Saat itu aku sedang menyendiri. Bukan karena aku tidak ingin bergaul dengan yang lainnya, tetapi karena anggota-anggota Fylax lainnya menghindariku. Aku tidak melakukan apa-apa, tetapi aku selalu ditatap dengan tatapan tajam dan mendapatkan umpatan dari mereka.
Telingaku menangkap bunyi langkah kaki yang bergerak mendekatiku. Aku tidak mempedulikan siapa yang menghampiriku dari belakang dan tetap memandang ke luar jendela. 'Palingan orang itu ingin mencari masalah denganku seperti yang lainnya.'
Kurasakan sebuah tepukan pelan mengenai pundakku. Kubalikkan badanku untuk melihat siapa yang menepuk pundakku. Seseorang yang mengenakan jubah hitam dan topeng putih khas Fylax.
Walaupun dia mengenakan sebuah topeng pada mukanya, aku dapat melihat seperti apa wajahnya dengan jelas berkat topeng serupa yang sekarang kukenakan. Topeng putih ini telah disihir sehingga dapat membuat penggunanya dapat melihat wajah pengguna lainnnya.
Dia terlihat seperti seorang wanit
'Atom' tersenyum kesal lalu langsung menerjangku. Dia melayangkan sebuah tinjuan ke arahku. Kuhindari serangannya dengan melompat ke kanan. Tak disangka-sangka, tinjuannya menimbulkan sebuah ledakan yang besar dan diikuti oleh bunyi yang menulikan telinga. Gelombang kejut yang disebabkan oleh efek serangannya membuatku merinding. Kutolehkan kepalaku ke kiri untuk melihat lawanku. Dia masih berada di posisinya. Kulihat keadaan permukaan tanah yang berada di bawahnya, tercipta sebuah kawah beradius 2 meter di bawah kakinya. Aku menelan ludahku karena gugup. 'Itu gila ... kalau tadi aku tidak menghindarinya jauh-jauh, mungkin nasibku akan sama seperti permukaan tanah itu.' 'Atom' menolehkan kepalanya ke arahku dan menyeringai. "Kenapa mendadak diam begitu? Apa kamu terkejut melihat kehebatanku?" tanyanya dengan nada sombong. Aku menahan kekesalanku dan memutuskan untuk mengabaikan apa pun yang dia katakan. Kuciptakan sebuah tombak kegelapan lalu
Sejak itulah aku menyesal karena mudah meremehkan orang lain. Karena aku hampir tidak pernah terkalahkan membuatku menjadi sombong dan sering memandang orang lain dengan sebelah mata. *** Kembali ke masa sekarang. Tibalah kami di ruang rapat. Di ruangan ini hanya ada aku, 'Atom', dan orang yang memanggil kami ke sini, pemimpin Fylax yang kerap dipanggil dengan kode nama 'Kobaran Api'. Aku celingak-celinguk mencari ketiga orang lainnya yang dulu pernah ikut rapat beberapa minggu yang lalu, tetapi aku tidak dapat menemukan mereka dimanapun. "Kenapa hanya kami yang dipanggil?" heranku. "Topik yang mau kubahas dengan kalian dan mereka berbeda. Sebelum memanggil kalian, aku sudah memanggil mereka ke sini," jelas pemimpin Fylax menjawab rasa penasaranku. Kualihkan pandanganku ke arah pemimpin Fylax yang duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya dan melipat tangannya di dada. Aku dapat melihat wajahnya yang disembunyikan di balik topeng putih yang di
"Tentu saja sudah cukup, bahkan lebih dari cukup," balas pemimpin Fylax dengan yakin. Aku tidak tahu darimana keyakinan itu datang, kuharap kami mampu memenangkan pertempuran yang akan datang itu.Ruangan ini menjadi hening karena tidak ada yang berbicara lagi. Saat aku akan membuka mulutku untuk menanyakan pertanyaan lainnya, 'Atom' langsung melemparkan sebuah pertanyaan mendahului aku."Jadi, kapan kita akan menyerang Istana Putih?" tanyanya. Aku menutup rapat mulutku karena tidak jadi menanyakan pertanyaanku. Kuarahkan pandanganku ke arah pemimpin Fylax yang akan menjawab pertanyaan 'Atom'."Empat hari lagi," jawabnya singkat. 'Atom' pun ber oh ria menanggapi jawaban yang didapatkannya."Empat hari lagi? Cepat sekali," gumamku. Kurasakan dua pasang mata terarah ke arahku saat aku melontarkan perkataan itu.Pemimpin Fylax membalas gumamanku. "Lebih cepat lebih baik. Kalau kita terus mengulur waktu, bisa-bisa semua orang di negara ini sudah dikend
