Tiga hari setelah kejadian basah itu. Pagi – pagi sekali aku dikagetkan kedatangan Mr. O’Connor di depan pintu kamar. Katanya psikolog terbaik di London bersama perawatnya sudah menunggu Axe untuk melakukan trauma terapi. Axe akan diberi terapi somatik jenis pengikatan atau restrain untuk menghindari risiko dia menciderai dirinya lagi atau bahkan membahayakan orang lain.
Namun, aku menolak karena merasa kondisi Axe saat ini stabil, pria itu tidak sedang mengamuk. Bukankah kemarin kami sudah bisa bicara dari mata ke mata dan itu cukup membuatnya merasa baik—sangat baik malah.Mengenai Axe yang mungkin masih takut dengan orang – orang di luar sana, itu hanya masalah waktu. Lambat laun, Axe akan pulih jika dia sudah terbiasa dan melupakan kejadian yang dialami.Memang benar terapi pengikatan ini tidak akan melukai Axe. Tapi, siapa yang tega melihat orang terkasih harus dipakaikan alat berupa komisol, jaket dan pengikat kaki dan tangan. Aku tidak akan sanggup melihat Axe berjuaAku mau susu yang ini🤭
Tatapanku tak pernah lepas dari Axe sejak 15 menit berlalu usai dia mengomsumsi susu buatan ibunya. Tingkahnya mendadak aneh dengan sorot tak terbaca yang kadang – kadang dilontarkan padaku.Aku berusaha tidak terpengaruh apa pun. Tapi gerakan tiba – tiba Axe melangkah memasuki kamar mandi membuatku berakhir menyusulnya. Dia membingungkan dan itu cukup membuatku khawatir.Sedikit tak percaya aku mendapati Axe membiarkan dirinya kembali diguyur air shower. Kali ini posisinya berdiri dengan tangan berkali – kali menyugar rambutnya ke belakang.Astaga, Axe. Dia benar – benar lupa, ya, kalau tubuhnya masih terasa hangat. Meski demamnya sudah berlalu tiga hari.“Apa yang kau lakukan, Axe?” tanyaku tak tahan melihatnya begitu menikmati guyuran air di tubuhnya.“Pergilah, Bridgette. Kau akan menyiksaku dengan berada di sini,” jawab Axe kali ini dengan kepala menunduk.Apa maksud Axe mengenai keberadaanku di sini? Aku hanya berdiri, tidak melakukan apa pun yang bisa merugi
Napasku terembus berkali – kali dengan posisi sedang mematut diri di depan cermin. Semua sudah disiapkan, hanya tinggal berangkat. Setelahnya aku bisa bertanya langsung pada dokter apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa aku bisa berdarah usai berhubungan bersama Axe.“Kau yakin mau ke rumah sakit?”Suara serak dan dalam berserta sepasang tangan yang melingkar di pinggangku, membuatku menatap dalam posisi kami yang melekat seperti ini.Pertanyaan Axe aneh. Tadi dia sendiri yang menawarkanku untuk pergi ke rumah sakit, tapi sekarang malah dia merasa ragu.Dengan cepat aku memberi Axe jawaban berupa anggukan. Selain penasaran, aku ingin memastikan keadaan anakku sekalian. Berapa usianya di dalam rahimku? Dari awal mengandung, aku belum memeriksakan diri.“Tentu saja yakin,” jawabku pelan.Terdengar helaan napas Axe sebelum dia menjawabku dengan tenang. “Batalkan. Aku rasa, aku terlalu kasar hingga seperti ini.”“Tidak. Aku tetap mau memerksakan diri.” Aku tidak
“Kita mau ke mana, Axe?” tanyaku heran melihatnya mendandaniku seperti wonder woman dengan pakaian ketat serba hitam, untuk bagian dalam. Bagian luar tubuhku dilapisi dress merah menyala, di mana kaki kainnya menjuntai ke bawah.“Pesta. Menyaksikan kehancuran pamanmu.”Kehancuran pamanku ...Dia tidak menyandang nama Xandersis, ‘kan?Haruskah aku melakukannya?Tentu saja. Untuk saat ini aku berada di pihak Axe. Bukan hal mudah bagiku menyaksikan suamiku melewati masa sulit, dia disakiti secara fisik dan mental oleh pria bejat itu. Syukur – syukur Axe tidak tertular penyakit k*lamin, yang mungkin—amit – amit saja, salah satu dari mereka mengindapnya.Ya. Tadi, sebelum malam menjelang. Mr. O’Connor mendatangkan dokter untuk memeriksa tubuh Axe secara rinci. Meski sempat melakukan penolakan, akhirnya mau tak mau Axe bersedia untuk ditinjau. Berdasarkan hasil visum pada tubuh Axe—bagian dia dis*domi, terdapat luka lecet hampir mengering. Axe sampai mengadu padaku
