Pagi ini Grassiela terbangun dengan kabar yang mengejutkan. Dia mendengar bahwa pagi-pagi sekali suaminya sudah pergi ke Moscow untuk urusan pekerjaan.Itu di luar rencana. Artinya nanti Grassiela akan menyusul James untuk terbang ke Rusia bersama anggota keluarga Draxler yang lain.Pertanyaannya, apakah hal itu membuat Grassiela kecewa?Sedikitnya mungkin benar. Mengingat apa yang terjadi semalam di antara mereka membuat Grassiela merasa tak enak hati. Meski dia sendiri sebenarnya tak cukup yakin dengan perasaannya sendiri."Kalian pasti melwati malam yang panas," komentar Annastasia berhasil membuat Grassiela mengerjap dan menoleh padanya. "Itu luar biasa, bukan? Sampai suamimu begitu bersemangat untuk melanjutkan pekerjaannya," lanjut Annastasia menatap penasaran.Grassiela tak tahu bagaimana harus menanggapi tatapan sepupunya yang tampak antusias. Tetapi perkataan Annastasia jelas membuatnya merasa tak nyaman. Saat ini orang-orang tengah menikmati cerahnya pagi di area halaman ya
Moscow, Rusia.09.11 PM.Selain ucapan belasungkawa yang Grassiela dapatkan dari ayah mertuanya, tak ada lagi pembicaraan berarti di sepanjang perjalanan. Hanya ada suasana hening di dalam mobil limousine berwarna hitam yang membawa empat penumpang itu. Fyodor Draxler terdiam dan larut dalam pikiran mengenai putranya sendiri. Paula tampak sibuk dengan ponsel yang ia genggam. Sementara Violeta dan Grassiela sesekali saling memandang. Tak berani banyak berbicara karena Fyodor ada di antara mereka.Mobil mewah itu terus melaju menembus malam di pinggiran selatan Moscow. Hingga mereka memasuki jalan raya Rublevo-Uspensky, kawasan Rublevka tepatnya. Sebuah distrik mewah yang dirancang agar penduduk setempat dapat memprioritaskan privasi dan tidak terganggu dengan kebisingan lalu-lintas dari denyut nadi kehidupan Moscow yang padat. Di sini, para penghuni memiliki kenyamanan eksklusif yang dilengkapi bermacam insfrastruktur untuk memenuhi kebutuhan serta gaya hidup me
Dengan masih memakai bathrobe putih, wanita muda itu melangkah memasuki walk in closet yang berada di kamar pribadinya. Ruangan mewah miliknya ini adalah surga bagi para pecinta fashion. Ketika pintu terbuka, cahaya yang hangat memancar dari langit-langit yang dihiasi dengan lampu gantung kristal kecil yang indah, menciptakan kilauan yang memenuhi ruangan dengan cahaya. Di tengah-tengah ruangan, terdapat tempat duduk yang elegan dengan permukaan beludru berwarna merah muda.Dinding-dinding walk-in closet ini dilapisi dengan laci-laci kayu yang indah serta pegangan emas yang mengkilap. Di dalam laci-laci tersebut, terdapat berbagai jenis rak dan tempat penyimpanan yang disusun dengan rapi. Gaun-gaun elegan menggantung di hanger-hanger memamerkan keindahan dan keanggunan mereka yang eksklusif. Sepatu-sepatu desainer ternama ditempatkan di rak-rak dengan disusun rapi sesuai urutan warna dengan gaya yang beragam.Walk-in closet ini juga memiliki lemari otomat
