“Ini apa, Ed?” tanyaku bingung saat pria itu datang menyerahkan sebuah kantong belanjaan kepadaku.
“Lihat saja, Nona.” Aku menatap Edward serius lalu menarik keluar benda yang ada di dalam kantong belanjaan tersebut. Sebuah kotak agak berkilauan sedikit membuatku menilik dalam pada pria yang masih setia berdiri di sampingku.“Di rumah sakit saya pernah bilang kalau tuan meminta saya membelikan sesuatu untuk nona. Tuan mengganti dua ponsel Anda yang sudah tuan hancurkan. Maaf kalau saya baru sempat memberikan itu kepada nona.”Aku terdiam mendengar penuturan Edward. Kenapa Axe tiba – tiba kepikiran untuk mengganti ponselku yang dirusak serta dibuang ke jendela waktu itu. Dia orang pertama yang menjauhkan benda itu dariku, tolong tambahkan ke dalam catatan dosa – dosanya kalau kalian mau.“Kenapa Axe berubah pikiran?”“Saya tidak tahu, Nona. Mungkin ketika tuan sadar, nona bisa bertanya kepadany“Kau mau ke mana, Axe?” tanyaku begitu melihatnya menurunkan kaki, bersiap untuk berdiri.Axe menatapku sesaat lalu berjalan pelan ke arahku yang masih berdiri di ambang pintu. Aku baru saja akan mengunjunginya tapi dia sudah bersiap akan pergi.“Aku bosan,” katanya sambil menyisir rambutku pelan.Syukurlah kondisi Axe semakin baik pasca sadar dari koma. Butuh dua hari baginya untuk pulih dari keadaan lemah, meskipun sekarang aku tidak bisa mengatakan kalau dia sudah sehat. Dua hari lalu dia benar – benar hanya merebahkan dirinya di ruang kesehatan ini. Dia juga tidak banyak bicara walau kadang – kadang aku mendapati dirinya menatapku penuh tanya.Sebenarnya aku cukup kaget melihatnya berdiri menjulang di depanku. Tapi sepertinya rasa bahagia lebih mendominasi hingga hanya senyum yang kuberikan padanya.“Kau perlu istirahat.”“I’m okay, Bridgette. Kau tidak perlu khawatir.” Axe menangkup
Aku menatap kosong daun pintu kamar di depanku. Setelah kejadian di taman waktu itu, aku merasa ada sesuatu yang berubah dari Axe. Dia menjadi lebih diam dari biasanya. Kadang – kadang aku melihatnya melamun, begitu terhanyut dalam pikirannya sendiri. Ketika sarapan maupun makan malam, Axe lebih sering memainkan makanan di atas piring daripada menyantapnya. Dia terlalu memikirkan kejadian – kejadian yang sudah berlalu. Aku takut dia menyalahkan dirinya lagi dan melakukan sesuatu yang tidak semestinya dia lakukan.Aku menghela napas berat. Sepertinya tugasku makin bertambah. Aku harus mengawasi Axe secara ketat dan harus memperhatikan kesehatannya. Rasa kehilangan yang dialami membuatnya abai untuk merawat diri.“Axe, apa aku boleh masuk?” Aku mengetuk pintu pelan. Ini bukan kamarnya apalagi kamarku. Masih ingat dengan kamar yang Axe renovasi waktu itu? Ya. Setelah urusan pekerjaannya selesai. Axe langsung mengurung diri di dalam kamar itu.
Napasku mengembus asal mengingat kejadian malam itu. Sepertinya penolakan halusku memberi efek tidak menyenangkan di hatinya. Setiap kali aku berusaha mendekati Axe, dia selalu menghindar. Bisa kukatakan dia kembali ke mode bad mood berkepanjangan. Waktunya selalu dihabiskan untuk bekerja, pergi pagi pulang malam. Siklusnya seperti itu selama dua hari. Aku bahkan tak mendapat kesempatan sekadar menyapanya dengan kata ‘selamat pagi atau malam’ ‘sudah makan atau belum’. Bahkan di hari libur kemarin pun, dia menyibukan diri di ruang kerjanya selama seharian.Apa dia tidak sadar sikapnya membuatku merasa tidak enak.“Nona, tuan meminta Anda ke halaman belakang.”Aku tersentak oleh suara berat Edward yang datang dari belakang. Kepalaku langsung menoleh, benar saja—Edward sudah berdiri sigap di sana.“Untuk apa, Ed?” tanyaku penasaran. Bukankah Axe tak mau bicara padaku?“Ikut saja, Nona.”
