Sejak kejadian kemarin. Akhirnya aku berhasil membujuk Axe untuk mengizinkanku tinggal bersamanya di penthouse-nya. Meskipun agak terpaksa, tapi Axe tetap mengiyakan. Dia memberiku syarat untuk tidak berusaha melarikan diri lagi darinya. Aku tidak akan melakukannya jika dia terus bersikap lembut padaku. Namun, untuk syarat lainnya di mana aku harus terus berada di kamarku, aku tidak yakin. Karena satu – satunya alasan aku ingin menetap di penthouse-nya agar aku bisa bebas keluar masuk melakukan apa pun yang aku mau. Termasuk mencari tahu beberapa hal yang tidak aku ketahui tentang pria itu.
Saat ini aku sudah berada di pusat pembelanjaan tanpa sepengetahuan Axe. Membeli ponsel baru untukku. Tentu saja aku akan menghubungi mom nanti. Aku ingin tahu detail peristiwa lainnya tentang perjanjian itu, perjanjian hitam di atas putih yang melibatkan Axe hingga pria itu harus tinggal jauh dari kami dalam kurung waktu cukup lama.“Hai, Bridgette. Long time no see.&Aku membuka mata pelan. Kepalaku terasa pening setelah berusaha mengingat kejadian di penthouse Axe. Dua orang pria asing berpenampilan seram menatapku sinis. Mereka mengancamku hingga berdiri di sudut lift penuh ketakutan. Aku sempat melihat mereka tersenyum miring sebelum akhirnya tidak sadarkan diri, dan ketika aku terbangun. Aku menyadari tangan dan kakiku terikat di atas sebuah blankar berkarat. Langit – langit di ruangan ini juga terlihat tak terawat. Beberapa kotoran dan warna usang di dinding menandakan aku berada di sebuah bangunan tak terpakai. Apa Axe menculikku sampai di sini? Why?Aku terhentak dari pikiran kosongku saat mendengar suara derap kaki beberapa orang mulai mendekat. Napasku menderu waspada ketika pintu itu terdobrak keras, menampilan beberapa orang dengan topeng menutup wajah mereka. Salah satu dari mereka mengangkat daguku kasar. Mata cokelat kelamnya menatap penuh dendam padaku.“This is my luck. Aku sudah lama menanti hal ini. Take my revenge to him
“Axe, awas. Akh!”Aku berteriak disusul rasa sakit yang mencengkram di perutku. Sesaat kulihat Axe berhasil menghindari peluru Gorson dengan menjadikan salah satu lawannya sebagai tameng. Gorson salah jika dia berpikir Axe menjadi lemah ketika kelemahan pria itu dilukai olehnya. Sebaliknya kelemahan itulah yang membuat Axe bisa setangguh ini. Terhitung semua pasukan bertopeng Gorson habis dibabat olehnya. Hanya tersisa Gorson yang terbaring lemah dengan keadaan babak belur oleh Axe dan wanita angkuh itu yang sudah meninggalkan tempat ini saat kekacauan terjadi.Dengan tertatih Axe berjalan menghampiriku. Sesekali tubuh Axe terlihat sempoyongan sambil memegang perutnya. “It’s alright. Kalian akan baik – baik saja,” ujarnya lemah sambil melepaskan ikatan di tangan dan kakiku.“Aku bisa sendiri,” ucapku saat Axe bersiap akan mengangkat tubuhku. Dia sudah terluka parah. Tidak mungkin aku membiarkannya menahan berat tub
“Apa mom boleh bertanya sesuatu padamu?” tanyanya dengan suara tertahan.Peralihan topik, pikirku. Tapi aku tetap mengangguk, meskipun ragu. Berharap bukan pertanyaan sulit yang akan kuterima.“Siapa yang menghamilimu?”Boom! Kepalaku terasa seperti disiram air panas mendengar pertanyaan mom. Apa yang harus kukatakan padanya sekarang? Aku tak mungkin berkata jujur padanya. Dia akan kecewa, bukan hanya padaku tapi juga pada Axe. Bahkan pada dirinya sendiri.“Aku tidak tahu, mom. Aku diperkosa, pelakunya pergi meninggalkanku begitu saja.” Aku menatap lurus ke depan. Tidak tahu kenapa kebohongan meluncur dengan sempurna dari bibirku.“Kau yakin, honey?” tanya mom memastikan. Aku mengangguk pelan. Kurasa mom tahu aku berbohong. Tapi dia hanya diam membiarkan kebohongan itu berjalan dengan semestinya. Mungkin dia sadar aku butuh istirahat dari pikiran buruk yang menghantui.“Baiklah. Sekarang sebaiknya ka
