Kedua orang asing itu, kini telah berkenalan. Tanpa mengawali dengan basa-basi, Vian segera menanyakan kronologi lengkap penyebab hubungan persahabatan kedua gadis remaja itu berakhir.
Vian memang telah mendengarkan semua kronologinya dari putrinya. Namun, ia juga ingin mendengarkan dari sudut pandangan Reina. Semua ini dilakukannya, bukan karena tak memercayai putrinya. Tetapi, ia ingin mendengarkan dari kedua belah pihak agar lebih adil.
Dalam situasi yang masih serba canggung itu, Reina segera menceritakan semua kronologi yang diminta papi Rein. Ia menceritakan dari dirinya yang meminta Rein bertukar, hingga pada peristiwa berakhirnya hubungan Rein dan Yandi.
“Semua ini memang salah saya, om. Saya udah nipu teman saya sendiri, saya juga yang buat Rein kayak gini. Jadi saya rasa Rein memang pantas ngebenci saya,” ucap Reina.
“Gak, kok. Kamu gak salah sepenuhnya,” balas Vian.
“Memang benar kamu salah, karena udah nipu teman sendiri. Tap
Waktu terus berjalan bersama awan yang berlalu-lalang di langit yang luas. Tak terasa perbincangan mereka memakan waktu yang cukup lama. Awalnya Vian berpikir, jika percakapan mereka akan berakhir dalam waktu satu sampai dua jam. Namun, semuanya berada di luar perkiraannya. Kecanggungan di antara Vian dan Reina, memakan cukup banyak waktu. Kesenyapan saat kedua orang itu tiba di kafe, sudah memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Belum lagi saat perbincangan mereka baru dimulai, Rein selalu tergagap. Untuk mengeluarkan sepatah kata dengan utuh, gadis itu memerlukan waktu lima sampai sepuluh detik. Semua situasi itu yang membuat begitu banyak waktu dihabiskan kedua orang itu. “Gak kerasa, ya. Ternyata lama juga kita ngobrolnya. Padahal om pikir gak bakalan butuh waktu lama,” ucap Vian setelah mengakhiri obrolan penting mereka. “Maaf ya, om,” ucap Reina meminta maaf. “Loh? Kenapa kamu minta maaf? Kan om yang ngajak kamu ke sini buat ngobro
Ledakan Amarah Vian“Papi...” teriak Rein menyambut kepulangan papinya.“Papi kok pulangnya malam banget, sih? Kan kemarin kita janji makan malam di luar hari ini,” ujar Rein.“Maaf, papi tadi ada urusan penting,” jawab Vian lesu.“Penting?” tanya Rein curiga.“Jangan bilang urusan penting papi itu sama mantan sahabat aku?” tanya Rein kesal.“Papi emang tadi ketemu sama sahabat kamu. Tapi bukan itu urusan pentingnya,” jawab papi Rein sambil berjalan lurus melewati putrinya, menuju kamarnya yang berada di lantai dua.“Tuh kan! Pasti gara-gara dia!” teriak Rein kesal.“Reina, Reina, Reina, Reina, Reina terus. Gak papi, gak Yandi. Semuanya sama aja! Selalu mentingin Reina!” Teriakan gadis itu segera menghentikan langkah Vian. Ia pun membalikkan tubuhnya menghadap putrinya dan menatapnya dengan kecewa.“Papi kenapa? Aku salah
Prang... PrangPiring demi piring berjatuhan di lantai menjadi serpihan beling. Satu demi satu cangkir pun berjatuhan dan menjadi beling. Sekitar lima buah piring dan cangkir di rumah itu hancur berantakan, hanya demi melampiaskan amarah.Berubahnya para benda pecah belah itu menjadi serpihan beling, terjadi sekitar lima belas menit yang lalu, sesaat Yena tiba di kediamannya. Amarah Yena meledak saat ia baru saja tiba di kediamannya. Bukan ketenangan yang didapatnya, namun malah keributan.Setibanya wanita itu di kediamannya, Yena segera menemui satu-satunya anak perempuan di keluarga itu. Ia segera menanyakan keberadaan putrinya pada sang asisten rumah tangga, dan segera menemuinya.Setelah mendapatkan lokasi putrinya berada di rumah itu, Yena pun segera bergegas menemui putrinya dengan amarah yang siap meledak. Setibanya ia di tempat putrinya berada, wanita itu segera merampas sebuah benda panjang yang dipenuhi tombol-tombol dari tangan putrinya. Ia pun
