“Siapa kalian?” tanyaku sembari memperhatikan orang – orang yang berada di sekelilingku. Mereka tampak menyeramkan dengan pakaian serba hitam dan wajah suram terus membayang.
Di mana aku?Terakhir kali kuingat, aku masih berada di kamar hotel Axe dan tertidur usai hukuman dari pria itu berakhir. Axe.Ada di mana dia sekarang? Aku sama sekali tidak melihatnya. Justru beberapa manusia yang ada di hadapanku yang kudapati. Kenapa dan ada apa sebenarnya? Mengapa aku bisa berakhir di sini, di tempat yang sama sekali tidak kukenali.Siapa mereka?Untuk apa mereka mengelilingiku seperti ini?Aku merasa tubuhku tidak bisa digerakan, seakan ada sesuatu yang menahan. Ada apa dengan diriku sebenarnya? Oh God! Aku berusaha teriak, tetapi suaraku terendam keterkejutan melihat masing – masing dari mereka memegang senjata tajam—siap menghunus diriku.No!Suara tertahan milikku akhirnya keluar. Mataku seketika terbuka dan ternyata semua yang terjadi hanyalah mimpi.“Come, Bridgette! Jangan terlalu banyak berpikir. Perkara Gorson bukan urusanmu, aku yang akan menanganinya. Sekarang kau bersiaplah. Kita akan menjemput Oracle dan aku akan meminta Edward mengambil hasil tes DNA itu di rumah sakit.”Aku terhentak oleh lamunanku dan mendapati Axe sudah menatapku dengan jarak sedekat ini.“Atau kau ingin aku mandikan? Aku rasa itu ide yang bagus,” bisiknya teramat dekat disusul kuluman singkat pada daun telingaku.“Tidak perlu. Aku punya tangan dan kaki, bisa mandi sendiri juga.” Cepat – cepat kudorong tubuh Axe jauh. Aku tak mau dia bertindak lebih dan keblablasan menyentuhku. Ini masih pagi dan aku tak mau itu terjadi.Aku mendengus, lalu bergerak turun dari ranjang. Langkahku sudah pasti menuju kamar mandi. Namun, baru setengah jalan pekikanku harus keluar oleh tubuhku yang terasa melayang ke udara. Axe tiba – tiba menggendongku dalam dekapannya. Oleh karena itu, aku bisa me
“Aku tidak mau basa – basi. Kami ke sini ingin mengambil Oracle kembali bersama keluarga yang sesungguhnya,” ucap Axe tiba – tiba saat melihatku dan Rose melangkah melewati ambang pintu.Mulutnya benar – benar tidak bisa ditahan. Apa Axe tidak bisa menunggu sebentar saja sebelum mengutarakan keinginannya? Aku merasa tidak enak pada Rose.“Apa maksudnya, Bridgette? Did he know?” tanya Rose sepelan mungkin dengan tatapan tak percaya.Kuhela napasku kasar dan mengangguk mengiyakan. Semua sudah terlanjur. Aku tak bisa menyangkal lagi, seengan apa pun aku memublikasikan kebenaran itu pada Axe. Pria itu tetaplah manusia licik yang berhasil menjebakku hingga berkata jujur padanya. Seandainya dari awal aku tahu surat yang dibawa Axe merupakan surat pemindahan saham, aku tidak akan mengakui kenyataan Oracle adalah anaknya. Tidak akan pernah.“Kemasi barang – barangmu, Bridgette,” titah Axe tak suka melihatku hany
“Mommyku tetap Mommy Rose. Aku tidak mau ikut Daddy dan aunty kalau mommy tidak ikut.” Setelah mengatakan itu Oracle pergi berlari menuju kamar hingga pintu tertutup rapat – rapat.“Oracle,” panggil Axe hendak mengejar Oracle, tapi segera kutahan. Percuma.“Sudahlah, Axe. Oracle benar. Aku memang pantas mendapatkan ini. Jangan memaksanya lagi.” Aku segera membekap mulutku menahan isakan yang nyaris keluar. Tidak. Aku tidak bisa terus berada di sini, sementara dadaku menyimpan sesak yang tak kunjung hilang.Dengan cepat aku bergerak menekan knop pintu, kebetulan posisiku sedari tadi tidak berubah—berdiri di ambang pintu menyaksikan interaksi yang menciptakan luka mengganga di dada.Langkahku pasti menuju tangga darurat, aku tak kuasa menunggu lift terbuka yang membuat beberapa orang di sana akan menatapku heran. Tak apa, biarlah kuhabiskan tenagaku menjejaki anak tangga hingga lelah.“Bridgette!”Panggilan dari Axe sontak membuatku menoleh. Oh. Rupanya dia mengejark
Kuembuskan napasku kasar, menciptakan embun di permukaan kaca jendela pada jet pribadi milik Axe.Aku lelah. Hatiku terasa hampa mengingat besok akan menjalani hidup seperti sebelumnya. Terlebih penolakan kedua dari Oracle saat aku dan Axe kembali ke apartement Rose benar – benar membuatku sadar diri. Sampai kapan pun Oracle tidak akan bisa menerima kenyataan aku adalah ibu kandungnya. Kurasa itu wajar, sebab Rose selalu bersama Oracle sejak dia masih kecil dan panggilan mommy dari Oracle sudah paten milik Rose. Aku tak akan punya kesempatan untuk itu.Beri aku waktu satu bulan. Aku yakin Oracle pasti bisa menerimamu sebagai ibunya, Bridgette.Itu kata Rose setelah aku berpamitan dengannya untuk yang terakhir kali.Satu bulan ...Aku tidak tahu waktu satu bulan itu apakah bisa bagi Rose membujuk Oracle atau tidak. Aku tidak mau berharap jika nanti dijatuhkan oleh ekspektasi. Biarlah sekarang kujalani hidupku seperti semestinya. Jat
