Asyik dengan obrolan mereka, Alex kaget dan memberitahu Mira bahwa sudah terlambat untuk emergency meeting. Mereka berdua lalu mengambil dokumen yang diperlukan, dan berjalan ke ruang meeting. Para staff sudah duduk manis sambil berbicara ringan sambil menunggu kedatangan Alex. Alex dan Mira pun masuk ke ruang meeting dengan glass window sebagai partisinya, dan langsung duduk di kursi masing-masing.
“Morning, everybody. Seperti yang kalian sudah ketahui, kita akan mengulas interview Madeline Darcy. Walaupun segmen ini bisa dibilang buru-buru tanpa persiapan maksimal, aku harap kalian bisa memahami situasinya.” kata Alex langsung ke poin permasalahan.
“Ok, Bob. Bagaimana rough sketch untuk pertanyaan interview Madeline?” lanjut Alex, kepalanya menghadap ke redaktur pelaksana.
“Aku dan anak-anak sudah menyusun draft-nya tadi. Karena ini dadakan, jadi kami baru bisa round up pertanyaan-pertanyaannya seperti ini. Mohon di cek dulu, Alex.” Balas Bob sambil menyerahkan dokumennya. Alex mengambil dokumen itu dan segera membacanya dengan teliti.
“Hm. Ya. Ini sudah OK. Coba kau tolong tambah lagi pertanyaan seperti kira-kira apakah dia tetap optimis tren vintage akan survive sampai 10 tahun lagi? Aku ingin tahu dengan jelas rencananya secara detail.”
“Roger that.” Jawab Bob, si ramah dengan senyum kebapakkan sambil menuliskan instruksi Alex di notebook kecilnya itu. Alex selalu berpikir bahwa wajah dan penampilan Bob mirip dengan Cary Grant.
“Nina, karena interview kita dadakan dan tidak diadakan di kantor. Bisakah kau bawa fotografer dan lightning terbaik-mu untuk ikut denganku malam ini?”
“First, kenapa kita harus interview Madeline diluar dari kantor?” tanya Nina balik, sang Koordinator Liputan yang selalu memakai skinny jeans dan dominatrix boots yang tidak pernah suka dengan Alex semenjak Adrianna menetapkan Alex sebagai penggantinya.
Mendadak suasana ruang meeting menjadi tegang. Alex tetap bersikap tenang dan mengalihkan kepalanya dan melihat Nina menatapnya dengan tatapan menusuk.
“Jadwal Madeline sangat padat. Mira tadi..” sebelum Alex menjelaskan, Nina sudah mencentus lagi.
“Kita kan bisa reschedule lain hari, kenapa kita harus repot-repot mewawancarinya di pub? Mana bisa kita fokus sama sekali?” sanggahnya dengan nada sarkatis disengajakan.
“Sebelum kau memotongku barusan..” balas Alex dengan nada yang masih tenang dan melanjutkan, “Mira tadi sudah mengkonfirmasi jadwal Madeline sudah fully booked sampai dua bulan ke depan. Jadwal fixednya sudah tak bisa di ganggu gugat. Kalau kita reschedule, kita bisa kehilangan kesempatan emas ini untuk majalah kita. Mau tak mau kita yang harus mengalah mengikuti jadwal Madeline. Apakah kau mau bertanggung jawab saat direksi atas saat kita melewati kesempatan ini begitu saja?” tanya Alex sambil tersenyum enteng. Dasar nenek sihir, teriak Alex dalam batin.
Nina tak menjawab dan mendengus sambil melipat tangannya.
“Sudahlah, Nin. Ini demi majalah kita juga kan.” Andrew mencoba mencairkan suasana dan menenangkan Nina yang duduk disebelahnya.
“Ok. Aku akan memberitahu Nigel dan Mike. Apakah kau percaya diri kita bisa interview dengan lancar di tempat ramai seperti itu? Tanya Nina lagi dengan datar.
“Great. Tenang saja. Mereka sudah menyiapakan private room di lantai 2 untuk kita. Jadi kita bisa menata lightning, backdrop, dan kamera terlebih dahulu.” Jawab Alex sambil mengibaskan tangan kanannya dengan santai.
“Ok. Nanti aku akan instruksi kan ke Nigel dan Mike. Kau butuh apa lagi?” tanya Nina dengan ogah-ogahan.
“Bawa videographer yang cakap kerjanya itu, siapa namanya? Andre?”
“Jadwal Andre hari ini sedang meliput di Southampton untuk segmen Cheat Day bulan depan. Pakai Paul dulu saja.”
“Tidak. Aku mau Andre untuk membuat behind the scene dan sedikit Q&A untuk di posting di I*******m, Youtube dan website kita. Aku butuh yang terbaik untuk saat ini.” tutup Alex tidak mau di tawar.
Nina menatapnya dengan nanar, “Excuse me, Your Majesty. Aku akan contact Andre sekarang.” Dengan cepat Nina membuka ponselnya dan permisi keluar untuk menelpon videographer itu.
