“Bridgette!”
Mataku mengerjap samar mendengar ketukan pintu kamar. Sudah jam berapa ini? Pertanyaan itu berhasil membuat tubuhku sendiri bergerak cepat, hingga kini posisiku menjadi duduk dengan dada naik turun tak beraturan.Semalam begitu mudahnya aku jatuh tertidur di luar keinginan. Maksudku, kemarin malam aku berniat memastikan keberadaan Axe setelah 10 menit mematikan seluruh lampu agar dia berpikir aku benar – benar tak memedulikannya. Aku memang sengaja agar dia kembali ke hotel dan beristirahat di tempatnya. Sayangnya aku justru tertidur sebelum dua menit pertama setelah berbaring di atas ranjang. Sekarang risikonya, jantungku harus berdebar mempertanyakan keberadaannya.Dengan cepat kakiku melangkah menuju jendela. Kutarik gorden hingga silau pagi sedikit membuatku menghindar. Sepertinya aku kesiangan.Kucari – cari keberadaan Axe dan menemukannya masih berdiri di sana. Benarkah apa yang kulihat? Kucubit lenganku sejenak dan apa yang ada di hadapanku tak berubaEnam hari sudah aku berada di apartemen Rose. Enam hari itu juga aku membiarkan Axe berdiri di taman menunggu maaf dariku. Ntahlah, waktu terasa cepat berlalu, padahal rasanya baru kemarin kami mengalami cekcok.‘Aku akan menunggumu di tempat ini sampai kau mau memaafkanku.’Masih terngiang – ngiang kalimat penuh percaya diri itu. Tapi aku salut pada Axe, dia mematri kata – katanya dengan perbuatan nyata. Enam hari lima malam tinggal di luar sana hanya demi diriku, sungguh perjuangan tak terelakkan.Aku tahu di balik semua itu sebenarnya Axe lelah. Tercatat hari pertama hingga kedua dia masih sanggup berdiri dan di hari ketiga sampai hari ini, posisinya sudah berubah. Axe tak lagi menjulang tinggi, melainkan duduk dengan kepala sedikit menunduk, pernah sesekali aku mendapatinya berbaring lelah. Kadang – kadang juga aku melihatnya memijat pangkal hidung dan meremas kepalanya kasar. Rasanya dadaku ngilu, aku tidak tahan melihatnya ter
“Apa kau yakin dia kakakmu?”Pertanyaan Rose berhasil menimbulkan desiran aneh di dadaku. Jika itu adalah kenyataannya, aku berharap jawabannya iya, Axe bukan kakakku. Namun, kenyataan tidak sebaik itu. Siapa Axe kalau bukan kakakku? Orang lain, begitu? Apa Rose salah minum obat hingga berpikiran seperti itu? Ada – ada saja.“Jangan konyol, Rose. Kami memang tidak tinggal berpisah sejak kecil, bahkan saat aku baru berusia satu tahun. Axe harus tinggal bersama paman Danial karena sebuah perjanjian. Bukankah sudah kuceritakan padamu?”“Sudah, tapi rasanya aneh.” Rose menggaruk kepalanya, yang kuyakini sedang tidak gatal. Oh. Dia pasti memikirkan bagaimana hubunganku dan Axe bisa serumit ini. Aku juga tidak mengerti. Semua masih menjadi misteri, jika aku harus jujur tidak ada yang tahu alasan di balik perjanjian hitam di atas putih itu selain mom, dad, dan Paman Danial. Mereka benar – benar merahasiakan itu pada kami.