Grassiela tidak mempunyai pilihan selain menemani Irina Dzanayev untuk menghadiri pesta minum teh di kediaman kolega Irina. Ini mungkin lebih baik, dari pada terpenjara di mansion itu sendirian. Di sisi lain, ada rasa bersalah yang Grassiela rasakan karena dirinya pernah mencoba lari saat berada di bawah pengawasan Irina. Hal tersebut mungkin menyulitkan bibi dari suaminya itu, dan Grassiela mencoba untuk berdamai dengannya.Keduanya keluar dari wilayah Rublevka dengan sopir pribadi dan penjagaan yang cukup ketat. Setelah perjalanan, akhirnya mereka tiba di kediaman mewah keluarga Curtois, salah satu keluarga terpandang dan berpengaruh di kota Moscow. Kediaman itu terletak di sebuah lahan yang luas, dengan taman bunga yang indah dan pemandangan yang menakjubkan. Pesta minum teh diadakan di area taman dengan tenda yang besar, di mana para tamu bisa menikmati udara segar sambil menikmati pemandangan alam.Begitu sampai, Grassiela dan Irina disambut dengan h
Vila mewah yang terletak di pinggiran kota itu sudah diawasi cukup lama. James yang memantau lewat teropong di sebuah gedung kosong yang letaknya tidak jauh dari vila, menugaskan Alexsei memimpin pasukannya untuk menyerang.Maka ketika malam tiba, suara letusan senjata pecah di udara, memecah kesunyian langit yang gelap. Membuat orang-orang di dalam vila berwaspada sesaat sebelum peluru-peluru menghujani bangunan berwarna putih tersebut. Lewat lensa teropongnya, James memerhatikan bagaimana sebuah dentuman keras meledak lalu orang-orangnya menembus dinding dan memecah kaca-kaca jendela. Pepohonan di sekitar vila bergoyang, dahan-dahannya tumbang akibat ledakan dan serangan balas dendam yang berlangsung.Akhirnya perang sengit antara dua geng mafia yang saling adu tembak terjadi. Suasana yang tadinya tenang dan damai berubah menjadi medan pertempuran yang mematikan.Sementara Alexsei bergerak seorang diri memburu Afro Maccini untuk membawanya langsung
"Aku ingin pulang. Bisakah Mom mengirim seseorang untuk menjemputku?"Pesan teks yang dia kirimkan pada ibunya masih belum juga mendapat jawaban. Grassiela tidak tahu kenapa sabungan telepon mereka semalam mendadak terputus. Setelahnya Grassiela tidak bisa melakukan panggilan lagi. Tidak pada siapa pun. Grassiela berpikir bahwa ponselnya mungkin bermasalah. Maka dia hanya bisa menghela napas panjang. Menarik sebuah sofa untuk duduk di depan jendela sepanjang malam menanti datangnya fajar.Sampai akhirnya suara ketukan pertama di pintu kamarnya terdengar. Grassiela mengabaikan pelayan yang memanggilnya untuk sarapan hingga makanan diantarkan ke kamarnya tanpa disentuh sedikitpun. Tak ada yang tahu bahwa Grassiela sedang berkabung. Dia masih bergeming di tempatnya. Memeluk tubuhnya dengan kesedihan yang mendalam. Tak mudah baginya mengatasi semua tekanan ini sendirian. Kabar mengenai kematian seseorang membuatnya terpukul dan membangkitkan syock yang menyeretnya pada trauma akan kehila
Suasana senja yang hampir tenggelam menyelimuti kota Newcastle termasuk kediaman tempat Alfonso dan Helena Stamford tinggal. Di ruangan kerjanya, pria tua itu sibuk memeriksa pekerjaannya tanpa bisa berkonsentrasi dengan benar. Pikiran Alfonso yang kalut tercermin dengan jelas di raut wajahnya yang muram. Mendadak suara ketukan di pintu memecah pikirannya lalu secara spontan Alfonso mengangkat kepala begitu sang istri masuk tanpa permisi.Helena tak bisa menunggu sampai suaminya memberi ijin untuk memasuki ruang kerja itu. Rasa cemas yang tak bisa disangkal mendesaknya untuk mencari suaminya dan berbicara empat mata. Kini keduanya saling memandang. Menerka pemikiran rumit satu sama lain lewat tatapan yang sulit diartikan."Aku mendengarnya," ucap Helena lebih dulu. Dia berjalan melintasi ruangan untuk mendekat ke meja kerja suaminya. "Aku mendengar semuanya."Alfonso yang duduk di singgasananya bergeming. Dia hanya memandang istrinya dan men
