Status jomblo kini menghampiri Rein dan singgah lagi, dengan jangka waktu yang tak dapat dipastikan. Berakhirnya hubungan kedua remaja itu, membuat Rein terus saja memikirkan berbagai cara agar mantan sahabatnya menderita seperti dirinya.
Gadis itu terus saja beranggapan jika Reina telah menikungnya. Meskipun Reina dan Yandi telah menjelaskan semua kesalahpahaman itu, ia tetap saja mempertahankan kesalahpahaman itu.
Seberapa keras pun mantan kekasih gadis itu dan Reina menjelaskan semuanya, dengan berbagai jenis kata-kata agar dirinya mengerti. Namun, tetap saja ia tak mau mendengarkan semua penjelasan. Karena apa yang dianggapnya benar, maka itulah kebenarannya.
Semenjak dirinya sudah tak menyandang status sebagai kekasih Yandi, Rein terus saja meledakkan amarah di mana-mana. Ketika berada di luar rumah, kerap kali ia menabrak orang lain saat sedang berjalan kaki. Namun bukannya meminta maaf, justru ia malah memarahi orang yang ditabraknya.
H
“Kamu yakin?” Pertanyaan yang keluar dari mulut seorang pria yang tak dikenal, membuat Reina berubah pikiran. Ia pun segera membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah pria yang mengaku sebagai ayah Rein. “Apa Anda benar ayahnya Rein?” tanya Reina memastikan. “Iya. Saya gak bohong. Kalau kamu masih gak percaya, saya bakalan telepon Rein sekarang, supaya kamu bisa dengar sendiri, dia manggil saya dengan sebutan apa,” jawab pria itu. Apa yang dikatakan pria itu memang bukanlah sebuah kebohongan. Karena ia adalah papi Rein. Namun, sebutan ayah yang digunakan pria itu membuat Reina tak bisa memercayainya seratus persen. Saat putrinya menunjukkan foto Reina, pria itu merasa harus bertemu dengannya. Papi Reina sempat melihat nama akun sosial media Reina, serta mengingatnya saat putrinya menunjukkan foto gadis itu. Ia berniat menemui Reina, karena ingin menjadi penengah dalam masalah mereka. “Tapi setahu saya, Rein gak pernah manggil ayah kalau lagi nelepon. Ata
Kedua orang asing itu, kini telah berkenalan. Tanpa mengawali dengan basa-basi, Vian segera menanyakan kronologi lengkap penyebab hubungan persahabatan kedua gadis remaja itu berakhir. Vian memang telah mendengarkan semua kronologinya dari putrinya. Namun, ia juga ingin mendengarkan dari sudut pandangan Reina. Semua ini dilakukannya, bukan karena tak memercayai putrinya. Tetapi, ia ingin mendengarkan dari kedua belah pihak agar lebih adil. Dalam situasi yang masih serba canggung itu, Reina segera menceritakan semua kronologi yang diminta papi Rein. Ia menceritakan dari dirinya yang meminta Rein bertukar, hingga pada peristiwa berakhirnya hubungan Rein dan Yandi. “Semua ini memang salah saya, om. Saya udah nipu teman saya sendiri, saya juga yang buat Rein kayak gini. Jadi saya rasa Rein memang pantas ngebenci saya,” ucap Reina. “Gak, kok. Kamu gak salah sepenuhnya,” balas Vian. “Memang benar kamu salah, karena udah nipu teman sendiri. Tap
Waktu terus berjalan bersama awan yang berlalu-lalang di langit yang luas. Tak terasa perbincangan mereka memakan waktu yang cukup lama. Awalnya Vian berpikir, jika percakapan mereka akan berakhir dalam waktu satu sampai dua jam. Namun, semuanya berada di luar perkiraannya. Kecanggungan di antara Vian dan Reina, memakan cukup banyak waktu. Kesenyapan saat kedua orang itu tiba di kafe, sudah memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Belum lagi saat perbincangan mereka baru dimulai, Rein selalu tergagap. Untuk mengeluarkan sepatah kata dengan utuh, gadis itu memerlukan waktu lima sampai sepuluh detik. Semua situasi itu yang membuat begitu banyak waktu dihabiskan kedua orang itu. “Gak kerasa, ya. Ternyata lama juga kita ngobrolnya. Padahal om pikir gak bakalan butuh waktu lama,” ucap Vian setelah mengakhiri obrolan penting mereka. “Maaf ya, om,” ucap Reina meminta maaf. “Loh? Kenapa kamu minta maaf? Kan om yang ngajak kamu ke sini buat ngobro