“Berbalik, Bridgette.”Ah, Aku?Berbalik untuk apa?Aku yakin Axe mengetahui kebingunganku hingga berdecak tak sabar dan langsung menarikku memutari tubuhnya. Posisi kami berubah dengan aku membelakangi Axe.Sesaat kurasakan kecupan seringan bulu di pundakku, sebelum akhirnya sebuah kalung emas putih dengan permata safir dikaitan begitu sempurna di leher. Ada apa, kenapa Axe tiba – tiba memberiku kalung penuh kilau dalam situasi seperti ini.“It will safe you. Aku tidak tahu ke mana gelang yang kuberikan beberapa minggu lalu. Kau membuangnya atau memakannya?” tanya Axe kembali membawaku hingga tubuh kami berhadapan.God! Aku baru sadar gelang yang dia berikan tidak lagi berada di tanganku. Padahal tak pernah sekalipun aku melepasnya selama kami berpisah. Ke mana benda itu?“Sudahlah. Lupakan. Kau tidak perlu memikirkan gelangmu lagi. Tapi berjanjilah padaku untuk menjaga yang satu ini,” tutur Axe semb
Namun, belum lama pertanyaanku berakhir. Lampu di dalam gedung tiba – tiba mati, hanya tersisa monitor yang masih menyala. Suasana yang tadinya cukup damai pun, mendadak riuh oleh protes para tamu.Lebih mengejutkannya lagi. Suara dari sound terpasang menggelegar mengagetkan hampir semua orang. Berselang waktu, video dokumentasi kebaikan Paman Danial seketika berubah menampilkan kelakuan bejatnya.Ada banyak rentetan peristiwa menyedihkan yang pria kejam itu berikan pada orang lain. Jangan tanya bagaimana wajah para korban. Dalam video tersebut sebagian besar dari tubuh mereka disensor, mungkin demi keamanan privasi.“Ini—ini tidak benar. Kalian jangan percaya begitu saja. Aku tidak mungkin sejahat itu.”Di atas panggung Paman Danial mulai melakukan pembelaan. Nada ketakutan di balik suaranya terdengar begitu jelas. Aku pikir manusia seperti dirinya tidak akan pernah merasa terancam, malah sekarang sikapnya bak anak ayam kehilangan indukny
“Tunggu aku di sini. Ale akan menjagamu,” ucap Axe dengan gerakan mengisi amunisi pada pistol di tangannya.Melihatnya memegang senjata api saja otakku sudah ngilu membayangkan apa yang akan Axe lakukan. Tadi dia memakirkan mobilnya di pinggiran hutan. Lalu buru – buru membawaku melewati setapak jalan, cukup jauh—sekitar 100 meter dari langkah awal kami.Aku sempat heran ke mana Axe akan membawaku, yang ternyata kami menemui Alessandro, di mana dia berada di dalam kotak kaca cukup luas dengan banyak peralatan perang di sekitar pria itu dan lampu terang menjadi percahayaan.“Kau menyuruhku di sini, lalu kau akan ke mana?”“Ke dalam sana,” jawabnya masih sibuk mempersiapkan diri, seakan dia adalah tentara perang yang akan pergi bertugas.“Aku mau ikut denganmu!”Mataku menatap secara bergantian tubuh Axe yang kini lengkap dengan beberapa senjata di balik kaos putihnya dan gedung besar yang berada sendiri di hutan—sepanjang jaraknya juga dipasang lampu. Apa yang akan
“Di mana tuan muda, Ale?”Samar – samar terdengar suara Hema dari luar. Memang kotak kaca persegi ini nyaris kedap suara. Bahkan jika aku tidak mengangkat kepala usai melihat bayangan jejak kaki seseorang, mungkin aku tidak akan menyadari kehadiran Hema setelah beberapa menit kepergian Axe.Hema tampak bersiap dengan mengecek kembali beberapa senjata di tubuhnya.Itu dia!Sebuah kunci sama persis seperti yang Axe minta dari Alessandro tadi, ada di kepala celana Hema, bergantung di sisi kanan.Ini peluang besar bagiku untuk keluar dan pergi menyusul Axe. Percuma dia mendadaniku seperti wanita tangguh kalau akhirnya tetap diperlakukan sebagai anak bawang. Aku ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang. Sudah sejauh mana langkahnya berlabuh. Apa dia masih aman? Semoga saja begitu.“Open the door!” seruku sembari mengetuk dinding kaca berkali – kali.Alessandro tidak bisa diharapkan, mungkin Hema mau membantuku.
