“Ahhh! Sungguh melelahkan!” Reagan turun dari kereta cepat yang dia tumpangi, meregangkan pinggangnya untuk memulai hari barunya di kota besar New York.Setelah mengatur perasaannya, Reagan bersiap untuk pergi meninggalkan stasiun. Namun, betapa kagetnya karena tiba-tiba pinggangnya dipeluk oleh seorang wanita.Yang pertama dia lihat adalah dada yang besar, pantat yang montok, wajah oval yang imut dan menarik, serta rambut pirang khas gadis Eropa.Prince Reagan Maverick, pria 20 tahun yang sudah menginjak dewasa, tentu saja merasa pemandangan di depannya cukup menarik.“Nona, apakah kamu ingin memelukku seperti ini terus?” tanya Reagan penuh seringai jahat.Claire Cecilia Delaney, memandang Reagan dengan tatapan menjijikkan. Selain tampan, bahkan tidak ada yang menarik dari penampilan pria itu.Eeemmm ... selain tampan, tubuhnya juga kekar dan berotot, itu bisa Claire rasakan saat memeluk tubuh Reagan tadi.Sayangnya, pakaian lusuh yang Reagan kenakan, menandakan dia tidak berasal dar
Suara tamparan dan teriakan wanita itu menimbulkan kegaduhan di sekitar lobi lantai 1, seorang pria bergegas menghampiri wanita itu dan bertanya, “Nay, apa yang terjadi?”“Orang ini, dia ingin bersikap kurang ajar padaku!” seru wanita itu sambil menunjuk ke arah Reagan.“Nona, sejak tadi aku hanya diam dan bertanya ruangan rektor padamu. Kamu bukannya memberitahuku tapi malah menuduhku yang tidak-tidak.” Reagan menaikkan kedua alisnya.Seorang wanita pun maju selangkah dan bertanya pada Reagan, “Tuan, kamu mahasiswa baru? Kebetulan Nayla juga mahasiswa baru di sini, jadi dia masih belum tahu ruang rektor.”Wanita itu berkata sambil tersenyum, dia hanya memakai riasan tipis. Dia cantik secara alami, senyumnya membuat orang merasa betah.“Aku akan mengantarmu ke sana,” tambah wanita itu lagi.Namun, detik berikutnya, Reagan berkata, “Tidak usah, aku akan menghubunginya untuk datang menjemputku.”“Apa menjemputmu?” Wanita itu terkejut ketika mendengar Reagan menyuruh rektor kampus ternam
“Rektor?”“Rektor!”Beberapa mahasiswa menunduk hormat dengan berbagai ekspresi rumit di wajahnya, pun dengan Nayla dan Delia, kaki Nayla seperti sudah enggan untuk berpijak. Wajahnya pucat pasi, namun harga diri terakhirnya masih tidak bisa dibiarkan jatuh.“Rektor, ada keperluan apa Anda menghampiri kami?” tanya Delia penuh hormat.“Aku ingin menjemput mahasiswa baru, Reagan Prince Maverik,” jawab pria dengan rambut yang sudah memutih itu.“Saya, saya orangnya!” jawab Reagan sambil tersenyum menatap Nayla yang masih berdiri mematung.“Tidak mungkin, ini tidak mungkin, kan?” Nayla menggunjang tubuh Delia, “Delia, tolong katakan padaku bahwa ini tidak benar, tolong katakan bahwa aku sedang bermimpi!”Plaakkk!Sebuah tamparan mendarat di wajah Nayla. “Sekarang kamu merasa sakit, kan? Kamu percaya kan bahwa kamu tidak sedang bermimpi?” ujar gadis itu lagi.“Nona, urusan kita belum selesai. Aku akan menemuimu nanti siang.” Reagan berkata penuh seringai licik, sementara Nayla langsung mem
“Kalau begitu ambil buktinya!” Nayla berpikir jika Delia tidak mungkin akan mengkhianatinya.“Bukti apa lagi yang kamu punya, hah?” Nayla kembali menantang.“Aku dari awal sudah menebak bahwa kamu akan mengelak dan menjadikanku kambing hitam. Jadi ….” Reagan mengeluarkan benda usang yang luarnya sudah berkarat. Ternyata itu adalah alat perekam berbentuk bolpoin.Sungguh, tampilannya saja sudah menjijikkan. Namun, tak ada yang tahu bahwa benda itu mampu merekam percakapan dalam radius 500 meter. Reagan biasanya menggunakan alat itu untuk merekam percakapan lawan dari klien-kliennya.Reagan kemudian menyambungkan alat perekam itu pada ponselnya, dan apa yang terjadi? Suara Nayla jelas terdengar di sana, tidak hanya suara Nayla, bahkan suara Delia yang berusaha mencegah Nayla pun terdengar nyaring.Setelah rekaman suara selesai berputar, Reagan lantas maju selangkah dan kini dia berdiri tepat di depan wanita itu.“Nona manis, sudah waktunya kamu mengakuinya, kan?” Reagan berkata sambil t
