“Pergilah, Bridgette. Edward. We need Edward, susul dia.”
Ntah pendengaranku sedang bermasalah atau memang suara Axe terdengar sangat lirih. Apa sesuatu terjadi padanya saat dia melindungiku? Tapi apa? Aku tidak mendengar atau merasa apa pun, kecuali ringisannya tadi. Axe hanya menarikku dan kami sama – sama terjatuh. Itu saja. Lalu apa yang membuatnya terdengar lemah seperti tadi? Jangan katakan keputusanku pergi darinya menciptakan masalah baru. No! Aku tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Cukup kemarin, hari ini jangan!“Axe!” Kepalaku mulai menyimpan rasa cemas berlebihan. Aku segera meraba tubuh Axe, berharap ponselnya ada di saku jas maupun celana.Aku mendesah pasrah tak mendapatkan apa pun, ponsel kami sama – sama tertinggal di dalam mobil. Sekarang aku harus bagaimana? Mendengarkan perkataan Axe dan meninggalkannya sendiri di hutan seperti ini dalam keadaan yang belum kuketahui kenapa.“AxeJangan lupa untuk selalu dukung cerita ini, ya. Vote dan koment dari kalian sangat berarti bagi penulis. ................. “Apa yang terjadi. Kenapa Xelle bisa kebla – blasan memasuki wilayahku? Bukankah dia tahu perangkap yang kupasang?”Suara khas pria berusia setengah abad terdengar kesal memasuki tempat steril ini, ruang kesehatan pribadi Axe. Hentakan keras dari langkahnya menandakan dia seorang yang tegas. Wajah dingin dan tatapan fokus miliknya benar – benar membuatku ciut bergeming memperhatikan setiap gerakan tubuhnya.“Denyut nadinya sangat lemah,” gumamnya usai menyentuh pergelangan tangan Axe.“Aku heran. Seharusnya seseorang yang terkena racunku, tidak akan bisa bertahan selama ini,” jelas pria paruh baya itu lebih bicara pada dirinya sendiri sembari mengusap dagunya, terlihat tidak percaya dengan kasus yang kami hadapi.“Ambil darah Xelle untukku. Aku butuh DNA-nya untuk memastikan apakah racun terbarukan dariku tidak seefektif dulu. Ini mus
Sudah satu jam penantianku tak kunjung berbuah manis. Axe masih saja betah tak mau membuka matanya untukku. Selalu begitu dan aku akan setia menunggunya membuka mata.Sesaat aku tersenyum memperhatikan wajah manis Axe. Tanganku bergerak pelan mengelus rahang tegas itu. Oh. Kuakui rasa marahku padanya tadi seketika hilang.Ya. Sadar atau tidak, Axe adalah pria yang memberiku berbagai macam pengalaman. Banyak hal yang dia ajarkan padaku, termasuk hal – hal intim sekalipun. Tidak peduli aku suka atau tidak, dia tetap akan memaksa dan paksaan itu yang kadang – kadang memberi bumbu pada hubungan kami.Meskipun begitu, kenyataan itu tidak bisa mengubah pola pikirku. Aku bisa dan tidak menginginkan Axe dalam waktu bersamaan. Maksudku, salahkah jika aku ingin Axe selalu di sisiku, tapi pada kondisi lain aku juga menginginkannya menjauh?Tidak. Aku bukan plin – plan. Perasaanku memang sulit dikontrol dan maaf kalau aku sempa
“Axe, aku—“Aku menelan salivaku sendiri, sulit rasanya mengutarakan kalimat yang tertahan di tenggorokan. Apalagi saat melihat wajah Axe. Astaga, posisiku di sini serba salah.“Ya, jawab aku, baby girl.”“Aku—“Kalimatku kembali terhenti. Bukan, bukan karena aku melakukannya. Tapi ketukan dan suara Edward-lah yang menyelamatkanku dari perasaan tak menentu ini. Interupsi yang dia berikan jelas membebaskanku dari pertanyaan Axe. Aku yakin dia ke sini membawa berita penting. Kalau tidak, tak mungkin dia datang mengganggu tuannya yang sedang beristirahat.“Tuan, tuan besar dan nyonya menghubungi saya. Mereka ingin bicara pada Anda,” ujar Edward sembari menunduk hormat pada Axe. Posisinya saat ini berdiri di dekat kami, tidak heran mengapa Axe membiarkan jawabanku terlupakan begitu saja.Tapi yang menarik perhatianku hanya satu, kata tuan besar dan nyonya yang Edward ucapkan. Apa yang dia mak
