Syaila tidak pernah membayangkan jika ia akan kembali ke kota yang pernah mengecamnya habis-habisan atas konflik yang terjadi antara dirinya dan Azka. Ia bahkan datang untuk menjadi penerus perusahaan keluarganya lagi. Matahari siang itu bekerja lebih panas. Tapi itu biasa di Jakarta, namun karena Syaila beberapa bulan kebelang tinggal di sebuah kota kecil yang cuacanya tidak terlalu ekstrim, Syaila harus kembali beradaptasi."Ayah kamu masih di rumah sakit, kalau mama kamu katanya hari ini bisa pulang. Seminggu lalu Yunita habis operasi usus buntu. Karena ada permasalahan sama pencernaannya." Pria tua yang sedari tadi menjadi pemandu perjalanan hari ini, menjelaskan. Tangannya ia gendong di belakang.Sepi, rumah bernuansa klasik itu benar-benar tidak ada orang satu pun. Atau pelayan yang seharusnya ada untuk menyambut. Tidak, Syaila bukan sedang berada di rumah orang tuanya. Namun ia dibawa ke rumah Heri.Sementara anak yang sebentar lagi akan menginjak 12 tahun itu nampak tidak ped
Semalam Syaila tidur dengan sangat nyenyak. Tidak ada kassur lapuk yang terasa menyakitkan pungungung, tidak ada suara orang yang tengah memukul-mukul kayu di pagi-pagi buta sekali, tidak ada keresahan bila mana Syaila akan kehabisan air karena keterbatasan air bersih. Ia bangun dengan sedikit menggeliatkan pinggangnya yang sedikit pegal, tersenyum simpul kala sebuah teh hangat sudah tersaji di nakas sisi tempat tidur. Ia sudah seperti bangun dari mimpi buruk yang sangat lama.Namun meski begitu, Syaila tidak boleh hanya bersantai seharian. Hari ini ia harus menemui kedua orang tuanya di rumah sakit dan membicarakan perusahaan yang akan beralih lagi padanya.Ia juga harus menyiapkan diri untuk berbagai kemungkinan yang bisa jadi akan menurunkan rasa percaya dirinya. Sebab media pasti akan banyak tanya dan tudingan-tudingan yang pernah ia dapatkan akan kembali diungkit."Bangun, kamu hari ini mau ketemu ayah kamu kan?" Pria tua yang Syaila rasa lebih emosian itu membuka pintu kamar Sy
"Bapak tahu Syaila kemana?" Sujadi yang hendak membuka tirai kedainya karena sebentar lagi akan buka sedikit terhenyak. Mungkin jika pria itu tidak berpegangan pada ujung atas kursi, Sujadi sudah terjatuh saking terkejutnya."Astaga anak ini! Untung jantung bapak masih sehat," guru Sujadi memegangi dadanya yang berdetak lebih cepat."Maaf, Pak. Tapi ini sangat penting. Syaila tadi mampir ke sini?"Sujadi tidak langsung menjawab, ia menggiring anak muda yang sudah lama ia kenal itu untuk duduk. "Iya, Syaila tadi ke sini. Memangnya kenapa? Dia enggak pamit sama kamu?"Batara mematung, ia menatap ujung kuku nya beberapa saat. Kepalanya sibuk berpikir, mengapa Syaila tidak pamit padanya jika memang perempuan itu akan pergi? Bukankah perlakuannya selama ini sudah cukup jelas? Lalu apakah ini jawaban atas ucapan yang pernah ia katakan pada Syaila? Dia memilih pergi, bahkan sebelum Batara memulai? "Bapak tahu Syaila pergi kemana? Dia bakal balik lagi ke sini?" tanya Batara setelahnya."Bapa