Grassiela merasa cemas saat ia duduk di meja makan bersama Violeta, pikirannya terganggu oleh rumor buruk yang masih beredar di antara para pelayan. Namun, dia mencoba untuk tetap tersenyum dan bersikap normal. Satu persatu berbagai kudapan lezat mulai dihidangkan di atas meja. Violeta tampak antusias untuk menikmati makanan di hadapannya, tetapi tidak dengan Grassiela. Perasaan yang tak tenang membuat dia sama sekali tidak berselera. Setelah para pelayan pergi, Violeta mendadak beranjak dari tempat duduknya, membuat Grassiela berkedip memandang wanita itu."Oh, aku melupakan multivitamin yang harus kuminum sebelum makan. Aku akan segera kembali," ujar Violeta sebelum cepat-cepat kembali ke kamar tamu untuk mengambil sesuatu yang dia lupakan.Grassiela menghela napas panjang dan menunduk di ruangan itu sendirian. Entah kenapa kepergian Violeta seakan memberinya ruang bebas untuk bernapas. Kali ini Grassiela memilih untuk menyimpan kegelisahannya send
Tatapan penuh ketakutan dan amarah yang diterima Grassiela dari Iliya serta Ivan, menciptakan perasaan bersalah yang mengiris hatinya. Grassiela mengingat saat kobaran api melahap sebuah pindok kayu di hadapannya dan ia tak mampu melakukan apa pun atas keputusan James yang kejam.Tapi kali ini, tidak. Grassiela mengeratkan rahangnya, seolah menguatkan dirinya. Ia tahu apa artinya hidup di bawah bayangan James dan kekuasaannya. Namun, ia tak ingin lagi membiarkan orang lain menderita karenanya. Sekali ini, ia akan bertindak.Saat James datang, suasana semakin menegang. Semua orang membeku di tempatnya berdiri dengan kewaspadaan. Sementara Grassiela, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang muncul saat suaminya tiba dengan langkah tegap dan tatapan dingin. Kali ini, ia memutuskan untuk menghadapi James dengan cara yang berbeda. Sebuah senyum mendadak terbit di wajah jelita itu. Grassiela berjalan menyambut James dengan gembira, seolah-olah itu adalah ke
James berdiri di tepi ranjang, menatap Grassiela yang tertidur dengan damai. Untuk sesaat, wajahnya yang selalu tegas melunak. Di balik kekerasan dan egoisnya pria itu, perasaan lembut yang ia coba hindari begitu lama mulai menyeruak, merayapi relung hatinya. Ingatan tentang percakapan mereka sebelumnya muncul dalam ingatan. Dengan penuh ketulusan, Grassiela meminta cinta sebagai balasan atas permintaan James untuk seorang pewaris. Cinta… satu kata yang selama ini selalu terasa asing dan berbahaya baginya. Bagaimana mungkin seseorang seperti dirinya, yang telah begitu dalam terjebak dalam dunia kegelapan dan kekerasan, bisa memberikan sesuatu yang sesuci itu? Omong kosong. Seketika ucapan Violeta melintas dalam benaknya. "Kau tak memiliki hati. Kau tak mengenal cinta. Dan hal itu tidak akan pernah berubah." James menggertakkan rahangnya, berusaha mengusir ingatan itu, meski kata-kata Violeta menghantuinya. Tanpa melepaskan tatapannya dari Grassiela yang terlelap, perasaan yang t