Ledakan Amarah Vian“Papi...” teriak Rein menyambut kepulangan papinya.“Papi kok pulangnya malam banget, sih? Kan kemarin kita janji makan malam di luar hari ini,” ujar Rein.“Maaf, papi tadi ada urusan penting,” jawab Vian lesu.“Penting?” tanya Rein curiga.“Jangan bilang urusan penting papi itu sama mantan sahabat aku?” tanya Rein kesal.“Papi emang tadi ketemu sama sahabat kamu. Tapi bukan itu urusan pentingnya,” jawab papi Rein sambil berjalan lurus melewati putrinya, menuju kamarnya yang berada di lantai dua.“Tuh kan! Pasti gara-gara dia!” teriak Rein kesal.“Reina, Reina, Reina, Reina, Reina terus. Gak papi, gak Yandi. Semuanya sama aja! Selalu mentingin Reina!” Teriakan gadis itu segera menghentikan langkah Vian. Ia pun membalikkan tubuhnya menghadap putrinya dan menatapnya dengan kecewa.“Papi kenapa? Aku salah
Prang... PrangPiring demi piring berjatuhan di lantai menjadi serpihan beling. Satu demi satu cangkir pun berjatuhan dan menjadi beling. Sekitar lima buah piring dan cangkir di rumah itu hancur berantakan, hanya demi melampiaskan amarah.Berubahnya para benda pecah belah itu menjadi serpihan beling, terjadi sekitar lima belas menit yang lalu, sesaat Yena tiba di kediamannya. Amarah Yena meledak saat ia baru saja tiba di kediamannya. Bukan ketenangan yang didapatnya, namun malah keributan.Setibanya wanita itu di kediamannya, Yena segera menemui satu-satunya anak perempuan di keluarga itu. Ia segera menanyakan keberadaan putrinya pada sang asisten rumah tangga, dan segera menemuinya.Setelah mendapatkan lokasi putrinya berada di rumah itu, Yena pun segera bergegas menemui putrinya dengan amarah yang siap meledak. Setibanya ia di tempat putrinya berada, wanita itu segera merampas sebuah benda panjang yang dipenuhi tombol-tombol dari tangan putrinya. Ia pun
“Dasar anak gak tahu diri kamu, Yandi!” Teriakan Yena mengiringi langkah kaki Yandi yang perlahan meninggalkan kediamannya, tanpa berpamitan. Langkah kaki remaja itu kini sedang menuju jalan yang tak memiliki tujuan. Remaja pria itu hanya melangkahkan kedua kakinya keluar dari lingkungan rumahnya, agar kedua telinganya terselamatkan dari ocehan mamanya. Perlahan demi perlahan, langkah kaki yang pelan itu terus berjalan menjauhi kediamannya. Namun, Yandi sama sekali tak tahu ia harus menghentikan ke mana langkah kakinya. Langkah tanpa tujuan pun terus berlanjut. Sambil mengacak-acak rambutnya, Yandi terus membuang pandangannya ke sebalah kiri dan kanan ke setiap jalan yang dilaluinya, dengan tujuan untuk menemukan tempat pemberhentian bagi kedua kakinya yang sudah lelah berjalan. “Ah... capek juga. Baru sadar kalau gue udah jauh banget dari rumah.” Yandi baru tersadar, jika dirinya sudah berjalan begitu jauh dari rumahnya. Walaupun ia tak memiliki temp
Sesosok pria tak dikenal kini berada tepat di belakang Yandi. Pria itu sedang berjongkok sambil memegang botol air mineral yang sudah tak berisi lagi. “Bisa-bisanya kamu tidur kayak orang mati di taman yang sepi kayak gini,” ujar pria tak dikenal itu sedikit kesal. “Ya... ya udah, sih. Lagian om siapa, sih? Ngeganggu aja tahu, gak,” balas Yandi yang kesal karena harus terbangun dari mimpi indahnya. “Saya manusia,” jawab pria itu. “Tahu kali, om. Saya mah gak buta, masih bisa lihat jelas kalau om manusia,” balas Yandi kesal. “Iya, kamu emang gak buta. Tapi kamu itu gak punya otak,” ujar pria itu membuat Yandi kesal. “Om, apa-apaan sih?!” tanya Yandi kesal. “Kenapa saya bilang kamu itu gak punya otak? Karena kamu bisa-bisanya tidur kayak orang mati di tempat sepi kayak gini. Susah banget dibangunin. Benar-benar kayak orang mati tahu,” ujar pria tak dikenal itu. “Gimana kalau tadi yang datang bukan saya, tapi orang yang pu
Waktu terus berlalu dan cerita pun terus berlanjut. Di tengah terangnya bulan malam itu, Vian dan Yandi masih menikmati waktu mereka untuk saling berbagi cerita. Meskipun berbagi cerita bukanlah sesuatu hal yang suka dilakukan Yandi. Apalagi pria yang bersamanya adalah orang baru ditemuinya. “Oh, ya. Kalau kamu suka gak sama orang yang ngatur-ngatur atau suka nuntut?” tanya Vian ingin mengetahu apa pendapat remaja yang di hadapannya. Setelah menceritakan secara singkat tentang hubungan putrinya yang kandas, pada remaja yang baru temuinya. Vian merasa ingin mengetahui apa pendapat remaja itu tentang sikap putrinya. “Eh? Kok om nanya kayak gitu?” tanya Yandi. “Gak papa. Om cuma mau tahu pendapat kamu, aja,” jawab Vian. “Em... gimana ya, om? Kalau saya pribadi, gak suka banget sama orang yang suka ngatur-ngatur apalagi suka nuntut,” ujar Yandi. “Yah... kalau pun saya diatur atau dituntut, saya suka yang wajar-wajar aja, om. Jangan t