Senyum semringah menghiasi wajah Yena. Wanita itu merasa begitu segar dan bahagia pagi itu. Suasana hatinya yang sangat bagus, membuat Yena mengerjakan pekerjaannya penuh senyuman.Para karyawan yang melihat Yena terus saja tersenyum sejak pagi hingga siang hari, merasa terheran-heran. Yena yang sering marah-marah dan berbicara dengan nada tinggi, hari ini berbicara dengan penuh kelembutan.Seluruh karyawan begitu tercengang dengan sifat Yena yang berubah seratus delapan puluh derajat. Mereka bahkan sampai menanyakan kondisi kesehatan wanita itu. Yena pun menjawab dengan lembut bahwa ia baik-baik saja. Jawabannya pun semakin membuat semua orang terheran-heran.***********Di setiap meja dalam kantin kantor, semua karyawan duduk berkelompok seperti biasanya. Namun, kali ini mereka tidak duduk berkelompok sambil menceritakan pekerjaan, hobi atau aktivitas lain serta kehidupan pribadi mereka, melainkan Yena.Yena kina menjadi perbincangan hangat para karyawan saat menyantap makan siang.
Hingga kini keadaan Reina belum ditemukan oleh Doni maupun Vian. Kedua pria itu masih mencari tahu keberadaan Reina saat ini. Vian yang telah mendapatkan nomor telepon Doni, segera menghubunginya. Mereka sepakat untuk membagi lokasi pencarian agar lebih efektif. Tak lupa, kedua pria itu akan saling memberi kabar setelah mencari di suatu lokasi.Tak hanya Yandi yang begitu mengkhawatirkan Reina, pria bernama Vian juga sangat mengkhawatirkan gadis itu. “Reina.... Kamu di mana, sih? Om khawatir banget sama kamu,” ucap Vian sambil mengendarai mobilnya. Vian saat ini masih menyusuri area yang tak begitu jauh dari rumah gadis itu.“Mana perasaan aku gak enak banget lagi. Semoga kamu baik-baik, aja.” Meski ia belum lama mengenal Reina, namun entah mengapa Vian merasa begitu menyayangi gadis itu. Ia bahkan menganggap gadis itu seperti anaknya sendiri.“Kamu ke mana, sih? Sampai-sampai gak ada orang yang ngelihat kamu keluar dari rumah.” Vian kini semakin menjauhi area rumah Reina. Ia tak tahu
“Yandi.... Sepertinya kamu benar-benar tunduk kali ini.” Yena tersenyum licik sambil melihat foto masa kecil Yandi, saat putranya masih duduk di bangku kelas enam SD. Dalam foto itu, Yandi sedang memegang sebuah piala dengan memakai pakaian seragam lengkap. “Yandi, anak mama tersayang. Mama pastikan kamu akan jadi anak mam yang dulu lagi.” “Kita lihat aja, Yandi. Dalam waktu singkat, kamu akan kembali seperti dulu lagi.” Hari ini Yena merasa sangat senang hanya karena sebuah telepon. Ya, telepon itu berasal dari putranya, yang ingin meminta izin untuk menjenguk temannya. Meminta izin sendiri adalah peristiwa langkah, karena pria itu memang tak pernah melakukannya lagi sejak ia duduk di bangku SMA. “Hari ini kamu minta ijin. Besok... mungkin masih tetap minta ijin. Tapi kali berikut, kamu pasti akan lakuin lebih dari itu. Hahaha...” “Kali ini apa aku biarin aja dia?” Yena berpikir keras untuk mengambil langkah selanjutnya. Wanita itu tak ingin ia kehilangan kesempatan untuk mengenda
