Napasku terembus berkali – kali dengan posisi sedang mematut diri di depan cermin. Semua sudah disiapkan, hanya tinggal berangkat. Setelahnya aku bisa bertanya langsung pada dokter apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa aku bisa berdarah usai berhubungan bersama Axe.
“Kau yakin mau ke rumah sakit?”Suara serak dan dalam berserta sepasang tangan yang melingkar di pinggangku, membuatku menatap dalam posisi kami yang melekat seperti ini.Pertanyaan Axe aneh. Tadi dia sendiri yang menawarkanku untuk pergi ke rumah sakit, tapi sekarang malah dia merasa ragu. Dengan cepat aku memberi Axe jawaban berupa anggukan. Selain penasaran, aku ingin memastikan keadaan anakku sekalian. Berapa usianya di dalam rahimku? Dari awal mengandung, aku belum memeriksakan diri.“Tentu saja yakin,” jawabku pelan.Terdengar helaan napas Axe sebelum dia menjawabku dengan tenang. “Batalkan. Aku rasa, aku terlalu kasar hingga seperti ini.”“Tidak. Aku tetap mau memerksakan diri.” Aku tidak“Kita mau ke mana, Axe?” tanyaku heran melihatnya mendandaniku seperti wonder woman dengan pakaian ketat serba hitam, untuk bagian dalam. Bagian luar tubuhku dilapisi dress merah menyala, di mana kaki kainnya menjuntai ke bawah.“Pesta. Menyaksikan kehancuran pamanmu.”Kehancuran pamanku ...Dia tidak menyandang nama Xandersis, ‘kan?Haruskah aku melakukannya?Tentu saja. Untuk saat ini aku berada di pihak Axe. Bukan hal mudah bagiku menyaksikan suamiku melewati masa sulit, dia disakiti secara fisik dan mental oleh pria bejat itu. Syukur – syukur Axe tidak tertular penyakit k*lamin, yang mungkin—amit – amit saja, salah satu dari mereka mengindapnya.Ya. Tadi, sebelum malam menjelang. Mr. O’Connor mendatangkan dokter untuk memeriksa tubuh Axe secara rinci. Meski sempat melakukan penolakan, akhirnya mau tak mau Axe bersedia untuk ditinjau. Berdasarkan hasil visum pada tubuh Axe—bagian dia dis*domi, terdapat luka lecet hampir mengering. Axe sampai mengadu padaku
“Berbalik, Bridgette.”Ah, Aku?Berbalik untuk apa?Aku yakin Axe mengetahui kebingunganku hingga berdecak tak sabar dan langsung menarikku memutari tubuhnya. Posisi kami berubah dengan aku membelakangi Axe.Sesaat kurasakan kecupan seringan bulu di pundakku, sebelum akhirnya sebuah kalung emas putih dengan permata safir dikaitan begitu sempurna di leher. Ada apa, kenapa Axe tiba – tiba memberiku kalung penuh kilau dalam situasi seperti ini.“It will safe you. Aku tidak tahu ke mana gelang yang kuberikan beberapa minggu lalu. Kau membuangnya atau memakannya?” tanya Axe kembali membawaku hingga tubuh kami berhadapan.God! Aku baru sadar gelang yang dia berikan tidak lagi berada di tanganku. Padahal tak pernah sekalipun aku melepasnya selama kami berpisah. Ke mana benda itu?“Sudahlah. Lupakan. Kau tidak perlu memikirkan gelangmu lagi. Tapi berjanjilah padaku untuk menjaga yang satu ini,” tutur Axe semb
Namun, belum lama pertanyaanku berakhir. Lampu di dalam gedung tiba – tiba mati, hanya tersisa monitor yang masih menyala. Suasana yang tadinya cukup damai pun, mendadak riuh oleh protes para tamu.Lebih mengejutkannya lagi. Suara dari sound terpasang menggelegar mengagetkan hampir semua orang. Berselang waktu, video dokumentasi kebaikan Paman Danial seketika berubah menampilkan kelakuan bejatnya.Ada banyak rentetan peristiwa menyedihkan yang pria kejam itu berikan pada orang lain. Jangan tanya bagaimana wajah para korban. Dalam video tersebut sebagian besar dari tubuh mereka disensor, mungkin demi keamanan privasi.“Ini—ini tidak benar. Kalian jangan percaya begitu saja. Aku tidak mungkin sejahat itu.”Di atas panggung Paman Danial mulai melakukan pembelaan. Nada ketakutan di balik suaranya terdengar begitu jelas. Aku pikir manusia seperti dirinya tidak akan pernah merasa terancam, malah sekarang sikapnya bak anak ayam kehilangan indukny