Pria pemilik wajah menyeramkan itu masuk tanpa mengetuk pintu. Ya, Heri sudah menganggap Yunita sebagai adik perempuannya. Ia akan mengomel jika ibu dari Syaila itu lebih sering mengurung diri di rumah alih-alih poya-poya seperti ibu-ibu kebanyakan lainnya."Ayo pulang kenapa betah banget ada di rumah sakit. Pinggang bapak sudah pegal menunggu kalian." Dia mengomel lagi."Sebentar dong. Ini anak sama ibu baru ketemu. Bapak ini tidak mengerti sekali. Lagian aku kan udah bilang bapak enggak perlu ikut, nanti capek. Tapi ngotot mau ikut," grutu Syaila. Sementara tangannya sibuk membereskan baju-baju Yunita yang kotor."Ck! Bapak kan sudah bilang mau ikut. Kamu ini kayak enggak seneng banget liat bapak."Bola mata Syaila memutar malas. "Bukan begitu lhoh. Maksudku kan ini hari libur, jadi bapak istirahat aja. Aku bisa sendiri buat jemput mama. Kita ketemu di rumah," jelasnya lagi. Berbicara dengan orang tua satu ini memang harus esktra sabar."Sudah, sudah! Kalian berantem terus. Giliran
Sampai nya di rumah, kepulangan mereka disambut hangat oleh semua pegawai keluarga Praja. Meja makan sudah penuh dengan berbagai makanan. Ya, tentu saja ini rencana dari Hari yang menelepon kepala art di rumah keluarga Praja untuk menyiapkan ini semua."Geino udah nyampe?" tanya Heri pada salah satu pria berjas hitam yang ikut berderet, menyambut."Sudah, Pak. Tuan Geino sedang di kamarnya. Terakhir pelayan lihat sedang mandi," pria itu menjawab. Heri merespon dengan anggukan kepala.Setelahnya Heri menggiring Syaila dan Yunita kemeja makan. "Makan dulu sebelum istirahat, setelah itu bapak mau bicara sama kamu," kata Heri pada Syaila.Lantas Syaila hanya menurut, dan satu pelayan perempuan mengambil alih kursi roda yang di duduki Yunita, lalu membantu wanita itu untuk duduk di meja makan.Tidak sembarangan, makanan untuk Yunita di pisahkan dengan makanan yang lain. Sebab mereka tahu, tuannya itu baru saja menyelesaikan operasi usus buntu.Hening, semuanya nampak menikmati sajian untuk
Selesai dengan makan malamnya, Syaila sekarang sudah duduk di kursi yang selama ini menjadi tempat favorit menyendiri atau hanya sekedar melepas penat setelah seharian beraktifitas. Kursi dekat jendela di ruang kerja Heri. Kamar yang hanya diterangi dengan lampu kemuning, dibantu dari cahaya bulan yang menyorot."Bapak bukannya buru-buru. Tapi kamu tahu, dan enggak dapat dipungkiri walaupun ayah kamu nanti bangun dan pulih, dia tidak mungkin ambil alih perusahaan. Tubuhnya udah lemah, bahkan bapak tahu, untuk napas aja dia kesusahan."Syaila menoleh hanya untuk melihat Heri tengah menatapnya serius. Ia menghela napas. Sebenarnya Syaila belum ingin membicarakan perihal perusahaan yang katanya atau secara otomatis akan menjadi miliknya kelak. Ia sudah terlalu lelah jika harus berurusan dengan orang-orang yang membuatnya tidak nyaman nanti. Tapi melihat betapa khawatir nya Heri, ia akhirnya mengangguk."Jadi aku harus gimana, Pak?""Kamu ambil alih lagi perusahaan. Kamu yang pegang tangg
"Gila! Syaila? Ini beneran lo?" Mata Nadira terbelalak. Saking terkejutnya, ia sampai mengabaikan map yang ia bawa, yang awalnya menjadi tujuan perempuan itu untuk masuk ke ruangan iniSyaila tersenyum simpul. Berdiri dari duduknya, menghampiri sang sahabat. " Kangen gak sama gue?" tanyanya."Sumpah! Gue kangen banget, Sya. Biasanya kemana-mana sama lo. Enggak ada yang mau temenan sama gue kecuali lo. Sedih banget jujur, sampe kepikiran nyari pacar tapi gue takut kaya lo," papar Nadira. Ia kemudian memeluk Syaila dengan gemas. Hampir menangis karena tidak menyangka Syaila kembali."Makanya jadi orang tuh jangan terlalu tertutup. Ada orang senyum dikit, bukan masang muka kaya macan terus," seloroh Syaila."Udah stelan pabriknya begini. Tapi gue seneng banget gila!!"Lagi-lagi, Syaila hanya mengulas senyum. Ia berjalan, duduk di sofa. Pun dengan Nadira yang turut mengambil duduk di sampingnya."Katanya gak mau kerja lagi di sini? Kok bisa kerja di sini lagi?" tanya Syaila. Ia pikir Nadi