“Dasar anak gak tahu diri kamu, Yandi!” Teriakan Yena mengiringi langkah kaki Yandi yang perlahan meninggalkan kediamannya, tanpa berpamitan. Langkah kaki remaja itu kini sedang menuju jalan yang tak memiliki tujuan. Remaja pria itu hanya melangkahkan kedua kakinya keluar dari lingkungan rumahnya, agar kedua telinganya terselamatkan dari ocehan mamanya. Perlahan demi perlahan, langkah kaki yang pelan itu terus berjalan menjauhi kediamannya. Namun, Yandi sama sekali tak tahu ia harus menghentikan ke mana langkah kakinya. Langkah tanpa tujuan pun terus berlanjut. Sambil mengacak-acak rambutnya, Yandi terus membuang pandangannya ke sebalah kiri dan kanan ke setiap jalan yang dilaluinya, dengan tujuan untuk menemukan tempat pemberhentian bagi kedua kakinya yang sudah lelah berjalan. “Ah... capek juga. Baru sadar kalau gue udah jauh banget dari rumah.” Yandi baru tersadar, jika dirinya sudah berjalan begitu jauh dari rumahnya. Walaupun ia tak memiliki temp
Sesosok pria tak dikenal kini berada tepat di belakang Yandi. Pria itu sedang berjongkok sambil memegang botol air mineral yang sudah tak berisi lagi. “Bisa-bisanya kamu tidur kayak orang mati di taman yang sepi kayak gini,” ujar pria tak dikenal itu sedikit kesal. “Ya... ya udah, sih. Lagian om siapa, sih? Ngeganggu aja tahu, gak,” balas Yandi yang kesal karena harus terbangun dari mimpi indahnya. “Saya manusia,” jawab pria itu. “Tahu kali, om. Saya mah gak buta, masih bisa lihat jelas kalau om manusia,” balas Yandi kesal. “Iya, kamu emang gak buta. Tapi kamu itu gak punya otak,” ujar pria itu membuat Yandi kesal. “Om, apa-apaan sih?!” tanya Yandi kesal. “Kenapa saya bilang kamu itu gak punya otak? Karena kamu bisa-bisanya tidur kayak orang mati di tempat sepi kayak gini. Susah banget dibangunin. Benar-benar kayak orang mati tahu,” ujar pria tak dikenal itu. “Gimana kalau tadi yang datang bukan saya, tapi orang yang pu
Waktu terus berlalu dan cerita pun terus berlanjut. Di tengah terangnya bulan malam itu, Vian dan Yandi masih menikmati waktu mereka untuk saling berbagi cerita. Meskipun berbagi cerita bukanlah sesuatu hal yang suka dilakukan Yandi. Apalagi pria yang bersamanya adalah orang baru ditemuinya. “Oh, ya. Kalau kamu suka gak sama orang yang ngatur-ngatur atau suka nuntut?” tanya Vian ingin mengetahu apa pendapat remaja yang di hadapannya. Setelah menceritakan secara singkat tentang hubungan putrinya yang kandas, pada remaja yang baru temuinya. Vian merasa ingin mengetahui apa pendapat remaja itu tentang sikap putrinya. “Eh? Kok om nanya kayak gitu?” tanya Yandi. “Gak papa. Om cuma mau tahu pendapat kamu, aja,” jawab Vian. “Em... gimana ya, om? Kalau saya pribadi, gak suka banget sama orang yang suka ngatur-ngatur apalagi suka nuntut,” ujar Yandi. “Yah... kalau pun saya diatur atau dituntut, saya suka yang wajar-wajar aja, om. Jangan t
