Apa maksudnya? Terakhir kali Axe menyentuhku. Aku sama sekali tidak melakukan ini.
Mungkinkah saat kami berpisah, Axe membiarkan wanita lain menyentuhnya? Ingat apa yang Axe katakan padaku sewaktu di pemakaman tadi? Dia pergi ke bar dan kemudian tidak dilanjutkan lagi kalimatnya.Oh, apakah dia tergoda oleh salah satu wanita di sana atau dia sengaja melampiaskan kekesalannya padaku karena sudah meninggalkannya diam – diam? Aku harap opsi pertama tidak pernah menjadi pilihan.Tunggu dulu, sepertinya yang tidak aku inginkan itulah yang terjadi. Maksudku, tidak hanya ada hickey tunggal di leher Axe. Satu di antara hickey pertama, hickey kedua, setengah menyembul keluar dari balik kerah kaos biasa yang Axe pakai.Aku berusaha keras tidak tertarik untuk melihat, tapi rasa penasaranku jauh lebih dominan. Hingga tanpa sadar tanganku begerak menarik kerah kaos Axe sampai nyaris menyentuh pundaknya.Mataku terbelalak penuh mendapati sepanjang bahu Axe terdapat bekas hickey nyaUntuk sementara sequel Brother Luck(not) dengan judul (Not) His Sugar Baby, bisa dibaca di web Goodnovel, ya. Yuk mampir sebentar, agak bar - bar aku di sana😁 jangan lupa tinggalkan jejak. Biar aku tahu. Hehe.
“Dorong dia ke bawa!” seru Berverli dingin. Dia bersama dua bawahannya membawaku ke rooftop restoran dengan tujuan buruk. Setergila apa wanita ini pada Axe hingga nekat melakukan perbuatan cela demi mendapatkan pria itu untuknya.“Jangan gila kalian!”Meski tenagaku tidak seberapa, tapi aku berusaha sebisa mungkin melawan. Berverli tidak boleh membunuhku, ada nyawa lain yang harus tetap hidup. Hanya karena wanita penuh obsesi ini mencintai ayahnya, bukan berarti dia bisa melenyapkan bagian dari pria itu.“Bebaskan aku, Berverli!”Aku terus berontak menatap nyalang pada wanita angkuh, yang semakin senang mendengar permohonan dariku. Dia tidak kenal ampun dan sepertinya serius dengan perintahnya.“Push her down!”Itu kata terakhir yang kudengar, sebelum tubuhku dilempar secara paksa. Jantungku seakan ikut jatuh ke bawah. Inikah takdirku ... mati dalam keadaan irasional.Seharusnya aku sudah merasakan sakit saat tubuhku terempas membentur jalan beraspal. Namun, beg
Kami saling menarik tak ada yang mau mengalah. Untuk saat ini sungguh, aku tidak bisa membiarkan Axe menang, tapi aku juga takut melihatnya menggenggam ujung bagian tajam gunting. Bagaimana jika tangannya terluka dan berdarah. Jangan sampai!Satu – satunya cara menghentikan Axe, aku harus ...Plak!Menamparnya, dan itu sudah kulakukan. Keterkejutan yang Axe dapatkan membuatku menang hingga gunting itu sepenuhnya berada di tanganku. Tidak mau menambah masalah, dengan cepat kulempar asal benda tersebut ke sembarang tempat.“I’m so sorry, Axe.”Segera kutangkup wajah yang baru saja menerima tamparan dariku. Perasaanku semakin hancur saat Axe tak mau menatapku—dia memilih memejamkan mata.“Jangan sentuh aku. Aku kotor.”Lagi. Dia mengucapkan kalimat yang sama, kali ini dalam kedaaan sadar. Bahkan Axe sama sekali tidak berani menyentuhku, dia hanya menggeleng berusaha terbebas dari dua tanganku yang mengurung wajahnya.Ada apa dengan suamiku sebenarnya, kena