Aku menarik napas dalam melihat suasana cafetaria di rumah sakit yang ramai. Langkahku cepat menuju kasir untuk membayar sarapanku tadi. Aku tidak bisa meninggalkan Axe terlalu lama di ruang ICU sendiri, takut tiba – tiba terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan. Saat aku bersiap akan meninggalkan tempat itu, mataku tak sengaja menangkap sesosok pria paruh baya yang baru beberapa hari lalu bertemu denganku. Pria itu tersenyum hangat lalu menyapaku yang berdiri kaku di depannya.“Selamat pagi juga, Paman.” Aku membalas senyumnya ragu, sedikit bingung kenapa dia berada di tempat ini.“Kenapa kau ada di sini, Bridgette?”Seharusnya aku yang bertanya padanya seperti itu. Tapi sepertinya Paman Danial memiliki urusan dan kami kebetulan bertemu di sini.“Axe ditembak dan koma karena menyelamatkanku, Paman.”Paman Danial terlihat kaget mendengar ucapanku. Matanya bergerak tak fokus ketika mendengar nama Axe kusebut. Sepertinya dia tak percaya dengan apa yang kukata
“Ini apa, Ed?” tanyaku bingung saat pria itu datang menyerahkan sebuah kantong belanjaan kepadaku.“Lihat saja, Nona.” Aku menatap Edward serius lalu menarik keluar benda yang ada di dalam kantong belanjaan tersebut. Sebuah kotak agak berkilauan sedikit membuatku menilik dalam pada pria yang masih setia berdiri di sampingku.“Di rumah sakit saya pernah bilang kalau tuan meminta saya membelikan sesuatu untuk nona. Tuan mengganti dua ponsel Anda yang sudah tuan hancurkan. Maaf kalau saya baru sempat memberikan itu kepada nona.”Aku terdiam mendengar penuturan Edward. Kenapa Axe tiba – tiba kepikiran untuk mengganti ponselku yang dirusak serta dibuang ke jendela waktu itu. Dia orang pertama yang menjauhkan benda itu dariku, tolong tambahkan ke dalam catatan dosa – dosanya kalau kalian mau.“Kenapa Axe berubah pikiran?”“Saya tidak tahu, Nona. Mungkin ketika tuan sadar, nona bisa bertanya kepadany
“Kau mau ke mana, Axe?” tanyaku begitu melihatnya menurunkan kaki, bersiap untuk berdiri.Axe menatapku sesaat lalu berjalan pelan ke arahku yang masih berdiri di ambang pintu. Aku baru saja akan mengunjunginya tapi dia sudah bersiap akan pergi.“Aku bosan,” katanya sambil menyisir rambutku pelan.Syukurlah kondisi Axe semakin baik pasca sadar dari koma. Butuh dua hari baginya untuk pulih dari keadaan lemah, meskipun sekarang aku tidak bisa mengatakan kalau dia sudah sehat. Dua hari lalu dia benar – benar hanya merebahkan dirinya di ruang kesehatan ini. Dia juga tidak banyak bicara walau kadang – kadang aku mendapati dirinya menatapku penuh tanya.Sebenarnya aku cukup kaget melihatnya berdiri menjulang di depanku. Tapi sepertinya rasa bahagia lebih mendominasi hingga hanya senyum yang kuberikan padanya.“Kau perlu istirahat.”“I’m okay, Bridgette. Kau tidak perlu khawatir.” Axe menangkup
Aku menatap kosong daun pintu kamar di depanku. Setelah kejadian di taman waktu itu, aku merasa ada sesuatu yang berubah dari Axe. Dia menjadi lebih diam dari biasanya. Kadang – kadang aku melihatnya melamun, begitu terhanyut dalam pikirannya sendiri. Ketika sarapan maupun makan malam, Axe lebih sering memainkan makanan di atas piring daripada menyantapnya. Dia terlalu memikirkan kejadian – kejadian yang sudah berlalu. Aku takut dia menyalahkan dirinya lagi dan melakukan sesuatu yang tidak semestinya dia lakukan.Aku menghela napas berat. Sepertinya tugasku makin bertambah. Aku harus mengawasi Axe secara ketat dan harus memperhatikan kesehatannya. Rasa kehilangan yang dialami membuatnya abai untuk merawat diri.“Axe, apa aku boleh masuk?” Aku mengetuk pintu pelan. Ini bukan kamarnya apalagi kamarku. Masih ingat dengan kamar yang Axe renovasi waktu itu? Ya. Setelah urusan pekerjaannya selesai. Axe langsung mengurung diri di dalam kamar itu.
