“Ami, tunggu.”
“Lepasin tangan aku!” Ami berusaha sekuat tenaga, melepaskan tangannya. Namun, ia tak cukup kuat untuk melakukan itu.
“Ami, tunggu dulu. Aku mohon, jangan pergi.”
“Aku gak mau!”
“Ami, aku gak bakalan lepasin tangan kamu sebelum aku ngomong sama kamu.”
“Tapi aku gak mau ngomong sama kamu lagi, Vian. Kita sekarang udah jadi orang asing,” teriak Ami.
Tangan Ami kini berada dalam pegangan erat, dari sosok tak terduga yang baru saja dijumpainya. Sosok rak terduga itu bukanlah orang asing bagi Ami, karena sosok itu adalah orang yang pernah menjadi orang terpenting dalam hidupnya.
Sosok itu adalah sosok masa lalu yang ingin dihapus oleh Ami selamanya. Sosok itu adalah seorang pria yang pernah dicintainya. Sosok pria yang kini sedang menahan Ami adalah mantan suaminya, Vian.
Meski Ami bersikeras tak ingin berbicara padanya, namun Vian sama sekali tak berniat untuk melepaskan tangan wanita itu. “Aku ga
Berbagai rasa kini menghantui Ami, membuat pikirannya teracak-acak. Pertemuan yang tak pernah diduga-duganya, membuat ia tak bisa melupakan pertemuan itu. Akibat pertemuan tak diduga itu, emosi Ami menjadi tidak stabil. Apalagi, ia terus saja terbayang dengan perkataan nyonyanya, yang membuat hati dan pikiran Ami semakin berantakan. Setelah meninggalkan pemakaman, Ami segera bergegas mencari putrinya di area sekitar pemakaman. Ia sangat yakin jika putrinya belum pergi terlalu jauh dari area pemakaman. Dan benar saja, ia menemukan putrinya tak begitu jauh dari area pemakaman. Setelah berjalan beberapa meter, akhirnya Ami segera menemukan keberadaan putrinya. Tak jauh dari pemakaman, Ami menemukan putrinya sedang bersama putra majikannya. Kedua remaja itu sedang berjalan bersama, sambil asyik berbincang. Ingin rasanya Ami segera memisahkan putrinya dan putra majikannya. Namun, ia merasa tak enak hati melakukan itu pada tuan mudanya. Wanita itu pun
Rasa kecewa membuat Reina tak menghiraukan lagi semua perkataan bunda. Seberapa keras pun wanita itu berusaha membujuk putri semata wayangnya, gadis itu tetap tak mau membukakan pintu kamarnya.“Reina, buka pintunya sayang. Kamu belum makan, loh.”“Nak, kamu boleh marah sama bunda. Tapi kamu makan dulu, ya. Ini udah malam banget, loh.” Segala kata-kata telah dikeluarkan Ami demi membujuk putrinya, namun gadis itu tetap tak mengeluarkan suara apa pun.“Reina, ayo keluar. Kamu harus makan.”“Kamu boleh mau marah bunda atau apa pun, tapi yang terpenting kamu makan dulu, nak. Bunda gak mau kalau kamu sampai sakit, nak,” ucap Ami sambil terus mengetok pintu kamar putrinya.Tak ada satu suara pun membuat Ami memilih untuk berhenti membujuk putrinya dengan segala ucapannya. Ia merasa apa yang dilakukannya tak akan membuahkan hasil, hingga wanita itu lebih memilih untuk memberikan putrinya waktu dibanding ia
Rasa rindu dan khawatir seketika menghampiri Vian. Pria itu kini tengah merindukan sosok yang tak pernah ia temui, setelah ia menelepon putri semata wayang Ami. Rasa khawatir Vian begitu besar, setelah ia mendengar semua curahan hati gadis itu. “Gimana keadaan nak Reina sekarang, ya?” tanya Vian penuh kekhawatiran. Vian menghembuskan nafasnya kasar, “Pasti dia sedih sekali.” Vian terus saja memikirkan keadaan Reina, setelah mendengar s “Semoga kamu sama bunda kamu bisa cepat baikan ya, nak.” Vian mendoakan agar Reina dan sang bunda bisa segera berbaikan. “Semua karena hanya salah paham.” Begitu kalimat itu terucap, pria itu langsung teringat pada pertemuannya dan Ami. “Ami, kenapa kamu malah ninggalin aku? Apa kamu tahu, betapa sulitnya hidup aku tanpa kamu?” batin Vian. “Apa kamu tahu seberapa keras aku berusaha supaya bisa ketemu sama kamu dan anak kita?” “Andai kamu tahu, Ami. Betapa rindunya diriku pada anakku.” Tetes
“Tunggu papa, nak. Sebentar lagi kita pasti bisa bertemu,” gumam Vian sambil mengendarai mobilnya menuju pemakaman.Dengan penuh harapan, Vian melaju secepat mungkin menuju pemakaman. Ia berharap pemakaman tersebut dapat memberikannya petunjuk, agar ia bisa secepatnya berjumpa dengan sang buah hati yang telah lama dirindukannya.Setelah menempuh jarak yang cukup jauh., Vian pun kini t’lah tiba di pemakaman tersebut. “Semoga ada petunjuk,” ujar Vian bergegas menuju makam di mana ia dan Ami bertemu.Flash back“Apa kamu lihat makam di belakang kamu?” tanya Ami pada sang mantan suami. Vian pun memalingkan wajahnya dan melihat makam itu.Vian kembali menatap wajah sang mantan istri, setelah memperhatikan makam itu. “Kamu lihat dengan jelas, kan?!”“Makam yang ada di belakang kamu ini, makam yang selalu dikunjungi anakku.”“Jadi kamu gak usah berharap apa pun lagi. Karena anakku udah gak punya sosok orang tua lain, selain aku.”Flash back off “Ami, aku minta maaf. Karena sampai kapan pun,