Malam itu, suasana rumah terasa sunyi setelah mereka kembali dari pemakaman. Valentina berdiri di balkon kamar, gaun hitam panjangnya berkibar pelan terkena angin malam. Wajahnya tampak murung, bayangan kesedihan dan kecemasan menghiasi tatapannya yang kosong, memandangi langit malam tanpa benar-benar melihat apa pun. Di dalam dirinya, ribuan pikiran berkeliaran, menghantui setiap detik yang berlalu. Pemakaman Borsellino, suaminya baru saja selesai meninggalkan perasaan yang campur aduk. Valentina memeluk dirinya sendiri, merasakan dinginnya angin yang merembes hingga ke tulang. Dia tidak bisa menghentikan kegelisahan yang terus merayap dalam hatinya—kegelisahan tentang bagaimana orang-orang akan memandang hubungannya dengan Paolo setelah ini. Pria yang selama ini menemaninya, sekarang menjadi pusat dari segala rumor dan spekulasi. Dunia mafia penuh intrik, dan hubungan mereka pasti akan dipandang dari segala sisi yang penuh kecurigaan. Paolo muncul dari dalam kamar, mendekati Valent
Di dalam ruangan dengan perapian yang menyala lembut, sinar api memantulkan bayang-bayang di dinding kayu yang tebal. Malam telah larut, dan udara dingin perlahan merasuk. Sebuah papan catur kayu tua dipasang di atas meja kecil di depan kursi empuk tempat Grassiela dan Fyodor, ayah mertuanya, duduk berhadapan. Pria tua itu menatap papan dengan intens, alisnya mengerut dalam, menggumamkan pikirannya sambil mempertimbangkan langkah berikutnya. "Hm, kau bermain dengan sangat baik," katanya sambil memindahkan bentengnya ke tengah papan. Grassiela tersenyum tipis, pandangannya tak lepas dari bidak-bidak di depan mereka. “Terima kasih, Papa," jawabnya halus. Keheningan kembali menyelimuti. Grassiela menyentuh salah satu bidak kuda miliknya dan memutarnya sedikit sebelum akhirnya menggerakkan kuda tersebut ke arah yang tak terduga. Dia tersenyum puas, menyadari langkah itu membuat Fyodor semakin terdesak. "Langkah yang brilian," puji Fyodor sambil mengangguk. "Kau tahu, permainan catur in
Pagi itu, udara pegunungan terasa sejuk dan segar. Sinar matahari yang lembut menerobos masuk melalui jendela besar di ruang tamu rumah persembunyian. Grassiela berdiri di tepi jendela, mengenakan gaun tidurnya, dengan secangkir kopi hangat di tangan. Pandangannya terfokus pada jalan setapak yang berkelok menuju rumah, saat debu mulai terangkat oleh deretan mobil yang mendekat. Lima mobil hitam melaju pelan, mesin-mesinnya terdengar samar dari kejauhan. Ketika jarak semakin dekat, Grassiela dapat melihat sosok James yang berdiri di halaman, memandang lurus ke arah mobil-mobil itu. Ia berdiri tegak, kedua tangannya terlipat di dada, tenang namun tegas, seolah sudah tahu siapa yang datang. Mata Grassiela menyipit, mencoba menebak apa yang akan terjadi. Namun sikap tenang James memberitahunya bahwa itu bukanlah sebuah ancaman. Mobil pertama berhenti, diikuti oleh yang lainnya. Pintu terbuka, lalu Alexsei keluar dengan cepat disusul oleh Fausto yang mengikutinya. Pria bertubuh besar itu
Cestershire, Inggris. Helena duduk di kursi goyang berlapis kain beludru merah tua, menggenggam cangkir teh camomile antik dengan erat. Sesekali dia menyeruput teh hangat itu bersama Eveline, saudari iparnya. "Seharusnya dia sudah bertunangan atau menikah sekarang, bukannya berkeliaran entah ke mana," gumam Eveline menahan kekhawatirannya. Helena menurunkan cangkirnya, menatap Eveline dengan serius. "Maksudmu Arabella? Aku rasa dia seorang gadis yang mandiri, dan tahu apa yang harus dia lakukan." Eveline menggeleng pelan, tanda bahwa dia tidak setuju pendapat itu. "Dia ceroboh, egois dan sulit diatur. Seseorang bisa saja memanfaatkannya." Dia lalu menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara dengan suara pelan. "Dia selalu membuatku khawatir. Kini sudah dua minggu Arabella pergi entah kemana." Helena terdiam mendengar sejenak. Seketika, pikirannya melayang ke sosok putrinya, Grassiela. Apakah dia pernah merasa khawatir seperti apa yang Eveline rasakan? Sejauh mana dirinya menc