“Axe, ayo bangun!”“Hari ini jadwalmu konsul.” Aku berusaha menarik tangan Axe agar dia segera bangun. Bukannya membantuku, Axe malah sengaja memberatkan tubuhnya sendiri hingga aku tak sanggup mengangkatnya bangun.Aku mendesah melihatnya tak kunjung bergerak atau sekadar membuka mata. Mungkin Axe lupa bahwa nyaris satu minggu ini sejak dia tertembak, yang dia lakukan hanya istirahat total di atas ranjang. Untungnya kondisi Axe saat ini jauh dari kata tidak baik, hanya saja dia menjadi sangat malas akhir – akhir ini. mungkin karena aku terlalu memanjakannya.“Axe, cepat bangun. Jangan sampai aku menyirammu dengan air dingin!” ancamku tak lagi sabar menghadapi tingkahnya.Aku segera mengangkat kakiku menuju kamar mandi. Kuambil apa pun yang ada di sana untuk menampung seperempat air dari shower. Aku memang tidak main – main dengan perkataanku, jika Axe masih tidak mau bangun, aku tidak akan segan – segan
Aku menghela napas memperhatikan gedung besar yang menjulang tinggi di depan. Mataku memanas mengingat ini adalah rumah yang kutinggal pergi selama lima tahun.Banyak kenangan, ntah itu manis atau pahit yang kupaksa berhenti hidup. Meski kenangan itu sampai sekarang, bahkan sampai kapan pun akan tetap bersarang di memori otakku. Hanya bagaimana aku mengelolah kenangan buruk itu menjadi sebuah motivasi dan tetap menyeram indah bersama kenangan manis. Toh, memang kenangan buruk itu tidak sebanyak kenangan manis yang kudapatkan di sini.Aku takkan goyah hanya karena harus mengingat bagaimana, untuk pertama kalinya Axe mengambil kesucianku secara paksa.Masa – masa siram itu sudah lewat, bukankah saat ini aku sudah bisa menerima segala kekurangannya? Bahkan aku tidak masalah bila Axe ingin menyentuhku.Ya, aku tidak akan munafik. Aku juga menikmatinya, menikmati dosa teramat besar dalam hidupku. Seharusnya, ada baiknya aku memilih menjaga jarak dari
“Bridgette, Honey. Apa kau sudah bangun?” Ketukan dari luar membuatku mengerjap beberapa kali.Sudah jam berapa ini? Mataku bergerak melihat jam digital yang ada di atas nakas.Oh, God!Aku kesiangan.Cepat – cepat aku mengubah posisiku menjadi duduk. Aneh, aku merasa ada yang hilang. Ya, benar. Ada yang hilang. Axe, ada di mana dia sekarang?Aku segera bangkit memperhatikan setiap penjuru kamar ini. Oh, napasku berembus lega tak menemukan Axe ada di mana pun. Syukurlah, dia sudah pergi sebelum aku bangun.“Bridgette!”Panggilan dari luar kembali menarik perhatianku. Aku segera bergegas menuju ambang pintu dan menemukan mom sudah menungguku di depan.“Hai, Mom. Ada apa?” tanyaku basa – basi.Jujur, saja. Aku sangat berterima kasih pada Axe karena sudah memakaikan baju untukku. Kalau tidak, aku akan lebih terburu – buru.“Bersiap – siaplah. Temani mom belanj