Pandanganku menerawang jauh pada wajah yang tampak polos saat sedang tertidur. Setelah keluar dari ruang kerja Mr. O’Connor, aku tidak pergi ke mana selain kembali ke kamarku. Kamar kami, kamar aku dan Axe.Napasku terembus kasar membayangkan video yang menari – nari dengan jelas di dalam kepala. Mungkin aku merasa kecewa pada suamiku, tapi datang kepadanya untuk meledak – ledak, melampiaskan kekesalanku untuknya bukan sesuatu yang etis saat kondisinya sedang seperti ini.Lagipula kenapa harus meletus, jika aku bisa membicarakannya dengan kepala dingin? Kami bukan anak kecil lagi, atau seharusnya aku juga berpikir ... bisa saja saat itu Axe sedang khilaf karena tekanan sekitar—aku tidak di sampingnya dan dia mengalami cekcok bersama ayahnya.Semua sudah jelas, aku juga bersalah di sini. Axe benar, kalau saja aku tidak meninggalkannya. Dia tidak akan pergi ke bar dan berakhir melakukan kesalahan satu malam. Hingga sekarang harus mengalami demam, yang disebabkan oleh kemaraha
Meski suara ingar bingar di bar jauh lebih dominan, aku bisa merasakan atmosfer kemarahan Axe yang terpancing hingga wanita itu akhirnya memilih pergi.Tapi...Ada sesuatu yang membuatku harus menahan napas menyaksikan kejadian selanjutnya. Setelah Axe kembali duduk di meja bar dan menegak vodka di tangannya. Beberapa pria berpakaian ‘suit and tie’ datang menghampiri Axe saat pria itu berada dalam kondisi setengah sadar.Bukan perkara berapa. Namun, tentang siapa yang ada di balik kerumunan para pria tua yang mendekati Axe.Dia ...Paman Danial.Pria paruh baya yang paling tidak ingin kulihat wajahnya. Datang membawa pasukan berjas, menghampiri Axe yang sedang tidak fokus. Bahkan tidak sadar bahaya sedang mengancam dirinya.Di sana terlihat Paman Danial perlahan bergeser meraih pundak Axe dan menyodorkan segelas wine padanya. Aku tidak tahu Axe bodoh atau memang dia sepenuhnya dikuasai minuman berakohol, sampai – sampai menoleh sebentar untuk mengetahui si
I’m so really sorry, Axe.Kuberi ciuman di keningnya cukup lama. Harus kudefinisikan Axe dengan apa lagi? Selama ini dia sudah cukup sabar menghadapi Paman Danial. Meski aku tahu Axe lebih memilih menyerang musuhnya secara halus dan dari dalam. Masih ingat saham milik Paman Danial yang diambil alih oleh Axe? Itu salah satu bukti yang menegaskan bahwa Axe tidak hanya diam membiarkan musuhnya bergerak selangkah.“Apa yang kau lakukan, Bridgette. Kenapa tidak tidur?”Aku rasa tindakanku membuat Axe terbangun hingga kepalanya sedikit bergeser menghindari kecupanku yang masih bertahan di dahinya. Dia sedikit kaget melihat posisi kami begitu dekat atau mungkin dia merasakan keanehanku saat ini? Ntahlah, aku tidak tahu.“Are you cry?” tanya Axe spontan. Kenapa dia bisa cepat menyadari kodisiku?Tentu saja aku masih sesenggukan dan itu mungkin memancing Axe untuk bertanya langsung.“Bridgette,” panggil Axe menungguku yang tak kunjung menjawabnya. Aku tidak tahu harus menga
Tiga hari setelah kejadian basah itu. Pagi – pagi sekali aku dikagetkan kedatangan Mr. O’Connor di depan pintu kamar. Katanya psikolog terbaik di London bersama perawatnya sudah menunggu Axe untuk melakukan trauma terapi. Axe akan diberi terapi somatik jenis pengikatan atau restrain untuk menghindari risiko dia menciderai dirinya lagi atau bahkan membahayakan orang lain.Namun, aku menolak karena merasa kondisi Axe saat ini stabil, pria itu tidak sedang mengamuk. Bukankah kemarin kami sudah bisa bicara dari mata ke mata dan itu cukup membuatnya merasa baik—sangat baik malah.Mengenai Axe yang mungkin masih takut dengan orang – orang di luar sana, itu hanya masalah waktu. Lambat laun, Axe akan pulih jika dia sudah terbiasa dan melupakan kejadian yang dialami.Memang benar terapi pengikatan ini tidak akan melukai Axe. Tapi, siapa yang tega melihat orang terkasih harus dipakaikan alat berupa komisol, jaket dan pengikat kaki dan tangan. Aku tidak akan sanggup melihat Axe berjua