“Bagaimana keadaan nona?”Sayup – sayup terdengar percakapan dua orang yang memaksa mataku terbuka. Aku mengerjap untuk menetralisir masuknya cahaya yang perlahan menyilaukan pandangan. Kepalaku terasa berat mengingat sisa – sisa kejadian yang merenggut kesadaran. Di mana aku sekarang? Oh, masih di tempat yang sama.Axe ...Bagaimana dengan kabarnya, apa dia selamat?Pertanyaan di kepala mengaktifkan sistem motorik di tubuh. Aku spontan bergerak mengubah posisi menjadi duduk.Hal pertama yang kudapat adalah Hema berada di dekatku, sementara Alessandro sepertinya baru kembali—ntah dari mana, penampilannya terlihat berbeda dari terakhir kali bersamaku. Tunggu, ke mana para tawanan yang sudah dibebaskan? Mereka tidak terlihat ada di setiap sudut ruang kaca ini. Apa Alessandro baru saja membawa mereka pergi?“Anda sudah siuman, Nona. How you feel?”Itu pertanyaan Hema yang menarikku untuk menatap pria itu heran. Terlihat kelegaan di mata hijau miliknya. Aku ti
Hai, Kak. Selamat pagi. Mohon maaf setelan catatan penulis ini bukan update chapter Brother Luck(not) ya. Aku mau kasih tahu kalau sekuel sudah bisa dibaca lewat aplikasi Goodnovel. Yuk, mampir dan bantu aku dengan vote dan komen kalian😇 Boleh berikan review kalau suka ya. Kalian masih bisa ketemu Axelle🤭 But, he's not a main character anymore ya. Udah diganti Om T😅 Di sana para karakter penuh dengan misteri. Aku sudah up empat chapter. Kuy, merapat💃💃💃 migrain bareng aku lagi😁 besok aku akan double update juga. Berikan dukungan kalian buat Rose dan T😁 Btw, ada bab yang tidak ada di sini aku jelaskan di sana. Sebelumnya terima kasih banyak, sudah baca dan support karya pertamaku di sini. I love you guys❤❤❤
Several months later... Aku dengan tangan terinfus menatap Axe, di sampinnya terdapat Oracle, sedang berjalan menghampiriku. Dia membawa seorang bayi di dalam dekapan. Kepalanya terus menunduk memperhatikan wajah anak perempuan kami tanpa henti. Senyum sempurna melengkapi kebahagiaan Axe. Usahanya melayaniku saat sedang mengidamkan sesuatu berbuah manis, dia akhirnya dipertemukan secara langsung bersama anaknya.Aku ingat pernah memaksa Axe membuatkanku roti canai, makanan khas Asia, dengan tangannnya sendiri. Axe bisa memasak, tidak tahu dengan makanan sejenis itu, tapi subuh – subuh buta aku tetap mendorongnya bangun untuk menjadi koki dadakan demi keinginan anaknya.Butuh perjuangan membangunkan Axe saat dia sedang lelah – lelahnya setelah menyentuhku tanpa henti. Salahnya sendiri tidak pernah puas. Aku mana tahu kalau anaknya tiba – tiba menginginkan sesuatu.Meski dengan terpaksa, Axe tetap menjalankan kewajibannya. Waktu itu, dengan mata setengah terbuka