Setelah Nina keluar, Alex melirik Mira yang sudah siap banjir kebun binatang dari mulutnya. Alex memberi tatapan mata “nanti, jangan disini.” Alex berdeham dan melanjutkan,
“Andrew, aku sudah melihat usulmu. Konsepnya akan kita pakai. Kau urus pakaiannya, tapi aku ingin kau menambahkan koleksi desainer RTW[1] collection ini yang lagi in. Aku ingin membuat shoot behind the scene dan Q&A tolong kau ke butik Madeline, dan siapkan pakaian embroidery dan wrap coat/ swing coat yang simple. Aku mau kombinasi minimalis dan edgy. Temanya Marigold Goes Rebel. Pokoknya kau siapkan saja dengan temanya. Juga siapkan senior make up artist dan hair dresser. Dena dan Lizzie saja kalau bisa. Mereka paling oke kalau membuat kombinasi spring & winter looks.”
“Anything for you, darling. I got your back.” Jawab Andrew sambil mengedipkan mata, direktur fashion yang wajahnya sangat kencang di usianya hampir setengah abad (berkat botox, Alex pun ingin menangis melihatnya) dengan khas kemayunya, sedangkan tangan kanannya dengan sigap menulis instruksi dari Alex.
“Grace, setelah aku selesai dengan interview ini, tolong instruksikan anak buahmu agar sigap dengan berbagai social media dan digital platflorm lainnya.” Perintah Alex ke bagian platform media online.
“Duly noted.” Grace, menurut Alex mirip Gigi Hadid versi imut, yang suka mengenakan overall ala2 tahun 90an dengan riasan classy terutama cat eye ala Audrey Hepburn, menganggukan kepalanya.
“Untuk budget bulan ini, bagaimana Santiago?”
“Bulan ini financial kita masih stabil di atas rata-rata, karena sales majalah kita masih konstan tiap bulannya.” Balas bagian Keuangan, Santiago dengan setelan paling klimis dan rapi. Penampilan Santiago diibaratkan seperti “es krim vanilla” di banding para lelaki lain di kantornya.
“Baiklah kalau begitu. Berarti kita bisa mengeluarkan budget yang lebih dari anggaran bulan tetap. Jadi untuk kekurangan anggaran budget tetap kita bulan depan, kita akan menutupinya dengan hasil sales majalah bulan ini. Bagaimana menurutmu, Santiago?” Tidak ada salahnya beroptimis dulu, kan? Batinnya berpikir.
“Ya aku setuju. Lagipula pasti akan meroket kalau Madeline Darcy deh. Tentu, angka pendapatan iklan juga akan melakukan hal yang sama.” Balas Santiago lagi.
“Bagaimana dengan cover Amelia Robinson?” celetuk Nina yang sudah masuk ke ruangan lagi.
Amelia Robinson adalah pembaca setia Glamorous, mantan penyanyi cilik yang sekarang lebih mendalami acting dan sedang naik daun juga. Amelia sangat kagum terhadap Alex, makanya saat ia di telepon untuk menjadi cover sampul, dia langsung mengiyakannya. Setelah pemotretan, keduanya menjadi akrab. Alex juga sudah menelpon Amelia secara pribadi meminta maaf sebesar-besarnya dan mengatakan bahwa covernya baru akan muncul di bulan depannya lagi. Akan tetapi, Amelia mengatakan tidak masalah dan akan meyakinkan agen dan publisisnya. Amelia menagihnya agar mentraktirnya full course di restoran Michelin. Alex tertawa dan mengiyakannya.
“Aku sudah telepon Amelia secara pribadi tadi. Dia mengatakan tidak apa-apa. Dan sebelum kau protes lagi, Nina, Miles dan Esme sudah menitahkan perintahnya. Kalau angka iklan tidak berkurang, aku sudah akan menentangnya.” Amelia Robinson memang sedang boom, tapi pasarnya belum bisa mengalahkan Madeline Darcy.
Air muka Nina kembali nanar lagi tapi hanya menjawab, “Andre akan ke London sore ini.”
“Splendid.” Balas Alex dengan koreografer senyum palsunya.
“Kadang aku suka takjub Miles dan Esme bisa tahu berita-nya lebih dahulu.” Grace menyeletuk.
“Kau seperti tak tahu saja, Esme kan seperti The Stygian Witches.” Andrew menganggukan kepalanya.
“Apa itu apa?” Grace terpana dan melihat Andrew agar segera menjelaskan.
Nina mendengus lucu, “Maksud Andrew, The Stygian Witches aslinya ada 3 orang. Tapi mereka hanya punya satu mata yang berlaku untuk tiga penyihir itu. Mereka memiliki pengetahuan yang luar biasa dan bisa mengetahui masa depan dengan satu mata itu.”
“Memang hanya kau darling, yang mengerti mitologi Yunani seperti aku.” Andrew mengecup singkat pipi Nina. Nina dan Andrew adalah kolega yang cukup dekat di Glamorous. Alex melihatnya seperti Irene Adler yang dijinakkan oleh Sherlock. Tentu saja Sherlock versinya Benedict Cumberbatch.
“Itu ada di dalam film Clash of The Titans kan?” Santiago ikut nimbrung.
“100 buat Anda, Monsieur.” Andrew menepuk kedua tangannya sekali.
“Aku tetap tak tahu.” Balas Grace dengan cemberut.
“Mungkin kau lebih tahu kalau film animasinya Disney yang Hercules, Grace.” Balas Alex sambil terkikik kecil.