Aku mengerjap meresapi kenyataan tertidur selama tiga jam. Seharusnya tadi aku bisa tetap terjaga hingga dua jam ke depan. Seharusnya aku sudah menemui Axe satu jam yang lalu seperti yang Edward katakan. Sialnya rasa kantuk tak bisa diajak bernegosiasi. Aku terlelap begitu saja usai kembali ke dalam kamar. Lelah. Itu yang aku rasakan setelah meninggalkan taman penuh adegan memilukan.Kusibak selimut yang menutup hampir seluruh tubuhku, begitu semangat ingin menemuinya. Aku ingin memastikan kalau Axe masih terkontrol oleh ucapanku beberapa hari lalu. Aku takut dia kembali melukai dirinya seperti yang sudah – sudah.“Tuan tidak ada di dalam, Nona.” Suara berat yang tak asing itu berhasil membuatku mengalihkan perhatian. Edward berdiri tidak jauh dari kamar Axe. Mungkin dia tahu kalau aku akan menemui tuannya di sini.“Ke mana dia?”Aku berusaha menetralkan jantungku yang bertalu hebat setelah mendengar pernyataan Edward. Kalau Axe tidak ada di kamarnya, lalu ke mana dia?
“Kenapa memangnya? Kau cemburu?”Mendadak aku menatap Axe horror setelah mendengar dua kata terakhirnya.Aku cemburu?Apa benar?Aku hanya merasa hatiku sedikit tercabik saat melihat Syalasa menggoda Axe menggunakan kakinya. Di pikiranku waktu itu terus mengulang sebuah kalimat agak nyeleneh, bagaimana kalau Axe tergoda olehnya?Syukurlah kala itu Axe malah menolak dengan sedikit melangkah mundur. Sehingga perasaanku yang agak memanas bisa terkendali.“Look at me.” Axe menarik wajahku menegak ke arahnya. Tatapan kami kembali bertemu, membuatku cukup gelagapan. Bukannya apa. Jantungku bertalu – talu di dalam sana. Bagaimana kalau Axe bisa mendengarnya?“Aku belum pernah menyentuh wanita manapun. Only you. You own me for the first time too.”Aku menatap Axe tidak percaya. Apa maksudnya bicara begitu padaku. Apa dia benar – benar berpikir aku cemburu? Itu tidak mungkin. Aku berusaha meny
Aku mengerjap merasakan pergerakan kecil di sampingku, dan ketika mataku terbuka. Hal pertama yang kulihat adalah wajah rupawan yang tampak polos saat sedang tertidur. Terdengar dengkuran kecil dari bibir Axe yang sedikit terbuka. Demi apa pun, dia sangat sexy sekaligus menggemaskan dalam keadaan begini. Apalagi surai cokelat halusnya mulai memanjang nyaris menyentuh mata.Sedikit tersenyum aku menyugar rambutnya ke atas. Sekarang dahinya tampak jelas tanpa gangguan. Aku berdehem menyadari kain kompres keningnya sudah jatuh ke samping. Mungkin semalam Axe bergerak hingga benda itu tidak bertahan lama di sana.“Sudah puas memandangku?” tanyanya dengan suara semakin serak dan dalam khas bangun tidur.“Sudah,” jawabku merasa semburat merah di pipi muncul.“Thank you.” Axe menatapku dalam. Tak lama senyum di wajah terukir bersamaan dengan lesung di sisi kiri dan kanan.“Do you feel better?”“Ya. Better than ever.”Axe menarikku lalu merengkuh tubuhku ke dalam