Delia merasa bingung, tidak bisa hanya menonton dan menunggu, dia lalu berkata pada Reagan, “Minumanku sudah habis, bisakah aku meminta minumanmu?”“Oh, sure, ambillah!” ucap Reagan tanpa pinggir panjang.Delia mengangkat tangannya dan menuangkan susu milik Reagan ke dalam gelasnya. Dan apa yang terjadi? Susu itu terasa menyengat di tenggorokannya, tidak hanya itu, perutnya sudah mulas dan tidak bisa tertahankan.Ekspresi Delia sangat lucu sekali, dan Reagan tidak bisa menahan senyum liciknya.“Delia, ada apa denganmu?” Reagan berpura-pura terkejut, padahal dalam hati dia sudah bisa menebak hasilnya.Sejak tadi perutnya juga ingin meledak, tidak hanya itu, rasa panas menjalar ke seluruh tubuhnya. Namun Reagan menahannya sejak tadi, hanya agar Delia beranggapan bahwa rencananya telah gagal.“Reagan, Reagan, apa kamu baik-baik saja?” tanya Delia sambil meringis.“Kenapa? Aku baik-baik saja, apa yang bisa terjadi padaku?”“Kamu! Kamu! Pergilah!” Delia langsung berlari meninggalkan Reagan
Reagan tersenyum puas ketika baru saja tiba di sebuah kafe yang dia pilih secara asal di pinggir jalan. Setelah keluar dari hotel, dia tidak punya tujuan. Dia duduk di salah satu kursi di sudut kafe, bersama segelas Americano panas dengan uap yang mengudara. Sekilas, dibalik gayanya yang terlihat santai, pikirannya jauh lebih berantakan. “Hmm, setelah bercinta, hal yang paling menyenangkan adalah istirahat sejenak sambil minum kopi.” Reagan sedang berpikir dengan tenang, tapi dalam sekejap ketenangannya hilang. Pikirannya dipenuhi dengan bayang wajah gadis polos kemarin. Dia menyesap kopinya dari bibir gelas, dengan hati-hati. “Delia, bagaimana gadis polos nan lembut seperti kamu bisa melakukan hal bodoh seperti ini?” gumam Reagan dalam hatinya. Setelahnya dia terkekeh geli. “Wajah polos tidak menjamin tingkah seseorang sejalan dengan penampilannya.” Kali ini Reagan mencibir. Perkenalannya di hari pertama kuliah tidak semulus yang Reagan kira. Banyak wanita yang membuatnya tergoda
Hari ini harga diri Elenio jatuh di depan banyak orang. Dia yang biasanya terlihat mempesona dengan segala kharisma dan kekuasaan di tangannya, jatuh tersungkur dengan cara konyol. Sialnya, orang yang menyebabkan Elenio pulang membawa beban malu yang besar adalah pria dari kalangan biasa. “Dia pikir, dia bisa berlaku semaunya di kampus, huh? Dari bagaimana caranya berpenampilan saja, aku tahu dia tidak selevel denganku.” Sepanjang jalan pulang ke rumah, dia terus menggerutu. Wajah tampan Elenio berubah kusut. Mobil yang dia tumpangi memasuki area mansion pribadi kelas atas. Di sebuah pintu gerbang bergaya Eropa, berdiri belasan pengawal profesional berjaga. Melihat mobil Elenio berjalan masuk, para pengawal itu langsung menegakkan postur tubuh berdiri, ingin menunjukkan yang terbaik dihadapan bosnya.Supir perlahan menghentikan laju mobil, segera turun dari mobil dan membuka pintu penumpang belakang, Elenio dengan wajah suram berjalan keluar.Dia tidak berucap sepatah kata pun berja
Namun belum sempat Reagan menjawab, Claire yang berdiri di samping mobil menjadi sedikit pusing, dan kakinya terasa lemas saat terkena angin.Reagan merasa kesal, langsung meraih ponsel gadis itu dan memasukkannya ke dalam tas. Lalu menggendongnya dan pergi ke sisi lain mobil.Claire terkejut saat merasakan tubuhnya diangkat, dia buru-buru meraih kemeja pria itu dengan satu tangan dan wajahnya semakin pucat.“Reagan, turunkan aku!” Ada banyak mahasiswa yang melihatnya.Reagan mengabaikannya dan membuka pintu penumpang, lalu mendorong Claire masuk ke dalam.“Reagan, kamu gak dengar ya?” Claire berkata dengan dingin saat melihat pria itu memakai sabuk pengaman, “Aku bisa cari sopir dan kamu gak perlu khawatir. Kamu pulang saja dan persiapkan diri kamu untuk besok!”Reagan menatap wajahnya yang penuh kesedihan tapi tetap keras kepala, hal ini membuat ada debaran halus di dalam jantungnya, “Cuaca sedang sangat buruk, kalau mau memanggil sopir juga tidak bisa datang dengan cepat. Kamu saat