“Yandi...” teriakan Yena menggelegar di seluruh ruangan. Namun, wanita itu sama sekali tak mendapat jawaban.“Yandi! Kamu udah tuli, ya!” teriak Yena dari ruang tamu.“Dasar anak gak tahu diuntung!”“Kamu itu tuli apa bisu, sih?!” teriak Yena geram.Saat Yena sibuk meneriaki putranya, justru pemilik nama yang terus diteriaki sedang asyik berbaring di atas kasurnya. “Apa-apaan, sih?! Gak capek apa teriak-teriak mulu,” celoteh Yandi.“Udah malam bukannya tidur, malah sibuk teriakin nama gue.”“Dikira gue bakalan nyahut gitu? Heh... malas banget gue. Mendingan gue tutup mata.... terus... tidur...” ucap Yandi dan segera memejamkan kedua matanya.Tok... tok...Baru saja remaja itu menutup kedua matanya, pintu kamar sudah berbunyi sangat keras. “Duh... siapa sih? Gak ada kerjaan banget. Gangguin orang tidur, aja!” “Malah kasar banget lagi ngetokin tuh pintu. Udah kek mau nyari maling, aja,” ucap Yandi kesal. Meski malas, Yandi berusaha mengumpulkan niatnya untuk bangkit dari tidur dan berg
Malam itu sebuah mobil berwarna hitam terparkir tak jauh dari kediaman Reina. Namun keberadaan mobil itu tak diketahui oleh sang gadis.“Kalian semua ke rumah gadis itu sekarang juga,” perintah seorang wanita melalui sambungan telepon dari dalam mobil hitam itu.“Sepertinya aku tak perlu menunggu lebih lama lagi. Karena kalau dipikir-pikir, aku capek juga gertak-gertak mereka.”“Mendingan aku langsung, aja. Jadi aku gak perlu buang-buang waktu dan tenaga aku karena harus terus-menerus ngulur waktu dan tenaga buat gertak mereka.”“Kalau kayak begini, aku kan bisa segera nikmatin pertunjukkan. Dan aku juga bisa segera dapatin apa yang aku mau.”“Hahaha...” Wanita itu sangat bahagia saat membayangkan semua yang akan dinikmatinya. Ia tertawa bahagia di dalam mobilnya sambil menunggu pertunjukkan dimulai.Setelah wanita itu tertawa bahagia, tak lama sekelompok pria berb
Reina dan sang bunda kini berada di pemakaman. Keduanya duduk sambil menatapi nisan sang ayah. Melihat putrinya yang menatap nisan tersebut dengan penuh makna, membuat Ami merasa sangat bersalah. Namun, ia tak ingin memberitahukan pada putrinya bahwa makam itu adalah makam palsu, dan kebenaran tentang ayahnya. Meski merasa bersalah, Ami tetap memilih untuk menyimpan semua rahasia itu. Ia ingin semua rahasia itu terkubur selamanya. Walau berarti sang putri tak akan memiliki sosok ayah lagi selamanya. “Nak,kita pulang sekarang, yuk,” ajak Ami. Seketika Reina menjadi panik mendengar ajakan sang bunda. Ia berusaha keras memikirkan cara agar bisa menghalangi bundanya untuk pulang ke rumah. “Eh... bunda, eh... aku masih mau di sini bentar lagi. Boleh ya, bunda?” Karena belum mendapatkan ide, Reina berusaha menahan sang bunda bersama, sambik ia memikir cara lain. “Duh... mikir Reina, mikir...” “Gimana kalau sampai bunda ke rumah? Bunda pasti bakalan tahu kalau aku gak baik-baik, aja. Bun
Hati Reina merasa lebih lega ketika sang bunda harus kembali bekerja lagi. Bukannya ia tak menyukai kehadiran sang bunda, tetapi ia tak ingin sang bunda mengetahui apa yang telah dialaminya.“Halo. Yandi, hari ini kamu sibuk gak?” Reina menghubungi Yandi setelah sang bunda sudah tak bersamanya lagi.“Gak. Ada apa?” tanya Yandi.“Eh... ini gue mau minta tolong. Bisa gak?” tanya Reina sedikit ragu. Ia merasa tak enak hati, jika mengganggu waktu temannya.“Bisa, bisa. Entar pulang gue langsung ke rumah. Tunggu bentar, ya. Tinggal satu MK* lagi nih. Habis itu gue langsung ke sana,” ujar Yandi. (*Mata Kuliah)“Oke. Makasih banyak, Yandi.” Setelah mengakhiri pembicaraan mereka, Reina segera kembali ke rumah.Setibanya di kediamannya, Reina segera membersihkan pecahan-pecahan kaca dengan hati-hati. Gadis itu membersihkan kamarnya dengan sangat hati-hati, agar dirinya tak terluka. Sehin