Malam ini adalah malam yang berbeda dari biasanya, bagi Yandi. Tak seperti malam-malam sebelumnya yang suram dan selalu membuat gerah. Terlebih lagi, malam ini ia ditemani oleh seorang asing untuk menghabiskan malamnya.Sesi tanya jawab dari kedua belah pihak masih terus berlanjut tanpa mengenal waktu. Semakin Vian yakin jika Yandi adalah mantan kekasih putrinya, semakin gencar juga ia bertanya tentang masa lalu remaja itu dan mantan kekasihnya.Tak sedikit pun Yandi merasa curiga saat dirinya terus diserang berbagai pertanyaan. Ia malah menjawabnya dengan santai, meskipun tak memberitahukan identitas mantan kekasihnya pada Vian.“Om, mau tanya lagi boleh?” tanya Vian sebelum memberikan pertanyaan lanjutan untuk memenuhi rasa keingintahuannya.“Boleh-boleh aja kok, om,” jawab Yandi.“Terus hubungan kamu sama sahabat mantan kamu gimana?” tanya Vian.“Baik-baik aja, om.” Vian merasa k
Ada berjuta rasa di dunia ini dan rasa itulah yang mewarnai dunia ini. Terkadang, kita bisa merasakan rasa yang sama dengan orang yang kita kenal atau yang tak dikenal. Namun, bisa saja orang lain merasakan rasa yang berbeda dari apa yang kita rasakan.Begitu pula dengan rasa suka. Tak selamanya rasa suka yang ada pada kita, akan ada pula pada orang yang kita sukai. Justru terkadang rasa suka itu tak terbalaskan dengan rasa yang sama. Namun, setiap orang memiliki hak untuk memiliki rasa suka yang sama atau berbeda.Memiliki rasa yang sama atau berbeda memanglah bukan suatu kewajiban, namun suatu hak. Tetapi rasa yang berbeda akan mendatangkan rasa sakit, rasa sedih, atau mungkin rasa kecewa. Walau bagaimanapun juga, rasa suka tak dapat dipaksakan. Karena setiap orang berhak memilih pada siapa rasa suka itu akan diberikan.Rasa suka yang tak terbalaskan kini sedang dirasakan Andre. Sudah lama remaja ini menyimpan rasa sukanya pada seorang gadis, namun ia tak pern
Kehidupan adalah suatu anugerah dari Tuhan. Kehidupan juga merupakan rahasia. Dalam kehidupan ini tentunya banyak hal-hal yang terjadi di luar dugaan, yang terkadang menghasilkan tawa tetapi dapat juga menghasilkan air mata.Setiap detik, setiap menit dan setiap jam dalam kehidupan ini selalu dipenuhi rahasia. Sebagai manusia kita pastinya tak akan tahu apa yang bisa terjadi beberapa waktu ke depan. Terkadang apa yang kita duga memang terjadi, tetapi sering juga terjadi hal yang tak pernah kita duga.Setelah menjalani kehidupan tanpa kedua orang tuanya, kini Yandi bersama dua saudaranya tak pernah kehilangan senyum lagi. Mereka pun selalu menikmati waktu berkumpul di meja makan.Yani, Yandi dan Yeri selalu memiliki waktu untuk satu sama lain, meski mereka pun sibuk dengan pekerjaan atau pun pendidikan mereka. Suasana rumah Yandi yang dulunya terasa suram, kini terasa lebih cerah. Selalu ada tawa dan kebahagiaan. Tak hanya ada tangis melulu, atau tekanan melulu. Ketiga bersaudara itu
Kehidupan memang selalu diisi oleh berbagai hal. Kadang yang mengisi kehidupan adalah hal-hal yang sudah kita duga. Tapi terkadang juga diisi dengan hal-hal yang tak pernah diduga. Hari-hari Ami dan Vian kini dijalani dengan penuh air mata. Keduanya kini resmi memilih untuk tak berjalan bersama lagi. Ami dan Vian telah sepakat untuk menjalani kehidupan masing-masing. Namun mereka masih tetap mengurus Reina sebagai anak bersama-sama. Hanya saja, baik Vian maupun Ami saling membatasi diri. Setelah berhenti menjadi asisten rumah tangga Yandi dan keluarganya, kini Ami mulai membuka usaha kecil-kecil dari uang yang kerja kerasnya selama ini. Yani sendiri memberikan uang dalam jumlah yang cukup fantastis kepada Ami. Gasia itu memberikan Ami uang sebagai gaji terakhirnya dan juga sebagai ganti rugi atas perbuatan Yena. Uang yang diberikan Yani pada wanita itu adalah uang milik kedua orang tuanya. Ami kini telah membeli sebuah gerobak yang akan digunakannya untuk berjualan. Ia membeli gerob
