"Bagaimana bisa ...?" gumamku dengan suara kecil. "Ini aneh, kenapa mereka malah ikut mengepung kami?"
Aku menatap Layla yang berdiri di depanku. "Jangan-jangan ... kamu mengendalikan pikiran mereka?" tuduhku yang membuat dia tersenyum menyeringai. Sepertinya dugaanku benar, dia mengendalikan pikiran rekan-rekan kami agar ikut mengepung dan menyerang kami.
Aku memegang kedua lengannya dengan erat. "Bagaimana bisa kamu mengendalikan mereka? Mereka 'kan tidak ada di sini," tanyaku sambil menatap mata Layla dengan lekat.
Manik biru pucatnya menatap rendah aku. Dia pun menjawab pertanyaan yang kutanyakan kepadanya. "Sebenarnya aku bisa mengendalikan pikiran siapa saja yang ada di sekitarku.
"Mereka tidak harus mendengarkan suaraku, yang penting mereka berada di dalam jangkauan kekuatanku," jelasnya yang membuatku terdiam. Aku tidak menyangka dia dapat mengendalikan pikiran orang yang berada di sekitarnya tanpa berkata-kata kepada mereka.
'Lalu ken
Aku tersentak kaget mendengar perkataannya. Aku ingin menanyakan arti dari perkataannya, tetapi suaraku tidak dapat keluar. 'Maksudnya orang-orang yang dia kendalikan akan ikut mati bersamanya?'Aku hanya berdiri diam di hadapan orang yang harus kubunuh. Dilema antara membunuhnya dan menghentikan dia dari mengendalikan pikiran lebih banyak orang, tetapi semua orang yang telah dikendalikannya akan mati bersamanya." 'Senja!' Tunggu apa lagi?! Cepat bunuh dia!" Suara teriakan pemimpin Fylax yang mendesakku untuk segera membunuh Layla menggema di sepenjuru ruangan ini, diikuti oleh bunyi pertempuran yang dilakukannya.Cahaya berwarna jingga menyala terang dari belakangku. Cahaya itu pasti berasal dari 'Arte' api yang digunakannya untuk bertahan menghadapi puluhan orang yang mengepungnya. Dia tidak ragu sedikit pun untuk menggunakan kekuatannya yang sangat kuat melawan orang-orang itu.Kurasakan sesuatu yang hangat menyentuh pipi kiriku. Telapak tangan Layla
Aku menghembuskan napas lelah. Layla sudah tidak tertolong. Dia tidak ada keinginan untuk berhenti, bahkan tidak merasa bersalah dan menyesali perbuatannya. 'Tidak ada gunanya untuk terus berbicara baik-baik dengannya.'"Baiklah kalau kamu tidak menyesal, aku juga tidak akan menyesal untuk membunuhmu," ujarku dengan nada dingin. Aku mengangkat tangan kananku dan mengarahkannya ke leher Layla.Layla hanya berdiri diam di hadapanku. Tidak ada perlawanan yang dia lakukan saat menghadapi maut yang akan kudatangkan kepadanya. Dia hanya tersenyum dan menatap kosong ke depan, siap untuk mati saat ini juga.Ketika aku hendak mengepalkan telapak tangan kananku untuk meremukkan dia dengan kekuatanku, tiba-tiba saja ruang hampa berwarna hitam pekat ini retak. Cahaya dari luar menyeruak masuk melalui retakan-retakan itu."Apa yang terjadi?" heranku sambil melihat ke sekitarku. Retakan pada sepenjuru tempat ini menjadi bertambah besar hingga akhirnya dimensi kegelapan
Aku menciptakan sebilah pedang dengan menggunakan 'Arte' kegelapanku. Kugenggam erat pedang hitam ini dan mengarahkannya ke leher Layla."Kalau saja kamu tidak memilih jalan itu, mungkin situasi ini tidak akan pernah terjadi ... dan hubungan kita tidak akan hancur seperti ini," ujarku sambil tersenyum sedih.Kenangan indah yang belasan tahun kami lalui bersama, hancur dalam sekejap mata. Dia menjauhkan dirinya dariku dan memilih jalan yang salah.Aku meletakkan pedangku di atas bahu kirinya dan menatap nanar wajahnya yang tampak heran karena tiba-tiba aku berkata-kata seperti ini.Ekspresi heran di wajahnya berubah menjadi kekesalan. "Apa-apaan dengan perkataanmu itu? Sudahlah, langsung bunuh aku saja, tidak perlu banyak omong seperti itu," cibir Layla sambil mengernyitkan alisnya.Aku menghembuskan napas lelah. "Bicara baik-baik denganmu memang tidak berguna, ya?" tanyaku yang sudah kuketahui jawabannya.Aku mengedarkan pandanganku ke sekit
Layla menatapku dengan tidak percaya. "Kalau kamu sudah tahu, kenapa kamu tetap membiarkanku mengendalikanmu?" tanyanya heran."Aku takut kalau kamu akan menjauhiku kalau saat itu aku menghentikanmu," jawabku. "Kamu tahu 'kan kalau aku menganggapmu sebagai matahari hidupku? Aku tidak mau kehilangan matahariku."Layla terdiam mendengar jawabanku. Aku pun melanjutkan perkataanku dengan nada rendah. "Dan sekarang aku menyesal karena dulu aku tidak menghentikanmu."Kulihat orang-orang yang tadinya tidak sadarkan diri mulai bangun dan berdiri dari tempatnya terbaringkan. Beberapa orang lainnya tidak dapat bangkit berdiri karena tubuhnya tertimpa oleh puing-puing bangunan.Aku berdecak kesal karena mereka bangun secepat ini. Sebelum orang-orang yang dikendalikan oleh Layla menyerangku, aku menggunakan 'Arte'-ku untuk menghentikan mereka.Bayangan di bawah kakiku meluas meliputi seluruh permukaan tempat ini. Aku membuat siapa pun yang tingkat absolut 'Art
