“Yandi...” teriakan Yena menggelegar di seluruh ruangan. Namun, wanita itu sama sekali tak mendapat jawaban.“Yandi! Kamu udah tuli, ya!” teriak Yena dari ruang tamu.“Dasar anak gak tahu diuntung!”“Kamu itu tuli apa bisu, sih?!” teriak Yena geram.Saat Yena sibuk meneriaki putranya, justru pemilik nama yang terus diteriaki sedang asyik berbaring di atas kasurnya. “Apa-apaan, sih?! Gak capek apa teriak-teriak mulu,” celoteh Yandi.“Udah malam bukannya tidur, malah sibuk teriakin nama gue.”“Dikira gue bakalan nyahut gitu? Heh... malas banget gue. Mendingan gue tutup mata.... terus... tidur...” ucap Yandi dan segera memejamkan kedua matanya.Tok... tok...Baru saja remaja itu menutup kedua matanya, pintu kamar sudah berbunyi sangat keras. “Duh... siapa sih? Gak ada kerjaan banget. Gangguin orang tidur, aja!” “Malah kasar banget lagi ngetokin tuh pintu. Udah kek mau nyari maling, aja,” ucap Yandi kesal. Meski malas, Yandi berusaha mengumpulkan niatnya untuk bangkit dari tidur dan berg
Malam itu sebuah mobil berwarna hitam terparkir tak jauh dari kediaman Reina. Namun keberadaan mobil itu tak diketahui oleh sang gadis.“Kalian semua ke rumah gadis itu sekarang juga,” perintah seorang wanita melalui sambungan telepon dari dalam mobil hitam itu.“Sepertinya aku tak perlu menunggu lebih lama lagi. Karena kalau dipikir-pikir, aku capek juga gertak-gertak mereka.”“Mendingan aku langsung, aja. Jadi aku gak perlu buang-buang waktu dan tenaga aku karena harus terus-menerus ngulur waktu dan tenaga buat gertak mereka.”“Kalau kayak begini, aku kan bisa segera nikmatin pertunjukkan. Dan aku juga bisa segera dapatin apa yang aku mau.”“Hahaha...” Wanita itu sangat bahagia saat membayangkan semua yang akan dinikmatinya. Ia tertawa bahagia di dalam mobilnya sambil menunggu pertunjukkan dimulai.Setelah wanita itu tertawa bahagia, tak lama sekelompok pria berb
Reina dan sang bunda kini berada di pemakaman. Keduanya duduk sambil menatapi nisan sang ayah. Melihat putrinya yang menatap nisan tersebut dengan penuh makna, membuat Ami merasa sangat bersalah. Namun, ia tak ingin memberitahukan pada putrinya bahwa makam itu adalah makam palsu, dan kebenaran tentang ayahnya. Meski merasa bersalah, Ami tetap memilih untuk menyimpan semua rahasia itu. Ia ingin semua rahasia itu terkubur selamanya. Walau berarti sang putri tak akan memiliki sosok ayah lagi selamanya. “Nak,kita pulang sekarang, yuk,” ajak Ami. Seketika Reina menjadi panik mendengar ajakan sang bunda. Ia berusaha keras memikirkan cara agar bisa menghalangi bundanya untuk pulang ke rumah. “Eh... bunda, eh... aku masih mau di sini bentar lagi. Boleh ya, bunda?” Karena belum mendapatkan ide, Reina berusaha menahan sang bunda bersama, sambik ia memikir cara lain. “Duh... mikir Reina, mikir...” “Gimana kalau sampai bunda ke rumah? Bunda pasti bakalan tahu kalau aku gak baik-baik, aja. Bun
Hati Reina merasa lebih lega ketika sang bunda harus kembali bekerja lagi. Bukannya ia tak menyukai kehadiran sang bunda, tetapi ia tak ingin sang bunda mengetahui apa yang telah dialaminya.“Halo. Yandi, hari ini kamu sibuk gak?” Reina menghubungi Yandi setelah sang bunda sudah tak bersamanya lagi.“Gak. Ada apa?” tanya Yandi.“Eh... ini gue mau minta tolong. Bisa gak?” tanya Reina sedikit ragu. Ia merasa tak enak hati, jika mengganggu waktu temannya.“Bisa, bisa. Entar pulang gue langsung ke rumah. Tunggu bentar, ya. Tinggal satu MK* lagi nih. Habis itu gue langsung ke sana,” ujar Yandi. (*Mata Kuliah)“Oke. Makasih banyak, Yandi.” Setelah mengakhiri pembicaraan mereka, Reina segera kembali ke rumah.Setibanya di kediamannya, Reina segera membersihkan pecahan-pecahan kaca dengan hati-hati. Gadis itu membersihkan kamarnya dengan sangat hati-hati, agar dirinya tak terluka. Sehin