Hari H, yaitu hari dimana ribuan anggota Fylax mengepung Ibu Kota yang sunyi. Berkat saran dariku, pengepungan yang kami lakukan saat ini tidak menimbulkan keributan yang besar seperti sebelum-sebelumnya.Para anggota organisasi ini hanya mengintai dari ketinggian, yaitu di atap gedung-gedung pencakar langit yang jumlahnya tak terhitung saking banyaknya. Aku berdiri di puncak menara kaca dan memandang pemandangan perkotaan yang ada di bawahku.Jalan raya hanya dilalui oleh personel Custodia dan pasukan elit negara yang berjaga melindungi Ibu Kota negara ini. Tidak ada satu pun kendaraan pribadi yang melintas di jalanan itu, bahkan rakyat jelata yang berjalan di trotoar pun tidak ada."Apa Ibu Kota biasanya sesepi ini?" gumamku yang heran setelah memperhatikan keadaan kota ini selama beberapa menit.Tiba-tiba seseorang menimpali gumamanku. "Tidak, biasanya selalu ramai, bahkan jalanan selalu macet saking padatnya penduduk kota ini."Kupalingkan kepa
Mendengar perintah itu, keempat orang berseragam biru navy yang mengawal Layla segera bergerak ke arahku untuk mengadangku.Aku mengayunkan tangan kananku dari bawah ke atas. Kukendalikan bayangan di bawah kaki para pengawal Layla untuk mengikat mereka. Bayangan yang ada di bawah kaki mereka pun mencuat dan melilit tubuh mereka sehingga mereka menjadi kepompong hitam.Keempat orang itu ambruk ke lantai dan meronta-ronta berusaha melepaskan lilitan bayangan itu. Kuabaikan mereka dan mengayunkan kakiku menghampiri Layla."Berhenti! Jangan mendekat!" perintah Layla kepadaku dengan panik. Wanita itu panik karena boneka-boneka yang melindunginya tidak dapat berbuat apa-apa karena tidak dapat lepas dari jeratan bayangan itu.Tak kuindahkan perintahnya dan tetap berjalan ke arahnya. Ekspresi wajahnya yang panik perlahan-lahan berubah menjadi ketakutan. Dia pasti takut karena tidak dapat melawanku tanpa bantuan dari orang-orang yang dia kendalikan."Tidak
Layla terlihat heran karena tiba-tiba aku duduk santai di lantai dan mengajaknya untuk mengobrol. "Mengobrol santai? Aku tidak punya waktu untuk mengobrol dengan pengkhianat sepertimu. Pada akhirnya kamu kembali ke rumahmu, ya, Fylax," hina Layla dengan ketus.Aku hanya tersenyum menanggapi hinaannya. "Kamu mengataiku pengkhianat? Hahahaha! Pengkhianat mengatai orang lain pengkhianat? Lucu sekali," tawaku yang diikuti dengan sindiran yang tepat sasaran.Layla mengernyitkan alisnya dan membantah sindiranku, "Aku bukan pengkhianat, justru akulah orang yang berusaha membuat negara ini menjadi lebih baik lagi."Sebuah tawa kecil keluar dari mulutku. Aku menopang badanku dengan kedua tanganku untuk berdiri dari dudukku. Kulangkahkan kakiku ke arah Layla untuk memperkecil jarak antar kami. Kini jarak kami hanya dua langkah kaki saja."Membuat negara ini menjadi lebih baik lagi dengan mengendalikan pikiran semua orang? Itu sama saja bohong. Kamu hanya membenarka