Aku menatap cincin yang tersemat kembali di tanganku dengan senyum haru dan bahagia. Janji suci atas nama Axe sudah kuucapkan. Tersisa satu lagi, tapi Axe tak kunjung melakukannya. Dia hanya menatapku dengan mata berbinar bahagia, seperti seorang idiot yang mendadak menjadi seorang jutawan.Dia mau tunggu apa lagi?Sampai aku memulai lebih dulu? Yang benar saja!“Kau membuat semua orang menunggumu terlalu lama,” kataku pelan dan nyaris berbisik.“Yakin?” tanya Axe memastikan. Dia mengangkat sebelah alis menatapku curiga. “Mereka atau kau yang sebenarnya sudah tidak sabar?” lanjutnya lagi dengan senyum menggoda.“Terserah kau saja, Axe.”Aku langsung berpaling menatap wajah – wajah di sana. Orang – orang penting di hidupku berkumpul dalam satu frame. Ada Oracle, mom, dad, ayah dan ibu mertuaku, serta Rose yang begitu cantik dengan balutan dress hitam. Di sampingnya ada Theo yang selalu menguntit ke mana pun Rose pergi. Aku rasa pertanyaan Axe waktu itu sangat
Kau tahu ada apa dengan gugurnya bunga mawar? Karena saat pertama kali mekar, dia terlalu indah. -Theodore Witson. -------------------------------- “Rose, sekali lagi terima kasih. Aku tidak tahu akan jadi seperti apa hidupku tanpa bantunmu.” Kupeluk erat – erat tubuh wanita cantik, yang saat ini membalas kehangatan dariku.“Sama – sama,” bisik Rose sembari mengusap naik turun pundakku pelan.“Harus dengan cara apa aku membayar semua kebaikanmu selama ini?”Aku tak tahan lagi sampai yakin suaraku terdengar getir. Tidak tega rasanya mengambil Oracle dari Rose. Tapi harus bagaimana? Jika aku membiarkan Oracle bersama Rose, anak itu akan kehilangan figur keluarga lengkap. Axe pasti tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia sudah terpisah dari Oracle sejak Oracle sendiri masih dalam kandungan, mana mungkin pria itu mau merelakan Oracle. Dan kalau harus jujur, aku juga menginginkan Oracle. Meski rasa bersalah pada Rose akan jauh lebih be
“Sudah siap?” Aku menoleh ke samping mendengar pertanyaan Axe.Dari bandara Kanada, kami langsung melaju menuju apartement Rose. Saat ini aku dan Axe masih berada di dalam mobil yang terparkir di basement.Dia bertanya apakah aku sudah siap ... jawabanku tidak. Aku tidak sanggup harus menerima penolakan Oracle, saat dia melihatku ada di hadapannya. Seperti kata Axe waktu itu, dia akan mengajakku menjemput Oracle setelah semuanya selesai.Ya, semua telah selesai terhitung sudah tiga minggu berlalu pembalasan dendam Axe.Paman Danial akhirnya dinyatakan bersalah dan dihukum seberat – beratnya selama 35 tahun penjara. Perlindungan dari perdana mentri atas dirinya tidak berlaku, karena bukti – bukti sudah di depan mata. Terlebih Paman Danial semakin diberatkan oleh kehadiran para tawanan yang Axe bebaskan sebagai saksi di pengadilan.Waktu itu, persidangan berlangsung selama kurang lebih dua minggu. Tidak ada penyangkalan dan uji banding membuat semuanya
“Awas, Axe!”Dor!Aku memeluk Axe seerat mungkin, menjadikan tubuhku sebagai tameng untuknya. Dia pernah membiarkan peluru menggigit tubuhnya karena kesalahanku. Sekarang aku ingin melakukan hal yang sama, mengorbankan diri untuk orang yang kucintai.Bunyi tembakan memberi jeda untukku bernapas. Seharusnya aku sudah merasakan panas yang menjalar oleh peluru itu. Tapi sampai saat ini semua masih terasa aman. Aku tidak mengerti, tubuhku baik – baik saja tanpa alasan.“Lain kali jangan lakukan hal ini. Jangan melindungiku. Aku bisa menjaga diri sendiri. Apa yang akan terjadi padamu jika aku tidak cepat?”Tubuhku dilepas paksa dan baru kusadari senjata Axe mengeluarkan asap saat dia menurunkan tangannya.Apa yang telah kulewatkan?Cepat – cepat aku berbalik. Sedikit tak percaya mendapati Arthur tergeletak di lantai dengan mata terbuka dan peluru yang menancap tepat di dahinya.“Aku tidak ingin membunuh. Tapi membiarkan dirimu ditembak adalah kesalahan palin