Mataku membulat penuh melihat layar monitor yang menampilkan informasi tentang berita kematian Syalasa di dalam gedung apartemen, gadis itu diduga bunuh diri karena merasa frustrasi terhadap isu – isu negatif dari sang ayah yang sedang terlibat skandal gelap bersama wanita malam.Napasku mengembus kasar mengingat bukan seperti itu kejadiannya. Gadis itu jelas mati di tangan Axe. Tapi media malah menyebarkan berita palsu. Atau, tunggu dulu. Apa berita palsu itu adalah konspirasi agar Axe tidak terjerat kasus hukum?“Tidak bermutu!”Layar monitor tv itu mati total dengan remote yang dibanting ke sembarang arah. Terlihat Axe berdiri menatapku tak suka. Dia sudah selesai dengan urusannya? Pertanyaan retoris itu jelas tak perlu harusnya.“Apa yang kalian lakukan dengan jasad Syalasa?”Kata kalian sudah pasti berhubungan dengan Axe dan Edward. Apalagi Edward orang terakhir yang kulihat mengurus jasad Syalasa.“Itu hanya hal
Belum sempat aku menyudahi keterkejutanku. Suara derap kaki dari luar ikut membuat debaran kuat itu semakin menjadi. Tubuhku tiba – tiba terasa kaku. Aku benar – benar mematung berharap seandainya waktu bisa dihentikan.Mataku sungguh terpejam erat mendengar suara knop pintu. God. Help me. Jangan sampai itu Axe. Jantungku hampir copot membayangkan kalau pria itu benar – benar ke sini.“Nona, apa yang Anda lakukan di kamar tuan.”Tubuhku langsung merosot lega. Syukurlah kalau itu Edward.“Axe tidur di kamarku. Jadi aku berinisiatif merapikan kamarnya.”Edward menatapku curiga. Matanya menyipit melihat buket berisi ancaman itu. Langkahnya perlahan mendekatiku. Rasanya aku ingin berlari, tapi tubuhku mendadak beku. Diam—melihatnya semakin dekat, hanya itu yang bisa kulakukan. Hingga buket bunga di tangaku kini beralih padanya. Edward menariknya dariku.“Setengah jam yang lalu tuan mengirimi saya pesan u
Hai, Kak. Selamat pagi. Mohon maaf setelan catatan penulis ini bukan update chapter Brother Luck(not) ya. Aku mau kasih tahu kalau sekuel sudah bisa dibaca lewat aplikasi Goodnovel. Yuk, mampir dan bantu aku dengan vote dan komen kalian😇 Boleh berikan review kalau suka ya. Kalian masih bisa ketemu Axelle🤭 But, he's not a main character anymore ya. Udah diganti Om T😅 Di sana para karakter penuh dengan misteri. Aku sudah up empat chapter. Kuy, merapat💃💃💃 migrain bareng aku lagi😁 besok aku akan double update juga. Berikan dukungan kalian buat Rose dan T😁 Btw, ada bab yang tidak ada di sini aku jelaskan di sana. Sebelumnya terima kasih banyak, sudah baca dan support karya pertamaku di sini. I love you guys❤❤❤
Several months later... Aku dengan tangan terinfus menatap Axe, di sampinnya terdapat Oracle, sedang berjalan menghampiriku. Dia membawa seorang bayi di dalam dekapan. Kepalanya terus menunduk memperhatikan wajah anak perempuan kami tanpa henti. Senyum sempurna melengkapi kebahagiaan Axe. Usahanya melayaniku saat sedang mengidamkan sesuatu berbuah manis, dia akhirnya dipertemukan secara langsung bersama anaknya.Aku ingat pernah memaksa Axe membuatkanku roti canai, makanan khas Asia, dengan tangannnya sendiri. Axe bisa memasak, tidak tahu dengan makanan sejenis itu, tapi subuh – subuh buta aku tetap mendorongnya bangun untuk menjadi koki dadakan demi keinginan anaknya.Butuh perjuangan membangunkan Axe saat dia sedang lelah – lelahnya setelah menyentuhku tanpa henti. Salahnya sendiri tidak pernah puas. Aku mana tahu kalau anaknya tiba – tiba menginginkan sesuatu.Meski dengan terpaksa, Axe tetap menjalankan kewajibannya. Waktu itu, dengan mata setengah terbuka
