Mendengar perintah itu, keempat orang berseragam biru navy yang mengawal Layla segera bergerak ke arahku untuk mengadangku.
Aku mengayunkan tangan kananku dari bawah ke atas. Kukendalikan bayangan di bawah kaki para pengawal Layla untuk mengikat mereka. Bayangan yang ada di bawah kaki mereka pun mencuat dan melilit tubuh mereka sehingga mereka menjadi kepompong hitam.
Keempat orang itu ambruk ke lantai dan meronta-ronta berusaha melepaskan lilitan bayangan itu. Kuabaikan mereka dan mengayunkan kakiku menghampiri Layla.
"Berhenti! Jangan mendekat!" perintah Layla kepadaku dengan panik. Wanita itu panik karena boneka-boneka yang melindunginya tidak dapat berbuat apa-apa karena tidak dapat lepas dari jeratan bayangan itu.
Tak kuindahkan perintahnya dan tetap berjalan ke arahnya. Ekspresi wajahnya yang panik perlahan-lahan berubah menjadi ketakutan. Dia pasti takut karena tidak dapat melawanku tanpa bantuan dari orang-orang yang dia kendalikan.
"Tidak
Layla terlihat heran karena tiba-tiba aku duduk santai di lantai dan mengajaknya untuk mengobrol. "Mengobrol santai? Aku tidak punya waktu untuk mengobrol dengan pengkhianat sepertimu. Pada akhirnya kamu kembali ke rumahmu, ya, Fylax," hina Layla dengan ketus.Aku hanya tersenyum menanggapi hinaannya. "Kamu mengataiku pengkhianat? Hahahaha! Pengkhianat mengatai orang lain pengkhianat? Lucu sekali," tawaku yang diikuti dengan sindiran yang tepat sasaran.Layla mengernyitkan alisnya dan membantah sindiranku, "Aku bukan pengkhianat, justru akulah orang yang berusaha membuat negara ini menjadi lebih baik lagi."Sebuah tawa kecil keluar dari mulutku. Aku menopang badanku dengan kedua tanganku untuk berdiri dari dudukku. Kulangkahkan kakiku ke arah Layla untuk memperkecil jarak antar kami. Kini jarak kami hanya dua langkah kaki saja."Membuat negara ini menjadi lebih baik lagi dengan mengendalikan pikiran semua orang? Itu sama saja bohong. Kamu hanya membenarka
Aku tersentak kaget mendengar perkataannya. "Membunuhmu?" tanyaku memastikan apakah aku tidak salah dengar.Kedua matanya menyipit saat seringaian di bibirnya semakin melebar. "Ya, satu-satunya cara untuk menghentikanku adalah dengan membunuhku," jawab Layla mempertegas perkataannya.Aku terdiam mendengar perkataannya. Kukerutkan alisku dan mengepalkan tanganku dengan sangat erat hingga telapak tanganku terasa sakit karena tertusuk oleh kuku jariku. Rahangku mengeras akibat amarah yang mulai timbul.Tanpa aba-aba, kucengkeram lehernya dengan tangan kananku sehingga Layla tersedak akibat cekikkan yang tiba-tiba itu. "Kamu pikir aku tidak berani membunuhmu? Bagunlah dari mimpimu, Layla," geramku dengan nada rendah.Walaupun aku berkata begitu, entah kenapa tanganku bergetar saat mencekiknya. Entah itu bergetar karena sedang menahan emosi marahku yang ingin meledak atau karena aku masih belum siap untuk membunuh Layla dengan tanganku sendiri."Kenapa
"Bagaimana bisa ...?" gumamku dengan suara kecil. "Ini aneh, kenapa mereka malah ikut mengepung kami?" Aku menatap Layla yang berdiri di depanku. "Jangan-jangan ... kamu mengendalikan pikiran mereka?" tuduhku yang membuat dia tersenyum menyeringai. Sepertinya dugaanku benar, dia mengendalikan pikiran rekan-rekan kami agar ikut mengepung dan menyerang kami. Aku memegang kedua lengannya dengan erat. "Bagaimana bisa kamu mengendalikan mereka? Mereka 'kan tidak ada di sini," tanyaku sambil menatap mata Layla dengan lekat. Manik biru pucatnya menatap rendah aku. Dia pun menjawab pertanyaan yang kutanyakan kepadanya. "Sebenarnya aku bisa mengendalikan pikiran siapa saja yang ada di sekitarku. "Mereka tidak harus mendengarkan suaraku, yang penting mereka berada di dalam jangkauan kekuatanku," jelasnya yang membuatku terdiam. Aku tidak menyangka dia dapat mengendalikan pikiran orang yang berada di sekitarnya tanpa berkata-kata kepada mereka. 'Lalu ken