Grace berpikir keras lagi, dahinya merengut lalu ia mendapat pencerahan. “Ah, yang pas di bagian Underworld, Hades meminta tiga penyihir tua untuk memotong benang kehidupan Hercules saat Hercules yang sedang menyelamatkan arwah Megara itu ya?”
“Nah betul!” Balas Mira dengan semangat.
“Kamu memang masih seperti anak-anak ya, Grace.” Ujar Bob sambil tertawa.
Grace menjulurkan lidah dan seluruh tim langsung tertawa kecil melihat kelakuan Grace yang terlalu imut seperti anak kecil. Semuanya, kecuali Nina yang cemberut. Mungkin karena Alex juga mengetahui sedikit mitologi Yunani juga.
“Ok. Untuk printing dan distribution, tidak ada masalah dengan perubahan kecil mendadak kita, Bea?” lanjut Alex lagi.
“Yes. Mereka bilang masih bisa memaklumi, karena kita belum dekat denggan tenggat waktu.” Jawab Beatrice yang suka berdandan ala 70-an bangles besar dan rambut seperti Farah Fawcett, bagian umum.
“Ya, karena ada interview dadakan ini. Aku ingin merubah segmen bulan ini sedikit. Kita tidak akan mengubah semua tata layout. Kita hanya merombak cover Amelia dengan foto Madeline dan highlight besar-besaran wawancara eksklusif di cover bulan ini. Kau tak masalah dengan hal ini kan, Willy?”
“Oh, tenang saja Alex. Demi majalah kita apa yang tidak sih?” balas Willy, sang direktur artistik yang eksentrik yang berpakaian seperti Mad Hatter (minus make up yang tebal).
“Omong-omong interview-nya diadakan dimana?” Nina bertanya lagi.
“Pub di SoHo. Aku lupa namanya apa.” Jawab Alex, telunjuknya mengetuk dagunya sambil kepala mengahadap ke atas untuk mengingat lokasi interview-nya.
“The Continent.” Sanggah Mira.
“Ah itu tempat hip yang sedang boom di London kan. Setahuku untuk masuk harus RSVP jauh-jauh hari, dan mostly kliennya rata-rata selebriti.” Kata Bob sambil menjentikan jarinya.
“Iya, aku dengar tempat itu sangat eksklusif.” Angguk Santiago dengan perkataan Bob.
“Ya. Ah aku jadi membayangkan jika nanti interview kita sukses dengan Madeline Darcy, siapa tahu nanti kita di undang ke Kensington Palace, terus bertemu dengan Prince William.” Lamun Grace dengan nada dreamy.
“Grace, bahkan Prince William akan berpikir masak-masak untuk membuatmu menjadi mistress-nya.” Balas Nina yang sudah masuk lagi sambil menaikkan satu alisnya dengan nada jahil.
Grace mengerucutkan mulutnya. Seisi ruangan langsung di penuhi gelak tawa. Alex mencoba menahan tawa, akhirnya berkata,
“Ok, ok. Baiklah nanti kita akan meeting lagi untuk membahas final run down-nya. Mohon kerja kerasnya, rekan-rekanku sekalian.” Tutup Alex.
Mereka semua berjalan keluar dari ruang meeting dan bergegas ke departemennya masing-masing untuk segera memberitahu anak buahnya. Alex mengerti jika deadline datang, maka Glamorous bisa seperti Lucifer datang ke bumi dan membawa apocalypse. Bukan Hot Lucifer yang datang ke bumi, membuka klub malam dan membantu detektif untuk memecahkan kejahatan di siang hari.
Glamorous itu mirip Cosmopolitan, tapi baru skala kota besar belum global. Didirikan oleh mantan bosnya, Adrianna, yang suaminya adalah komisaris perusahaan Element Medcom. Glamorous berkembang cepat karena dia sedikit berbeda dengan majalah fashion lainnya.
Glamorous menambah segmen Nostalgia Glam yang terisi dari trend kecantikan hingga serba-serbi tips seks yang berfokus pada zaman 20an sampai 70an (angkat topi untuk beberapa staff Glamorous yang mempunyai sumber terpercaya dari kakek & neneknya yang masih hidup). Juga segmen Dirty & Spicy Confessions yang menguak tentang berbagai macam rahasia dengan pengirim anonim.
Siapa sangka ternyata pembaca wanita muda di Inggris masih suka dengan gaya jadul yang glam dan seperti pada wanita umumnya, pengakuan blak-blakan yang menyangkut kehidupan wanita normal sehari-hari adalah bahan obrolan untuk tea break sambil tertawa “Oh, aku ternyata tidak sendiri di dunia ini!” Glamorous pun langsung meledak dan berhasil mencetak delapan puluh ribu eksemplar di penjuru London di kuartal pertamanya.
Saat Alex menjabat menjadi editor in chief, Alex menambahkan segmen Glam Woman of The Month, bukan yang berpusat pada model/ aktris terkenal dengan wajah dan badan sempurna, tetapi young female entrepreuneus dengan berbagai kecantikan yang unik serta bentuk tubuh yang tidak harus seperti Barbie.