Keputusan Ami untuk membiarkan Reina tetap berhubungan dengan Ayahnya adalah sebuah keputusan besar. Namun ia sadar, bahwa putrinya tak akan pernah bahagia jika ia terus melarangnya. Ia pun sadar bahwa Reina tak akan tinggal diam saja, jika ia terus melarangnya. Sehingga ia merasa apa pun larangan yang ia beri, itu tak akan membuat putrinya berhenti menemui ayahnya.Keputusan Ami untuk tetap membiarkan Vian berhubungan dengan putrinya lagi, membuat Vian merasa senang. Namun, di sisi lain ia pun merasa sedih. Saat memeluk Reina, Vian menyadari bahwa ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu. Ia sebenarnya tak hanya ingin membuat Ami menghilangkan larangannya itu. Sebenarnya Vian dan Ami menginginkan hal yang sama. Jauh di dalam lubuk hati mereka, ada suatu keinginan yang tertahan sejak lama dan kini harus dikubur mereka sedalam-dalam.Tak hanya Ami, Vian pun sangat ingin rumah tangga mereka telah hancur dulu, bisa kembali lagi. Namun, itu semua susah tak mungkin lagi. Sejak Vian
“Reina! Keluar lo, gue belum selesai ngomong!” teriak Rein gigih. Meski Reina sudah meninggalkan, namun ia tak menyerah. Reina pun kembali menemuinya. “Ada apaan lagi?” tanya Reina.“Gue mau tahu, ya. Lo harus jauh-jauh dati papi gue!” ujar Rein sembari menunjuk Reina.Reina memutar bola matanya dan menggeleng pelan kepalanya. “Lo paham kata-kata gue tadi?!” tanya Reina geram. “Gue rasa udah jelas, ya. Jadi gak perlu ulangin lagi.”“Gak! Gue gak terima, gue gak mau dan gak sudi lo ngerrbut semua milik gue!” balas Reina.“Gue gak pernah rebut milik lo, ya! Mau Yandi atau pun papi, lo gue kan udah bilang, gue udah bilang kalau gue gak ngerebut mereka,” jelas Reina. “Lagian om Vian bukan cuma papi lo, doang! Jadi lo gak bisa ngelarang gue!” tegas Reina.“Gue gak mau hidup gue hancur karena lo!” teriak Rein.“Gue gak pernah ngehancurin hidup lo, ya! Harusnya gue yang marah-marah ke lo dan lo, karena mami itu udah hancurin hidup gue!” balas Reina. “Asal lo tahu, gara-gara mami lo, gue jad
Hidup Rein sebagai anak tunggal dan satu-satunya anak kesayangan Vian hancur begitu saja dalam waktu singkat. Hidupnya terasa begitu gelap semenjak mengetahui semua kebenaran tentang kedua orang tuanya.Sejak saat itu, Rein hanya mengurung dirinya di kamar. Ia bahkan tak makan maupun minum sama sekali. Kondisi tubuhnya pun semakin melemah.Suasana rumah itu pun menjadi sangat gelap. Semenjak semuanya terbongkar, tak ada lagi percakapan yang terjadi, selain pertengkaran Nia dan Vian.Nia terus saja meminta Vian untuk tak kembali kepada Ami. Sesekali ia juga memaksa Vian untuk tak menemui Reina. Namun Vian tetap menolak semua permintaan sang istri.Semua pertengkaran itu selalu saja didengar oleh Rein. Pertengkaran itu membuatnya tak ingin menginjakkan kakinya di tempat lain, selain kamarnya. Ia yang selalu berada di dalam kamarnya pun membuat Vian khawatir. Vian selalu mendatangi kamarnya, namun gadis itu selalu mengusir Vian. Hal yang sama pun terjadi pada Nia. Rein sangat marah besa
Suasana yang canggung kini telah pergi dan diganti dengan suasana sedih. Air mata Reina banjir malam itu. Gadis itu hanya bersandar pada Yandi dan terus meneteskan air matanya.Yandi tak tahan melihat Reina terus-terusan meneteskan air matanya. Ia berusaha memikirkan sebuah cara. Namun, ia pun tak bisa menemukan cara yang tepat.Permasalahan dalam keluarga adalah permasalahan yang sering dialaminya. Namun, ia bukanlah orang yang suka mencari jalan keluar. Ia adalah orang yang sering membantah dan melawan. Sehingga sulit baginya untuk membantu Reina menemukan jalan keluar untuk masalahnya.“Eh... sorry, sorry. Gue malah nangis gak jelas lagi,” ucap Reina segera menghapus air matanya. “Gak papa kali. Gak perlu minta. Gue malah senang kalau lo mau cerita,” ucap Yandi lembut.“Eh... tapi kayaknya lo gak bisa di sini lama-lama, deh. Soalnya ini udah mau jam sepuluh,” ucap Yandi merasa tak enak hati. Tanpa sadar mereka menghabiskan cukup banyak waktu dan kini waktu hampir menunjukkan pukul
