Vila mewah yang terletak di pinggiran kota itu sudah diawasi cukup lama. James yang memantau lewat teropong di sebuah gedung kosong yang letaknya tidak jauh dari vila, menugaskan Alexsei memimpin pasukannya untuk menyerang.Maka ketika malam tiba, suara letusan senjata pecah di udara, memecah kesunyian langit yang gelap. Membuat orang-orang di dalam vila berwaspada sesaat sebelum peluru-peluru menghujani bangunan berwarna putih tersebut. Lewat lensa teropongnya, James memerhatikan bagaimana sebuah dentuman keras meledak lalu orang-orangnya menembus dinding dan memecah kaca-kaca jendela. Pepohonan di sekitar vila bergoyang, dahan-dahannya tumbang akibat ledakan dan serangan balas dendam yang berlangsung.Akhirnya perang sengit antara dua geng mafia yang saling adu tembak terjadi. Suasana yang tadinya tenang dan damai berubah menjadi medan pertempuran yang mematikan.Sementara Alexsei bergerak seorang diri memburu Afro Maccini untuk membawanya langsung
"Aku ingin pulang. Bisakah Mom mengirim seseorang untuk menjemputku?"Pesan teks yang dia kirimkan pada ibunya masih belum juga mendapat jawaban. Grassiela tidak tahu kenapa sabungan telepon mereka semalam mendadak terputus. Setelahnya Grassiela tidak bisa melakukan panggilan lagi. Tidak pada siapa pun. Grassiela berpikir bahwa ponselnya mungkin bermasalah. Maka dia hanya bisa menghela napas panjang. Menarik sebuah sofa untuk duduk di depan jendela sepanjang malam menanti datangnya fajar.Sampai akhirnya suara ketukan pertama di pintu kamarnya terdengar. Grassiela mengabaikan pelayan yang memanggilnya untuk sarapan hingga makanan diantarkan ke kamarnya tanpa disentuh sedikitpun. Tak ada yang tahu bahwa Grassiela sedang berkabung. Dia masih bergeming di tempatnya. Memeluk tubuhnya dengan kesedihan yang mendalam. Tak mudah baginya mengatasi semua tekanan ini sendirian. Kabar mengenai kematian seseorang membuatnya terpukul dan membangkitkan syock yang menyeretnya pada trauma akan kehila
Suasana senja yang hampir tenggelam menyelimuti kota Newcastle termasuk kediaman tempat Alfonso dan Helena Stamford tinggal. Di ruangan kerjanya, pria tua itu sibuk memeriksa pekerjaannya tanpa bisa berkonsentrasi dengan benar. Pikiran Alfonso yang kalut tercermin dengan jelas di raut wajahnya yang muram. Mendadak suara ketukan di pintu memecah pikirannya lalu secara spontan Alfonso mengangkat kepala begitu sang istri masuk tanpa permisi.Helena tak bisa menunggu sampai suaminya memberi ijin untuk memasuki ruang kerja itu. Rasa cemas yang tak bisa disangkal mendesaknya untuk mencari suaminya dan berbicara empat mata. Kini keduanya saling memandang. Menerka pemikiran rumit satu sama lain lewat tatapan yang sulit diartikan."Aku mendengarnya," ucap Helena lebih dulu. Dia berjalan melintasi ruangan untuk mendekat ke meja kerja suaminya. "Aku mendengar semuanya."Alfonso yang duduk di singgasananya bergeming. Dia hanya memandang istrinya dan men
Grassiela merasa cemas saat ia duduk di meja makan bersama Violeta, pikirannya terganggu oleh rumor buruk yang masih beredar di antara para pelayan. Namun, dia mencoba untuk tetap tersenyum dan bersikap normal. Satu persatu berbagai kudapan lezat mulai dihidangkan di atas meja. Violeta tampak antusias untuk menikmati makanan di hadapannya, tetapi tidak dengan Grassiela. Perasaan yang tak tenang membuat dia sama sekali tidak berselera. Setelah para pelayan pergi, Violeta mendadak beranjak dari tempat duduknya, membuat Grassiela berkedip memandang wanita itu."Oh, aku melupakan multivitamin yang harus kuminum sebelum makan. Aku akan segera kembali," ujar Violeta sebelum cepat-cepat kembali ke kamar tamu untuk mengambil sesuatu yang dia lupakan.Grassiela menghela napas panjang dan menunduk di ruangan itu sendirian. Entah kenapa kepergian Violeta seakan memberinya ruang bebas untuk bernapas. Kali ini Grassiela memilih untuk menyimpan kegelisahannya send