"Apa nanti kamu tidak akan menyesal karena sudah membunuhku?" tanya Layla yang kini membuka kedua matanya untuk melihatku.Aku terdiam sejenak saat mendengar pertanyaan itu. Sebuah senyuman kecil terbentuk pada bibirku."Mungkin iya, mungkin tidak," jawabku dengan tidak pasti. Aku ingin menjawab jika aku tidak akan menyesalinya, tetapi di lubuk hatiku yang terdalam, sepertinya aku akan menyesal.Aku membuka mulutku lagi dan berkata, "Tidak peduli apa aku akan menyesal atau tidak, aku akan tetap membunuhmu untuk mengakhiri perang ini."Mendengar perkataanku, Layla kembali memejamkan kedua matanya dan tersenyum tipis. "Begitu, ya ... oke, kamu bisa membunuhku sekarang," ujarnya yang sudah siap untuk menyerahkan hidupnya padaku.Aku menggenggam erat gagang pedang hitam di tanganku. "Pada akhirnya kisah kita berakhir seperti ini, Layla," gumamku dengan suara kecil. Kuayunkan pedang ini ke kanan untuk memotong lehernya Layla.Sekali lagi sebuah s
Kuhindari serangannya dengan melompat mundur untuk berjaga jarak darinya, mengantisipasi ledakan yang ditimbulkannya. Muncul ledakan yang tidak begitu besar dari tinjuannya yang mengenai udara kosong itu.Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini. 'Padahal dia tinggal di Kota Boreus, bagaimana bisa dia ada di Ibu Kota saat ini?'Aquilo kembali menerjang ke arahku dan melayangkan tinjuan lainnya. Aku mengepalkan tangan kiriku dan membalas tinjuannya dengan tinjuku. Kekuatan kami saling beradu dan menimbulkan ledakan yang cukup besar.Sebuah luka goresan muncul pada pipi kanan Aquilo. Efek dari ledakan itu menyebabkan luka kecil pada wajahnya. Cairan merah keluar dari luka itu dan mengalir menuruni lekukan mukanya.Di sisi lain, tidak ada luka baru yang timbul pada diriku karena sedetik sebelum ledakan itu terjadi, aku menciptakan perisai kegelapan untuk melindungi diriku.Kulihat Aquilo hendak menyerangku sekali lagi tanpa memberikan aku wa
Rasa sakit pada lengan kananku semakin menusuk-nusuk. Aku mengkesampingkan rasa sakit itu dan memfokuskan perhatianku sepenuhnya pada Aquilo yang berdiri tak jauh di depanku. Dia telah bersiap untuk menyerangku lagi.'Sebisa mungkin aku harus menahan kekuatanku supaya dia tidak sampai terluka parah atau bahkan mati. Membuatnya pingsan sudah cukup.' Aku berpikir keras memikirkan bagaimana aku akan menghentikan dia dengan luka seminim mungkin.Kulihat Aquilo melemparkan serangan jarak jauh ke arahku lagi dan langsung beranjak dari tempatnya dan menerjang ke arahku. Aku melompat mundur untuk menjaga jarakku darinya.Kuciptakan 4 buah anak panah yang terbuat dari kegelapan yang dipadatkan. Salah satu dari keempat anak panah itu terbang ke arah misil 'Arte' yang dilemparkan oleh Aquilo. Kedua serangan jarak jauh itu saling bertubrukan dan menimbulkan ledakan kecil.Satu anak panah lainnya melesat ke arah Aquilo, tetapi dia dapat menghindarinya dengan mudahnya.
Aku menaikkan salah satu alisku karena heran melihat Layla tiba-tiba tertawa seperti itu. "Apa yang lucu sampai membuatmu tertawa begitu?" tanyaku dengan nada serius.Setelah tertawa dengan nyaring selama beberapa detik, akhirnya tawanya itu reda juga. Dia menyeka air mata yang menggenang pada sudut matanya lalu menjawab pertanyaanku. "Haha, ... itu karena kamu terlalu bodoh sampai-sampai bisa membuatku tertawa begini."Layla mengembalikan ketenangannya dan berhenti tertawa. Dia menatapku dengan instens dan tersenyum menyeringai. "Kamu pikir hanya karena aku bersedia untuk mati di tanganmu berarti aku juga bersedia untuk menyerah dan berhenti mengendalikan mereka?"Bodoh, kamu terlalu naif sampai-sampai kelihatan seperti orang tolol," hina Layla sambil memandang rendah aku.Kepalan tanganku semakin kuat hingga kuku jariku menggali ke dalam kulit telapak tanganku. Tak kurasakan lagi rasa sakit yang menusuk telapak tanganku dan lengan kananku yang terluka.