Aku tersentak kaget mendengar perkataannya. "Membunuhmu?" tanyaku memastikan apakah aku tidak salah dengar.Kedua matanya menyipit saat seringaian di bibirnya semakin melebar. "Ya, satu-satunya cara untuk menghentikanku adalah dengan membunuhku," jawab Layla mempertegas perkataannya.Aku terdiam mendengar perkataannya. Kukerutkan alisku dan mengepalkan tanganku dengan sangat erat hingga telapak tanganku terasa sakit karena tertusuk oleh kuku jariku. Rahangku mengeras akibat amarah yang mulai timbul.Tanpa aba-aba, kucengkeram lehernya dengan tangan kananku sehingga Layla tersedak akibat cekikkan yang tiba-tiba itu. "Kamu pikir aku tidak berani membunuhmu? Bagunlah dari mimpimu, Layla," geramku dengan nada rendah.Walaupun aku berkata begitu, entah kenapa tanganku bergetar saat mencekiknya. Entah itu bergetar karena sedang menahan emosi marahku yang ingin meledak atau karena aku masih belum siap untuk membunuh Layla dengan tanganku sendiri."Kenapa
"Bagaimana bisa ...?" gumamku dengan suara kecil. "Ini aneh, kenapa mereka malah ikut mengepung kami?" Aku menatap Layla yang berdiri di depanku. "Jangan-jangan ... kamu mengendalikan pikiran mereka?" tuduhku yang membuat dia tersenyum menyeringai. Sepertinya dugaanku benar, dia mengendalikan pikiran rekan-rekan kami agar ikut mengepung dan menyerang kami. Aku memegang kedua lengannya dengan erat. "Bagaimana bisa kamu mengendalikan mereka? Mereka 'kan tidak ada di sini," tanyaku sambil menatap mata Layla dengan lekat. Manik biru pucatnya menatap rendah aku. Dia pun menjawab pertanyaan yang kutanyakan kepadanya. "Sebenarnya aku bisa mengendalikan pikiran siapa saja yang ada di sekitarku. "Mereka tidak harus mendengarkan suaraku, yang penting mereka berada di dalam jangkauan kekuatanku," jelasnya yang membuatku terdiam. Aku tidak menyangka dia dapat mengendalikan pikiran orang yang berada di sekitarnya tanpa berkata-kata kepada mereka. 'Lalu ken
Ekspresi mukanya yang menahan kesakitan perlahan berubah menjadi lega karena akan segera terbebas dari siksaan api itu. "Terima kasih, Trystan ...," ucapnya berterima kasih kepadaku.Setetes air mata keluar dari mata kanannya lalu jatuh ke kobaran api di bawah dan lenyap tak bersisa. "Semoga di kehidupan selanjutnya ... kita tidak akan bermusuhan lagi." Layla mengucapkan kata-kata terakhirnya sebelum aku mengakhiri hidupnya di tempat dan saat ini juga.Kejadian itu terputar-putar di kepalaku puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali terulang di dalam kepalaku. Ingatan itu masih menghantui pikiranku hingga hanya ingatan itu saja yang menjadi satu-satunya hal yang memenuhi pikiranku.Satu bulan telah berlalu sejak saat itu, aku dapat keluar dari alam bawah sadar Layla dan kembali ke dunia nyata dengan selamat, tanpa luka sedikit pun. Bagiku waktu 1 bulan itu terasa begitu lama seolah-olah terhenti.Aku berdiri di depan makam yang sederhana. Aku berjongkok di dep
"Kamu tidak percaya padaku? Aku janji aku benar-benar akan mengeluarkanmu dari sini kalau waktunya tiba," tanya Layla yang diikuti dengan mengucapkan janji yang tidak kuketahui apakah dia dapat memegang janjinya atau malah mengingkarinya.Saat aku hendak membalas perkataannya, tiba-tiba langit biru berawan yang ada di sekeliling kami berubah menjadi jingga. Langit itu berwarna jingga bukan karena senja telah tiba, melainkan karena kobaran api yang muncul di mana-mana.Tidak hanya langit di sekeliling kami saja yang dilahap oleh api, Layla yang berdiri di hadapanku ikut terbakar. "Kyaaa! Panas!!" Dia langsung menjerit kesakitan ketika kobaran api itu melahap dirinya. Kulihat kulit sekujur tubuhnya mengalami luka bakar yang parah."Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamku yang keheranan. Aku tidak tahu kenapa situasi di alam bawah sadarnya mendadak berubah menjadi seperti neraka. 'Apa ini hukuman dari Dewa atas perbuatan-perbuatan Layla yang tidak manusiawi itu?'