Alex juga menambah segmen Cheat Day, seperti namanya, adalah berbagai macam resep makanan dan rekomendasi tempat agar tubuh bisa beristirahat dari diet untuk menikmati salah satu kenikmatan dunia yaitu lemak dan cokelat. Semenjak kedua segmen ini ditambah, Glamorous seperti terus melejit ke angkasa, maka dari itu Glamorous makin terpandang oleh industri media lainnya, seperti Bijou. Bijou adalah majalah high fashion elit saingan Vogue yang juga terpandang.
Sejak saat itu, Glamorous tidak lagi di pandang sebelah mata oleh para industri media lainnya. Alex juga berusaha agar atmosfer kantornya tidak seperti kantor majalah fashion yang lain. Berbanding 180 derajat dari congkak dan terik, yang menguar di udara adalah sejuk dan asyik. Oleh karena itu, banyak para karyawan disini sangat betah kerja di Glamorous ini. Atau setidaknya Alex berpikir seperti itu, karena resign sangat jarang terjadi di perusahaan yang dipimpinnya.
Lunch break pun tiba. Alex merenggangkan tubuhnya, mengangkat kedua tangannya ke udara, memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri sampai terdengar kepalanya berbunyi kreek. Ahh nikmatnya. Mungkin aku harus ke chiropractor lagi, agar tulangku kembali ke jajaran semula. Batinnya sambil memijat leher belakangnya.
Sambil menunggu asistennya untuk membeli makan siang, Alex mengambil coklat Ferre Rocher yang tersimpan rapi di lacinya. Diambilnya satu buah coklat bulat, dan dibukanya yang bungkusnya bewarna emas itu, lalu dimakannya. Alex kembali membrowsing foto-foto koleksi pakaian musim semi. Semacam untuk mendapat ide-ide lagi. Ia meng-scroll mousenya kebawah mencari pakaian yang bisa dipadukan secara pas.
Memang sekarang musim semi, tapi pakaian yg dipadukan dengan embroidery dan floral itu seperti sudah sangat biasa. Jika ada ide yang anti mainstream, kenapa tidak coba di aplikasikan? Ia merasa kurang puas jika ide tidak di lakukan secara semaksimal mungkin. Mendadak seperti meteor jatuh, sebuah ide terlintas dikepalanya. Alex bergegas ke arah fashion department, tempat dimana storage baju tersimpan disitu. Sesampainya disitu, ada Andrew yang sedang berbicara dengan 2 asistennya, mencari-cari baju yang pas untuk pemotretan nanti. Rambut sebahu Andrew yang sudah dicepol setengah ke atas sudah terlihat berantakan, dan tidak sadar bahwa Alex sedang ada di belakangnya.
“Andrew.” Panggil Alex
“Ma cherie! What are you doing in here? Bukankah kita akan rapat setelah lunch break nanti?” jawab Andrew kaget karena atasannya mendadak muncul seperti petir bersamabar di siang bolong.
“Ya memang, Cuma aku mendapat dapat ide. Will you listen to me?”
Alex kemudian memberitahu idenya tadi dan Andrew pun merasa ide itu sangat brilian. Andrew lalu langsung menyuruh kedua asistennya itu segera bergegas, yang satu kembali ke tempat storage, yang satu lagi bergegas menuju butik Madeline Darcy.
“Baiklah, nanti kita presentasikan saat di meeting lagi ya.”
Kembali ke ruangannya lagi, waktu sudah menunjukan pukul 12.30. Mira sudah meletakkan pesannya di meja minimalis putih kerjanya itu. Satu ice caramel chocolate grande itu sudah bertengker dimejanya. Hanya melihatnya sudah membuat Alex ingin menyeruput salah satu top drink Starbucks yang sering dibeli konsumer. Sedangkan fish & chips dengan kematangan crispy yang sempurna, Alex dapat membayangkan bunyi kresss sewaktu memakan daging ikan yang crispy itu. Belum lagi aromanya sudah menguar dan memohon untuk minta dimakan secepatnya. Tak terasa suara perut Alex berbunyi sedikit.
“I could hear your tummy rumbling.”
“God, jangan kagetin.” Alex seraya duduk dikursinya. Ia mulai menyeruput minuman kesukaannya itu dan dia merasa hidup lagi.
“Setelah daily basis adu mulut dengan Nina, I’m alive again.” Kata Alex menghela napas, sedikit dramatis serasa dia terbang ke surga.
“Nina itu memang cuma sensi ke kamu saja, Lex. Tapi tadi dia sedikit keterlaluan.” Cerocos Mira dan melanjutkan, “Mungkin kamu adalah salah satu orang yang ku kenal yang dengan berlebihan yang menganggap bahwa minuman sweet drinks itu penyelamat jiwamu.”
“Sudahlah, yang penting dia mau bekerja sama sampai akhir. Dan Ms. Jackson. Aku tidak mau diceramahi oleh orang yang suka makanan manis. Jadi menurutku, penilaianmu itu tidak valid.”
“Huh! Memang lebih asik itu makanan yang gurih atau pedas begitu!” Bela Mira dengan berapi-api.
“Mongkin kamyuu adaaah oraang Inggris peraaama yang cinntaa ati terhdap maaakan sipicy.” Jawab Alex yang sedang asik mengunyah dengan mulut penuh.
“God. Are you really a lady? Coba itu dikunyah dulu dengan benar makananmu itu baru bicara. And, in case you forgot aku kan ada turunan Korea, jadi wajarlah aku suka yang spicy-spicy.” Mira menutup argumennya.