Kaki Reina terus melangkah menjauhi rumahnya. Semakin lama, semakin jauh ia melangkah. Namun, gadis itu bahkan tak tahu ia harus terus melangkahkan kakinya ke mana. Reina terus berjalan tanpa henti. Tubuh serasa lesu. Tenaganya habis terkuras setelah banyak meneteskan air mata. Pikirannya pun menjadi sangat kacau.Tit.... Tit....“Ha?” Reina terkejut dengan suara klakson mobil yang begitu dekat dengannya. “Reina, lo—lo habis kenapa?” tanya Andi khawatir setelah melihat mata Reina yang sembab. “Gak papa, kok,” jawab Reina dengan suaranya yang serak.“Tuh... tuh... suara lo serak kayak gitu, masih aja bilang gak papa.” Perkataan Reina tak mencerminkan keadaannya yang terlihat jelas tak baik-baik saja. “Lagian lo mau ke mana, sih?” tanya Andi.“Gak tahu,” jawab Reina. Andi pun merasa aneh dengan jawaban gadis itu. Namun satu hal yang biasa ia pastikan, bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. “Ya udah. Kalau gitu, mendingan lo naik, deh. Entar gue antarin lo ke mana, aja,” ujar And
“Reina...” teriak Ami, namun putrinya tak menghiraukannyaHari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi Ami, karena hari ini ia bisa segara menjemput putrinya. Ia pun bisa kembali berkumpul bersama putrinya tanpa harus berpisah lagi. Hari ini, Ami sengaja berhenti dari pekerjaannya. Ia memilih berhenti agar ia bisa mengurus putrinya yang sedang sakit. Meski Yani dan Yeri tak setuju, namun mereka tak bisa menahan Ami. Mereka pun harus melepaskan Ami, agar ia bisa merawat putrinya. Selain itu, mereka saat ini mulai mengalami masalah keuangan. Melepaskan Ami di kondisi sekarang adalah salah satu pilihan untuk mengurangi pengeluaran. Semenjak kedua orang tua mereka berada di tahanan, pekerjaan mereka pun tak ada yang mengurusnya. Baik Yani maupun Yandi, keduanya sama-sama tak berminat melanjutkan pekerjaan orang tua mereka. Belum lagi, mereka harus membayar tagihan rumah sakit Yandi.Yani adalah satu-satunya anggota keluarga yang susah bekerja selain kedua orang tuanya. Yand
Semua teka-teki dari beribu pertanyaan di kepala Reina kini telah terpecahkan. Namun, ia tak menyangka jika semuanya sangat menyakitkan. Rasa sakit itu bukan hanya semata-mata karena kebohongan Ami. Semenjak mendengar pertengkaran Vian dan Nia, Reina sudah tahu bahwa selama ini Ami telah membohongi dirinya tentang ayahnya yang susah meninggal.Reina memang merasa kecewa dan sedih. Namun, setelah ia mendengar perdebatan bundanya dan Vian, ia merasa sangat sakit hati dengan sikap bundanya. Reina yang terlanjur sakit hati pun memilih untuk menjauh dari Vian dan Ami. Ia berlari sekuat mungkin menjauhi mereka, tanpa tahu ke mana ia harus terus berlari.Kaki Reina terus melangkah dan melangkah, dan tanpa sadar ia berlari menuju tempat yang tak asing. Ya, tempat itu adalah tempat yang sering dikunjunginya. Tanpa sadar, Reina terus melangkahkan kakinya menuju tempat pemakaman umum. Suatu tempat yang sering ia kunjungi, ketika ia merindukan sosok seorang ayah.“Ayah?” Tubuh Reina terasa lem