Napasku mengembus asal mengingat kejadian malam itu. Sepertinya penolakan halusku memberi efek tidak menyenangkan di hatinya. Setiap kali aku berusaha mendekati Axe, dia selalu menghindar. Bisa kukatakan dia kembali ke mode bad mood berkepanjangan. Waktunya selalu dihabiskan untuk bekerja, pergi pagi pulang malam. Siklusnya seperti itu selama dua hari. Aku bahkan tak mendapat kesempatan sekadar menyapanya dengan kata ‘selamat pagi atau malam’ ‘sudah makan atau belum’. Bahkan di hari libur kemarin pun, dia menyibukan diri di ruang kerjanya selama seharian.Apa dia tidak sadar sikapnya membuatku merasa tidak enak.“Nona, tuan meminta Anda ke halaman belakang.”Aku tersentak oleh suara berat Edward yang datang dari belakang. Kepalaku langsung menoleh, benar saja—Edward sudah berdiri sigap di sana.“Untuk apa, Ed?” tanyaku penasaran. Bukankah Axe tak mau bicara padaku?“Ikut saja, Nona.”
Hai, Kak. Selamat pagi. Mohon maaf setelan catatan penulis ini bukan update chapter Brother Luck(not) ya. Aku mau kasih tahu kalau sekuel sudah bisa dibaca lewat aplikasi Goodnovel. Yuk, mampir dan bantu aku dengan vote dan komen kalian😇 Boleh berikan review kalau suka ya. Kalian masih bisa ketemu Axelle🤭 But, he's not a main character anymore ya. Udah diganti Om T😅 Di sana para karakter penuh dengan misteri. Aku sudah up empat chapter. Kuy, merapat💃💃💃 migrain bareng aku lagi😁 besok aku akan double update juga. Berikan dukungan kalian buat Rose dan T😁 Btw, ada bab yang tidak ada di sini aku jelaskan di sana. Sebelumnya terima kasih banyak, sudah baca dan support karya pertamaku di sini. I love you guys❤❤❤
Several months later... Aku dengan tangan terinfus menatap Axe, di sampinnya terdapat Oracle, sedang berjalan menghampiriku. Dia membawa seorang bayi di dalam dekapan. Kepalanya terus menunduk memperhatikan wajah anak perempuan kami tanpa henti. Senyum sempurna melengkapi kebahagiaan Axe. Usahanya melayaniku saat sedang mengidamkan sesuatu berbuah manis, dia akhirnya dipertemukan secara langsung bersama anaknya.Aku ingat pernah memaksa Axe membuatkanku roti canai, makanan khas Asia, dengan tangannnya sendiri. Axe bisa memasak, tidak tahu dengan makanan sejenis itu, tapi subuh – subuh buta aku tetap mendorongnya bangun untuk menjadi koki dadakan demi keinginan anaknya.Butuh perjuangan membangunkan Axe saat dia sedang lelah – lelahnya setelah menyentuhku tanpa henti. Salahnya sendiri tidak pernah puas. Aku mana tahu kalau anaknya tiba – tiba menginginkan sesuatu.Meski dengan terpaksa, Axe tetap menjalankan kewajibannya. Waktu itu, dengan mata setengah terbuka
Aku menatap cincin yang tersemat kembali di tanganku dengan senyum haru dan bahagia. Janji suci atas nama Axe sudah kuucapkan. Tersisa satu lagi, tapi Axe tak kunjung melakukannya. Dia hanya menatapku dengan mata berbinar bahagia, seperti seorang idiot yang mendadak menjadi seorang jutawan.Dia mau tunggu apa lagi?Sampai aku memulai lebih dulu? Yang benar saja!“Kau membuat semua orang menunggumu terlalu lama,” kataku pelan dan nyaris berbisik.