Tatapanku tak pernah lepas dari Axe sejak 15 menit berlalu usai dia mengomsumsi susu buatan ibunya. Tingkahnya mendadak aneh dengan sorot tak terbaca yang kadang – kadang dilontarkan padaku.Aku berusaha tidak terpengaruh apa pun. Tapi gerakan tiba – tiba Axe melangkah memasuki kamar mandi membuatku berakhir menyusulnya. Dia membingungkan dan itu cukup membuatku khawatir.Sedikit tak percaya aku mendapati Axe membiarkan dirinya kembali diguyur air shower. Kali ini posisinya berdiri dengan tangan berkali – kali menyugar rambutnya ke belakang.Astaga, Axe. Dia benar – benar lupa, ya, kalau tubuhnya masih terasa hangat. Meski demamnya sudah berlalu tiga hari.“Apa yang kau lakukan, Axe?” tanyaku tak tahan melihatnya begitu menikmati guyuran air di tubuhnya.“Pergilah, Bridgette. Kau akan menyiksaku dengan berada di sini,” jawab Axe kali ini dengan kepala menunduk.Apa maksud Axe mengenai keberadaanku di sini? Aku hanya berdiri, tidak melakukan apa pun yang bisa merugi
Napasku terembus berkali – kali dengan posisi sedang mematut diri di depan cermin. Semua sudah disiapkan, hanya tinggal berangkat. Setelahnya aku bisa bertanya langsung pada dokter apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa aku bisa berdarah usai berhubungan bersama Axe.“Kau yakin mau ke rumah sakit?”Suara serak dan dalam berserta sepasang tangan yang melingkar di pinggangku, membuatku menatap dalam posisi kami yang melekat seperti ini.Pertanyaan Axe aneh. Tadi dia sendiri yang menawarkanku untuk pergi ke rumah sakit, tapi sekarang malah dia merasa ragu.Dengan cepat aku memberi Axe jawaban berupa anggukan. Selain penasaran, aku ingin memastikan keadaan anakku sekalian. Berapa usianya di dalam rahimku? Dari awal mengandung, aku belum memeriksakan diri.“Tentu saja yakin,” jawabku pelan.Terdengar helaan napas Axe sebelum dia menjawabku dengan tenang. “Batalkan. Aku rasa, aku terlalu kasar hingga seperti ini.”“Tidak. Aku tetap mau memerksakan diri.” Aku tidak
Hai, Kak. Selamat pagi. Mohon maaf setelan catatan penulis ini bukan update chapter Brother Luck(not) ya. Aku mau kasih tahu kalau sekuel sudah bisa dibaca lewat aplikasi Goodnovel. Yuk, mampir dan bantu aku dengan vote dan komen kalian😇 Boleh berikan review kalau suka ya. Kalian masih bisa ketemu Axelle🤭 But, he's not a main character anymore ya. Udah diganti Om T😅 Di sana para karakter penuh dengan misteri. Aku sudah up empat chapter. Kuy, merapat💃💃💃 migrain bareng aku lagi😁 besok aku akan double update juga. Berikan dukungan kalian buat Rose dan T😁 Btw, ada bab yang tidak ada di sini aku jelaskan di sana. Sebelumnya terima kasih banyak, sudah baca dan support karya pertamaku di sini. I love you guys❤❤❤
Several months later... Aku dengan tangan terinfus menatap Axe, di sampinnya terdapat Oracle, sedang berjalan menghampiriku. Dia membawa seorang bayi di dalam dekapan. Kepalanya terus menunduk memperhatikan wajah anak perempuan kami tanpa henti. Senyum sempurna melengkapi kebahagiaan Axe. Usahanya melayaniku saat sedang mengidamkan sesuatu berbuah manis, dia akhirnya dipertemukan secara langsung bersama anaknya.Aku ingat pernah memaksa Axe membuatkanku roti canai, makanan khas Asia, dengan tangannnya sendiri. Axe bisa memasak, tidak tahu dengan makanan sejenis itu, tapi subuh – subuh buta aku tetap mendorongnya bangun untuk menjadi koki dadakan demi keinginan anaknya.Butuh perjuangan membangunkan Axe saat dia sedang lelah – lelahnya setelah menyentuhku tanpa henti. Salahnya sendiri tidak pernah puas. Aku mana tahu kalau anaknya tiba – tiba menginginkan sesuatu.Meski dengan terpaksa, Axe tetap menjalankan kewajibannya. Waktu itu, dengan mata setengah terbuka