Malam telah tiba dan Reina semakin diselimuti rasa takut. Kini seluruh tubuh gadis itu gemetar, bukan karena dingin udara malam melainkan karena rasa takutnya.Firasat Reina semakin kuat, ia sampai membayangkan segala hal buruk menimpanya. Namun, gadis itu tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ia tak mungkin menghubungi kepolisian, karena tak terjadi apa pun pada dirinya. Ia tak mungkin juga menghubungi sang bunda, karena tak ingin merepotkan bundanya yang pasti sedang kelelahan karena bekerja seharian. Kini Reina hanya mengirimi pesa pada Vian, papi Rein. Sayangnya pria itu belum membalas pesan singkat dari gadis itu. Karena rasa takutnya yang tak tertahankan lagi, Reina akhirnya memutuskan untuk menghubungi Yandi, tetapi Yandi tak menjawab satu pun panggilan darinya. Kini yang bisa dilakukan Reina hanya berdoa. Gadis itu bahkan hanya bersembunyi di dalam lemari pakaiannya, dan sambil berdoa pada Yang Maha Kuasa menyerahkan semua rasa takutnya. ***
“Tadi itu kurang memuaskan.” Wajah Yena terlihat sangat kesal. Ia menatap tajam para anak buahnya yang tak memberikannya pertunjukkan yang memuaskan. “I have to promise that i’ll pay all of you....” Wanita itu tak menyelesaikan kalimatnya dan menatap salah satu pria. Ia adalah pria berbadan besar dan sangat kekar yang mengangkat seorang gadis, hanya dengan memegang wajahnya. “Nyonya akan memberikan kami bayaran sesuai dengan hasil pertunjukannya,” ujar pria berbadan kekar itu. “Yes. Sangat amat tepat.” “But why? Why? Kenapa pertunjukkannya malah membosankan!” Yena tak terima dengan pertunjukan yang baru saja ditontonnya. Ia kesal karena telah menantikan pertunjukan yang luar biasa, namun yang semuanya di luar ekspetasinya. “Tapi kami telah memberikan yang terbaik. Hanya saja nyonya tak ada di tempat pertunjukkan sebelumnya,” jawab pria berbadan kekar. “Kan saya sudah bilang, jangan buat pertunjukkan itu di rumah! Buat di tempat lain! Lalu kenapa kalian buat di sana?!” “Kalian ng
“Yandi!” teriak Yudi mengejutkan Yandi, hingga membuatnya tersadar dari tidurnya.“Kamu ngapain tidur-tiduran di meja makan?!” tanya Yudi kesal.“Ya habisnya papa sama mama kelamaan, kan aku bosan jadinya. Daripada bosan, mending aku tidur aja sekalian,” jawab Yandi santai.“Kamu pikir mama sama papa lagi main tadi?” tanya Yudi kesal namun tak dihiraukan Yandi. “Mana Yeri?” Yudi baru tersadar jika putra bungsunya sudah tak berada di meja makan bersama mereka lagi.“Ya mana aku tahu. Lagi tidur kali, atau nonton, atau ke kamar mandi kali,” sahut Yandi. “lagian ngapain nanya ke aku? Emangnya mata kau dilem ke badannya dia gitu? Kan enggak.”Jawaban Yandi semakin membuat papanya merasa frustasi. “Yeri! Yeri..!” teriak Yudi dan putra bungsunya pun segera menjawab panggilannya dari kejauhan.“Kamu dari mana aja?” tanya Yudi menantap tajam Yeri yang baru tiba di meja makan. “Maaf pa, tadi Yeri sakit perut,” ujar Yeri berbohong.“Duduk!” perintah Yudi dan Yeri pun segera kembali ke tempat du