Aku tersentak kaget mendengar perkataannya. Aku ingin menanyakan arti dari perkataannya, tetapi suaraku tidak dapat keluar. 'Maksudnya orang-orang yang dia kendalikan akan ikut mati bersamanya?'Aku hanya berdiri diam di hadapan orang yang harus kubunuh. Dilema antara membunuhnya dan menghentikan dia dari mengendalikan pikiran lebih banyak orang, tetapi semua orang yang telah dikendalikannya akan mati bersamanya." 'Senja!' Tunggu apa lagi?! Cepat bunuh dia!" Suara teriakan pemimpin Fylax yang mendesakku untuk segera membunuh Layla menggema di sepenjuru ruangan ini, diikuti oleh bunyi pertempuran yang dilakukannya.Cahaya berwarna jingga menyala terang dari belakangku. Cahaya itu pasti berasal dari 'Arte' api yang digunakannya untuk bertahan menghadapi puluhan orang yang mengepungnya. Dia tidak ragu sedikit pun untuk menggunakan kekuatannya yang sangat kuat melawan orang-orang itu.Kurasakan sesuatu yang hangat menyentuh pipi kiriku. Telapak tangan Layla
Aku menghembuskan napas lelah. Layla sudah tidak tertolong. Dia tidak ada keinginan untuk berhenti, bahkan tidak merasa bersalah dan menyesali perbuatannya. 'Tidak ada gunanya untuk terus berbicara baik-baik dengannya.'"Baiklah kalau kamu tidak menyesal, aku juga tidak akan menyesal untuk membunuhmu," ujarku dengan nada dingin. Aku mengangkat tangan kananku dan mengarahkannya ke leher Layla.Layla hanya berdiri diam di hadapanku. Tidak ada perlawanan yang dia lakukan saat menghadapi maut yang akan kudatangkan kepadanya. Dia hanya tersenyum dan menatap kosong ke depan, siap untuk mati saat ini juga.Ketika aku hendak mengepalkan telapak tangan kananku untuk meremukkan dia dengan kekuatanku, tiba-tiba saja ruang hampa berwarna hitam pekat ini retak. Cahaya dari luar menyeruak masuk melalui retakan-retakan itu."Apa yang terjadi?" heranku sambil melihat ke sekitarku. Retakan pada sepenjuru tempat ini menjadi bertambah besar hingga akhirnya dimensi kegelapan
Aku menciptakan sebilah pedang dengan menggunakan 'Arte' kegelapanku. Kugenggam erat pedang hitam ini dan mengarahkannya ke leher Layla."Kalau saja kamu tidak memilih jalan itu, mungkin situasi ini tidak akan pernah terjadi ... dan hubungan kita tidak akan hancur seperti ini," ujarku sambil tersenyum sedih.Kenangan indah yang belasan tahun kami lalui bersama, hancur dalam sekejap mata. Dia menjauhkan dirinya dariku dan memilih jalan yang salah.Aku meletakkan pedangku di atas bahu kirinya dan menatap nanar wajahnya yang tampak heran karena tiba-tiba aku berkata-kata seperti ini.Ekspresi heran di wajahnya berubah menjadi kekesalan. "Apa-apaan dengan perkataanmu itu? Sudahlah, langsung bunuh aku saja, tidak perlu banyak omong seperti itu," cibir Layla sambil mengernyitkan alisnya.Aku menghembuskan napas lelah. "Bicara baik-baik denganmu memang tidak berguna, ya?" tanyaku yang sudah kuketahui jawabannya.Aku mengedarkan pandanganku ke sekit
Layla menatapku dengan tidak percaya. "Kalau kamu sudah tahu, kenapa kamu tetap membiarkanku mengendalikanmu?" tanyanya heran."Aku takut kalau kamu akan menjauhiku kalau saat itu aku menghentikanmu," jawabku. "Kamu tahu 'kan kalau aku menganggapmu sebagai matahari hidupku? Aku tidak mau kehilangan matahariku."Layla terdiam mendengar jawabanku. Aku pun melanjutkan perkataanku dengan nada rendah. "Dan sekarang aku menyesal karena dulu aku tidak menghentikanmu."Kulihat orang-orang yang tadinya tidak sadarkan diri mulai bangun dan berdiri dari tempatnya terbaringkan. Beberapa orang lainnya tidak dapat bangkit berdiri karena tubuhnya tertimpa oleh puing-puing bangunan.Aku berdecak kesal karena mereka bangun secepat ini. Sebelum orang-orang yang dikendalikan oleh Layla menyerangku, aku menggunakan 'Arte'-ku untuk menghentikan mereka.Bayangan di bawah kakiku meluas meliputi seluruh permukaan tempat ini. Aku membuat siapa pun yang tingkat absolut 'Art
"Apa nanti kamu tidak akan menyesal karena sudah membunuhku?" tanya Layla yang kini membuka kedua matanya untuk melihatku.Aku terdiam sejenak saat mendengar pertanyaan itu. Sebuah senyuman kecil terbentuk pada bibirku."Mungkin iya, mungkin tidak," jawabku dengan tidak pasti. Aku ingin menjawab jika aku tidak akan menyesalinya, tetapi di lubuk hatiku yang terdalam, sepertinya aku akan menyesal.Aku membuka mulutku lagi dan berkata, "Tidak peduli apa aku akan menyesal atau tidak, aku akan tetap membunuhmu untuk mengakhiri perang ini."Mendengar perkataanku, Layla kembali memejamkan kedua matanya dan tersenyum tipis. "Begitu, ya ... oke, kamu bisa membunuhku sekarang," ujarnya yang sudah siap untuk menyerahkan hidupnya padaku.Aku menggenggam erat gagang pedang hitam di tanganku. "Pada akhirnya kisah kita berakhir seperti ini, Layla," gumamku dengan suara kecil. Kuayunkan pedang ini ke kanan untuk memotong lehernya Layla.Sekali lagi sebuah s