Sebuah belaian terasa kasar, menarik kembali jiwa yang sempat hilang dari tubuh. Aku mengerjap, membuka mata secara perlahan. Tempat yang seharusnya berupa alam bebas tergantikan oleh tembok – tembok bercak putih. Aku seperti berada di sebuah kamar dengan langit – langit dihias lampu kuning.Satu pertanyaan menyentak isi kepala. Siapa yang membawaku ke sini?“Akhirnya kau sadar.”Suara serak itu menarik perhatianku menatap ke samping.Dia...Kenapa aku bisa bersamanya?“Kau semakin cantik dan berisi. Aku sangat suka.”Nada puas terdengar dari suara serak seorang pria yang pernah kutemui beberapa kali. Bahkan waktu itu nyaris menjadi suamiku, Arthur.“Kau kaget melihatku. Kenapa. Takut?”Arthur terkekeh. Tangan yang terulur hendak mengelus kepalaku tertahan di udara saat aku bergerak cepat, beringsut menjauhinya. Apa maunya membawaku ke tempat seperti ini? tanyaku sembari menatap penuh waspada seringai kejam di wajah Arthur.Dia sangat berbed
Author’s pov....Mata heterochormia dilapisi lensa kontak lunak itu menatap tajam bagian samping gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ada tiga lantai, masing – masing memiliki penjagaan ketat. Bentuknya juga seperti labirin dengan jalur berliku – liku dan beberapa jalan dibuat buntu. Bagi seseorang yang awam, mungkin akan tersesat di tempat itu.Sebelum masuk, Axe harus memastikan penjaga di pintu depan sedang lengah agar dia bisa melakukan serangan dari belakang. Kakinya melangkah pelan. Menyembulkan kepala sedikit, mencari waktu paling tepat untuk mengokang senjata kedap suara di tangan.Belum saatnya. Dua penjaga di sana masih sigap menghisap cerutu dan mengembuskan asapnya ke udara. Axe akan menunggu salah satu dari mereka masuk, untuk menyerang yang lainnya. Dia tidak ingin menimbulkan kehebohan di bagian luar. Menyerang satu per satu adalah pilihan tepat.Selama kegiatan aksi belum dimulai. Seharusnya
Pandanganku lurus, menatap tanpa arti beberapa orang berbentuk tim—sedang berpencar ke berbagai hancurnya sisi gedung. Hampir dua jam, mereka belum juga menemukan keberadaan Axe. Tidak tahu mereka mencari sampai ke seluruh reruntuhan atau tidak. Sementara malam sudah semakin larut, akan sulit melakukan pencarian.Sempat ada beberapa hal yang membuat tim berdebat, salah satunya tangan yang kutemukan. Sebagian besar dari mereka beropini bahwa sisa dari tubuh Axe hancur tercerai berai, sulit untuk diidentifikasi. Tapi yang lain, terutama aku, masih percaya adanya potongan tubuh Axe karena ledakan itu.Sebenarnya mereka menemukan dua atau tiga kerangka kaki, milik orang lain. Kata Hema, ada beberapa pengawal Paman Danial yang berada di lantai tiga sedang menikmati pesta. Kemungkinan kerangka itu milik mereka.“Kita tidak menemukan apa pun di sini.”Tim dari kubu A berteriak, mungkin lelah—bekerja untuk sesuatu bersifat sia – sia. Seperti