No!Batinku terus memberi peringatan untuk menghentikan kegiatan Axe. Aku tahu dia ingin menelan habis pil – pil itu ke dalam tubuhnya.Tidak.Apa Axe sudah gila? Dia ingin mati over dosis, begitu?“Apa yang kau lakukan? Jangan gila dan jangan coba – coba!” Kudorong tangan Axe hingga air di dalam gelas dan pil di tangannya tumpah berserakan. Syukurlah gelas kaca itu tidak jatuh dan pecah, Axe sedikit tersentak oleh tindakanku yang tiba – tiba. Aku memang harus begitu, kalau tidak cepat menahannya, bisa – bisa dia kembali masuk rumah sakit atau lebih buruknya tak bisa diselamatkan.“Jangan mencelakai dirimu, aku mohon.”Kini kuubah tubuhku agar posisi kami sejajar. Sepertinya rencana mom dan dad berefek buruk pada pikiran Axe. Di matanya aku tidak melihat apa pun selain hanya kekosongan dan ketakutan mendalam. Oh, Axe yang malang.“Jangan pernah melakukan ini lagi.” Aku segera menangk
“Bajingan!”Hal pertama yang kembali dad lakukan adalah menarik Axe bangun dan lagi, dad melayangkan satu bogem mentah ke perut, yang kemudian memberikan tendangan beruntun ke setiap tubuh Axe.“No, Dad. Stop!”Aku terus berteriak berusaha menarik tangan dad, tapi tubuhku justru terlempar jatuh ke dalam dekapan mom. Dad begitu emosi menerima kenyataan ini dan tanpa sadar mengempaskan tubuhku yang hendak menghentikannya.“Apa yang sudah kau lakukan pada putriku, huh? Berani – beraninya kau menyentuh Bridgette di belakang kami.”Tubuh Axe terangkat dan kembali menerima pukulan dari dad. Tampak Axe sama sekali tak berniat membalas setiap perlakuan dad. Dia membiarkan Dad memukulnya tak henti - henti hingga wajahnya nyaris tak berbentuk, babak belur dengan lebam ada di mana – mana. Mungkin Axe menghargai dad dan tak ingin melawan, takut kalau dia lepas kendali.“Dad, stop!”“Mom, katakan pada dad untuk berhenti. Dad tidak bisa menyakiti Axe, Mom. Aku mohon. Ax
Hai, Kak. Selamat pagi. Mohon maaf setelan catatan penulis ini bukan update chapter Brother Luck(not) ya. Aku mau kasih tahu kalau sekuel sudah bisa dibaca lewat aplikasi Goodnovel. Yuk, mampir dan bantu aku dengan vote dan komen kalian😇 Boleh berikan review kalau suka ya. Kalian masih bisa ketemu Axelle🤭 But, he's not a main character anymore ya. Udah diganti Om T😅 Di sana para karakter penuh dengan misteri. Aku sudah up empat chapter. Kuy, merapat💃💃💃 migrain bareng aku lagi😁 besok aku akan double update juga. Berikan dukungan kalian buat Rose dan T😁 Btw, ada bab yang tidak ada di sini aku jelaskan di sana. Sebelumnya terima kasih banyak, sudah baca dan support karya pertamaku di sini. I love you guys❤❤❤
Several months later... Aku dengan tangan terinfus menatap Axe, di sampinnya terdapat Oracle, sedang berjalan menghampiriku. Dia membawa seorang bayi di dalam dekapan. Kepalanya terus menunduk memperhatikan wajah anak perempuan kami tanpa henti. Senyum sempurna melengkapi kebahagiaan Axe. Usahanya melayaniku saat sedang mengidamkan sesuatu berbuah manis, dia akhirnya dipertemukan secara langsung bersama anaknya.Aku ingat pernah memaksa Axe membuatkanku roti canai, makanan khas Asia, dengan tangannnya sendiri. Axe bisa memasak, tidak tahu dengan makanan sejenis itu, tapi subuh – subuh buta aku tetap mendorongnya bangun untuk menjadi koki dadakan demi keinginan anaknya.Butuh perjuangan membangunkan Axe saat dia sedang lelah – lelahnya setelah menyentuhku tanpa henti. Salahnya sendiri tidak pernah puas. Aku mana tahu kalau anaknya tiba – tiba menginginkan sesuatu.Meski dengan terpaksa, Axe tetap menjalankan kewajibannya. Waktu itu, dengan mata setengah terbuka