Saat ini Yena harus memutar otaknya agar rencananya dapat berjalan dengan mulus. Apalagi ia mulai kedatangan orang-orang yang akan menjadi penganggu dan penghambat berjalannya rencana sempurna miliknya itu. “Dasar, tikus-tikus penganggu!” gumam Yena Kesal.“Aku gak bisa biarin tikus-tikus penganggu itu merusak rencanaku. Aku harus beresin mereka secepatnya.” Yena mulai memikirkan cara terbaik untuk menyingkirkan para penganggu secepatnya, namun semunya harus tetap sempurna. “Ha...” Yena menghembuskan nafasnya kesal. Ia merasa semakin kesal karena dirinya tak bisa memikirkan rencana sempurna, untuk menyingkirkan para pengganggu itu.“Gak. Kayaknya di sini bukan tempat yang bagus buat mikirin rencana yang paling perfect buat nyingkirin para tikus.” Yena merasa tempat kerja tak cocok untuk memikirkan rencana penyingkiran bara penganggu. Ia pun akhirnya memutuskan untuk mencari tempat yang lebih mendukungnya untuk menyusun rencana baru. “Memang aku harus out dari tempat ini. Kalau engg
Ada masalah apa lagi, sih?!” tanya Yena kesal.“Para penganggu, nyonya,” jawab anak biah Yena.“Aku gak mau tahu. Pokoknya gimana pun caranya, kalian harus segera bereskan para tikus itu, dan selesaikan tugas kalian secepatnya!” perintah Yena.“Ta—tapi gimana caranya, nyonya? Di sini terlalu ramai dan kalau salah langkah, kita bisa ketahuan,” ujar anak buahnya.“Masa nyelesain tikus-tikus gitu aja kalian gak bisa?!”ujar Yena tak habis pikir. “Oke, gini. Pertama-tama kalian cari tahu siapa pria itu. Kemudian usik sesuatu yang berharga buat dia, setelah itu siapkan pertunjukan spektakuler.”“Baik. Siap, nyonya.” ********************Rumah sakit Cempaka, tempat di mana Reina dirawat sudah dipenuhi oleh anak buah Yena. Para pria itu terus memperhatikan gerak-gerik Vian, sambil menjaga jarak mereka dengan pria itu.Anak-anak buah Yena juga menghitung selang waktu saat perawat atau dokter datang ke ruang Reina. Para pria itu juga mengambil beberapa foto Via
Kedua kaki dan tangan Reina kini tak bisa digerakkan lagi. Mulutnya pun tertutup rapat hingga tak bisa mengeluarkan suara sedikit pun. Hanya air mata yang berjatuhan menjelaskan betapa tersiksanya ia saat itu. “Gimana, nyonya?” tanya seorang pria yang berdiri di sebelah kiri Reina. “Hmm... bagus. Sepertinya hari ini cukup sampai di sini, kita lanjutkan lagi di hari lain,” ucap Yena merasa senang. “Baik, nyonya,” jawab para pria yang berada di dekat Reina dengan serentak.“Kerja kalian hari ini sangat memuaskan. Nex time, harus lebih memuaskan,” ujar Yena merasa puas dengan pertunjukkan hari ini. Wanita itu pun segera mengakhiri panggilan video yang sedang berlangsung, setelah merasa puas dengan pertunjukkan kali ini.“Kayaknya dia pingsan, deh,” ucap seorang pria di sebelah kanan Reina. Pria itu melepaskan tangannya perlahan dari mulut Reina. Ia memukul pelan wajah gadis itu beberapa kali, untuk mengecek apakah ia benar-benar kehilangan kesadarannya, atau hanya berpura-pura saja. “
Kini Yandi kembali lagi berada di meja belajarnya. Ia mulai memikirkan lagi rencananya. Pria itu kembali mengambil kertas-kertasnya yang disimpannya dalam laci meja dengan sembarangan. Yandi kini sibuk menyusun rencana yang paling ampuh untuk menemukan sosok penculik itu. Saat sedang menyusun rencananya, Yandi tiba-tiba saja terpikirkan akan sesuatu. “Kok gue baru kepikiran, ya?” “Mama dulu pernah ngancam aku. Dan diancaman mama itu kayak jelas banget kalau mama tuh tahu pasti siapa orang yang dekat sama gue. Apa jangan-jangan...” Brak!Mata Yandi membelalak, ia masih tak habis pikir dengan kelakuan mamanya. “Gue tahu kalau mama adalah orang yang bakalan lakuin apa pun demi tujuannya. Tapi... tapi gak mungkin kan orang itu mama?!” Yandi merasa merinding saat memikirkan semuanya. Ia masih tak habis pikir jika mamanya berada di belakang layar kasus penculikan Reina.“Gak, gak. Gue harus pastiin sekali lagi. Gue gak boleh sembarangan, karena gue sembarangan bisa gagal rencana gue.” Ya