"Sepertinya aku bisa menebak kenapa dulu kamu bilang begitu," ujarku sambil melepaskan pegangan tanganku dari pergelangan tangan Layla.Layla menarik tangan kanannya dan memegangi pergelangan tangannya yang memerah, padahal aku tidak sekuat itu memegang pergelangan tangannya hingga dapat semerah itu.Layla mengangkat kedua alisnya dan menantangku. "Kalau begitu, coba tebak kenapa dulu aku bilang begitu."Bibirku melengkung ke atas mendengar Layla menantangku seperti itu. Aku pun menimpali perkataannya dengan tebakanku yang kuyakin 100% benar."Dulu aku mencintaimu karena kamu mengendalikanku untuk jadi begitu, kan? Makanya semenjak aku sudah berhenti mempercayaimu, aku tidak lagi mempunyai perasaan suka padamu karena aku sudah terlepas dari kendalimu."Layla terdiam mendengar jawabanku. Dia tidak membantah tebakanku. Tampaknya apa yang kutebak itu tepat sasaran, makanya dia tidak dapat menyanggah perkataanku.Aku tersenyum sinis kepada Layla
Layla tersenyum mendengar pertanyaanku. Dia pun menjawab rasa heran dan penasaranku. "Sepertinya kamu lupa kalau kita bisa menggunakan kekuatan kita melewati batas yang seharusnya. Yah, yang pasti bakal ada efek sampingnya." Hampir saja aku lupa dengan hal itu, 'melewati batas', yaitu kemampuan seseorang untuk menggunakan 'Arte'-nya melewati batas tingkat absolutnya. Tentunya akan ada efek samping yang mengikuti setelah digunakannya kemampuan untuk melewati batas itu. Seperti saat aku menggunakan 'Arte'-ku untuk melenyapkan Kapten Giedrius yang tingkat absolutnya berada di atasku, energiku langsung terkuras banyak hingga hampir tidak bersisa. Menggunakan 'Arte' sampai melewati batas dengan berlebihan dapat memberikan efek samping yang fatal, bahkan dapat membuat penggunanya mati. Contohnya, Alcyone, anak perempuannya kakek Fero dan nenek Nevada. "Kenapa kamu sampai melewati batas kekuatanmu? Kamu tahu 'kan risikonya sebesar apa kalau kamu menggunakann
"Sekarang semua orang yang kamu kendalikan sudah mati, kali ini apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku kepada Layla.Layla menyeringai mendengar pertanyaanku. "Semua orang katamu? Kamu salah, Trystan. Mereka bahkan belum mencapai seperempat dari total orang yang sudah kukendalikan," balasnya.Aku terdiam mendengar jika ratusan orang itu tidak sampai seperempat dari keseluruhan orang yang dikendalikannya. Itu berarti, ada ribuan orang yang telah dikendalikan olehnya.'Benar juga, penduduk kota Boreus saja jumlahnya lebih dari 5.000 orang. Jumlah orang yang sudah dikendalikannya lebih banyak dari yang kukira.'Layla beranjak dari tempatnya berdiri. Dia melangkahi tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di atas lantai.Entah apa tujuannya berjalan menghampiriku. Aku menciptakan sepasang pedang yang melayang di sisi kiri dan kananku, bersiaga jika dia akan melakukan sesuatu terhadapku.'Dia tidak akan bisa mengendalikan pikiranku lagi karen
Aku menaikkan salah satu alisku karena heran melihat Layla tiba-tiba tertawa seperti itu. "Apa yang lucu sampai membuatmu tertawa begitu?" tanyaku dengan nada serius.Setelah tertawa dengan nyaring selama beberapa detik, akhirnya tawanya itu reda juga. Dia menyeka air mata yang menggenang pada sudut matanya lalu menjawab pertanyaanku. "Haha, ... itu karena kamu terlalu bodoh sampai-sampai bisa membuatku tertawa begini."Layla mengembalikan ketenangannya dan berhenti tertawa. Dia menatapku dengan instens dan tersenyum menyeringai. "Kamu pikir hanya karena aku bersedia untuk mati di tanganmu berarti aku juga bersedia untuk menyerah dan berhenti mengendalikan mereka?"Bodoh, kamu terlalu naif sampai-sampai kelihatan seperti orang tolol," hina Layla sambil memandang rendah aku.Kepalan tanganku semakin kuat hingga kuku jariku menggali ke dalam kulit telapak tanganku. Tak kurasakan lagi rasa sakit yang menusuk telapak tanganku dan lengan kananku yang terluka.
