“Berbalik, Bridgette.”
Ah, Aku?Berbalik untuk apa?Aku yakin Axe mengetahui kebingunganku hingga berdecak tak sabar dan langsung menarikku memutari tubuhnya. Posisi kami berubah dengan aku membelakangi Axe.Sesaat kurasakan kecupan seringan bulu di pundakku, sebelum akhirnya sebuah kalung emas putih dengan permata safir dikaitan begitu sempurna di leher. Ada apa, kenapa Axe tiba – tiba memberiku kalung penuh kilau dalam situasi seperti ini.“It will safe you. Aku tidak tahu ke mana gelang yang kuberikan beberapa minggu lalu. Kau membuangnya atau memakannya?” tanya Axe kembali membawaku hingga tubuh kami berhadapan.God! Aku baru sadar gelang yang dia berikan tidak lagi berada di tanganku. Padahal tak pernah sekalipun aku melepasnya selama kami berpisah. Ke mana benda itu? “Sudahlah. Lupakan. Kau tidak perlu memikirkan gelangmu lagi. Tapi berjanjilah padaku untuk menjaga yang satu ini,” tutur Axe sembNamun, belum lama pertanyaanku berakhir. Lampu di dalam gedung tiba – tiba mati, hanya tersisa monitor yang masih menyala. Suasana yang tadinya cukup damai pun, mendadak riuh oleh protes para tamu.Lebih mengejutkannya lagi. Suara dari sound terpasang menggelegar mengagetkan hampir semua orang. Berselang waktu, video dokumentasi kebaikan Paman Danial seketika berubah menampilkan kelakuan bejatnya.Ada banyak rentetan peristiwa menyedihkan yang pria kejam itu berikan pada orang lain. Jangan tanya bagaimana wajah para korban. Dalam video tersebut sebagian besar dari tubuh mereka disensor, mungkin demi keamanan privasi.“Ini—ini tidak benar. Kalian jangan percaya begitu saja. Aku tidak mungkin sejahat itu.”Di atas panggung Paman Danial mulai melakukan pembelaan. Nada ketakutan di balik suaranya terdengar begitu jelas. Aku pikir manusia seperti dirinya tidak akan pernah merasa terancam, malah sekarang sikapnya bak anak ayam kehilangan indukny
“Tunggu aku di sini. Ale akan menjagamu,” ucap Axe dengan gerakan mengisi amunisi pada pistol di tangannya.Melihatnya memegang senjata api saja otakku sudah ngilu membayangkan apa yang akan Axe lakukan. Tadi dia memakirkan mobilnya di pinggiran hutan. Lalu buru – buru membawaku melewati setapak jalan, cukup jauh—sekitar 100 meter dari langkah awal kami.Aku sempat heran ke mana Axe akan membawaku, yang ternyata kami menemui Alessandro, di mana dia berada di dalam kotak kaca cukup luas dengan banyak peralatan perang di sekitar pria itu dan lampu terang menjadi percahayaan.“Kau menyuruhku di sini, lalu kau akan ke mana?”“Ke dalam sana,” jawabnya masih sibuk mempersiapkan diri, seakan dia adalah tentara perang yang akan pergi bertugas.“Aku mau ikut denganmu!”Mataku menatap secara bergantian tubuh Axe yang kini lengkap dengan beberapa senjata di balik kaos putihnya dan gedung besar yang berada sendiri di hutan—sepanjang jaraknya juga dipasang lampu. Apa yang akan
“Di mana tuan muda, Ale?”Samar – samar terdengar suara Hema dari luar. Memang kotak kaca persegi ini nyaris kedap suara. Bahkan jika aku tidak mengangkat kepala usai melihat bayangan jejak kaki seseorang, mungkin aku tidak akan menyadari kehadiran Hema setelah beberapa menit kepergian Axe.Hema tampak bersiap dengan mengecek kembali beberapa senjata di tubuhnya.Itu dia!Sebuah kunci sama persis seperti yang Axe minta dari Alessandro tadi, ada di kepala celana Hema, bergantung di sisi kanan.Ini peluang besar bagiku untuk keluar dan pergi menyusul Axe. Percuma dia mendadaniku seperti wanita tangguh kalau akhirnya tetap diperlakukan sebagai anak bawang. Aku ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang. Sudah sejauh mana langkahnya berlabuh. Apa dia masih aman? Semoga saja begitu.“Open the door!” seruku sembari mengetuk dinding kaca berkali – kali.Alessandro tidak bisa diharapkan, mungkin Hema mau membantuku.