Sudah satu jam sejak mata Axe terbuka sebentar, sampai sekarang dia masih setia dengan dunia bawah sadarnya. Selalu begitu, Axe memang senang membuatku menunggu. Terhitung sudah tiga kali kami mengalami hal serupa seperti ini. Hubungan kami memang tak pernah mudah, selalu rumit.Aku mengembuskan napas lelah. Sesaat kualihkan pandanganku ke atas nakas. Benda pipih berwarna hitam milikku kini menarik perhatianku. Seketika sebuah nama tersemat di dalam kepala. Edward! Ya, Edward. Aku akan menghubunginya dan memintanya membawakan baju ganti pada Axe.Axe yang malang, sampai sekarang dia masih memakai baju yang sama terakhir kami bicara di halaman bawah. Salahnya juga terlalu keras kepala, aku sudah memintanya kembali ke hotel dan dia tetap kekeh menungguku hingga berakhir sakit begini. Tapi yang sebenarnya kami sama – sama salah, kalau aku bisa memaafkannya lebih cepat. Mungkin Axe masih baik – baik saja.Sudahlah. Semua sudah terjadi. Terpenting sekarang aku harus merawa
Cepat – cepat Axe menarik kembali tangannya dan memberikan tatapan tak terima untukku. “Kau ingin balas dendam padaku karena nyaris memotong jari – jarimu waktu itu?” tanyanya pura – pura marah.Aku segera menggeleng lalu menarik kedua ujung bibirnya agar melengkungkan senyum. “Aku tahu apa maumu, Axe. Kau sedang sakit, jangan macam – macam. Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhku.”Aku mulai menurunkan tubuhku dari pangkuannya. Axe sedang sakit, dia tidak bisa terlalu lama menahan beban tubuhku di atas pahanya. Tugasku juga belum selesai, aku belum membersihkan tubuhnya padahal tisue basah sudah kusiapkan.“Kau mau apa?’Axe terkesiap melihat gerakan tanganku yang menarik tangannya cepat. Aku tidak menjawabnya karena yang kulakukan berikutnya adalah menyelusuri sepanjang lengannya dengan tisue basah.Bayangkan saja, enam hari dia berada di bawah menungguku, enam hari itu pula dia tidak menyentuh ai
“Apa yang kau lakukan, Axe?” tanyaku saat melihatnya membongkar isi celana jeans kotor yang tadi siang digantinya saat bangun tidur.“Cincin,” jawab Axe sambil merogoh kantong celananya dalam – dalam.Axe berdecak saat tak menemukan barang yang dicari. Dia meletakkan celana itu kasar ke atas kasur, lalu mencekak pinggang terlihat sedang memikirkan sesuatu.“Cincin apa yang kau cari?”“Cincin yang kau kembalikan padaku.”Axe bicara tanpa menatap mataku. Dia bahkan membungkuk mencari cincin yang dimaksud di bawah tempat tidur. Yang benar saja, kalau benda kecil itu disimpan di saku celananya. Cincin itu tidak akan hilang mengingat Axe memakai jeans selama menungguku enam hari lima malam itu.Lagipula kenapa dia bisa tiba – tiba kepikiran dengan cincin. Padahal aku hanya meninggalkannya sebentar ke bawah untuk membersihkan bekas muntahannya.Bicara perihal cincin. Aku jadi terbayang mal
Hari ini double update. Yang masih di bawah umur harap menyingkir:) .................................................... “Axe!” panggilku semangat. Sedari di lift senyumku terus mengembang. Tentu saja, aku ada kabar baik untuknya. Axe pasti senang melihat cincinnya ada bersamaku. Namun, senyumku dipaksa hilang saat aku membuka pintu dan mendapatinya sedang tengkurap di bawah sembari memperhatikan kolong tempat tidur. Terlihat tidak semangat melakukan apa pun.“Axe,” panggilku hati – hati. Aku berjongkok di sampingnya sembari mengelus punggunya dari atas ke bawah dengan pelan, begitu seterusnya.“Aku punya sesuatu untukmu. Mau lihat?” tanyaku tapi tak juga mendapat respon darinya.Aku menghela napas berat. Axe lebih terlihat seperti orang yang sedang patah hati setelah ditinggal pacar daripada sedih kehilangan benda kesayangan. Aku tidak dapat membayangkan seandainya dia tahu bahwa di usianya saat ini, dia sudah memiliki anak dan masih bersi