“Yakin?” tanya Axe memastikan. Dia mengangkat sebelah alis menatapku curiga. “Mereka atau kau yang sebenarnya sudah tidak sabar?” lanjutnya lagi dengan senyum menggoda.“Terserah kau saja, Axe.”Aku langsung berpaling menatap wajah – wajah di sana. Orang – orang penting di hidupku berkumpul dalam satu frame. Ada Oracle, mom, dad, ayah dan ibu mertuaku, serta Rose yang begitu cantik dengan balutan dress hitam. Di sampingnya ada Theo yang selalu menguntit ke mana pun Rose pergi. Aku rasa pertanyaan Axe waktu itu sangat
Kau tahu ada apa dengan gugurnya bunga mawar? Karena saat pertama kali mekar, dia terlalu indah. -Theodore Witson. -------------------------------- “Rose, sekali lagi terima kasih. Aku tidak tahu akan jadi seperti apa hidupku tanpa bantunmu.” Kupeluk erat – erat tubuh wanita cantik, yang saat ini membalas kehangatan dariku.“Sama – sama,” bisik Rose sembari mengusap naik turun pundakku pelan.“Harus dengan cara apa aku membayar semua kebaikanmu selama ini?”Aku tak tahan lagi sampai yakin suaraku terdengar getir. Tidak tega rasanya mengambil Oracle dari Rose. Tapi harus bagaimana? Jika aku membiarkan Oracle bersama Rose, anak itu akan kehilangan figur keluarga lengkap. Axe pasti tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia sudah terpisah dari Oracle sejak Oracle sendiri masih dalam kandungan, mana mungkin pria itu mau merelakan Oracle. Dan kalau harus jujur, aku juga menginginkan Oracle. Meski rasa bersalah pada Rose akan jauh lebih be
“Sudah siap?” Aku menoleh ke samping mendengar pertanyaan Axe.Dari bandara Kanada, kami langsung melaju menuju apartement Rose. Saat ini aku dan Axe masih berada di dalam mobil yang terparkir di basement.Dia bertanya apakah aku sudah siap ... jawabanku tidak. Aku tidak sanggup harus menerima penolakan Oracle, saat dia melihatku ada di hadapannya. Seperti kata Axe waktu itu, dia akan mengajakku menjemput Oracle setelah semuanya selesai.Ya, semua telah selesai terhitung sudah tiga minggu berlalu pembalasan dendam Axe.Paman Danial akhirnya dinyatakan bersalah dan dihukum seberat – beratnya selama 35 tahun penjara. Perlindungan dari perdana mentri atas dirinya tidak berlaku, karena bukti – bukti sudah di depan mata. Terlebih Paman Danial semakin diberatkan oleh kehadiran para tawanan yang Axe bebaskan sebagai saksi di pengadilan.Waktu itu, persidangan berlangsung selama kurang lebih dua minggu. Tidak ada penyangkalan dan uji banding membuat semuanya
“Awas, Axe!”Dor!Aku memeluk Axe seerat mungkin, menjadikan tubuhku sebagai tameng untuknya. Dia pernah membiarkan peluru menggigit tubuhnya karena kesalahanku. Sekarang aku ingin melakukan hal yang sama, mengorbankan diri untuk orang yang kucintai.Bunyi tembakan memberi jeda untukku bernapas. Seharusnya aku sudah merasakan panas yang menjalar oleh peluru itu. Tapi sampai saat ini semua masih terasa aman. Aku tidak mengerti, tubuhku baik – baik saja tanpa alasan.“Lain kali jangan lakukan hal ini. Jangan melindungiku. Aku bisa menjaga diri sendiri. Apa yang akan terjadi padamu jika aku tidak cepat?”Tubuhku dilepas paksa dan baru kusadari senjata Axe mengeluarkan asap saat dia menurunkan tangannya.Apa yang telah kulewatkan?Cepat – cepat aku berbalik. Sedikit tak percaya mendapati Arthur tergeletak di lantai dengan mata terbuka dan peluru yang menancap tepat di dahinya.“Aku tidak ingin membunuh. Tapi membiarkan dirimu ditembak adalah kesalahan palin
