Tak... tak...Arah jarum jam terus berputar dan waktu terus berlalu. Yandi yang penuh rasa cemas dan khawatir terus mengitari kamarnya. Pria itu terus saja memikirkan cara paling aman untuk mencari tahu keadaan Reina.“Astaga...” Yandi menghentikan langkah kakinya seraya menepuk keningnya. “kenapa gue gak kepikiran minta tolong sama dia coba?”“Halo, lo lagi sibuk gak sekarang?” ucap Yandi menghubungi seseorang.“Gue mau minta tolong sama lo. Ini soal Ananda. Gue mau minta tolong lo buat cek rumahnya dia, apa dia ada atau enggak, terus keadaannya kayak gimana. Habis itu lo tolong kasih tahu ke gue,” ujar Yandi meminta pertolongan pada temannya.“Tolong banget, ya. Soalnya gue gak bisa ke mana-mana, nih,” jelas Yandi.Yandi sangat merasa lega karena ia akhirnya mendapat bantuan. Namun pikirannya masih belum tenang. “Okay, thank you banget,” ucap Yandi dan mengakhiri panggilan.Perasaan cemas dan khawatir masa tak ingin pergi darinya selama tak ada kabar tentang Reina. Meski ia sudah me
Senyum semringah menghiasi wajah Yena. Wanita itu merasa begitu segar dan bahagia pagi itu. Suasana hatinya yang sangat bagus, membuat Yena mengerjakan pekerjaannya penuh senyuman.Para karyawan yang melihat Yena terus saja tersenyum sejak pagi hingga siang hari, merasa terheran-heran. Yena yang sering marah-marah dan berbicara dengan nada tinggi, hari ini berbicara dengan penuh kelembutan.Seluruh karyawan begitu tercengang dengan sifat Yena yang berubah seratus delapan puluh derajat. Mereka bahkan sampai menanyakan kondisi kesehatan wanita itu. Yena pun menjawab dengan lembut bahwa ia baik-baik saja. Jawabannya pun semakin membuat semua orang terheran-heran.***********Di setiap meja dalam kantin kantor, semua karyawan duduk berkelompok seperti biasanya. Namun, kali ini mereka tidak duduk berkelompok sambil menceritakan pekerjaan, hobi atau aktivitas lain serta kehidupan pribadi mereka, melainkan Yena.Yena kina menjadi perbincangan hangat para karyawan saat menyantap makan siang.
Hingga kini keadaan Reina belum ditemukan oleh Doni maupun Vian. Kedua pria itu masih mencari tahu keberadaan Reina saat ini. Vian yang telah mendapatkan nomor telepon Doni, segera menghubunginya. Mereka sepakat untuk membagi lokasi pencarian agar lebih efektif. Tak lupa, kedua pria itu akan saling memberi kabar setelah mencari di suatu lokasi.Tak hanya Yandi yang begitu mengkhawatirkan Reina, pria bernama Vian juga sangat mengkhawatirkan gadis itu. “Reina.... Kamu di mana, sih? Om khawatir banget sama kamu,” ucap Vian sambil mengendarai mobilnya. Vian saat ini masih menyusuri area yang tak begitu jauh dari rumah gadis itu.“Mana perasaan aku gak enak banget lagi. Semoga kamu baik-baik, aja.” Meski ia belum lama mengenal Reina, namun entah mengapa Vian merasa begitu menyayangi gadis itu. Ia bahkan menganggap gadis itu seperti anaknya sendiri.“Kamu ke mana, sih? Sampai-sampai gak ada orang yang ngelihat kamu keluar dari rumah.” Vian kini semakin menjauhi area rumah Reina. Ia tak tahu
“Yandi.... Sepertinya kamu benar-benar tunduk kali ini.” Yena tersenyum licik sambil melihat foto masa kecil Yandi, saat putranya masih duduk di bangku kelas enam SD. Dalam foto itu, Yandi sedang memegang sebuah piala dengan memakai pakaian seragam lengkap. “Yandi, anak mama tersayang. Mama pastikan kamu akan jadi anak mam yang dulu lagi.” “Kita lihat aja, Yandi. Dalam waktu singkat, kamu akan kembali seperti dulu lagi.” Hari ini Yena merasa sangat senang hanya karena sebuah telepon. Ya, telepon itu berasal dari putranya, yang ingin meminta izin untuk menjenguk temannya. Meminta izin sendiri adalah peristiwa langkah, karena pria itu memang tak pernah melakukannya lagi sejak ia duduk di bangku SMA. “Hari ini kamu minta ijin. Besok... mungkin masih tetap minta ijin. Tapi kali berikut, kamu pasti akan lakuin lebih dari itu. Hahaha...” “Kali ini apa aku biarin aja dia?” Yena berpikir keras untuk mengambil langkah selanjutnya. Wanita itu tak ingin ia kehilangan kesempatan untuk mengenda