“Wake up,” bisikan lembut yang terdengar sangat dekat membuatku mengerjap beberapa kali. Aku merasakan sesuatu yang kasar menyentuh punggung dan kecupan berulang di bibirku.Siapa yang berusaha mengganggu tidur nyenyakku? Aku bergerak mempererat pelukan pada tubuh yang terasa hangat, berusaha mengenyahkan gangguan tak berujung dan terus berlanjut sampai saat ini.“Bangun, Bridgette!”Seruan itu tak kunjung memancingku membuka mata. Sebaliknya aroma cologne yang khas justru menjadi terapi menenangkan di pagi hari. Napasku terasa segar meski mataku masih terpejam begitu sempurna.“Jangan menggodaku, baby girl. Aku bisa kembali menikammu kalau aku mau.”Kalimat itu sukses membuat mataku terbuka lebar – lebar.Astaga!Axe!Bisa – bisanya aku lupa sedang bersamanya.“Lepas.” Kusingkirkan tangannya yang sibuk mengelus kulit punggungku. Aku segera bangkit mengubah posisiku menjadi duduk. Sialnya, aku juga melupakan keadaan tubuhku. Aku mas
“Kau lihat pria tidak tahu malu itu. Dia datang ke sini untuk menggangguku!”Aku langsung melihat orang yang Rose tunjuk dengan kemarahan berapi – api itu. Tunggu dulu, aku hafal postur tubuh itu. Bukankah dia ...Theo?Mulutku mengganga melihatnya ada di sini. Kenapa dia ikut terdampar di Kanada, bukankah seharusnya Theo berada di Italia mengingat dia adalah orang asli Italia.“Kau mengenalnya, Bridgette?” tanya Rose menyadari reaksi tidak biasa dariku. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban untuknya.“What the hell you doing here?”Pertanyaan itu bukan dariku apalagi Rose, tetapi pria yang kini berpakaian lengkap berdiri tepat di sampingku, Axe.“Kau juga? Kenapa kau ada di sini?” Bukannya menjawab. Theo malah berbalik tanya. Tak lama matanya mengerjap tak percaya. “Astaga, Bro! Kau masih hidup rupanya. Aku pikir kemarin adalah hari terakhir kau mengalami koma,” seloroh Theo berjalan
Hai, Kak. Selamat pagi. Mohon maaf setelan catatan penulis ini bukan update chapter Brother Luck(not) ya. Aku mau kasih tahu kalau sekuel sudah bisa dibaca lewat aplikasi Goodnovel. Yuk, mampir dan bantu aku dengan vote dan komen kalian😇 Boleh berikan review kalau suka ya. Kalian masih bisa ketemu Axelle🤭 But, he's not a main character anymore ya. Udah diganti Om T😅 Di sana para karakter penuh dengan misteri. Aku sudah up empat chapter. Kuy, merapat💃💃💃 migrain bareng aku lagi😁 besok aku akan double update juga. Berikan dukungan kalian buat Rose dan T😁 Btw, ada bab yang tidak ada di sini aku jelaskan di sana. Sebelumnya terima kasih banyak, sudah baca dan support karya pertamaku di sini. I love you guys❤❤❤
Several months later... Aku dengan tangan terinfus menatap Axe, di sampinnya terdapat Oracle, sedang berjalan menghampiriku. Dia membawa seorang bayi di dalam dekapan. Kepalanya terus menunduk memperhatikan wajah anak perempuan kami tanpa henti. Senyum sempurna melengkapi kebahagiaan Axe. Usahanya melayaniku saat sedang mengidamkan sesuatu berbuah manis, dia akhirnya dipertemukan secara langsung bersama anaknya.Aku ingat pernah memaksa Axe membuatkanku roti canai, makanan khas Asia, dengan tangannnya sendiri. Axe bisa memasak, tidak tahu dengan makanan sejenis itu, tapi subuh – subuh buta aku tetap mendorongnya bangun untuk menjadi koki dadakan demi keinginan anaknya.Butuh perjuangan membangunkan Axe saat dia sedang lelah – lelahnya setelah menyentuhku tanpa henti. Salahnya sendiri tidak pernah puas. Aku mana tahu kalau anaknya tiba – tiba menginginkan sesuatu.Meski dengan terpaksa, Axe tetap menjalankan kewajibannya. Waktu itu, dengan mata setengah terbuka