Dalam kegelapan malam yang mencekam, Grassiela terbaring di atas tempat tidurnya bersama cahaya remang-remang lampu kecil di atas nakas. Kedua matanya yang menatap langit-langit kamar tanpa fokus menjadi cermin bagi kekosongan yang ia rasakan.Saat ini isi kepala Grassiela penuh dengan guncangan emosional yang mendalam. Untuk kesekian kalinya Grassiela merasa tersakiti oleh orang-orang di sekitarnya. Kata-kata tajam, cemoohan, dan pengkhianatan melintas di dalam pikirannya, menorehkan luka-luka yang tidak pernah sembuh.Hatinya berat dan tertekan, Grassiela merasa kehilangan dirinya sendiri dalam pusaran gelisah. Hingga frustasi datang memenuhi pikirannya. Dia merasa terjebak dalam cengkeraman takdir yang kejam, meratapi keputusan yang telah membawanya ke jalur yang salah. Hati Grassiela terpenuhi dengan penyesalan, terutama pada keputusannya untuk setuju menikahi James Draxler.Lantas wanita muda itu menutup wajahnya dengan tangan yang gemetar. Air mata hampir meluap, dan gelombang em
Pagi itu, Grassiela mengayunkan kakinya perlahan-lahan menuruni anak tangga, diikuti oleh seorang pelayan setia yang membawa sebuah koper berisi barang-barang pribadinya. Cahaya matahari pagi meresap lewat jendela besar, mencerahkan setiap sudut mansion yang sebelumnya diguncang oleh kekacauan penyerangan semalam.Grassiela merasa nyalinya terusik saat ia melihat para pelayan yang sibuk membersihkan pecahan kaca dan merapikan furnitur yang rusak. Meski terlihat lelah, mereka tetap berusaha mengembalikan mansion ini ke keadaan semula. Dengan langkah-langkahnya yang anggun, Grassiela berjalan melewati ruangan yang masih berantakan."Selamat pagi, Nyonya," sapa salah seorang pelayan.Grassiela mengangguk sebagai balasan, "Apa ada yang terluka akibat kejadian semalam?" "Tidak, Nyonya. Para pelayan hanya merasa lelah dan ketakutan."Grassiela mengingat kejadian mengerikan semalam. Dia merasa bahwa serangan tembakan brutal hanya tertuju ke kamarnya saja. Setidaknya, dia merasa lega karena t
"Namamu Fausto, bukan?""Ya. Kau memang sudah seharusnya mengingatku."Grassiela terdiam sejenak, menunduk dengan murung. Cahaya senja dari jendela mobil membelai wajahnya yang pucat, sementara tatapan matanya tampak kosong. Setelah beberapa saat kemudian dia kembali berkata, "Bolehkah aku meminta bantuan darimu?"Hampir setengah perjalanan telah mereka tempuh menuju ke Saint Petersburgh. Langit sore mulai berubah warna menjadi keungu-unguan dan dua buah mobil BMW berwarna hitam itu melambat hingga berhenti di tepi jalan yang sepi. Atas permintaan Grassiela, Fausto dengan tegas menahan perjalanan mereka. Dengan segala pertimbangannya, pria itu mengangguk setuju memberikan Grassiela kesempatan untuk berkomunikasi dengan orangtuanya yang jauh. Fausto bukan lah seorang yang kejam seperti bosnya. Dia iba melihat kesedihan di raut wajah Grassiela yang sendu. Penyerangan semalam pasti membuatnya merasa takut dan tertekan. Maka dengan besar hati Fausto rela menyerahkan ponselnya pada Grassi