Kembalinya Syaila menyita banyak perhatian media. Pemberitaan tentangnya diputar hampir diseluruh stasiun televisi. "Udah kaya artis aja gue, ya?" Perempuan itu menutup berkas yang sejak tadi ia telisik. Bola matanya beralih menatap televisi yang Nadira nyalakan."Jurnalis sekarang tuh emang cuma mendingin trending aja ya? Sampah banget isi beritanya." Seperti biasa, Nadira akan menjadi orang yang paling tersulut emosi jika mengenai Syaila."Cuma gitu doang. Tidak tahu malu, Syaila, mantan istri dari anak pengusaha keluarga Prabakesa kembali setelah hilang berbulan-bulan," baca Syaila. "Gue udah enggak mau jadi manusia yang mikirin pendapat orang lain—kecuali buat kebaikan gue. Gue udah capek jadi orang yang takut dibenci sama orang lain. Gue juga manusia yang pasti ada celahnya, gue enggak bisa bikin semua orang suka sama gue. Dan gue enggak bisa larang orang lain buat enggak ngejelekkan gue. Yang terpenting, gue baik buat orang-orang yang gue sayang."Syaila kemudian menyalakan ko
"Akhirnya sahabat jomblo gue dari lahir nikah juga hahaha."Nadira melengos sembari berdecak sebal. Ucapan itu sudah puluhan kali Syaila lontarkan bahkan ketika ia bercerita dirinya menerima lamaran Ferdi. Wanita yang kini tengah hamil tua itu tidak berhenti meledek Nadira. "Lu diem deh kalo gak mau anak lo nanti mirip gue," ujar Nadira yang langsung direspon gelak tawa Ferdi. "Jangan dong sayang, biar anak kita aja nanti yang mirip mamanya."Benar, memang hanya Ferdi yang dapat menaklukkan ke bar-bar-an mulut Nadira, hanya dengan ucapan sederhana barusan perempuan itu sudah tersipu malu. "Najis banget mukanya merah. Dahlah gue mau makan dulu. Selamat ya, gue doain Ferdi diberi kesabaran punya istri kaya lo." Syaila memeluk sahabatnya itu meski sedikit kesusahan karena perutnya yang besar. "Makasih ya, Sya. Lu jaga kesehatan juga. Jagain keponakan gue awas aja kalo kenapa-napa gue geplak pala lo." Nadira memberi peringatan. Keduanya kemudian terkekeh, Ferdi dan Batara yang menya
Suara tangis bayi cantik berpipi gembul berhasil membuat panik sang ibu. Bayi berusia lima bulan itu nampaknya kepanasan terus berada di dalam mobil selama perjalanan yang lumayan jauh. Maka, sang ibu dengan sigap mengambil botol susu di dalam kantong stok asi. Mobil berhenti bersamaan dengan tangis bayi perempuan itu yang juga mereda. Terlelap di gendongan sang ibu dengan nyaman. "Kamu mau ikut masuk?" Terlihat pria jangkung yang sedari tadi mengemudikan mobil melongok ke jok belakang, untuk menjawab pertanyaan sang istri, "Kamu duluan aja, aku cari parkir dulu. Di sini panas kasian Kanaya," tuturnya yang diangguki istrinya. Wanita itu kemudian keluar dari mobil, menatap bagunan yang mungkin lebih cocok disebut neraka dunia bagi sebagian orang. Ia menatap putri kecil di dalam gendongannya sebelum ia melangkah masuk ke dalam bangunan itu. Tatapan sendu seperti seorang ibu yang akan meninggalkan putrinya untuk waktu yang sangat lama. Lantas ia masuk tanpa ragu lagi. Seolah, putri k