Yena merasa begitu bahagia dengan semua yang didapatkannya. “Gak sia-sia aku buang-buang tenaga dan waktuku buat ngedidik anak itu. Hahaha...”“Yandi, mama kamu ini akan mempersiapkan segala sesuatu, agar kamu jadi penerusku yang sempurna. Hahaha....” Yena segera meninggalkan ruang kerja sambil tertawa bahagia. Tak lupa sebelum pergi, Yena singgah ke kamar putranya terlebih dahulu. “Yandi sayang.... Kamu jangan ke mana-mana, ya. Nanti mama bakal bawa hadiah istimewa buat kamu. Oke?” ujar Yena dan segera meninggalkan putranya terkurung di kamar. “Sial! Perasaan gue gak enak banget.” Yandi membatin khawatir setelah mendengar perkataan mamanya. Ia memang tak tahu apa yang akan dilakukan oleh wanita itu. Tetapi ia yakin bahwa wanita itu akan melakukan hal yang buruk pada Reina. ***************************“Oh.... Aku lupa sesuatu.” Yena segera kembali ke dalam rumah setelah mengingat sesuatu. “Astaga, bisa-bisanya aku lupa membawa kabar bahagia,” ucap Yen tert
Kehidupan adalah suatu anugerah dari Tuhan. Kehidupan juga merupakan rahasia. Dalam kehidupan ini tentunya banyak hal-hal yang terjadi di luar dugaan, yang terkadang menghasilkan tawa tetapi dapat juga menghasilkan air mata.Setiap detik, setiap menit dan setiap jam dalam kehidupan ini selalu dipenuhi rahasia. Sebagai manusia kita pastinya tak akan tahu apa yang bisa terjadi beberapa waktu ke depan. Terkadang apa yang kita duga memang terjadi, tetapi sering juga terjadi hal yang tak pernah kita duga.Setelah menjalani kehidupan tanpa kedua orang tuanya, kini Yandi bersama dua saudaranya tak pernah kehilangan senyum lagi. Mereka pun selalu menikmati waktu berkumpul di meja makan.Yani, Yandi dan Yeri selalu memiliki waktu untuk satu sama lain, meski mereka pun sibuk dengan pekerjaan atau pun pendidikan mereka. Suasana rumah Yandi yang dulunya terasa suram, kini terasa lebih cerah. Selalu ada tawa dan kebahagiaan. Tak hanya ada tangis melulu, atau tekanan melulu. Ketiga bersaudara itu
Kehidupan memang selalu diisi oleh berbagai hal. Kadang yang mengisi kehidupan adalah hal-hal yang sudah kita duga. Tapi terkadang juga diisi dengan hal-hal yang tak pernah diduga. Hari-hari Ami dan Vian kini dijalani dengan penuh air mata. Keduanya kini resmi memilih untuk tak berjalan bersama lagi. Ami dan Vian telah sepakat untuk menjalani kehidupan masing-masing. Namun mereka masih tetap mengurus Reina sebagai anak bersama-sama. Hanya saja, baik Vian maupun Ami saling membatasi diri. Setelah berhenti menjadi asisten rumah tangga Yandi dan keluarganya, kini Ami mulai membuka usaha kecil-kecil dari uang yang kerja kerasnya selama ini. Yani sendiri memberikan uang dalam jumlah yang cukup fantastis kepada Ami. Gasia itu memberikan Ami uang sebagai gaji terakhirnya dan juga sebagai ganti rugi atas perbuatan Yena. Uang yang diberikan Yani pada wanita itu adalah uang milik kedua orang tuanya. Ami kini telah membeli sebuah gerobak yang akan digunakannya untuk berjualan. Ia membeli gerob