Aku menatap cincin yang tersemat kembali di tanganku dengan senyum haru dan bahagia. Janji suci atas nama Axe sudah kuucapkan. Tersisa satu lagi, tapi Axe tak kunjung melakukannya. Dia hanya menatapku dengan mata berbinar bahagia, seperti seorang idiot yang mendadak menjadi seorang jutawan.Dia mau tunggu apa lagi?Sampai aku memulai lebih dulu? Yang benar saja!“Kau membuat semua orang menunggumu terlalu lama,” kataku pelan dan nyaris berbisik.“Yakin?” tanya Axe memastikan. Dia mengangkat sebelah alis menatapku curiga. “Mereka atau kau yang sebenarnya sudah tidak sabar?” lanjutnya lagi dengan senyum menggoda.“Terserah kau saja, Axe.”Aku langsung berpaling menatap wajah – wajah di sana. Orang – orang penting di hidupku berkumpul dalam satu frame. Ada Oracle, mom, dad, ayah dan ibu mertuaku, serta Rose yang begitu cantik dengan balutan dress hitam. Di sampingnya ada Theo yang selalu menguntit ke mana pun Rose pergi. Aku rasa pertanyaan Axe waktu itu sangat
Kau tahu ada apa dengan gugurnya bunga mawar? Karena saat pertama kali mekar, dia terlalu indah. -Theodore Witson. -------------------------------- “Rose, sekali lagi terima kasih. Aku tidak tahu akan jadi seperti apa hidupku tanpa bantunmu.” Kupeluk erat – erat tubuh wanita cantik, yang saat ini membalas kehangatan dariku.“Sama – sama,” bisik Rose sembari mengusap naik turun pundakku pelan.“Harus dengan cara apa aku membayar semua kebaikanmu selama ini?”Aku tak tahan lagi sampai yakin suaraku terdengar getir. Tidak tega rasanya mengambil Oracle dari Rose. Tapi harus bagaimana? Jika aku membiarkan Oracle bersama Rose, anak itu akan kehilangan figur keluarga lengkap. Axe pasti tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia sudah terpisah dari Oracle sejak Oracle sendiri masih dalam kandungan, mana mungkin pria itu mau merelakan Oracle. Dan kalau harus jujur, aku juga menginginkan Oracle. Meski rasa bersalah pada Rose akan jauh lebih be
“Sudah siap?” Aku menoleh ke samping mendengar pertanyaan Axe.Dari bandara Kanada, kami langsung melaju menuju apartement Rose. Saat ini aku dan Axe masih berada di dalam mobil yang terparkir di basement.Dia bertanya apakah aku sudah siap ... jawabanku tidak. Aku tidak sanggup harus menerima penolakan Oracle, saat dia melihatku ada di hadapannya. Seperti kata Axe waktu itu, dia akan mengajakku menjemput Oracle setelah semuanya selesai.Ya, semua telah selesai terhitung sudah tiga minggu berlalu pembalasan dendam Axe.Paman Danial akhirnya dinyatakan bersalah dan dihukum seberat – beratnya selama 35 tahun penjara. Perlindungan dari perdana mentri atas dirinya tidak berlaku, karena bukti – bukti sudah di depan mata. Terlebih Paman Danial semakin diberatkan oleh kehadiran para tawanan yang Axe bebaskan sebagai saksi di pengadilan.Waktu itu, persidangan berlangsung selama kurang lebih dua minggu. Tidak ada penyangkalan dan uji banding membuat semuanya