Setelah siang itu Batara bercerita tentang keinginannya yang aneh-aneh, satu jam setelahnya Batara mengajak Syaila makan pecel lele di pinggir jalan. Namun sialnya sore itu hujan deras dan mereka berdua berakhir basah kuyup saat mencari makanan itu, niatnya mereka ingin menghabiskan waktu bersama. Syaila berakhir sakit dan itu yang membuat Batara sekarang sangat merasa bersalah. "Maaf ya gara-gara kamu nemenin aku cari pecel lele kamu jadi sakit kaya gini." Batara benar-benar merasa bersalah. Sampai tidak mau menatap istrinya. "Aku cuma masuk angin sayang. Minum obat juga bakal sembuh." Syaila mengusak rambut Batara. "Kamu muntah-muntah tadi. Kita ke rumah sakit aja ya sekarang? Aku takut kamu kenapa-napa." "Aku gak apa-apa," sanggah Syaila. Ia akui perutnya sekarang memang terasa dikocok. Ia juga tidak nafsu makan sama sekali. Lidahnya terasa pahit dan makanan apapun yang berusaha ia masukkan ke dalam mulutnya selalu mendapat kan penolakan. Ia berkahir muntahan-muntah. Tubuhnya t
Tiga bulan sudah berlalu Syaila dan Batara mengarungi bahtera rumah tangga. Seperti kata orang-orang pernikahan tidak ada yang mulus tanpa dibumbui pertengkaran. Syaila sering mengomel seperti istri-istri pada umumnya mana kala Batara lupa menaruh handuk di atas ranjang. Atau perdebatan yang mungkin nampak sepele jika dipikirkan. Tapi beruntung nya Batara adalah orang yang sabar dan lapang mengakui kesalahanannya. Selama tiga bulan hidup dalam atap yang sama Syaila menemukan banyak kejutan dari Batara. Batara yang ternyata begitu manja melebihi anak-anak. Dia bahkan tidak malu menangis jika dirinya tidak sengaja membentak Syaila. Meski begitu, Batara adalah sosok ayah sambung yang baik untuk Geino dan menantu yang berbakti untuk mamanya. Syaila tidak henti-hentinya bersyukur telah dipertemukan dengan pria seperti Batara. "Sayang Geino katanya dikasih tugas buat hewan dari tanah liat. Besok dikumpulnya."Syaila menoleh ke sumber suara, serum wajah yang hendak ia oleskan di wajahnya
"Tumben kamu jam segini udah bisa diajak jalan? Kerjaan kamu udah selesai?""Udah, aku mau quality time sama suami aku yang ganteng ini."Satu bulan sudah berlalu. Mereka hidup bahagia sebagai sepasang suami istri. Siang disibukkan dengan pekerjaan, dan jika sudah di rumah keduanya sebisa mungkin tidak membawa atau mengerjakan pekerjaan kantor di rumah. Itu sudah menjadi kesepakatan mereka. Sore ini Batara mendapat kabar jika istrinya bisa pulang lebih cepat dan mengajaknya untuk jalan-jalan. Hitung-hitung mengenang masa pendekatan mereka dulu. Batara sih setiap hari memang sibuk, tapi ia lebih santai dari Syaila. Pria itu bisa dengan mudah mengatur jadwalnya berbeda dengan Syaila. Keduanya sudah sampai di sebuah mall ternama di ibu kota. Bergandengan tangan, melihat-lihat store pakaian branded, memilah restoran yang keduanya inginkan. "Mau beli baju?" tawar Batara. Syaila menggeleng. "Baju aku masih banyak yang belum dipake." Baik, Syaila memang berbeda dari kebanyakan perempuan
Waktu berjalan lebih cepat jika kita berada di antara orang-orang yang kita sayangi. Begitu pun sebaliknya. Tapi Syaila tidak pernah menyangka akan secepat ini. Entah ada kata apalagi yang bisa ia ucapkan selain bahagia. Ratusan orang yang datang ke acara resepsi pernikahan nampak ikut bahagia. Pun dengan mamanya dan Geino yang tersenyum mana kala ia dan Batara akhirnya sah menjadi sepasang suami istri.Dekorasi megah yang ternyata sudah Batara siapkan begitu memesona ditambah undangan tamu yang tidak ada henti-hentinya."Udah aku bilang jangan banyak-banyak ngundang tamu. Ini tangan aku udah mau putus rasanya," bisik Syaila di tengah sibuknya menyambut para tamu yang datang. "Aku cuma undang temen-temen kantor. Itu kolega keluarga-keluargaku. Mana bisa aku batalin." Batara meringis.Keduanya menghela napas panjang. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain terus tersenyum dan menyambut tamu dengan senyum hangat. Meski rasanya pasangan pengantin baru itu sudah ingin cepat-cepat mere