“Jangan macam – macam, Axe!”Aku mengacungkan jari telunjuk di hadapan Axe, sudah mewanti – wanti tatapan penuh gairah darinya. Bibir Axe sedikit terbuka sembari matanya mengarah pada bibirku yang sama sekali belum terpoles oleh lipstik.“I want those lips.”Tanpa menunggu persetujuan dariku, Axe menarik lalu melumat bibirku secara kasar dan dalam. Aku ingin melawan, tapi dia terus menekan kepalaku sambil sesekali menggigit bibirku agak keras.“Bridgette,” panggil Axe.Akhirnya dia menjauhkanku dan aku bisa bernapas setelah lumatan Axe terlepas. Meski mulutku masih mengap – mengap mencari udara segar.“I really want you, Bridgette.”Mataku membola mendengar kalimatnya. Tentu saja aku mengerti maksud dari ucapan Axe, dia menginginkanku, itu sudah pasti.“Tidak. Aku tidak mau. Don’t you dare touch me!” Aku segera bergeser agak jauh, tidak mau melihat Axe dan wajah penuh gairah itu.“You got me headache. Aku tidak bisa menahannya, Bridgette. Come.”Hell. B
“Pergilah, Bridgette. Edward. We need Edward, susul dia.”Ntah pendengaranku sedang bermasalah atau memang suara Axe terdengar sangat lirih. Apa sesuatu terjadi padanya saat dia melindungiku? Tapi apa? Aku tidak mendengar atau merasa apa pun, kecuali ringisannya tadi. Axe hanya menarikku dan kami sama – sama terjatuh. Itu saja. Lalu apa yang membuatnya terdengar lemah seperti tadi? Jangan katakan keputusanku pergi darinya menciptakan masalah baru. No! Aku tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Cukup kemarin, hari ini jangan!“Axe!”Kepalaku mulai menyimpan rasa cemas berlebihan. Aku segera meraba tubuh Axe, berharap ponselnya ada di saku jas maupun celana.Aku mendesah pasrah tak mendapatkan apa pun, ponsel kami sama – sama tertinggal di dalam mobil. Sekarang aku harus bagaimana? Mendengarkan perkataan Axe dan meninggalkannya sendiri di hutan seperti ini dalam keadaan yang belum kuketahui kenapa.“Axe
Jangan lupa untuk selalu dukung cerita ini, ya. Vote dan koment dari kalian sangat berarti bagi penulis. ................. “Apa yang terjadi. Kenapa Xelle bisa kebla – blasan memasuki wilayahku? Bukankah dia tahu perangkap yang kupasang?”Suara khas pria berusia setengah abad terdengar kesal memasuki tempat steril ini, ruang kesehatan pribadi Axe. Hentakan keras dari langkahnya menandakan dia seorang yang tegas. Wajah dingin dan tatapan fokus miliknya benar – benar membuatku ciut bergeming memperhatikan setiap gerakan tubuhnya.“Denyut nadinya sangat lemah,” gumamnya usai menyentuh pergelangan tangan Axe.“Aku heran. Seharusnya seseorang yang terkena racunku, tidak akan bisa bertahan selama ini,” jelas pria paruh baya itu lebih bicara pada dirinya sendiri sembari mengusap dagunya, terlihat tidak percaya dengan kasus yang kami hadapi.“Ambil darah Xelle untukku. Aku butuh DNA-nya untuk memastikan apakah racun terbarukan dariku tidak seefektif dulu. Ini mus
Sudah satu jam penantianku tak kunjung berbuah manis. Axe masih saja betah tak mau membuka matanya untukku. Selalu begitu dan aku akan setia menunggunya membuka mata.Sesaat aku tersenyum memperhatikan wajah manis Axe. Tanganku bergerak pelan mengelus rahang tegas itu. Oh. Kuakui rasa marahku padanya tadi seketika hilang.Ya. Sadar atau tidak, Axe adalah pria yang memberiku berbagai macam pengalaman. Banyak hal yang dia ajarkan padaku, termasuk hal – hal intim sekalipun. Tidak peduli aku suka atau tidak, dia tetap akan memaksa dan paksaan itu yang kadang – kadang memberi bumbu pada hubungan kami.Meskipun begitu, kenyataan itu tidak bisa mengubah pola pikirku. Aku bisa dan tidak menginginkan Axe dalam waktu bersamaan. Maksudku, salahkah jika aku ingin Axe selalu di sisiku, tapi pada kondisi lain aku juga menginginkannya menjauh?Tidak. Aku bukan plin – plan. Perasaanku memang sulit dikontrol dan maaf kalau aku sempa