“Huh. Cuma kau yang ada disini. Lagian kau sendiri yang mengajak aku ngobrol, padahal lagi enak makan.” Cibirnya setelah menelan makanan dan melanjutkan, “Oh iya aku lupa soal turunan Korea-mu itu.”
“Gimana pria mau denganmu melihat kelakuanmu seperti ini?” Mira memutar bola mata.
“Ah sudahlah jangan ngomongin pria terus. Nanti kalo aku niat, aku akan cari. Tapi kalau kamu bawel terus mana mau aku cari.” Gemas Alex sambil mencomot chips-nya.
“Benar, kamu mau cari pria?” Nanti aku kenalin deh. Lagian sudah banyak pria yang naksir sama kamu, dan mereka minta aku men-set up date denganmu!” Cerocos Mira dengan semangat.
“Nope. Tidak niat kalau dicarikan. Gampang, nanti aku cari sendiri.” tolak Alex dengan halus. Aku sayang Mira tapi dia lebih banyak buta dalam memilih laki-laki. Suatu keajaiban dia bisa menggaet Mark, Sir Goodie Goodie Guy.
“Ya sudah. Tapi kalau butuh bantuanku kau harus bilang!” Paksa Mira
“Ya ya. Kau sudah makan siang? Jangan sampai nanti di pesta kamu mati pingsan gara-gara tidak makan dan membuat kerjaan kita jadi berantakan ya, Ms. Jackson.” Ancam Alex mengganti topik pembicaraan.
“Sudah kok. Jangan menyindir seperti itu dong.” Balas Mira dengan cemberut.
“Ya sudah. Kita ke ruang meeting sekarang.”
“Hah, sekarang? Kan belum jam 1, dan makananmu belum kelar juga.”
Alex tidak menjawab apa-apa. Pertama-tama dia menunjuk jam dinding dan mejanya yang piring makanannya sudah bersih.
“Lex, do you know how unfair the world is?”
“Kenapa tiba-tiba berkata seperti itu?”
“Gimana badanmu masih seperti lekukan jam pasir padahal makanmu banyak dan tidak mempunyai diet tertentu?”
“Oh, what can I say? It’s a gift.” Tawa Alex dengan garing sambil bergaya seksi dan catwalking ala-ala supermodel.
Mira hanya mencibir mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Alex.
[1] RTW (Ready to Wear); Koleksi pakaian yang sudah diukur secara standardisasi internasional dan sudah di produksi secara massal.
James terkapar. Setengah badannya masih terlentang di barbell bench press. Kedua kakinya masih tertekuk, satu tangannya ia dekatkan menutupi matanya, dan tangan lainnya di biarkan menjuntai sampai menyentuh karpet abu-abu tebal. Ia telah menyelesaikan latihan early pre-season.[1] Tubuh James sedikit kaku karena mencicipi latihan yang cukup menguras otot tubuh. Lagu RITMO yang di nyanyikan Black Eyed Peas masih berkumandang dengan semangat. “Kau masih hidup, James?” tanya Jake sambil meletakkan dumbbell barbell seberat 20 kg kembali ke tempatnya semula. “Yeah, yeah. I’m fine. Badanku kaget saja.” James mengibas tangannya dengan asal. “Ya wajar, terakhir kau benar-benar latihan ialah saat Rio Open di bulan Februari. Setelah itu kau cedera kaki dan sementara tidak bisa ikut ATP Tour[2] yang lainnya. Gimana keadaan kaki-mu? “Much better. Setidakn
Di ruang meeting, para staf dan Alex saling mendiskusikan final run down. Tidak mau ada yang celah kecil yang terlewat, meeting kali ini penuh dengan segala diskusi yang dapat menyukseskan interview Madeline Darcy dengan sempurna.Andrew memberitahu semua koleganya tentang yang dibicarakan dengan Alex saat lunch break tadi dan memberitahu sedikit modifikasi lagi. Semua koleganya merasa ide ini fantasis dan semua memuji Alex dengan kebrilianan idenya. Alex hanya merendah dan mengatakan bahwa Andrew juga membantunya merealisasikan ide tersebut.Nina dengan tatapan juteknya seperti biasa, memberi kabar bahwa Andre akan tiba di London secepatnya dan akan segera menemui Alex dan yang lain di lokasi. Bob memberikan dokumen perrtanyaan yang sudah direvisi. Alex membacanya dan mengangguk setuju dengan final sketch pertanyaan yang dibuat oleh tim PR-nya itu. Mira sekali-kali mencatat hal penting yang bisa saja dilupakan oleh Alex saat interview nanti.