Langit di atas hutan Castelbuono berwarna biru cerah, cahaya matahari yang lembut menerobos dedaunan, menciptakan permainan bayangan di atas tanah. Angin sepoi-sepoi membawa aroma pinus dan dedaunan yang segar. Grassiela berjalan dengan langkah ringan, rambut berwarna karamelnya diikat ekor kuda dan berkibar lembut di bawah pepohonan bersama apron merah muda yang menghiasi dress putih polosnya. James mengikuti dari belakang, matanya tak pernah lepas dari sosok menarik itu. Di setiap langkahnya, dia tampak waspada, meski diam-diam ada kehangatan dalam tatapannya. "Kau tidak perlu mengikutiku," kata Grassiela tiba-tiba, tanpa berbalik bersama langkahnya yang tetap ringan dan bebas. "Tidak perlu khawatir. Aku bisa menemukan jalan pulang sendiri nanti." James mendengus pelan, meski senyumnya hampir tak terlihat. "Aku hanya memastikan kau tidak tersesat atau membuat masalah." "Masalah?" Seketika Grassiela berhenti untuk menoleh menatap suaminya tajam. "Di sini, satu-satunya masalah ada
Pagi itu, James terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang tidak biasa. Sinar matahari menembus celah-celah tirai jendela, menerangi ruang tamu yang dia gunakan untuk beristirahat. Aroma lezat dari dapur mulai menggoda indera penciumannya, memanggilnya untuk bangun dan menyambut hari. Dengan enggan, ia menghempaskan selimut yang entah datangnya dari mana lalu bangkit dari sofa. Pria itu berjalan menuju dapur, masih mengenakan kemeja putih tanpa dasi serta celana hitam yang sedikit kusut, sebuah tanda dari malam panjang yang baru saja berlalu. Dapur itu sederhana, tidak seperti dapur mewah yang biasa ia temui di rumah-rumah besar. Namun entah bagaimana, kesederhanaan ini terasa membawa kedamaian baginya. Saat ia memasuki dapur, matanya tertuju pada meja makan. Sarapan telah disiapkan dengan rapi, lengkap dengan roti, telur, dan secangkir kopi yang masih mengepul. Namun, sesuatu yang lain menarik perhatiannya—pintu dapur yang sedikit terbuka, membiarkan angin pagi masuk ke dalam r
Mobil melaju dengan kecepatan konstan, menembus kegelapan malam yang semakin dalam. Jalanan yang mereka lewati semakin sepi, hanya suara mesin yang memecah kesunyian. Grassiela memandang ke luar jendela, pikirannya terombang-ambing antara rasa bersalah dan kebingungan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. James, yang duduk di sampingnya, tetap diam. Wajahnya tetap menunjukkan ketegangan dan fokus yang sama. Grassiela merasa semakin sulit untuk menembus dinding emosional yang dibangun James saat ini. Dia ingin sekali tahu ke mana mereka akan pergi, tetapi ada sesuatu dalam sikap James yang membuatnya merasa bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, James akhirnya berbicara, meskipun suaranya tetap dingin dan terkendali. "Kita akan menuju tempat persembunyian sementara. Di sana kita bisa menunggu kabar dari Paolo dan yang lainnya." Grassiela mengangguk, merasa sedikit lega karena akhirnya mendapat jawaban. Malam i