“Bagaimana keadaan nona?”Sayup – sayup terdengar percakapan dua orang yang memaksa mataku terbuka. Aku mengerjap untuk menetralisir masuknya cahaya yang perlahan menyilaukan pandangan. Kepalaku terasa berat mengingat sisa – sisa kejadian yang merenggut kesadaran. Di mana aku sekarang? Oh, masih di tempat yang sama.Axe ...Bagaimana dengan kabarnya, apa dia selamat?Pertanyaan di kepala mengaktifkan sistem motorik di tubuh. Aku spontan bergerak mengubah posisi menjadi duduk.Hal pertama yang kudapat adalah Hema berada di dekatku, sementara Alessandro sepertinya baru kembali—ntah dari mana, penampilannya terlihat berbeda dari terakhir kali bersamaku. Tunggu, ke mana para tawanan yang sudah dibebaskan? Mereka tidak terlihat ada di setiap sudut ruang kaca ini. Apa Alessandro baru saja membawa mereka pergi?“Anda sudah siuman, Nona. How you feel?”Itu pertanyaan Hema yang menarikku untuk menatap pria itu heran. Terlihat kelegaan di mata hijau miliknya. Aku ti
Pandanganku lurus, menatap tanpa arti beberapa orang berbentuk tim—sedang berpencar ke berbagai hancurnya sisi gedung. Hampir dua jam, mereka belum juga menemukan keberadaan Axe. Tidak tahu mereka mencari sampai ke seluruh reruntuhan atau tidak. Sementara malam sudah semakin larut, akan sulit melakukan pencarian.Sempat ada beberapa hal yang membuat tim berdebat, salah satunya tangan yang kutemukan. Sebagian besar dari mereka beropini bahwa sisa dari tubuh Axe hancur tercerai berai, sulit untuk diidentifikasi. Tapi yang lain, terutama aku, masih percaya adanya potongan tubuh Axe karena ledakan itu.Sebenarnya mereka menemukan dua atau tiga kerangka kaki, milik orang lain. Kata Hema, ada beberapa pengawal Paman Danial yang berada di lantai tiga sedang menikmati pesta. Kemungkinan kerangka itu milik mereka.“Kita tidak menemukan apa pun di sini.”Tim dari kubu A berteriak, mungkin lelah—bekerja untuk sesuatu bersifat sia – sia. Seperti
Author’s pov....Mata heterochormia dilapisi lensa kontak lunak itu menatap tajam bagian samping gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ada tiga lantai, masing – masing memiliki penjagaan ketat. Bentuknya juga seperti labirin dengan jalur berliku – liku dan beberapa jalan dibuat buntu. Bagi seseorang yang awam, mungkin akan tersesat di tempat itu.Sebelum masuk, Axe harus memastikan penjaga di pintu depan sedang lengah agar dia bisa melakukan serangan dari belakang. Kakinya melangkah pelan. Menyembulkan kepala sedikit, mencari waktu paling tepat untuk mengokang senjata kedap suara di tangan.Belum saatnya. Dua penjaga di sana masih sigap menghisap cerutu dan mengembuskan asapnya ke udara. Axe akan menunggu salah satu dari mereka masuk, untuk menyerang yang lainnya. Dia tidak ingin menimbulkan kehebohan di bagian luar. Menyerang satu per satu adalah pilihan tepat.Selama kegiatan aksi belum dimulai. Seharusnya
Sebuah belaian terasa kasar, menarik kembali jiwa yang sempat hilang dari tubuh. Aku mengerjap, membuka mata secara perlahan. Tempat yang seharusnya berupa alam bebas tergantikan oleh tembok – tembok bercak putih. Aku seperti berada di sebuah kamar dengan langit – langit dihias lampu kuning.Satu pertanyaan menyentak isi kepala. Siapa yang membawaku ke sini?“Akhirnya kau sadar.”Suara serak itu menarik perhatianku menatap ke samping.Dia...Kenapa aku bisa bersamanya?“Kau semakin cantik dan berisi. Aku sangat suka.”Nada puas terdengar dari suara serak seorang pria yang pernah kutemui beberapa kali. Bahkan waktu itu nyaris menjadi suamiku, Arthur.“Kau kaget melihatku. Kenapa. Takut?”Arthur terkekeh. Tangan yang terulur hendak mengelus kepalaku tertahan di udara saat aku bergerak cepat, beringsut menjauhinya. Apa maunya membawaku ke tempat seperti ini? tanyaku sembari menatap penuh waspada seringai kejam di wajah Arthur.Dia sangat berbed
“Awas, Axe!”Dor!Aku memeluk Axe seerat mungkin, menjadikan tubuhku sebagai tameng untuknya. Dia pernah membiarkan peluru menggigit tubuhnya karena kesalahanku. Sekarang aku ingin melakukan hal yang sama, mengorbankan diri untuk orang yang kucintai.Bunyi tembakan memberi jeda untukku bernapas. Seharusnya aku sudah merasakan panas yang menjalar oleh peluru itu. Tapi sampai saat ini semua masih terasa aman. Aku tidak mengerti, tubuhku baik – baik saja tanpa alasan.“Lain kali jangan lakukan hal ini. Jangan melindungiku. Aku bisa menjaga diri sendiri. Apa yang akan terjadi padamu jika aku tidak cepat?”Tubuhku dilepas paksa dan baru kusadari senjata Axe mengeluarkan asap saat dia menurunkan tangannya.Apa yang telah kulewatkan?Cepat – cepat aku berbalik. Sedikit tak percaya mendapati Arthur tergeletak di lantai dengan mata terbuka dan peluru yang menancap tepat di dahinya.“Aku tidak ingin membunuh. Tapi membiarkan dirimu ditembak adalah kesalahan palin