Para tim Glamorous telah tiba di The Continent. Tanpa lama-lama lagi, Alex menginstrusikan tim-nya untuk segera melakukan persiapan. Dengan cermat dan sigap, Ia memerintahkan kru-nya untuk menata ruangan kosong itu untuk disulap sebagai studio kecil untuk pemotretan. Nigel segara menyusun lightning dan backdrop stand sesuai dengan permintaan bosnya, sementara Mike dan Andre memposisikan kamera SLR PRO dengan tripod. Andrew sibuk menggantung pakaian-pakaian yang sudah disusun dan diurutkan untuk pemotretan. Untungnya di sudut ruangan yang berhadapan dengan jendela, sudah terdapat meja rias yang sudah di atur dan cukup panjang dengan cermin persegi panjang yang memiliki banyak lampu di semua sisinya itu. Pencahayaannya sudah di atur agar mendapat proporsi yang pas untuk melihat hasil akhir dari make-up yang akan dipresentasikan. Dena dan Lizzie dengan cepat menaruh berbagai peralatan make-up dan peralatan rambut sep
“So Juan, kabar-mu sendiri bagaimana?” James bertanya sambil memotong Scottish Roast Beef yang terlihat kenyal itu menjadi beberapa bagian.Juan Xavier ialah salah satu sahabat James semenjak mereka berdua telah menjadi pro dalam dunia tenis. Perawakan setinggi James, tubuh ramping berisi yang fit, mempunyai rambut pendek hitam legam serta kulit kecokletan gelap yang eksotis, aksen Spanyol-nya menambahkan pesona image perayu ulung. Kekurangannya adalah jika dia sudah cerewet, James langsung menutup mulut Juan dengan selotip, karena sejujurnya dia seperti bebek di beri makan cacing dan berbunyi kwek kwek kwek dengan antusias. Menolak untuk berkomitmen dengan wanita ialah moto hidupnya. Menurutnya hidup akan sangat singkat jika di habiskan dengan satu orang wanita seumur hidup. Juan bisa dibilang kembaran James dalam berbagai aspek. Mereka bisa dibilang duo JJ di dunia tenis.“Same as yours Jim. Latihan, tour, lot
“Alex, habis ini kau mau langsung ke pesta atau dinner dulu?” tanya Mira. Mereka telah kembali ke kantor dan telah menyelesaikan meeting berkaitan dengan wawancara Madeline Darcy tadi sore.“Hm, entahlah aku sedang malas. Tapi entah kenapa aku lagi kepingin cupcakes Aunt Maggie’s.”Mira hanya menggelengkan kepalanya, “Kau ingin aku belikan?” tanya Mira lagi.“Tak usah. Aku ingin kesana sendiri, sekalian beli persediaan stok buat weekend. Kita nanti langsung ketemu di pesta saja langsung.” Ujar Alex seraya memakai coat-nya kembali dan mencari kunci mobil di dalam tasnya.“Baiklah, sampai nanti.” Alex melambaikan tangan ke Mira seraya keluar dari ruangan kaca itu.“Ya, hati-hati!”Pijakan kaki Alexandara telah keluar dari H House. Matahari baru saja terbenam setengah jam lalu, Picadilly Circus menampilkan pesona senj
James tertahan di acara pesta tadi dengan klub bola Dominic yang mengajaknya membicarakan para wanita yang ditidurinya bulan ini. Seperti biasa, salah satu ajang pamer laki-laki. Awal rencananya, padahal ia sudah akan bilang party till down. Tetapi, setelah melihat wanita yang tadi dikenalkan oleh pacar sahabatnya itu... Pesta masih bisa lain waktu, tapi wanita bermata hazel itu belum tentu akan datang lagi.Saat ia mencari ke penjuru ruangan, wanta itu sudah tidak ada lagi. James akhirnya pun kecewa dan pamit pulang dari acara pesta Dominic. James tidak bisa menghilangkan bayangan wajah wanita dengan mata hazel lembut itu dan rambut hitam kecokletannya panjangnya yang bergelombang.Hawa malam ini tidak terlalu dingin, malah untuk James membawa kesegaran baru untuk pikirannya yang sedang awut-awutan. Ia berjalan sambil meminum bir yang ia bawa dari apartemennya. Ia melihat sisi kiri yang dihiasi dengan Sungai Thames. Bangku
Dengan malas, Alex menyeret kedua kaki-nya menuju lift dan menekan tombol. Ia menutup mulutnya lalu menguap. Alex sangat mengantuk, karena semalam, ups salah tadi subuh, ia baru tidur selama 2 jam gara-gara semalaman ia marathon menonton Friends. Ia kemudian menatap cermin di sebelah kanan-nya dengan bayang-bayang hitam di kantung matanya yang masih mejeng sedikit, padahal ia sudah memakai concelear. Hhh sok-sokan marathon aja Lex, lo ga tau apa, ada deadline menumpuk menunggu dengan manis di atas mejamu? Alex mencemooh dirinya sendiri.Lift-pun terbuka, dan ia langsung disambut dengan orang-orang berlarian ke sana ke sini. Kadang saling berteriak apa yang mereka butuhkan. Yap, beginilah suasana deadline di Glamorous jam 9 pagi di Senin yang cerah ini. Sudah tahu kan ini lebih terlihat seperti salah satu adegan di Confession of Shopaholic dimana para wanita memborong barang designer di sale diskon besar-besaran? Alex melew