Grassiela melangkah di belakang seorang pelayan melewati koridor-koridor marmer di dalam manor. Cahaya mentari dari jendela-jendela tinggi serta dinding yang dingin seakan-akan menceritakan adanya sejarah yang tertulis di sepanjang koridor besar tempat tinggal bergaya Rusia ini.Florence Shine, seorang pelayan wanita berusia di akhir 30 tahun yang menyertai Grassiela berkeliling, berjalan di depannya dengan langkah yang tenang. "Manor ini telah berdiri selama lebih dari seratus tahun, dengan sejarah yang kaya," ucapnya setelah mereka sampai di sebuah ruang duduk utama yang luas.Grassiela mengangguk dan berhenti sejenak untuk mengamati furnitur mewah dan lukisan-lukisan tua yang menghiasi ruangan itu. Meski tak ada ekspresi yang berarti di wajah cantiknya, namun diam-diam Grassiela terpesona oleh arsitektur elegan dengan lantai marmer, furnitur antik, dan dekorasi bergaya khas Rusia. "Ruang ini biasa digunakan untuk menyambut tamu dan acara-acara penting," jelas Florence. "Namun Tuan
Kabut tipis masih menyelimuti taman luas di belakang mansion. Matahari pagi mulai mengintip di antara pepohonan, memberikan kehangatan samar yang terasa ironis di tengah suasana mencekam. Di tengah taman, tiga pria berlutut di atas tanah lembap. Wajah mereka pucat, napas tersengal, dan tangan gemetar. Di atas kepala mereka masing-masing bertengger sebuah apel merah yang tampak kontras dengan ekspresi ketakutan di wajah mereka. James berdiri beberapa meter jauhnya, memegang senapan laras panjang dengan sikap santai namun mematikan. Matanya tajam, penuh konsentrasi, sementara senyum tipis menghiasi wajahnya. Di sampingnya, Alexsei, Benicio, dan Fausto duduk di kursi taman sambil menyeruput kopi dan menikmati croissant, seolah tontonan pagi itu adalah hiburan biasa. “Siapa yang mau taruhan? Apakah aku bisa mengenai apel itu atau tidak?” tanya James dengan nada bercanda.Fausto tertawa kecil. “Aku bertaruh kau bahkan tidak akan meleset satu kali pun
Apakah sebuah pernikahan yang didasari oleh kepentingan akan berjalan sebagaimana hubungan pernikahan pada umumnya? Apakah cinta akan tumbuh di antara dua insan dengan ikatan semacam ini?Mungkin ya, mungkin juga tidak. Grassiela tidak bisa memastikannya. Helena dan Alfonso, kedua orangtuanya juga menjalani pernikahan tanpa cinta. Entah perjanjian macam apa yang mendasari perjodohan itu, namun pada akhirnya pernikahan mereka tetap berjalan sampai puluhan tahun hingga menghadirkan seorang anak yang tumbuh tanpa cinta. Ya, begitulah kira-kira. Dan Grassiela akan memastikan bahwa pernikahannya tidak akan sama seperti pernikahan kedua orangtuanya.Ketika sampai di depan pintu kamar James, dia berhenti sejenak. Memandang gagang pintu itu, seolah menimbang-nimbang keputusannya. Lalu akhirnya dia memutuskan membuka pintu dan melangkah masuk. Kamar itu gelap, hanya diterangi sedikit cahaya dari lampu taman yang menyusup melalui tirai. Udara di dal