Aku menatap cincin yang tersemat kembali di tanganku dengan senyum haru dan bahagia. Janji suci atas nama Axe sudah kuucapkan. Tersisa satu lagi, tapi Axe tak kunjung melakukannya. Dia hanya menatapku dengan mata berbinar bahagia, seperti seorang idiot yang mendadak menjadi seorang jutawan.Dia mau tunggu apa lagi?Sampai aku memulai lebih dulu? Yang benar saja!“Kau membuat semua orang menunggumu terlalu lama,” kataku pelan dan nyaris berbisik.“Yakin?” tanya Axe memastikan. Dia mengangkat sebelah alis menatapku curiga. “Mereka atau kau yang sebenarnya sudah tidak sabar?” lanjutnya lagi dengan senyum menggoda.“Terserah kau saja, Axe.”Aku langsung berpaling menatap wajah – wajah di sana. Orang – orang penting di hidupku berkumpul dalam satu frame. Ada Oracle, mom, dad, ayah dan ibu mertuaku, serta Rose yang begitu cantik dengan balutan dress hitam. Di sampingnya ada Theo yang selalu menguntit ke mana pun Rose pergi. Aku rasa pertanyaan Axe waktu itu sangat
Kau tahu ada apa dengan gugurnya bunga mawar? Karena saat pertama kali mekar, dia terlalu indah. -Theodore Witson. -------------------------------- “Rose, sekali lagi terima kasih. Aku tidak tahu akan jadi seperti apa hidupku tanpa bantunmu.” Kupeluk erat – erat tubuh wanita cantik, yang saat ini membalas kehangatan dariku.“Sama – sama,” bisik Rose sembari mengusap naik turun pundakku pelan.“Harus dengan cara apa aku membayar semua kebaikanmu selama ini?”Aku tak tahan lagi sampai yakin suaraku terdengar getir. Tidak tega rasanya mengambil Oracle dari Rose. Tapi harus bagaimana? Jika aku membiarkan Oracle bersama Rose, anak itu akan kehilangan figur keluarga lengkap. Axe pasti tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia sudah terpisah dari Oracle sejak Oracle sendiri masih dalam kandungan, mana mungkin pria itu mau merelakan Oracle. Dan kalau harus jujur, aku juga menginginkan Oracle. Meski rasa bersalah pada Rose akan jauh lebih be
“Sudah siap?” Aku menoleh ke samping mendengar pertanyaan Axe.Dari bandara Kanada, kami langsung melaju menuju apartement Rose. Saat ini aku dan Axe masih berada di dalam mobil yang terparkir di basement.Dia bertanya apakah aku sudah siap ... jawabanku tidak. Aku tidak sanggup harus menerima penolakan Oracle, saat dia melihatku ada di hadapannya. Seperti kata Axe waktu itu, dia akan mengajakku menjemput Oracle setelah semuanya selesai.Ya, semua telah selesai terhitung sudah tiga minggu berlalu pembalasan dendam Axe.Paman Danial akhirnya dinyatakan bersalah dan dihukum seberat – beratnya selama 35 tahun penjara. Perlindungan dari perdana mentri atas dirinya tidak berlaku, karena bukti – bukti sudah di depan mata. Terlebih Paman Danial semakin diberatkan oleh kehadiran para tawanan yang Axe bebaskan sebagai saksi di pengadilan.Waktu itu, persidangan berlangsung selama kurang lebih dua minggu. Tidak ada penyangkalan dan uji banding membuat semuanya