Tak... tak...Arah jarum jam terus berputar dan waktu terus berlalu. Yandi yang penuh rasa cemas dan khawatir terus mengitari kamarnya. Pria itu terus saja memikirkan cara paling aman untuk mencari tahu keadaan Reina.“Astaga...” Yandi menghentikan langkah kakinya seraya menepuk keningnya. “kenapa gue gak kepikiran minta tolong sama dia coba?”“Halo, lo lagi sibuk gak sekarang?” ucap Yandi menghubungi seseorang.“Gue mau minta tolong sama lo. Ini soal Ananda. Gue mau minta tolong lo buat cek rumahnya dia, apa dia ada atau enggak, terus keadaannya kayak gimana. Habis itu lo tolong kasih tahu ke gue,” ujar Yandi meminta pertolongan pada temannya.“Tolong banget, ya. Soalnya gue gak bisa ke mana-mana, nih,” jelas Yandi.Yandi sangat merasa lega karena ia akhirnya mendapat bantuan. Namun pikirannya masih belum tenang. “Okay, thank you banget,” ucap Yandi dan mengakhiri panggilan.Perasaan cemas dan khawatir masa tak ingin pergi darinya selama tak ada kabar tentang Reina. Meski ia sudah me
Kehidupan adalah suatu anugerah dari Tuhan. Kehidupan juga merupakan rahasia. Dalam kehidupan ini tentunya banyak hal-hal yang terjadi di luar dugaan, yang terkadang menghasilkan tawa tetapi dapat juga menghasilkan air mata.Setiap detik, setiap menit dan setiap jam dalam kehidupan ini selalu dipenuhi rahasia. Sebagai manusia kita pastinya tak akan tahu apa yang bisa terjadi beberapa waktu ke depan. Terkadang apa yang kita duga memang terjadi, tetapi sering juga terjadi hal yang tak pernah kita duga.Setelah menjalani kehidupan tanpa kedua orang tuanya, kini Yandi bersama dua saudaranya tak pernah kehilangan senyum lagi. Mereka pun selalu menikmati waktu berkumpul di meja makan.Yani, Yandi dan Yeri selalu memiliki waktu untuk satu sama lain, meski mereka pun sibuk dengan pekerjaan atau pun pendidikan mereka. Suasana rumah Yandi yang dulunya terasa suram, kini terasa lebih cerah. Selalu ada tawa dan kebahagiaan. Tak hanya ada tangis melulu, atau tekanan melulu. Ketiga bersaudara itu
Kehidupan memang selalu diisi oleh berbagai hal. Kadang yang mengisi kehidupan adalah hal-hal yang sudah kita duga. Tapi terkadang juga diisi dengan hal-hal yang tak pernah diduga. Hari-hari Ami dan Vian kini dijalani dengan penuh air mata. Keduanya kini resmi memilih untuk tak berjalan bersama lagi. Ami dan Vian telah sepakat untuk menjalani kehidupan masing-masing. Namun mereka masih tetap mengurus Reina sebagai anak bersama-sama. Hanya saja, baik Vian maupun Ami saling membatasi diri. Setelah berhenti menjadi asisten rumah tangga Yandi dan keluarganya, kini Ami mulai membuka usaha kecil-kecil dari uang yang kerja kerasnya selama ini. Yani sendiri memberikan uang dalam jumlah yang cukup fantastis kepada Ami. Gasia itu memberikan Ami uang sebagai gaji terakhirnya dan juga sebagai ganti rugi atas perbuatan Yena. Uang yang diberikan Yani pada wanita itu adalah uang milik kedua orang tuanya. Ami kini telah membeli sebuah gerobak yang akan digunakannya untuk berjualan. Ia membeli gerob