Aku menatap cincin yang tersemat kembali di tanganku dengan senyum haru dan bahagia. Janji suci atas nama Axe sudah kuucapkan. Tersisa satu lagi, tapi Axe tak kunjung melakukannya. Dia hanya menatapku dengan mata berbinar bahagia, seperti seorang idiot yang mendadak menjadi seorang jutawan.Dia mau tunggu apa lagi?Sampai aku memulai lebih dulu? Yang benar saja!“Kau membuat semua orang menunggumu terlalu lama,” kataku pelan dan nyaris berbisik.“Yakin?” tanya Axe memastikan. Dia mengangkat sebelah alis menatapku curiga. “Mereka atau kau yang sebenarnya sudah tidak sabar?” lanjutnya lagi dengan senyum menggoda.“Terserah kau saja, Axe.”Aku langsung berpaling menatap wajah – wajah di sana. Orang – orang penting di hidupku berkumpul dalam satu frame. Ada Oracle, mom, dad, ayah dan ibu mertuaku, serta Rose yang begitu cantik dengan balutan dress hitam. Di sampingnya ada Theo yang selalu menguntit ke mana pun Rose pergi. Aku rasa pertanyaan Axe waktu itu sangat
Kau tahu ada apa dengan gugurnya bunga mawar? Karena saat pertama kali mekar, dia terlalu indah. -Theodore Witson. -------------------------------- “Rose, sekali lagi terima kasih. Aku tidak tahu akan jadi seperti apa hidupku tanpa bantunmu.” Kupeluk erat – erat tubuh wanita cantik, yang saat ini membalas kehangatan dariku.“Sama – sama,” bisik Rose sembari mengusap naik turun pundakku pelan.“Harus dengan cara apa aku membayar semua kebaikanmu selama ini?”Aku tak tahan lagi sampai yakin suaraku terdengar getir. Tidak tega rasanya mengambil Oracle dari Rose. Tapi harus bagaimana? Jika aku membiarkan Oracle bersama Rose, anak itu akan kehilangan figur keluarga lengkap. Axe pasti tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia sudah terpisah dari Oracle sejak Oracle sendiri masih dalam kandungan, mana mungkin pria itu mau merelakan Oracle. Dan kalau harus jujur, aku juga menginginkan Oracle. Meski rasa bersalah pada Rose akan jauh lebih be
“Sudah siap?” Aku menoleh ke samping mendengar pertanyaan Axe.Dari bandara Kanada, kami langsung melaju menuju apartement Rose. Saat ini aku dan Axe masih berada di dalam mobil yang terparkir di basement.Dia bertanya apakah aku sudah siap ... jawabanku tidak. Aku tidak sanggup harus menerima penolakan Oracle, saat dia melihatku ada di hadapannya. Seperti kata Axe waktu itu, dia akan mengajakku menjemput Oracle setelah semuanya selesai.Ya, semua telah selesai terhitung sudah tiga minggu berlalu pembalasan dendam Axe.Paman Danial akhirnya dinyatakan bersalah dan dihukum seberat – beratnya selama 35 tahun penjara. Perlindungan dari perdana mentri atas dirinya tidak berlaku, karena bukti – bukti sudah di depan mata. Terlebih Paman Danial semakin diberatkan oleh kehadiran para tawanan yang Axe bebaskan sebagai saksi di pengadilan.Waktu itu, persidangan berlangsung selama kurang lebih dua minggu. Tidak ada penyangkalan dan uji banding membuat semuanya
“Awas, Axe!”Dor!Aku memeluk Axe seerat mungkin, menjadikan tubuhku sebagai tameng untuknya. Dia pernah membiarkan peluru menggigit tubuhnya karena kesalahanku. Sekarang aku ingin melakukan hal yang sama, mengorbankan diri untuk orang yang kucintai.Bunyi tembakan memberi jeda untukku bernapas. Seharusnya aku sudah merasakan panas yang menjalar oleh peluru itu. Tapi sampai saat ini semua masih terasa aman. Aku tidak mengerti, tubuhku baik – baik saja tanpa alasan.“Lain kali jangan lakukan hal ini. Jangan melindungiku. Aku bisa menjaga diri sendiri. Apa yang akan terjadi padamu jika aku tidak cepat?”Tubuhku dilepas paksa dan baru kusadari senjata Axe mengeluarkan asap saat dia menurunkan tangannya.Apa yang telah kulewatkan?Cepat – cepat aku berbalik. Sedikit tak percaya mendapati Arthur tergeletak di lantai dengan mata terbuka dan peluru yang menancap tepat di dahinya.“Aku tidak ingin membunuh. Tapi membiarkan dirimu ditembak adalah kesalahan palin