Latihan berjalan dengan produktif. James menghempaskan tubuhnya ke deretan bangku panjang penonton serta merentangkan kedua tangan dan kakinya. Keringat bercucuran dari segala penjuru tubuh James. Ia mengambil handuk dari tas untuk menyeka keringatnya. Tidak tahan dengan bajunya yang sudah basah, ia membukanya dan membiarkan tubuh bagian atasnya bertelanjang dada. Lalu segera mengambil botol minum berisi Evian dan langsung meneguk isinya dengan beringas. Ia duduk santai sebentar sambil menunggu napas memburunya mereda. James mengecek smart phone,“Wow, sepertinya hari ini aku menyelesaikan latihan terlalu cepat. Don’t you think, coach?” ujar James sambil cengengesan. Max sedang mengecek kondisi kakinya.“Ya ya ya. Motivasimu untuk latihan harus ku akui hari ini produktif dan relative lebih cepat.” Pria separuh baya berambut pirang terang kecokletan itu harus terpaksa setuju.“I swear, jika kau sudah set u
Lima musim semi mendatang…. James dan Alex sudah duduk di bangku biasa mereka melihat bagian dari Sungai Thames. James merenggangkan kerah dasi nya. Alex yang menggulung lengan mantelnya sedikit, mencomot donat tiramisu dan melahapnya dengan gembira. Entah kenapa James merasa akhir-akhir ini Alex seperti memamah biak. Mereka baru saja pulang dari interview James Corden. “James. Aku masih penasaran dengan kata-kata ajaib saat kau mau berhenti main tenis.” Ujar Alex secara mendadak dan menatapnya dengan satu tangan menggantung donat yang sudah tidak utuh bulat lagi. James menatap ke arahnya juga. “Ah, kau sudah penasaran sekali ya?” godanya dengan jahil. “Ya, sangat! Sudah saatnya kau beritahu aku!” Sahut Alex sambil mendekatkan donatnya ke wajah James. James pun terkekeh, mengingat hari itu serasa seperti baru kemarin. Kedai burger homemade itu sudah mau tutup karena jam makan siang sudah lewat. Akan tutup sementara sampai jam makan malam telah datang. James Winston berumur 19 tahu
Pilar-pilar bebatuan vulkanik yang di buat secara khusus menyambut Alex di arrival pavilion. Alex menaiki undakan tangga resort. Di ujung tangga ia di sambut lounge yang mencerminkan autentik Bali dengan sentuhan kemewahan kontemporer Italia. Alex berjalan ke arah reception. Wanita muda mengenakan baju kebaya kutu baru dengan kain batik bewarna putih bercorak cokelat menyapanya dengan ramah.“Good afternoon, Madam. Welcome to BV Resort.” sapa wanita muda itu dengan ramah setelah Alex mengecek namanya adalah Kadek.“Siang.” Balas Alex dengan ramah dengan bahasa ibunya. Sudah biasa orang Indonesia melihatnya sebagai bule tulen.Kadek semakin tersenyum berseri-seri. “Adha yang bisha saya banthu?” tanya Kadek dengan logat khas Bali-nya.“Saya Alexandra Winston. Suami saya, James Winston menginap disini. Saya baru bisa menyusulnya hari ini, tapi suami saya malah mematikan hpnya. Bena
Alex sudah sampai di Lulworth Cove dan melihat pemandangan teluk berbentuk dome yang tidak tertutup itu sangat indah dengan awan kelabu dan salju-salju yang menutupi teluk cantik itu. Pasti di musim panas, tempat ini pasti akan lebih menakjubkan.Ibu James tidak membalas teleponnya, atau lebih tepatnya nada deringnya yang tak pernah tersambung. Oleh karena itu, ia menelpon Stefan. Alex baru ingat juga menyimpan nomor telepon sahabat James itu. Stefan yang kaget-kaget dengan aksen lucu nya yang kadang membuat Alex tertawa, memberitahu bahwa James terakhir kali memberinya kabar jika dia sedang ada di rumah orang tuanya di Dorset.Saar itu Stefan berkata, “Aku percaya kau mempunyai alasan sendiri mengapa kau memutuskannya. Jadi, aku akan memberitahu alamatnya kepadamu. Kalau kau minta pada Juan, kau bakal di maki-maki olehnya. Dia sekarang lagi tahap benci kepadamu, setelah apa yang kau lakukan ke James.” Alex yang mendengar itu terkeke
“Argh shit! Somebody close that bloody window!” teriak Alex kala itu. Ia baru saja bangun dan berpegangan dengan pintu geser kamarnya. Ia mengerjap-ngerjap dan melihat Todd dan Mira sudah berpakaian rapi sedang membuat sarapan atau lebih tepatnya makan siang. Mochi menyalak dan melompat ke arahnya. Alex limbung tapi tetap menangkap anjing kesayangannya itu.“Morning sunshine! Eh salah sudah jam 1 siang deh. Kita tadi sudah mengajak Mochi jalan paginya.” Balas Todd nyengir di area dapurnya.Alex berjalan linglung dan pelan ke arah Mira dan Todd yang sedang di area dapur. Flat nya yang seperti kapal pecah, sekarang sudah bersih lagi.“Thanks.” Ujar Alex dengan singkat. “What happened?” tanya Alex sambil memijat pelipisnya menuju untuk duduk di meja makan. “Urgh, the smell makes me so sick. Aku kembali ke tempat tidur saja.”“Kau lupa? You were