Sebuah belaian terasa kasar, menarik kembali jiwa yang sempat hilang dari tubuh. Aku mengerjap, membuka mata secara perlahan. Tempat yang seharusnya berupa alam bebas tergantikan oleh tembok – tembok bercak putih. Aku seperti berada di sebuah kamar dengan langit – langit dihias lampu kuning.Satu pertanyaan menyentak isi kepala. Siapa yang membawaku ke sini?“Akhirnya kau sadar.”Suara serak itu menarik perhatianku menatap ke samping.Dia...Kenapa aku bisa bersamanya?“Kau semakin cantik dan berisi. Aku sangat suka.”Nada puas terdengar dari suara serak seorang pria yang pernah kutemui beberapa kali. Bahkan waktu itu nyaris menjadi suamiku, Arthur.“Kau kaget melihatku. Kenapa. Takut?”Arthur terkekeh. Tangan yang terulur hendak mengelus kepalaku tertahan di udara saat aku bergerak cepat, beringsut menjauhinya. Apa maunya membawaku ke tempat seperti ini? tanyaku sembari menatap penuh waspada seringai kejam di wajah Arthur.Dia sangat berbed
Author’s pov....Mata heterochormia dilapisi lensa kontak lunak itu menatap tajam bagian samping gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ada tiga lantai, masing – masing memiliki penjagaan ketat. Bentuknya juga seperti labirin dengan jalur berliku – liku dan beberapa jalan dibuat buntu. Bagi seseorang yang awam, mungkin akan tersesat di tempat itu.Sebelum masuk, Axe harus memastikan penjaga di pintu depan sedang lengah agar dia bisa melakukan serangan dari belakang. Kakinya melangkah pelan. Menyembulkan kepala sedikit, mencari waktu paling tepat untuk mengokang senjata kedap suara di tangan.Belum saatnya. Dua penjaga di sana masih sigap menghisap cerutu dan mengembuskan asapnya ke udara. Axe akan menunggu salah satu dari mereka masuk, untuk menyerang yang lainnya. Dia tidak ingin menimbulkan kehebohan di bagian luar. Menyerang satu per satu adalah pilihan tepat.Selama kegiatan aksi belum dimulai. Seharusnya
Pandanganku lurus, menatap tanpa arti beberapa orang berbentuk tim—sedang berpencar ke berbagai hancurnya sisi gedung. Hampir dua jam, mereka belum juga menemukan keberadaan Axe. Tidak tahu mereka mencari sampai ke seluruh reruntuhan atau tidak. Sementara malam sudah semakin larut, akan sulit melakukan pencarian.Sempat ada beberapa hal yang membuat tim berdebat, salah satunya tangan yang kutemukan. Sebagian besar dari mereka beropini bahwa sisa dari tubuh Axe hancur tercerai berai, sulit untuk diidentifikasi. Tapi yang lain, terutama aku, masih percaya adanya potongan tubuh Axe karena ledakan itu.Sebenarnya mereka menemukan dua atau tiga kerangka kaki, milik orang lain. Kata Hema, ada beberapa pengawal Paman Danial yang berada di lantai tiga sedang menikmati pesta. Kemungkinan kerangka itu milik mereka.“Kita tidak menemukan apa pun di sini.”Tim dari kubu A berteriak, mungkin lelah—bekerja untuk sesuatu bersifat sia – sia. Seperti