tapi aku yakin ada sesuatu di balik dinding ini," sambung Gabriel."Kalau ini pintu, apa bisa dibuka dari luar?" Abi mencoba menggeser beton itu sekuat tenaga."Sepertinya tidak. Tempat seperti ini bukanlah tempat di mana siapa saja bisa meluar masuk.""Kau benar," sambung Hart membenarkan ucapan Gabriel. "Kita hanya menunggu sampai mereka membuka pintu ini," lanjutnya."Kau yakin wanita itu di dalam sana?""Aku tidak meragukan pelacak yang diberikan Jack, dan pelacak menunjuk titik ini," jawab Hart."Sebaiknya kita di dalam mobil."Seperti yang disarankan Gabriel, empat lelaki itu dengan sabar menunggu di dalam mobil, berharap pintu tebal itu segera terbuka.Gabriel mematikan lampu serta mesin mobilnya, menyamarkan mereka dalam kegelapan."Bangunkan aku kalau pintunya terbuka." Betha mulai bosan menunggu dan berniat tidur.Sesaat setelah lelaki besar
Britavia merupakan negara kerajaan di benua selatan dengan wilayah yang tidak terlalu luas. Namun, Britavia adalah negara paling maju di dunia dari bidang teknologi dan ilmu pengetahuan. Raja sebelumnya, yakni kakek Hart menjalankan sebuah proyek pengembangan teknologi tinggi. Para ilmuan dan mekanik dari Britavia menciptakan pasukan robot yang dapat dikendalikan seorang pilot layaknya pesawat. Tujuan pesawat robot itu diciptakan hanya untuk pertahanan, sebab desas-desus akan pecahnya perang dunia mulai terdengar. Namun, belum cukup setahun Argus berkuasa, perang dunia langsung pecah. Britavia dengan pasukan robotnya mendominasi setiap pertempuran. Britavia mengusai seluruh benua selatan, menyatukan benua paling kecil itu dalam satu negara kerajaan di bawah bendera Britavia Raya, menjadikan Britavia sebagai negara paling luas Argus belum puas dengan itu, invasinya terus berlanjut hingga menguasai satu benua di utara Britavia. Tersisa tiga benua besar