Meski suara ingar bingar di bar jauh lebih dominan, aku bisa merasakan atmosfer kemarahan Axe yang terpancing hingga wanita itu akhirnya memilih pergi.
Tapi...Ada sesuatu yang membuatku harus menahan napas menyaksikan kejadian selanjutnya. Setelah Axe kembali duduk di meja bar dan menegak vodka di tangannya. Beberapa pria berpakaian ‘suit and tie’ datang menghampiri Axe saat pria itu berada dalam kondisi setengah sadar. Bukan perkara berapa. Namun, tentang siapa yang ada di balik kerumunan para pria tua yang mendekati Axe.Dia ...Paman Danial.Pria paruh baya yang paling tidak ingin kulihat wajahnya. Datang membawa pasukan berjas, menghampiri Axe yang sedang tidak fokus. Bahkan tidak sadar bahaya sedang mengancam dirinya.Di sana terlihat Paman Danial perlahan bergeser meraih pundak Axe dan menyodorkan segelas wine padanya. Aku tidak tahu Axe bodoh atau memang dia sepenuhnya dikuasai minuman berakohol, sampai – sampai menoleh sebentar untuk mengetahui siI’m so really sorry, Axe.Kuberi ciuman di keningnya cukup lama. Harus kudefinisikan Axe dengan apa lagi? Selama ini dia sudah cukup sabar menghadapi Paman Danial. Meski aku tahu Axe lebih memilih menyerang musuhnya secara halus dan dari dalam. Masih ingat saham milik Paman Danial yang diambil alih oleh Axe? Itu salah satu bukti yang menegaskan bahwa Axe tidak hanya diam membiarkan musuhnya bergerak selangkah.“Apa yang kau lakukan, Bridgette. Kenapa tidak tidur?”Aku rasa tindakanku membuat Axe terbangun hingga kepalanya sedikit bergeser menghindari kecupanku yang masih bertahan di dahinya. Dia sedikit kaget melihat posisi kami begitu dekat atau mungkin dia merasakan keanehanku saat ini? Ntahlah, aku tidak tahu.“Are you cry?” tanya Axe spontan. Kenapa dia bisa cepat menyadari kodisiku?Tentu saja aku masih sesenggukan dan itu mungkin memancing Axe untuk bertanya langsung.“Bridgette,” panggil Axe menungguku yang tak kunjung menjawabnya. Aku tidak tahu harus menga
Tiga hari setelah kejadian basah itu. Pagi – pagi sekali aku dikagetkan kedatangan Mr. O’Connor di depan pintu kamar. Katanya psikolog terbaik di London bersama perawatnya sudah menunggu Axe untuk melakukan trauma terapi. Axe akan diberi terapi somatik jenis pengikatan atau restrain untuk menghindari risiko dia menciderai dirinya lagi atau bahkan membahayakan orang lain.Namun, aku menolak karena merasa kondisi Axe saat ini stabil, pria itu tidak sedang mengamuk. Bukankah kemarin kami sudah bisa bicara dari mata ke mata dan itu cukup membuatnya merasa baik—sangat baik malah.Mengenai Axe yang mungkin masih takut dengan orang – orang di luar sana, itu hanya masalah waktu. Lambat laun, Axe akan pulih jika dia sudah terbiasa dan melupakan kejadian yang dialami.Memang benar terapi pengikatan ini tidak akan melukai Axe. Tapi, siapa yang tega melihat orang terkasih harus dipakaikan alat berupa komisol, jaket dan pengikat kaki dan tangan. Aku tidak akan sanggup melihat Axe berjua
Tatapanku tak pernah lepas dari Axe sejak 15 menit berlalu usai dia mengomsumsi susu buatan ibunya. Tingkahnya mendadak aneh dengan sorot tak terbaca yang kadang – kadang dilontarkan padaku.Aku berusaha tidak terpengaruh apa pun. Tapi gerakan tiba – tiba Axe melangkah memasuki kamar mandi membuatku berakhir menyusulnya. Dia membingungkan dan itu cukup membuatku khawatir.Sedikit tak percaya aku mendapati Axe membiarkan dirinya kembali diguyur air shower. Kali ini posisinya berdiri dengan tangan berkali – kali menyugar rambutnya ke belakang.Astaga, Axe. Dia benar – benar lupa, ya, kalau tubuhnya masih terasa hangat. Meski demamnya sudah berlalu tiga hari.“Apa yang kau lakukan, Axe?” tanyaku tak tahan melihatnya begitu menikmati guyuran air di tubuhnya.“Pergilah, Bridgette. Kau akan menyiksaku dengan berada di sini,” jawab Axe kali ini dengan kepala menunduk.Apa maksud Axe mengenai keberadaanku di sini? Aku hanya berdiri, tidak melakukan apa pun yang bisa merugi