Keputusan Ami untuk membiarkan Reina tetap berhubungan dengan Ayahnya adalah sebuah keputusan besar. Namun ia sadar, bahwa putrinya tak akan pernah bahagia jika ia terus melarangnya. Ia pun sadar bahwa Reina tak akan tinggal diam saja, jika ia terus melarangnya. Sehingga ia merasa apa pun larangan yang ia beri, itu tak akan membuat putrinya berhenti menemui ayahnya.Keputusan Ami untuk tetap membiarkan Vian berhubungan dengan putrinya lagi, membuat Vian merasa senang. Namun, di sisi lain ia pun merasa sedih. Saat memeluk Reina, Vian menyadari bahwa ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu. Ia sebenarnya tak hanya ingin membuat Ami menghilangkan larangannya itu. Sebenarnya Vian dan Ami menginginkan hal yang sama. Jauh di dalam lubuk hati mereka, ada suatu keinginan yang tertahan sejak lama dan kini harus dikubur mereka sedalam-dalam.Tak hanya Ami, Vian pun sangat ingin rumah tangga mereka telah hancur dulu, bisa kembali lagi. Namun, itu semua susah tak mungkin lagi. Sejak Vian
“Reina! Keluar lo, gue belum selesai ngomong!” teriak Rein gigih. Meski Reina sudah meninggalkan, namun ia tak menyerah. Reina pun kembali menemuinya. “Ada apaan lagi?” tanya Reina.“Gue mau tahu, ya. Lo harus jauh-jauh dati papi gue!” ujar Rein sembari menunjuk Reina.Reina memutar bola matanya dan menggeleng pelan kepalanya. “Lo paham kata-kata gue tadi?!” tanya Reina geram. “Gue rasa udah jelas, ya. Jadi gak perlu ulangin lagi.”“Gak! Gue gak terima, gue gak mau dan gak sudi lo ngerrbut semua milik gue!” balas Reina.“Gue gak pernah rebut milik lo, ya! Mau Yandi atau pun papi, lo gue kan udah bilang, gue udah bilang kalau gue gak ngerebut mereka,” jelas Reina. “Lagian om Vian bukan cuma papi lo, doang! Jadi lo gak bisa ngelarang gue!” tegas Reina.“Gue gak mau hidup gue hancur karena lo!” teriak Rein.“Gue gak pernah ngehancurin hidup lo, ya! Harusnya gue yang marah-marah ke lo dan lo, karena mami itu udah hancurin hidup gue!” balas Reina. “Asal lo tahu, gara-gara mami lo, gue jad
Hidup Rein sebagai anak tunggal dan satu-satunya anak kesayangan Vian hancur begitu saja dalam waktu singkat. Hidupnya terasa begitu gelap semenjak mengetahui semua kebenaran tentang kedua orang tuanya.Sejak saat itu, Rein hanya mengurung dirinya di kamar. Ia bahkan tak makan maupun minum sama sekali. Kondisi tubuhnya pun semakin melemah.Suasana rumah itu pun menjadi sangat gelap. Semenjak semuanya terbongkar, tak ada lagi percakapan yang terjadi, selain pertengkaran Nia dan Vian.Nia terus saja meminta Vian untuk tak kembali kepada Ami. Sesekali ia juga memaksa Vian untuk tak menemui Reina. Namun Vian tetap menolak semua permintaan sang istri.Semua pertengkaran itu selalu saja didengar oleh Rein. Pertengkaran itu membuatnya tak ingin menginjakkan kakinya di tempat lain, selain kamarnya. Ia yang selalu berada di dalam kamarnya pun membuat Vian khawatir. Vian selalu mendatangi kamarnya, namun gadis itu selalu mengusir Vian. Hal yang sama pun terjadi pada Nia. Rein sangat marah besa
Suasana yang canggung kini telah pergi dan diganti dengan suasana sedih. Air mata Reina banjir malam itu. Gadis itu hanya bersandar pada Yandi dan terus meneteskan air matanya.Yandi tak tahan melihat Reina terus-terusan meneteskan air matanya. Ia berusaha memikirkan sebuah cara. Namun, ia pun tak bisa menemukan cara yang tepat.Permasalahan dalam keluarga adalah permasalahan yang sering dialaminya. Namun, ia bukanlah orang yang suka mencari jalan keluar. Ia adalah orang yang sering membantah dan melawan. Sehingga sulit baginya untuk membantu Reina menemukan jalan keluar untuk masalahnya.“Eh... sorry, sorry. Gue malah nangis gak jelas lagi,” ucap Reina segera menghapus air matanya. “Gak papa kali. Gak perlu minta. Gue malah senang kalau lo mau cerita,” ucap Yandi lembut.“Eh... tapi kayaknya lo gak bisa di sini lama-lama, deh. Soalnya ini udah mau jam sepuluh,” ucap Yandi merasa tak enak hati. Tanpa sadar mereka menghabiskan cukup banyak waktu dan kini waktu hampir menunjukkan pukul