Dua minggu yang lalu. Keramaian pesta malam itu terasa megah namun penuh dengan ketegangan bagi Grassiela dan James. Musik klasik mengalun lembut, gelas-gelas anggur beradu dalam percakapan santai para tamu. Grassiela, dalam balutan gaun hitam elegan yang mencerminkan keanggunannya, menyusup tanpa menarik perhatian, mengiringi Valentina keluar dari ruang utama. Dia menyentuh lengan Valentina dengan lembut, menenangkan wanita itu dari kecemasannya. "Percayalah padaku, kita akan keluar dari sini dengan selamat," bisiknya sambil tetap melangkah dengan percaya diri. Mereka menyusuri lorong panjang yang redup, menjauh dari keramaian pesta. Grassiela mengarahkan Valentina ke sebuah ruangan terpencil, dimana terdapat jalan rahasia yang akan membawa mereka keluar dari vila tanpa terlihat.Ketika mereka hampir mencapai ruangan itu, langkah keduanya terhenti. Seorang pria muncul dari belokan, mengenakan jas biru tua yang rapi. Dia berhenti sejenak, matanya terbelalak seolah tak percaya pad
Ruang rapat itu diterangi cahaya matahari yang masuk melalui jendela-jendela berbingkai kayu ek, memantulkan kilau pada meja panjang yang mengisi ruangan. Jam menunjukkan pukul dua siang. James duduk di ujung meja dengan tubuh tegap, mengenakan setelan jas abu-abu tua yang sempurna. Di depannya tergeletak dokumen dan grafik yang menunjukkan data perdagangan dan rute penyelundupan. Alexsei, Benicio, Fausto, dan Sergei masing-masing mendengarkan dengan serius. James memulai pembicaraan, suaranya rendah namun sarat dengan ketegasan. “Kita sudah berhasil mendominasi jalur di Eropa utara. Tapi untuk memperbesar keuntungan, kita harus melangkah ke titik yang lebih strategis. Pasar di sana sangat menguntungkan, terutama di negara-negara seperti Jerman, Prancis, dan Inggris. Kita butuh rencana yang tak hanya licik, tapi juga sulit dilacak." James menunjuk layar presentasi di belakangnya, yang menunjukkan peta jalur perdagangan narkoba. “Gunakan Balkan sebagai pintu masuk utama. Barang ak
Ruang duduk utama kastil Cestershire yang megah dengan dinding batu kuno dan perabotan antik, dipenuhi keheningan yang mencekam. Veronica duduk di kursi merahnya dengan postur tegas, meskipun guratan keriput di wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Di depannya, Helena berdiri dengan tangan gemetar, meski sorot matanya menunjukkan keteguhan. “Apa yang kau katakan barusan?” suara Veronica terdengar rendah namun dingin, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Helena menelan ludah, mencoba mengendalikan dirinya. “Pria yang menikahi Grassiela… dia adalah seorang pemilik kartel narkoba. Aku tidak bisa membiarkan putriku terus hidup dalam bayang-bayang marabahaya.” Veronica terdiam, matanya menatap tajam ke arah jendela besar yang memandang ke halaman luas kastil. Pikirannya berputar. “Dan bagaimana kau baru mengetahuinya?” “Penyelidikan pribadi,” jawab Helena dengan nada tegas. “Grassiela sudah pernah men
Malam menjalar perlahan di balik tirai kamar itu, memberikan kehangatan yang berbeda setelah dinginnya udara di tebing tadi. Lampu di kamar menyala redup, menciptakan suasana intim. Grassiela berdiri di tengah ruangan, sibuk merapikan pakaian-pakaian baru yang ia beli di butik.Namun, matanya kemudian tertuju pada sebuah tas kecil di sudut ranjang. Tas itu berisi pilihan lingerie yang ia pilih dengan ragu-ragu tadi siang. Sesaat, pikiran nakalnya menerawang memikirkan James. Bibir Grassiela melengkung dalam senyum kecil yang hanya ia sadari saat memikirkan pria itu.Dia memutar-mutar jemari pada salah satu tali lingerie di dalam tas. Mengeluarkan dua potong lingerie, berwarna merah tua dengan renda halus dan satu lagi berwarna hitam dengan potongan berani yang memperlihatkan lekuk tubuh dengan indah. Grassiela membawa keduanya ke depan cermin besar di sudut kamar. Bayangannya menatap balik dengan rasa percaya diri yang baru ia temukan belakangan ini.