Rasa sakit pada lengan kananku semakin menusuk-nusuk. Aku mengkesampingkan rasa sakit itu dan memfokuskan perhatianku sepenuhnya pada Aquilo yang berdiri tak jauh di depanku. Dia telah bersiap untuk menyerangku lagi.'Sebisa mungkin aku harus menahan kekuatanku supaya dia tidak sampai terluka parah atau bahkan mati. Membuatnya pingsan sudah cukup.' Aku berpikir keras memikirkan bagaimana aku akan menghentikan dia dengan luka seminim mungkin.Kulihat Aquilo melemparkan serangan jarak jauh ke arahku lagi dan langsung beranjak dari tempatnya dan menerjang ke arahku. Aku melompat mundur untuk menjaga jarakku darinya.Kuciptakan 4 buah anak panah yang terbuat dari kegelapan yang dipadatkan. Salah satu dari keempat anak panah itu terbang ke arah misil 'Arte' yang dilemparkan oleh Aquilo. Kedua serangan jarak jauh itu saling bertubrukan dan menimbulkan ledakan kecil.Satu anak panah lainnya melesat ke arah Aquilo, tetapi dia dapat menghindarinya dengan mudahnya.
Kuhindari serangannya dengan melompat mundur untuk berjaga jarak darinya, mengantisipasi ledakan yang ditimbulkannya. Muncul ledakan yang tidak begitu besar dari tinjuannya yang mengenai udara kosong itu.Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini. 'Padahal dia tinggal di Kota Boreus, bagaimana bisa dia ada di Ibu Kota saat ini?'Aquilo kembali menerjang ke arahku dan melayangkan tinjuan lainnya. Aku mengepalkan tangan kiriku dan membalas tinjuannya dengan tinjuku. Kekuatan kami saling beradu dan menimbulkan ledakan yang cukup besar.Sebuah luka goresan muncul pada pipi kanan Aquilo. Efek dari ledakan itu menyebabkan luka kecil pada wajahnya. Cairan merah keluar dari luka itu dan mengalir menuruni lekukan mukanya.Di sisi lain, tidak ada luka baru yang timbul pada diriku karena sedetik sebelum ledakan itu terjadi, aku menciptakan perisai kegelapan untuk melindungi diriku.Kulihat Aquilo hendak menyerangku sekali lagi tanpa memberikan aku wa
"Apa nanti kamu tidak akan menyesal karena sudah membunuhku?" tanya Layla yang kini membuka kedua matanya untuk melihatku.Aku terdiam sejenak saat mendengar pertanyaan itu. Sebuah senyuman kecil terbentuk pada bibirku."Mungkin iya, mungkin tidak," jawabku dengan tidak pasti. Aku ingin menjawab jika aku tidak akan menyesalinya, tetapi di lubuk hatiku yang terdalam, sepertinya aku akan menyesal.Aku membuka mulutku lagi dan berkata, "Tidak peduli apa aku akan menyesal atau tidak, aku akan tetap membunuhmu untuk mengakhiri perang ini."Mendengar perkataanku, Layla kembali memejamkan kedua matanya dan tersenyum tipis. "Begitu, ya ... oke, kamu bisa membunuhku sekarang," ujarnya yang sudah siap untuk menyerahkan hidupnya padaku.Aku menggenggam erat gagang pedang hitam di tanganku. "Pada akhirnya kisah kita berakhir seperti ini, Layla," gumamku dengan suara kecil. Kuayunkan pedang ini ke kanan untuk memotong lehernya Layla.Sekali lagi sebuah s