“Awas, Axe!”Dor!Aku memeluk Axe seerat mungkin, menjadikan tubuhku sebagai tameng untuknya. Dia pernah membiarkan peluru menggigit tubuhnya karena kesalahanku. Sekarang aku ingin melakukan hal yang sama, mengorbankan diri untuk orang yang kucintai.Bunyi tembakan memberi jeda untukku bernapas. Seharusnya aku sudah merasakan panas yang menjalar oleh peluru itu. Tapi sampai saat ini semua masih terasa aman. Aku tidak mengerti, tubuhku baik – baik saja tanpa alasan.“Lain kali jangan lakukan hal ini. Jangan melindungiku. Aku bisa menjaga diri sendiri. Apa yang akan terjadi padamu jika aku tidak cepat?”Tubuhku dilepas paksa dan baru kusadari senjata Axe mengeluarkan asap saat dia menurunkan tangannya.Apa yang telah kulewatkan?Cepat – cepat aku berbalik. Sedikit tak percaya mendapati Arthur tergeletak di lantai dengan mata terbuka dan peluru yang menancap tepat di dahinya.“Aku tidak ingin membunuh. Tapi membiarkan dirimu ditembak adalah kesalahan palin
Sebuah belaian terasa kasar, menarik kembali jiwa yang sempat hilang dari tubuh. Aku mengerjap, membuka mata secara perlahan. Tempat yang seharusnya berupa alam bebas tergantikan oleh tembok – tembok bercak putih. Aku seperti berada di sebuah kamar dengan langit – langit dihias lampu kuning.Satu pertanyaan menyentak isi kepala. Siapa yang membawaku ke sini?“Akhirnya kau sadar.”Suara serak itu menarik perhatianku menatap ke samping.Dia...Kenapa aku bisa bersamanya?“Kau semakin cantik dan berisi. Aku sangat suka.”Nada puas terdengar dari suara serak seorang pria yang pernah kutemui beberapa kali. Bahkan waktu itu nyaris menjadi suamiku, Arthur.“Kau kaget melihatku. Kenapa. Takut?”Arthur terkekeh. Tangan yang terulur hendak mengelus kepalaku tertahan di udara saat aku bergerak cepat, beringsut menjauhinya. Apa maunya membawaku ke tempat seperti ini? tanyaku sembari menatap penuh waspada seringai kejam di wajah Arthur.Dia sangat berbed
Author’s pov....Mata heterochormia dilapisi lensa kontak lunak itu menatap tajam bagian samping gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ada tiga lantai, masing – masing memiliki penjagaan ketat. Bentuknya juga seperti labirin dengan jalur berliku – liku dan beberapa jalan dibuat buntu. Bagi seseorang yang awam, mungkin akan tersesat di tempat itu.Sebelum masuk, Axe harus memastikan penjaga di pintu depan sedang lengah agar dia bisa melakukan serangan dari belakang. Kakinya melangkah pelan. Menyembulkan kepala sedikit, mencari waktu paling tepat untuk mengokang senjata kedap suara di tangan.Belum saatnya. Dua penjaga di sana masih sigap menghisap cerutu dan mengembuskan asapnya ke udara. Axe akan menunggu salah satu dari mereka masuk, untuk menyerang yang lainnya. Dia tidak ingin menimbulkan kehebohan di bagian luar. Menyerang satu per satu adalah pilihan tepat.Selama kegiatan aksi belum dimulai. Seharusnya
Pandanganku lurus, menatap tanpa arti beberapa orang berbentuk tim—sedang berpencar ke berbagai hancurnya sisi gedung. Hampir dua jam, mereka belum juga menemukan keberadaan Axe. Tidak tahu mereka mencari sampai ke seluruh reruntuhan atau tidak. Sementara malam sudah semakin larut, akan sulit melakukan pencarian.Sempat ada beberapa hal yang membuat tim berdebat, salah satunya tangan yang kutemukan. Sebagian besar dari mereka beropini bahwa sisa dari tubuh Axe hancur tercerai berai, sulit untuk diidentifikasi. Tapi yang lain, terutama aku, masih percaya adanya potongan tubuh Axe karena ledakan itu.Sebenarnya mereka menemukan dua atau tiga kerangka kaki, milik orang lain. Kata Hema, ada beberapa pengawal Paman Danial yang berada di lantai tiga sedang menikmati pesta. Kemungkinan kerangka itu milik mereka.“Kita tidak menemukan apa pun di sini.”Tim dari kubu A berteriak, mungkin lelah—bekerja untuk sesuatu bersifat sia – sia. Seperti