Keputusan Ami untuk membiarkan Reina tetap berhubungan dengan Ayahnya adalah sebuah keputusan besar. Namun ia sadar, bahwa putrinya tak akan pernah bahagia jika ia terus melarangnya. Ia pun sadar bahwa Reina tak akan tinggal diam saja, jika ia terus melarangnya. Sehingga ia merasa apa pun larangan yang ia beri, itu tak akan membuat putrinya berhenti menemui ayahnya.Keputusan Ami untuk tetap membiarkan Vian berhubungan dengan putrinya lagi, membuat Vian merasa senang. Namun, di sisi lain ia pun merasa sedih. Saat memeluk Reina, Vian menyadari bahwa ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu. Ia sebenarnya tak hanya ingin membuat Ami menghilangkan larangannya itu. Sebenarnya Vian dan Ami menginginkan hal yang sama. Jauh di dalam lubuk hati mereka, ada suatu keinginan yang tertahan sejak lama dan kini harus dikubur mereka sedalam-dalam.Tak hanya Ami, Vian pun sangat ingin rumah tangga mereka telah hancur dulu, bisa kembali lagi. Namun, itu semua susah tak mungkin lagi. Sejak Vian
“Reina! Keluar lo, gue belum selesai ngomong!” teriak Rein gigih. Meski Reina sudah meninggalkan, namun ia tak menyerah. Reina pun kembali menemuinya. “Ada apaan lagi?” tanya Reina.“Gue mau tahu, ya. Lo harus jauh-jauh dati papi gue!” ujar Rein sembari menunjuk Reina.Reina memutar bola matanya dan menggeleng pelan kepalanya. “Lo paham kata-kata gue tadi?!” tanya Reina geram. “Gue rasa udah jelas, ya. Jadi gak perlu ulangin lagi.”“Gak! Gue gak terima, gue gak mau dan gak sudi lo ngerrbut semua milik gue!” balas Reina.“Gue gak pernah rebut milik lo, ya! Mau Yandi atau pun papi, lo gue kan udah bilang, gue udah bilang kalau gue gak ngerebut mereka,” jelas Reina. “Lagian om Vian bukan cuma papi lo, doang! Jadi lo gak bisa ngelarang gue!” tegas Reina.“Gue gak mau hidup gue hancur karena lo!” teriak Rein.“Gue gak pernah ngehancurin hidup lo, ya! Harusnya gue yang marah-marah ke lo dan lo, karena mami itu udah hancurin hidup gue!” balas Reina. “Asal lo tahu, gara-gara mami lo, gue jad
Hidup Rein sebagai anak tunggal dan satu-satunya anak kesayangan Vian hancur begitu saja dalam waktu singkat. Hidupnya terasa begitu gelap semenjak mengetahui semua kebenaran tentang kedua orang tuanya.Sejak saat itu, Rein hanya mengurung dirinya di kamar. Ia bahkan tak makan maupun minum sama sekali. Kondisi tubuhnya pun semakin melemah.Suasana rumah itu pun menjadi sangat gelap. Semenjak semuanya terbongkar, tak ada lagi percakapan yang terjadi, selain pertengkaran Nia dan Vian.Nia terus saja meminta Vian untuk tak kembali kepada Ami. Sesekali ia juga memaksa Vian untuk tak menemui Reina. Namun Vian tetap menolak semua permintaan sang istri.Semua pertengkaran itu selalu saja didengar oleh Rein. Pertengkaran itu membuatnya tak ingin menginjakkan kakinya di tempat lain, selain kamarnya. Ia yang selalu berada di dalam kamarnya pun membuat Vian khawatir. Vian selalu mendatangi kamarnya, namun gadis itu selalu mengusir Vian. Hal yang sama pun terjadi pada Nia. Rein sangat marah besa
Suasana yang canggung kini telah pergi dan diganti dengan suasana sedih. Air mata Reina banjir malam itu. Gadis itu hanya bersandar pada Yandi dan terus meneteskan air matanya.Yandi tak tahan melihat Reina terus-terusan meneteskan air matanya. Ia berusaha memikirkan sebuah cara. Namun, ia pun tak bisa menemukan cara yang tepat.Permasalahan dalam keluarga adalah permasalahan yang sering dialaminya. Namun, ia bukanlah orang yang suka mencari jalan keluar. Ia adalah orang yang sering membantah dan melawan. Sehingga sulit baginya untuk membantu Reina menemukan jalan keluar untuk masalahnya.“Eh... sorry, sorry. Gue malah nangis gak jelas lagi,” ucap Reina segera menghapus air matanya. “Gak papa kali. Gak perlu minta. Gue malah senang kalau lo mau cerita,” ucap Yandi lembut.“Eh... tapi kayaknya lo gak bisa di sini lama-lama, deh. Soalnya ini udah mau jam sepuluh,” ucap Yandi merasa tak enak hati. Tanpa sadar mereka menghabiskan cukup banyak waktu dan kini waktu hampir menunjukkan pukul