Suasana tempat duduk di Holborn Dining Room itu terlihat tegang. Meja keluarga Walters lengkap dengan ayahnya berbeda sekali dengan meja-meja lain yang ekspresif menyambut The Most Wonderful Time of The Year yang hanya berjarak beberapa jam lagi. Ibunya kemudian memecahkan keheningan itu,“Lex, Ben, kalian tidak menyapa Dad dulu?” tanya Ibunya dengan halus.Alex masih terdiam. Ben sudah mulai membuka suara,“Hi, Dad. Sudah lama tidak video call. Itu ubannya sudah banyak saja ya.” Balas Ben dengan ceria. Ayahnya bisa sedikit bahasa Indonesia. Uban pun termasuk kosa kata yang di ketahui.Alex menatap Ben dengan tajam V-call an, kok lo ga ngasih tau gue? Ben yang tahu dipelotitin oleh Alex.“Apa? Gue pernah kok sesekali video call sama dad.” Balasnya polos. Dasar adiknya pengkhianat! Geram Alex dalam hati.“Ben, kamu masih usil seperti biasa ya.” Willia
Durdle Door terlihat sangat menakjubkan dengan karang batu besar yang melingkar seperti pembukaan di Jurassic Park. Pasir pantai bercampuran dengan tumpukan salju yang terlihat seperti kulit kijang Bongo Afrika. James menyusuri pantai sambil menendang kakinya pelan ke arah pasir dan salju itu. Udara dingin yang menusuk masuk sampai ke tulang tubuhnya. Padahal dia sudah memakai 3 lapisan jaket di badannya. Uap putih dari mulut James saat ia menghebuskan nafasnya. Kedua tangannya sudah ia pakai sarung tangan dan di masukkan ke saku jaketnya. Langit kelabu di campur dengan matahari terbenam ini merupakan salah satu pemandangan kesukaannya di dunia. James tidak pernah bolos dengan terapinya sampai saat ini. Progress-nya semakin membaik semakin hari. Oleh karena itu, ia dapat menikmati pinggiran di pantai seperti ini.Setelah di telepon ayahnya mengenai rumor terkutuk itu, James akhirnya mengatakan singkat jika ia sudah putus oleh Alex, tapi rumor itu hanyalah ru
Taksi telah sampai di stadium lapangan bola yang cukup besar di London. James yang sudah kembali ke London memutuskan untuk kembali mencari Dominic yang masih dalam M.I.A. Alasan James mencari Dominic adalah dia tak tega dengan Madeline yang menangis karena sudah lama tak bertemu dengan pacar brengseknya. Dominic harus diberi pelajaran, batinnya. James sudah di kenal oleh para petugas sekuriti dan membiarkannya ia agar masuk. James melihat sosok yang di cari sedang latihan menembak bola ke gawang. James menyapa pelatih LFC, Dean Aarons.“Hey James. Tumben kau kesini. Dominic sedang tidak ada. Dia lagi off satu bulan ini. Kau tak tahu?” Sapa Dean santai sambil menjabat tangan James singkat.“Hey, Dean. Ya aku tahu. Aku kesini mau ketemu Lucas. Boleh aku bicara dengannya sebentar?” James hanya menganggukan kebohongan pelatih itu.Dean menganggukan kepalanya dan berteriak memanggil Lucas. Lucas Drosselmeyer datang dengan je
Alex sudah lengkap dengan pakaian perangnya yaitu piyama Pooh dengan rambut basah yang di balut handuk ke atas. Wajahnya sudah di balur dengan masker green tea favoritnya. Ia sudah memasak loyang besar tiramisu untuk makan malamnya hari ini. Sudah tiga minggu setelah ia memutuskan James. Setelah James pergi, ia menangis sekeras-sekerasnya. Semua emosi yang ia tahan membendung keluar dan air terjun pun di produksi dari pelupuk matanya. Mochi pun mengaing sedih dan menjilati tangan Alex dan menenangkan dirinya. Alex memeluk Mochi terus-terusan saat ia menangis.Planning Alex setelah itu adalah kerja gila-gilaan sebagai pelampiasannya di siang hari dan menghabiskan malamnya mendekam di rumah menonton film film roman depresi seperti Before We Go, Casablanca, Algiers-nya Hedy Lamarr, Before Sunrise, dan 500 Days of Summer. Tahu persamaan film itu semua? Ya, perpisahan hero dan heroinne tidak ada yang mati karena sakit atau kece
Alex hanya menatap James dengan dingin. Setelah pintu ditutup, James baru membuka suara.“Kau salah paham. Madeline datang kepadaku bertanya dimana keberadaan Dominic. Apapun yang kau lihat tadi hanya aku menghiburnya sebagai teman.” Ujar James masih dengan suara tenang terkendali.Alex masih menatapnya dengan nanar. “Haha, teman wanita yang bertamu jam 11 malam.” Cibir Alex lagi sambil meminum air putih dengan ganas.“Lex, dia pacar sahabatku, tentu saja aku menganggapnya sebagai teman. Kenapa kau tiba-tiba seperti ini?” James kemudian gemas mulai mendekatinya akan tetapi Alex mengangkat satu telunjuk tangannya.“Stay where you are. Aku sedang tak mau dekat-dekat dengamu.” Balas Alex dengan singkat.James kemudian berdiri diam di tempatnya dan meyakinkan Alex lagi, “Lex, dia itu benar-benar hanya teman. Kenapa kau tidak percaya padaku sih?” ujar James dengan gemas.Alex me