Saat ini Yena harus memutar otaknya agar rencananya dapat berjalan dengan mulus. Apalagi ia mulai kedatangan orang-orang yang akan menjadi penganggu dan penghambat berjalannya rencana sempurna miliknya itu. “Dasar, tikus-tikus penganggu!” gumam Yena Kesal.“Aku gak bisa biarin tikus-tikus penganggu itu merusak rencanaku. Aku harus beresin mereka secepatnya.” Yena mulai memikirkan cara terbaik untuk menyingkirkan para penganggu secepatnya, namun semunya harus tetap sempurna. “Ha...” Yena menghembuskan nafasnya kesal. Ia merasa semakin kesal karena dirinya tak bisa memikirkan rencana sempurna, untuk menyingkirkan para pengganggu itu.“Gak. Kayaknya di sini bukan tempat yang bagus buat mikirin rencana yang paling perfect buat nyingkirin para tikus.” Yena merasa tempat kerja tak cocok untuk memikirkan rencana penyingkiran bara penganggu. Ia pun akhirnya memutuskan untuk mencari tempat yang lebih mendukungnya untuk menyusun rencana baru. “Memang aku harus out dari tempat ini. Kalau engg
Ada masalah apa lagi, sih?!” tanya Yena kesal.“Para penganggu, nyonya,” jawab anak biah Yena.“Aku gak mau tahu. Pokoknya gimana pun caranya, kalian harus segera bereskan para tikus itu, dan selesaikan tugas kalian secepatnya!” perintah Yena.“Ta—tapi gimana caranya, nyonya? Di sini terlalu ramai dan kalau salah langkah, kita bisa ketahuan,” ujar anak buahnya.“Masa nyelesain tikus-tikus gitu aja kalian gak bisa?!”ujar Yena tak habis pikir. “Oke, gini. Pertama-tama kalian cari tahu siapa pria itu. Kemudian usik sesuatu yang berharga buat dia, setelah itu siapkan pertunjukan spektakuler.”“Baik. Siap, nyonya.” ********************Rumah sakit Cempaka, tempat di mana Reina dirawat sudah dipenuhi oleh anak buah Yena. Para pria itu terus memperhatikan gerak-gerik Vian, sambil menjaga jarak mereka dengan pria itu.Anak-anak buah Yena juga menghitung selang waktu saat perawat atau dokter datang ke ruang Reina. Para pria itu juga mengambil beberapa foto Via
Kedua kaki dan tangan Reina kini tak bisa digerakkan lagi. Mulutnya pun tertutup rapat hingga tak bisa mengeluarkan suara sedikit pun. Hanya air mata yang berjatuhan menjelaskan betapa tersiksanya ia saat itu. “Gimana, nyonya?” tanya seorang pria yang berdiri di sebelah kiri Reina. “Hmm... bagus. Sepertinya hari ini cukup sampai di sini, kita lanjutkan lagi di hari lain,” ucap Yena merasa senang. “Baik, nyonya,” jawab para pria yang berada di dekat Reina dengan serentak.“Kerja kalian hari ini sangat memuaskan. Nex time, harus lebih memuaskan,” ujar Yena merasa puas dengan pertunjukkan hari ini. Wanita itu pun segera mengakhiri panggilan video yang sedang berlangsung, setelah merasa puas dengan pertunjukkan kali ini.“Kayaknya dia pingsan, deh,” ucap seorang pria di sebelah kanan Reina. Pria itu melepaskan tangannya perlahan dari mulut Reina. Ia memukul pelan wajah gadis itu beberapa kali, untuk mengecek apakah ia benar-benar kehilangan kesadarannya, atau hanya berpura-pura saja. “
Kini Yandi kembali lagi berada di meja belajarnya. Ia mulai memikirkan lagi rencananya. Pria itu kembali mengambil kertas-kertasnya yang disimpannya dalam laci meja dengan sembarangan. Yandi kini sibuk menyusun rencana yang paling ampuh untuk menemukan sosok penculik itu. Saat sedang menyusun rencananya, Yandi tiba-tiba saja terpikirkan akan sesuatu. “Kok gue baru kepikiran, ya?” “Mama dulu pernah ngancam aku. Dan diancaman mama itu kayak jelas banget kalau mama tuh tahu pasti siapa orang yang dekat sama gue. Apa jangan-jangan...” Brak!Mata Yandi membelalak, ia masih tak habis pikir dengan kelakuan mamanya. “Gue tahu kalau mama adalah orang yang bakalan lakuin apa pun demi tujuannya. Tapi... tapi gak mungkin kan orang itu mama?!” Yandi merasa merinding saat memikirkan semuanya. Ia masih tak habis pikir jika mamanya berada di belakang layar kasus penculikan Reina.“Gak, gak. Gue harus pastiin sekali lagi. Gue gak boleh sembarangan, karena gue sembarangan bisa gagal rencana gue.” Ya