Aku menatap cincin yang tersemat kembali di tanganku dengan senyum haru dan bahagia. Janji suci atas nama Axe sudah kuucapkan. Tersisa satu lagi, tapi Axe tak kunjung melakukannya. Dia hanya menatapku dengan mata berbinar bahagia, seperti seorang idiot yang mendadak menjadi seorang jutawan.Dia mau tunggu apa lagi?Sampai aku memulai lebih dulu? Yang benar saja!“Kau membuat semua orang menunggumu terlalu lama,” kataku pelan dan nyaris berbisik.“Yakin?” tanya Axe memastikan. Dia mengangkat sebelah alis menatapku curiga. “Mereka atau kau yang sebenarnya sudah tidak sabar?” lanjutnya lagi dengan senyum menggoda.“Terserah kau saja, Axe.”Aku langsung berpaling menatap wajah – wajah di sana. Orang – orang penting di hidupku berkumpul dalam satu frame. Ada Oracle, mom, dad, ayah dan ibu mertuaku, serta Rose yang begitu cantik dengan balutan dress hitam. Di sampingnya ada Theo yang selalu menguntit ke mana pun Rose pergi. Aku rasa pertanyaan Axe waktu itu sangat
Kau tahu ada apa dengan gugurnya bunga mawar? Karena saat pertama kali mekar, dia terlalu indah. -Theodore Witson. -------------------------------- “Rose, sekali lagi terima kasih. Aku tidak tahu akan jadi seperti apa hidupku tanpa bantunmu.” Kupeluk erat – erat tubuh wanita cantik, yang saat ini membalas kehangatan dariku.“Sama – sama,” bisik Rose sembari mengusap naik turun pundakku pelan.“Harus dengan cara apa aku membayar semua kebaikanmu selama ini?”Aku tak tahan lagi sampai yakin suaraku terdengar getir. Tidak tega rasanya mengambil Oracle dari Rose. Tapi harus bagaimana? Jika aku membiarkan Oracle bersama Rose, anak itu akan kehilangan figur keluarga lengkap. Axe pasti tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia sudah terpisah dari Oracle sejak Oracle sendiri masih dalam kandungan, mana mungkin pria itu mau merelakan Oracle. Dan kalau harus jujur, aku juga menginginkan Oracle. Meski rasa bersalah pada Rose akan jauh lebih be
“Sudah siap?” Aku menoleh ke samping mendengar pertanyaan Axe.Dari bandara Kanada, kami langsung melaju menuju apartement Rose. Saat ini aku dan Axe masih berada di dalam mobil yang terparkir di basement.Dia bertanya apakah aku sudah siap ... jawabanku tidak. Aku tidak sanggup harus menerima penolakan Oracle, saat dia melihatku ada di hadapannya. Seperti kata Axe waktu itu, dia akan mengajakku menjemput Oracle setelah semuanya selesai.Ya, semua telah selesai terhitung sudah tiga minggu berlalu pembalasan dendam Axe.Paman Danial akhirnya dinyatakan bersalah dan dihukum seberat – beratnya selama 35 tahun penjara. Perlindungan dari perdana mentri atas dirinya tidak berlaku, karena bukti – bukti sudah di depan mata. Terlebih Paman Danial semakin diberatkan oleh kehadiran para tawanan yang Axe bebaskan sebagai saksi di pengadilan.Waktu itu, persidangan berlangsung selama kurang lebih dua minggu. Tidak ada penyangkalan dan uji banding membuat semuanya