Kaki Reina terus melangkah menjauhi rumahnya. Semakin lama, semakin jauh ia melangkah. Namun, gadis itu bahkan tak tahu ia harus terus melangkahkan kakinya ke mana. Reina terus berjalan tanpa henti. Tubuh serasa lesu. Tenaganya habis terkuras setelah banyak meneteskan air mata. Pikirannya pun menjadi sangat kacau.Tit.... Tit....“Ha?” Reina terkejut dengan suara klakson mobil yang begitu dekat dengannya. “Reina, lo—lo habis kenapa?” tanya Andi khawatir setelah melihat mata Reina yang sembab. “Gak papa, kok,” jawab Reina dengan suaranya yang serak.“Tuh... tuh... suara lo serak kayak gitu, masih aja bilang gak papa.” Perkataan Reina tak mencerminkan keadaannya yang terlihat jelas tak baik-baik saja. “Lagian lo mau ke mana, sih?” tanya Andi.“Gak tahu,” jawab Reina. Andi pun merasa aneh dengan jawaban gadis itu. Namun satu hal yang biasa ia pastikan, bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. “Ya udah. Kalau gitu, mendingan lo naik, deh. Entar gue antarin lo ke mana, aja,” ujar And
“Reina...” teriak Ami, namun putrinya tak menghiraukannyaHari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi Ami, karena hari ini ia bisa segara menjemput putrinya. Ia pun bisa kembali berkumpul bersama putrinya tanpa harus berpisah lagi. Hari ini, Ami sengaja berhenti dari pekerjaannya. Ia memilih berhenti agar ia bisa mengurus putrinya yang sedang sakit. Meski Yani dan Yeri tak setuju, namun mereka tak bisa menahan Ami. Mereka pun harus melepaskan Ami, agar ia bisa merawat putrinya. Selain itu, mereka saat ini mulai mengalami masalah keuangan. Melepaskan Ami di kondisi sekarang adalah salah satu pilihan untuk mengurangi pengeluaran. Semenjak kedua orang tua mereka berada di tahanan, pekerjaan mereka pun tak ada yang mengurusnya. Baik Yani maupun Yandi, keduanya sama-sama tak berminat melanjutkan pekerjaan orang tua mereka. Belum lagi, mereka harus membayar tagihan rumah sakit Yandi.Yani adalah satu-satunya anggota keluarga yang susah bekerja selain kedua orang tuanya. Yand
Semua teka-teki dari beribu pertanyaan di kepala Reina kini telah terpecahkan. Namun, ia tak menyangka jika semuanya sangat menyakitkan. Rasa sakit itu bukan hanya semata-mata karena kebohongan Ami. Semenjak mendengar pertengkaran Vian dan Nia, Reina sudah tahu bahwa selama ini Ami telah membohongi dirinya tentang ayahnya yang susah meninggal.Reina memang merasa kecewa dan sedih. Namun, setelah ia mendengar perdebatan bundanya dan Vian, ia merasa sangat sakit hati dengan sikap bundanya. Reina yang terlanjur sakit hati pun memilih untuk menjauh dari Vian dan Ami. Ia berlari sekuat mungkin menjauhi mereka, tanpa tahu ke mana ia harus terus berlari.Kaki Reina terus melangkah dan melangkah, dan tanpa sadar ia berlari menuju tempat yang tak asing. Ya, tempat itu adalah tempat yang sering dikunjunginya. Tanpa sadar, Reina terus melangkahkan kakinya menuju tempat pemakaman umum. Suatu tempat yang sering ia kunjungi, ketika ia merindukan sosok seorang ayah.“Ayah?” Tubuh Reina terasa lem