Ibu kota malam ini terasa lebih tenang. Cahaya lampu yang terpantul sinar rembulan membiaskan cahaya warna-warni memanjakan mata. Entah, sudah berapa lama Syaila tidak datang ke tempat ini. Semasa kuliah semester awal ia sering datang kemari. Hanya menyaksikan gemelapnya ibu kota atau hanya sekedar menikmati segelas kopi panas.Dulu ia manusia paling naif perihal hubungan timbal-balik antar manusia. Percaya bahwa kebaikan akan dibalas kebaikan, pun sebaliknya. Tapi Tuhan sepertinya ingin menunjukan hal lain kepadanya, bahwa jangan berharap selain pada-NYA. Tidak butuh bertemu ribuan orang untuk ia membuktikannya. Orang yang ia amat percaya akhirnya mengkhianati kepercayaannya dengan hal yang bahkan tidak pernah ia duga-duga. Pengorbanan yang selama ini ia lakukan terasa sia-sia hanya karena kekurangan yang mungkin dia harapkan ada pada Syaila.Namun beruntung sejak ia akhirnya memutuskan untuk mengambil cuti kuliah karena hamil hingga ia berpisah dengan Azka ia tidak lagi kemari, jik
Seperti halnya hujan, kita tidak bisa mencegah air yang turun itu untuk tidak membuat kita kedinginan. Kita tidak bisa bernegosiasi agar hujan jangan dulu turun sebelum payung kita siap. Begitu pula yang terjadi dengan Syaila dan Batara. Hampir pukul satu malam keduanya sibuk mengasihani dirinya sendiri. Memandang isi gedung yang seharusnya menjadi saksi bisu kisah cinta mereka bersatu. Kini, dekorasi yang sudah dirangkai sedemikian rupa harus terpaksa dilucuti sebab pasangan lain akan menggunakan gedung ini. Seharusnya pagi tadi adalah acara pernikahan keduanya, dan malam ini seharusnya mereka sudah menjadi pasangan suami istri. Tapi sekali lagi, manusia hanya bisa berencana. "Kamu udah ngantuk belum? Udah malem, kita pulang aja ya?" Tidak bisa dibohongi, jelas Batara juga merasa sedih atas gagalnya pernikahan mereka. Tapi mau dikata apa? Semuanya telah terjadi. Syaila menghela napas panjang. "Rasanya kalau aku bilang ini tidak adil, aku akan dicap sebagai manusia yang gak bersyuku
Persidangan pertama dibuka dengan hakim yang menanyakan alasan mengapa Azka tiba-tiba menggugat hak asuh anak padahal sebelumnya mereka sudah sepakat bahwa hak asuh anak diberikan kepada Syaila. Pengacara Azka menjelaskan alasannya. Seperti yang Azka sebelumnya bilang, perihal Syaila yang memiliki kekasih yang trampemental. Ia juga bilang bahwa ia memiliki buktinya. Sebab itu Azka khawatir jika anaknya yang diasuh Syaila akan mendapatkan dampaknya juga. Tidak hanya pihak Azka yang dimintai penjelasan. Syaila juga diberi kesempatan untuk menyanggah. Sama seperti Azka, Syaila menyerahkan semuanya kepada kuasa hukumnya. Kuasa hukum Syaila menceritakan semuanya. Dan perihal apa yang dikatakan Azka hanya sebuah kesalahpahaman. Juga Syaila yang sudah tidak menjalin hubungan lagi dengan Batara. Sidang berjalan lancar. Azka nampak tidak memiliki argumen lagi setelah kuasa hukum Syaila membeberkan semuanya. Dan tanpa sepengetahuan semua orang yang ada dipersidangan, pria yang memakai topi