“Awas, Axe!”Dor!Aku memeluk Axe seerat mungkin, menjadikan tubuhku sebagai tameng untuknya. Dia pernah membiarkan peluru menggigit tubuhnya karena kesalahanku. Sekarang aku ingin melakukan hal yang sama, mengorbankan diri untuk orang yang kucintai.Bunyi tembakan memberi jeda untukku bernapas. Seharusnya aku sudah merasakan panas yang menjalar oleh peluru itu. Tapi sampai saat ini semua masih terasa aman. Aku tidak mengerti, tubuhku baik – baik saja tanpa alasan.“Lain kali jangan lakukan hal ini. Jangan melindungiku. Aku bisa menjaga diri sendiri. Apa yang akan terjadi padamu jika aku tidak cepat?”Tubuhku dilepas paksa dan baru kusadari senjata Axe mengeluarkan asap saat dia menurunkan tangannya.Apa yang telah kulewatkan?Cepat – cepat aku berbalik. Sedikit tak percaya mendapati Arthur tergeletak di lantai dengan mata terbuka dan peluru yang menancap tepat di dahinya.“Aku tidak ingin membunuh. Tapi membiarkan dirimu ditembak adalah kesalahan palin
Sebuah belaian terasa kasar, menarik kembali jiwa yang sempat hilang dari tubuh. Aku mengerjap, membuka mata secara perlahan. Tempat yang seharusnya berupa alam bebas tergantikan oleh tembok – tembok bercak putih. Aku seperti berada di sebuah kamar dengan langit – langit dihias lampu kuning.Satu pertanyaan menyentak isi kepala. Siapa yang membawaku ke sini?“Akhirnya kau sadar.”Suara serak itu menarik perhatianku menatap ke samping.Dia...Kenapa aku bisa bersamanya?“Kau semakin cantik dan berisi. Aku sangat suka.”Nada puas terdengar dari suara serak seorang pria yang pernah kutemui beberapa kali. Bahkan waktu itu nyaris menjadi suamiku, Arthur.“Kau kaget melihatku. Kenapa. Takut?”Arthur terkekeh. Tangan yang terulur hendak mengelus kepalaku tertahan di udara saat aku bergerak cepat, beringsut menjauhinya. Apa maunya membawaku ke tempat seperti ini? tanyaku sembari menatap penuh waspada seringai kejam di wajah Arthur.Dia sangat berbed
Author’s pov....Mata heterochormia dilapisi lensa kontak lunak itu menatap tajam bagian samping gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ada tiga lantai, masing – masing memiliki penjagaan ketat. Bentuknya juga seperti labirin dengan jalur berliku – liku dan beberapa jalan dibuat buntu. Bagi seseorang yang awam, mungkin akan tersesat di tempat itu.Sebelum masuk, Axe harus memastikan penjaga di pintu depan sedang lengah agar dia bisa melakukan serangan dari belakang. Kakinya melangkah pelan. Menyembulkan kepala sedikit, mencari waktu paling tepat untuk mengokang senjata kedap suara di tangan.Belum saatnya. Dua penjaga di sana masih sigap menghisap cerutu dan mengembuskan asapnya ke udara. Axe akan menunggu salah satu dari mereka masuk, untuk menyerang yang lainnya. Dia tidak ingin menimbulkan kehebohan di bagian luar. Menyerang satu per satu adalah pilihan tepat.Selama kegiatan aksi belum dimulai. Seharusnya
Pandanganku lurus, menatap tanpa arti beberapa orang berbentuk tim—sedang berpencar ke berbagai hancurnya sisi gedung. Hampir dua jam, mereka belum juga menemukan keberadaan Axe. Tidak tahu mereka mencari sampai ke seluruh reruntuhan atau tidak. Sementara malam sudah semakin larut, akan sulit melakukan pencarian.Sempat ada beberapa hal yang membuat tim berdebat, salah satunya tangan yang kutemukan. Sebagian besar dari mereka beropini bahwa sisa dari tubuh Axe hancur tercerai berai, sulit untuk diidentifikasi. Tapi yang lain, terutama aku, masih percaya adanya potongan tubuh Axe karena ledakan itu.Sebenarnya mereka menemukan dua atau tiga kerangka kaki, milik orang lain. Kata Hema, ada beberapa pengawal Paman Danial yang berada di lantai tiga sedang menikmati pesta. Kemungkinan kerangka itu milik mereka.“Kita tidak menemukan apa pun di sini.”Tim dari kubu A berteriak, mungkin lelah—bekerja untuk sesuatu bersifat sia – sia. Seperti