Apa moment terburuk yang pernah kau hadapi? Menyaksikan saudaramu tewas tertembak tepat di depan matamu? Diusir dari rumah dan diasingkan ke sebuah sekolah asrama? Atau, apa kau pernah menyaksikan sebuah ledakan hebat yang menjatuhkan banyak korban dan itu semua adalah karena kesalahanmu? Tidak, itu baru sebagian kecil. Masih banyak hal buruk yang Grassiela lewati selama hidupnya. Terlebih lagi, setelah dia dinikahi oleh seorang bos mafia yang tak kenal ampun. Semua itu jelas mengerikan. Sikap angkuh kedua orangtuanya juga suaminya membuat Grassiela tertekan dan frustasi. Jika begitu, lantas kapan moment terbaik yang pernah ia rasakan dalam hidupnya? Kini, sebuah senyuman merekah di wajah jelita itu. Matahari mulai merangkak naik hingga pagi menjadi terang. Mereka tiba di kawasan perkotaan Krasnodar. Suasana yang ramai dengan deretan bangunan klasik dan modern bercampur dalam musim semi yang memancarkan kehangatan. Keduanya turun dari mobil, berjalan sambil saling berpegangan tan
Tatapan penuh ketakutan dan amarah yang diterima Grassiela dari Iliya serta Ivan, menciptakan perasaan bersalah yang mengiris hatinya. Grassiela mengingat saat kobaran api melahap sebuah pindok kayu di hadapannya dan ia tak mampu melakukan apa pun atas keputusan James yang kejam.Tapi kali ini, tidak. Grassiela mengeratkan rahangnya, seolah menguatkan dirinya. Ia tahu apa artinya hidup di bawah bayangan James dan kekuasaannya. Namun, ia tak ingin lagi membiarkan orang lain menderita karenanya. Sekali ini, ia akan bertindak.Saat James datang, suasana semakin menegang. Semua orang membeku di tempatnya berdiri dengan kewaspadaan. Sementara Grassiela, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang muncul saat suaminya tiba dengan langkah tegap dan tatapan dingin. Kali ini, ia memutuskan untuk menghadapi James dengan cara yang berbeda. Sebuah senyum mendadak terbit di wajah jelita itu. Grassiela berjalan menyambut James dengan gembira, seolah-olah itu adalah ke
James berdiri di tepi ranjang, menatap Grassiela yang tertidur dengan damai. Untuk sesaat, wajahnya yang selalu tegas melunak. Di balik kekerasan dan egoisnya pria itu, perasaan lembut yang ia coba hindari begitu lama mulai menyeruak, merayapi relung hatinya. Ingatan tentang percakapan mereka sebelumnya muncul dalam ingatan. Dengan penuh ketulusan, Grassiela meminta cinta sebagai balasan atas permintaan James untuk seorang pewaris. Cinta… satu kata yang selama ini selalu terasa asing dan berbahaya baginya. Bagaimana mungkin seseorang seperti dirinya, yang telah begitu dalam terjebak dalam dunia kegelapan dan kekerasan, bisa memberikan sesuatu yang sesuci itu? Omong kosong. Seketika ucapan Violeta melintas dalam benaknya. "Kau tak memiliki hati. Kau tak mengenal cinta. Dan hal itu tidak akan pernah berubah." James menggertakkan rahangnya, berusaha mengusir ingatan itu, meski kata-kata Violeta menghantuinya. Tanpa melepaskan tatapannya dari Grassiela yang terlelap, perasaan yang t