Kaki Reina terus melangkah menjauhi rumahnya. Semakin lama, semakin jauh ia melangkah. Namun, gadis itu bahkan tak tahu ia harus terus melangkahkan kakinya ke mana. Reina terus berjalan tanpa henti. Tubuh serasa lesu. Tenaganya habis terkuras setelah banyak meneteskan air mata. Pikirannya pun menjadi sangat kacau.Tit.... Tit....“Ha?” Reina terkejut dengan suara klakson mobil yang begitu dekat dengannya. “Reina, lo—lo habis kenapa?” tanya Andi khawatir setelah melihat mata Reina yang sembab. “Gak papa, kok,” jawab Reina dengan suaranya yang serak.“Tuh... tuh... suara lo serak kayak gitu, masih aja bilang gak papa.” Perkataan Reina tak mencerminkan keadaannya yang terlihat jelas tak baik-baik saja. “Lagian lo mau ke mana, sih?” tanya Andi.“Gak tahu,” jawab Reina. Andi pun merasa aneh dengan jawaban gadis itu. Namun satu hal yang biasa ia pastikan, bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. “Ya udah. Kalau gitu, mendingan lo naik, deh. Entar gue antarin lo ke mana, aja,” ujar And
“Reina...” teriak Ami, namun putrinya tak menghiraukannyaHari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi Ami, karena hari ini ia bisa segara menjemput putrinya. Ia pun bisa kembali berkumpul bersama putrinya tanpa harus berpisah lagi. Hari ini, Ami sengaja berhenti dari pekerjaannya. Ia memilih berhenti agar ia bisa mengurus putrinya yang sedang sakit. Meski Yani dan Yeri tak setuju, namun mereka tak bisa menahan Ami. Mereka pun harus melepaskan Ami, agar ia bisa merawat putrinya. Selain itu, mereka saat ini mulai mengalami masalah keuangan. Melepaskan Ami di kondisi sekarang adalah salah satu pilihan untuk mengurangi pengeluaran. Semenjak kedua orang tua mereka berada di tahanan, pekerjaan mereka pun tak ada yang mengurusnya. Baik Yani maupun Yandi, keduanya sama-sama tak berminat melanjutkan pekerjaan orang tua mereka. Belum lagi, mereka harus membayar tagihan rumah sakit Yandi.Yani adalah satu-satunya anggota keluarga yang susah bekerja selain kedua orang tuanya. Yand
Semua teka-teki dari beribu pertanyaan di kepala Reina kini telah terpecahkan. Namun, ia tak menyangka jika semuanya sangat menyakitkan. Rasa sakit itu bukan hanya semata-mata karena kebohongan Ami. Semenjak mendengar pertengkaran Vian dan Nia, Reina sudah tahu bahwa selama ini Ami telah membohongi dirinya tentang ayahnya yang susah meninggal.Reina memang merasa kecewa dan sedih. Namun, setelah ia mendengar perdebatan bundanya dan Vian, ia merasa sangat sakit hati dengan sikap bundanya. Reina yang terlanjur sakit hati pun memilih untuk menjauh dari Vian dan Ami. Ia berlari sekuat mungkin menjauhi mereka, tanpa tahu ke mana ia harus terus berlari.Kaki Reina terus melangkah dan melangkah, dan tanpa sadar ia berlari menuju tempat yang tak asing. Ya, tempat itu adalah tempat yang sering dikunjunginya. Tanpa sadar, Reina terus melangkahkan kakinya menuju tempat pemakaman umum. Suatu tempat yang sering ia kunjungi, ketika ia merindukan sosok seorang ayah.“Ayah?” Tubuh Reina terasa lem