“Tunggu aku di sini. Ale akan menjagamu,” ucap Axe dengan gerakan mengisi amunisi pada pistol di tangannya.Melihatnya memegang senjata api saja otakku sudah ngilu membayangkan apa yang akan Axe lakukan. Tadi dia memakirkan mobilnya di pinggiran hutan. Lalu buru – buru membawaku melewati setapak jalan, cukup jauh—sekitar 100 meter dari langkah awal kami.Aku sempat heran ke mana Axe akan membawaku, yang ternyata kami menemui Alessandro, di mana dia berada di dalam kotak kaca cukup luas dengan banyak peralatan perang di sekitar pria itu dan lampu terang menjadi percahayaan.“Kau menyuruhku di sini, lalu kau akan ke mana?”“Ke dalam sana,” jawabnya masih sibuk mempersiapkan diri, seakan dia adalah tentara perang yang akan pergi bertugas.“Aku mau ikut denganmu!”Mataku menatap secara bergantian tubuh Axe yang kini lengkap dengan beberapa senjata di balik kaos putihnya dan gedung besar yang berada sendiri di hutan—sepanjang jaraknya juga dipasang lampu. Apa yang akan
“Di mana tuan muda, Ale?”Samar – samar terdengar suara Hema dari luar. Memang kotak kaca persegi ini nyaris kedap suara. Bahkan jika aku tidak mengangkat kepala usai melihat bayangan jejak kaki seseorang, mungkin aku tidak akan menyadari kehadiran Hema setelah beberapa menit kepergian Axe.Hema tampak bersiap dengan mengecek kembali beberapa senjata di tubuhnya.Itu dia!Sebuah kunci sama persis seperti yang Axe minta dari Alessandro tadi, ada di kepala celana Hema, bergantung di sisi kanan.Ini peluang besar bagiku untuk keluar dan pergi menyusul Axe. Percuma dia mendadaniku seperti wanita tangguh kalau akhirnya tetap diperlakukan sebagai anak bawang. Aku ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang. Sudah sejauh mana langkahnya berlabuh. Apa dia masih aman? Semoga saja begitu.“Open the door!” seruku sembari mengetuk dinding kaca berkali – kali.Alessandro tidak bisa diharapkan, mungkin Hema mau membantuku.
“Bagaimana keadaan nona?”Sayup – sayup terdengar percakapan dua orang yang memaksa mataku terbuka. Aku mengerjap untuk menetralisir masuknya cahaya yang perlahan menyilaukan pandangan. Kepalaku terasa berat mengingat sisa – sisa kejadian yang merenggut kesadaran. Di mana aku sekarang? Oh, masih di tempat yang sama.Axe ...Bagaimana dengan kabarnya, apa dia selamat?Pertanyaan di kepala mengaktifkan sistem motorik di tubuh. Aku spontan bergerak mengubah posisi menjadi duduk.Hal pertama yang kudapat adalah Hema berada di dekatku, sementara Alessandro sepertinya baru kembali—ntah dari mana, penampilannya terlihat berbeda dari terakhir kali bersamaku. Tunggu, ke mana para tawanan yang sudah dibebaskan? Mereka tidak terlihat ada di setiap sudut ruang kaca ini. Apa Alessandro baru saja membawa mereka pergi?“Anda sudah siuman, Nona. How you feel?”Itu pertanyaan Hema yang menarikku untuk menatap pria itu heran. Terlihat kelegaan di mata hijau miliknya. Aku ti
Pandanganku lurus, menatap tanpa arti beberapa orang berbentuk tim—sedang berpencar ke berbagai hancurnya sisi gedung. Hampir dua jam, mereka belum juga menemukan keberadaan Axe. Tidak tahu mereka mencari sampai ke seluruh reruntuhan atau tidak. Sementara malam sudah semakin larut, akan sulit melakukan pencarian.Sempat ada beberapa hal yang membuat tim berdebat, salah satunya tangan yang kutemukan. Sebagian besar dari mereka beropini bahwa sisa dari tubuh Axe hancur tercerai berai, sulit untuk diidentifikasi. Tapi yang lain, terutama aku, masih percaya adanya potongan tubuh Axe karena ledakan itu.Sebenarnya mereka menemukan dua atau tiga kerangka kaki, milik orang lain. Kata Hema, ada beberapa pengawal Paman Danial yang berada di lantai tiga sedang menikmati pesta. Kemungkinan kerangka itu milik mereka.“Kita tidak menemukan apa pun di sini.”Tim dari kubu A berteriak, mungkin lelah—bekerja untuk sesuatu bersifat sia – sia. Seperti
Author’s pov....Mata heterochormia dilapisi lensa kontak lunak itu menatap tajam bagian samping gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ada tiga lantai, masing – masing memiliki penjagaan ketat. Bentuknya juga seperti labirin dengan jalur berliku – liku dan beberapa jalan dibuat buntu. Bagi seseorang yang awam, mungkin akan tersesat di tempat itu.Sebelum masuk, Axe harus memastikan penjaga di pintu depan sedang lengah agar dia bisa melakukan serangan dari belakang. Kakinya melangkah pelan. Menyembulkan kepala sedikit, mencari waktu paling tepat untuk mengokang senjata kedap suara di tangan.Belum saatnya. Dua penjaga di sana masih sigap menghisap cerutu dan mengembuskan asapnya ke udara. Axe akan menunggu salah satu dari mereka masuk, untuk menyerang yang lainnya. Dia tidak ingin menimbulkan kehebohan di bagian luar. Menyerang satu per satu adalah pilihan tepat.Selama kegiatan aksi belum dimulai. Seharusnya