Sebuah belaian terasa kasar, menarik kembali jiwa yang sempat hilang dari tubuh. Aku mengerjap, membuka mata secara perlahan. Tempat yang seharusnya berupa alam bebas tergantikan oleh tembok – tembok bercak putih. Aku seperti berada di sebuah kamar dengan langit – langit dihias lampu kuning.Satu pertanyaan menyentak isi kepala. Siapa yang membawaku ke sini?“Akhirnya kau sadar.”Suara serak itu menarik perhatianku menatap ke samping.Dia...Kenapa aku bisa bersamanya?“Kau semakin cantik dan berisi. Aku sangat suka.”Nada puas terdengar dari suara serak seorang pria yang pernah kutemui beberapa kali. Bahkan waktu itu nyaris menjadi suamiku, Arthur.“Kau kaget melihatku. Kenapa. Takut?”Arthur terkekeh. Tangan yang terulur hendak mengelus kepalaku tertahan di udara saat aku bergerak cepat, beringsut menjauhinya. Apa maunya membawaku ke tempat seperti ini? tanyaku sembari menatap penuh waspada seringai kejam di wajah Arthur.Dia sangat berbed
Author’s pov....Mata heterochormia dilapisi lensa kontak lunak itu menatap tajam bagian samping gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ada tiga lantai, masing – masing memiliki penjagaan ketat. Bentuknya juga seperti labirin dengan jalur berliku – liku dan beberapa jalan dibuat buntu. Bagi seseorang yang awam, mungkin akan tersesat di tempat itu.Sebelum masuk, Axe harus memastikan penjaga di pintu depan sedang lengah agar dia bisa melakukan serangan dari belakang. Kakinya melangkah pelan. Menyembulkan kepala sedikit, mencari waktu paling tepat untuk mengokang senjata kedap suara di tangan.Belum saatnya. Dua penjaga di sana masih sigap menghisap cerutu dan mengembuskan asapnya ke udara. Axe akan menunggu salah satu dari mereka masuk, untuk menyerang yang lainnya. Dia tidak ingin menimbulkan kehebohan di bagian luar. Menyerang satu per satu adalah pilihan tepat.Selama kegiatan aksi belum dimulai. Seharusnya
Pandanganku lurus, menatap tanpa arti beberapa orang berbentuk tim—sedang berpencar ke berbagai hancurnya sisi gedung. Hampir dua jam, mereka belum juga menemukan keberadaan Axe. Tidak tahu mereka mencari sampai ke seluruh reruntuhan atau tidak. Sementara malam sudah semakin larut, akan sulit melakukan pencarian.Sempat ada beberapa hal yang membuat tim berdebat, salah satunya tangan yang kutemukan. Sebagian besar dari mereka beropini bahwa sisa dari tubuh Axe hancur tercerai berai, sulit untuk diidentifikasi. Tapi yang lain, terutama aku, masih percaya adanya potongan tubuh Axe karena ledakan itu.Sebenarnya mereka menemukan dua atau tiga kerangka kaki, milik orang lain. Kata Hema, ada beberapa pengawal Paman Danial yang berada di lantai tiga sedang menikmati pesta. Kemungkinan kerangka itu milik mereka.“Kita tidak menemukan apa pun di sini.”Tim dari kubu A berteriak, mungkin lelah—bekerja untuk sesuatu bersifat sia – sia. Seperti