Napasku terembus berkali – kali dengan posisi sedang mematut diri di depan cermin. Semua sudah disiapkan, hanya tinggal berangkat. Setelahnya aku bisa bertanya langsung pada dokter apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa aku bisa berdarah usai berhubungan bersama Axe.“Kau yakin mau ke rumah sakit?”Suara serak dan dalam berserta sepasang tangan yang melingkar di pinggangku, membuatku menatap dalam posisi kami yang melekat seperti ini.Pertanyaan Axe aneh. Tadi dia sendiri yang menawarkanku untuk pergi ke rumah sakit, tapi sekarang malah dia merasa ragu.Dengan cepat aku memberi Axe jawaban berupa anggukan. Selain penasaran, aku ingin memastikan keadaan anakku sekalian. Berapa usianya di dalam rahimku? Dari awal mengandung, aku belum memeriksakan diri.“Tentu saja yakin,” jawabku pelan.Terdengar helaan napas Axe sebelum dia menjawabku dengan tenang. “Batalkan. Aku rasa, aku terlalu kasar hingga seperti ini.”“Tidak. Aku tetap mau memerksakan diri.” Aku tidak
“Kita mau ke mana, Axe?” tanyaku heran melihatnya mendandaniku seperti wonder woman dengan pakaian ketat serba hitam, untuk bagian dalam. Bagian luar tubuhku dilapisi dress merah menyala, di mana kaki kainnya menjuntai ke bawah.“Pesta. Menyaksikan kehancuran pamanmu.”Kehancuran pamanku ...Dia tidak menyandang nama Xandersis, ‘kan?Haruskah aku melakukannya?Tentu saja. Untuk saat ini aku berada di pihak Axe. Bukan hal mudah bagiku menyaksikan suamiku melewati masa sulit, dia disakiti secara fisik dan mental oleh pria bejat itu. Syukur – syukur Axe tidak tertular penyakit k*lamin, yang mungkin—amit – amit saja, salah satu dari mereka mengindapnya.Ya. Tadi, sebelum malam menjelang. Mr. O’Connor mendatangkan dokter untuk memeriksa tubuh Axe secara rinci. Meski sempat melakukan penolakan, akhirnya mau tak mau Axe bersedia untuk ditinjau. Berdasarkan hasil visum pada tubuh Axe—bagian dia dis*domi, terdapat luka lecet hampir mengering. Axe sampai mengadu padaku
“Berbalik, Bridgette.”Ah, Aku?Berbalik untuk apa?Aku yakin Axe mengetahui kebingunganku hingga berdecak tak sabar dan langsung menarikku memutari tubuhnya. Posisi kami berubah dengan aku membelakangi Axe.Sesaat kurasakan kecupan seringan bulu di pundakku, sebelum akhirnya sebuah kalung emas putih dengan permata safir dikaitan begitu sempurna di leher. Ada apa, kenapa Axe tiba – tiba memberiku kalung penuh kilau dalam situasi seperti ini.“It will safe you. Aku tidak tahu ke mana gelang yang kuberikan beberapa minggu lalu. Kau membuangnya atau memakannya?” tanya Axe kembali membawaku hingga tubuh kami berhadapan.God! Aku baru sadar gelang yang dia berikan tidak lagi berada di tanganku. Padahal tak pernah sekalipun aku melepasnya selama kami berpisah. Ke mana benda itu?“Sudahlah. Lupakan. Kau tidak perlu memikirkan gelangmu lagi. Tapi berjanjilah padaku untuk menjaga yang satu ini,” tutur Axe semb
Namun, belum lama pertanyaanku berakhir. Lampu di dalam gedung tiba – tiba mati, hanya tersisa monitor yang masih menyala. Suasana yang tadinya cukup damai pun, mendadak riuh oleh protes para tamu.Lebih mengejutkannya lagi. Suara dari sound terpasang menggelegar mengagetkan hampir semua orang. Berselang waktu, video dokumentasi kebaikan Paman Danial seketika berubah menampilkan kelakuan bejatnya.Ada banyak rentetan peristiwa menyedihkan yang pria kejam itu berikan pada orang lain. Jangan tanya bagaimana wajah para korban. Dalam video tersebut sebagian besar dari tubuh mereka disensor, mungkin demi keamanan privasi.“Ini—ini tidak benar. Kalian jangan percaya begitu saja. Aku tidak mungkin sejahat itu.”Di atas panggung Paman Danial mulai melakukan pembelaan. Nada ketakutan di balik suaranya terdengar begitu jelas. Aku pikir manusia seperti dirinya tidak akan pernah merasa terancam, malah sekarang sikapnya bak anak ayam kehilangan indukny
“Tunggu aku di sini. Ale akan menjagamu,” ucap Axe dengan gerakan mengisi amunisi pada pistol di tangannya.Melihatnya memegang senjata api saja otakku sudah ngilu membayangkan apa yang akan Axe lakukan. Tadi dia memakirkan mobilnya di pinggiran hutan. Lalu buru – buru membawaku melewati setapak jalan, cukup jauh—sekitar 100 meter dari langkah awal kami.Aku sempat heran ke mana Axe akan membawaku, yang ternyata kami menemui Alessandro, di mana dia berada di dalam kotak kaca cukup luas dengan banyak peralatan perang di sekitar pria itu dan lampu terang menjadi percahayaan.“Kau menyuruhku di sini, lalu kau akan ke mana?”“Ke dalam sana,” jawabnya masih sibuk mempersiapkan diri, seakan dia adalah tentara perang yang akan pergi bertugas.“Aku mau ikut denganmu!”Mataku menatap secara bergantian tubuh Axe yang kini lengkap dengan beberapa senjata di balik kaos putihnya dan gedung besar yang berada sendiri di hutan—sepanjang jaraknya juga dipasang lampu. Apa yang akan