“Awas, Axe!”Dor!Aku memeluk Axe seerat mungkin, menjadikan tubuhku sebagai tameng untuknya. Dia pernah membiarkan peluru menggigit tubuhnya karena kesalahanku. Sekarang aku ingin melakukan hal yang sama, mengorbankan diri untuk orang yang kucintai.Bunyi tembakan memberi jeda untukku bernapas. Seharusnya aku sudah merasakan panas yang menjalar oleh peluru itu. Tapi sampai saat ini semua masih terasa aman. Aku tidak mengerti, tubuhku baik – baik saja tanpa alasan.“Lain kali jangan lakukan hal ini. Jangan melindungiku. Aku bisa menjaga diri sendiri. Apa yang akan terjadi padamu jika aku tidak cepat?”Tubuhku dilepas paksa dan baru kusadari senjata Axe mengeluarkan asap saat dia menurunkan tangannya.Apa yang telah kulewatkan?Cepat – cepat aku berbalik. Sedikit tak percaya mendapati Arthur tergeletak di lantai dengan mata terbuka dan peluru yang menancap tepat di dahinya.“Aku tidak ingin membunuh. Tapi membiarkan dirimu ditembak adalah kesalahan palin
Sebuah belaian terasa kasar, menarik kembali jiwa yang sempat hilang dari tubuh. Aku mengerjap, membuka mata secara perlahan. Tempat yang seharusnya berupa alam bebas tergantikan oleh tembok – tembok bercak putih. Aku seperti berada di sebuah kamar dengan langit – langit dihias lampu kuning.Satu pertanyaan menyentak isi kepala. Siapa yang membawaku ke sini?“Akhirnya kau sadar.”Suara serak itu menarik perhatianku menatap ke samping.Dia...Kenapa aku bisa bersamanya?“Kau semakin cantik dan berisi. Aku sangat suka.”Nada puas terdengar dari suara serak seorang pria yang pernah kutemui beberapa kali. Bahkan waktu itu nyaris menjadi suamiku, Arthur.“Kau kaget melihatku. Kenapa. Takut?”Arthur terkekeh. Tangan yang terulur hendak mengelus kepalaku tertahan di udara saat aku bergerak cepat, beringsut menjauhinya. Apa maunya membawaku ke tempat seperti ini? tanyaku sembari menatap penuh waspada seringai kejam di wajah Arthur.Dia sangat berbed
Author’s pov....Mata heterochormia dilapisi lensa kontak lunak itu menatap tajam bagian samping gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ada tiga lantai, masing – masing memiliki penjagaan ketat. Bentuknya juga seperti labirin dengan jalur berliku – liku dan beberapa jalan dibuat buntu. Bagi seseorang yang awam, mungkin akan tersesat di tempat itu.Sebelum masuk, Axe harus memastikan penjaga di pintu depan sedang lengah agar dia bisa melakukan serangan dari belakang. Kakinya melangkah pelan. Menyembulkan kepala sedikit, mencari waktu paling tepat untuk mengokang senjata kedap suara di tangan.Belum saatnya. Dua penjaga di sana masih sigap menghisap cerutu dan mengembuskan asapnya ke udara. Axe akan menunggu salah satu dari mereka masuk, untuk menyerang yang lainnya. Dia tidak ingin menimbulkan kehebohan di bagian luar. Menyerang satu per satu adalah pilihan tepat.Selama kegiatan aksi belum dimulai. Seharusnya
Pandanganku lurus, menatap tanpa arti beberapa orang berbentuk tim—sedang berpencar ke berbagai hancurnya sisi gedung. Hampir dua jam, mereka belum juga menemukan keberadaan Axe. Tidak tahu mereka mencari sampai ke seluruh reruntuhan atau tidak. Sementara malam sudah semakin larut, akan sulit melakukan pencarian.Sempat ada beberapa hal yang membuat tim berdebat, salah satunya tangan yang kutemukan. Sebagian besar dari mereka beropini bahwa sisa dari tubuh Axe hancur tercerai berai, sulit untuk diidentifikasi. Tapi yang lain, terutama aku, masih percaya adanya potongan tubuh Axe karena ledakan itu.Sebenarnya mereka menemukan dua atau tiga kerangka kaki, milik orang lain. Kata Hema, ada beberapa pengawal Paman Danial yang berada di lantai tiga sedang menikmati pesta. Kemungkinan kerangka itu milik mereka.“Kita tidak menemukan apa pun di sini.”Tim dari kubu A berteriak, mungkin lelah—bekerja untuk sesuatu bersifat sia – sia. Seperti