Reagan harus rela melepaskan Claire untuk beberapa saat. Karena hari ini jadwal kuliahnya padat. Wanita itu masih berdiri di samping mobil, menunggu Reagan menyamakan langkah sebelum masuk ke kampus. Reagan melihat kekhawatiran di mata istrinya. Ketika dia sudah berdiri di samping Claire, wanita itu langsung meraih tangannya. Tiga hari sudah insiden teror itu berlalu, tetapi kecemasan yang dialami Claire semakin menjadi. Bahkan, wanita itu kini bergantung pada Reagan. Saat ini Reagan meraih tangan Claire, menggenggamnya erat berusaha meyakinkan, “Tenang, Claire. Aku pasti akan menjagamu. Aku pastikan teror itu tidak akan terjadi lagi,” ucap Reagan yakin.Claire, matanya melirik ke kanan dan ke kiri terlihat gelisah. Dia jadi lebih banyak diam semenjak insiden itu. “A-aku masuk kelas dulu,” ucapnya gugup. Dia berjalan meninggalkan Reagan. Langkahnya hari ini terlihat tidak percaya diri. Melihat perubahan istrinya, Reagan bertekad untuk mencari tahu siapa orang di balik ini semua
Reagan harus rela melepaskan Claire untuk beberapa saat. Karena hari ini jadwal kuliahnya padat.Wanita itu masih berdiri di samping mobil, menunggu Reagan menyamakan langkah sebelum masuk ke kampus.Reagan melihat kekhawatiran di mata istrinya. Ketika dia sudah berdiri di samping Claire, wanita itu langsung meraih tangannya.Tiga hari sudah insiden teror itu berlalu, tetapi kecemasan yang dialami Claire semakin menjadi. Bahkan, wanita itu kini bergantung pada Reagan.Saat ini Reagan meraih tangan Claire, menggenggamnya erat berusaha meyakinkan, “Tenang, Claire. Aku pasti akan menjagamu. Aku pastikan teror itu tidak akan terjadi lagi,” ucap Reagan yakin.
[Kamu sudah menerima bingkisannya, Claire?]Suara berat nan jauh di sana menyapa pendengaran Claire ketika dia mulai memberanikan diri untuk merespon telepon tadi. Dia menatap bingkisan itu, masih dalam keadaan utuh. Bahkan ujung pita hiasannya pun tidak Claire sentuh.“Sudah,” jawab Claire pelan. “Kenapa repot-repot mengirimkan bingkisan seperti ini? Lebih baik Papa kirimkan hadiah ini untuk Elenio sebagai permohonan maaf Papa karena gagal membawa aku ke rumahnya.”Dalam kondisi hati yang masih kecewa, lidah Claire menjadi lebih tajam. Dia melirik Reagan yang duduk di sampingnya sambil mengawasi. Kalau bukan karena bujukan Reagan, hubungan ayah dan anak itu masih tegang.Te
Sesuai janji yang telah disepakati, kedatangan seorang wanita cantik mengenakan wrap dress formal dari bahan Suiting Crepe polos warna biru dongker itu disambut oleh beberapa pengawal. Di sebuah resto dengan pencahayaan remang-remang, dia mengedar pandang ke sekitarnya. Tidak ada pelanggan lain selain dirinya yang akan mengisi salah satu kursi di ruang VVIP.“Silahkan, lewat sini, Nona.”Satu orang pengawal melangkah lebih dulu di depannya. Membukakan pintu, kemudian menarik satu kursi mempersilahkan wanita itu untuk duduk. “Tuan akan sampai dalam lima menit. Mohon kesediaan Nona untuk menunggu.”
“Apa dugaanku benar, Reagan?”“Sudahlah, kamu pergi sana. Aku bisa memastikan kecurigaanmu tidak benar.”“T-tapi, Reagan. Kamu terlalu mirip.”“Mana mungkin aku SpectraVant. Dari segi kemampuan dia jauh lebih unggul. Seperti katamu tadi.”Dahi Jonas berkerut, garisnya hampir keriting karena terlalu keras berpikir. Asumsi itu tiba-tiba muncul di kepalanya sedangkan Reagan sibuk memberikan pembelaan.“Kamu juga tidak bisa menuduhku sembarangan hanya dari seuntai kalimat yang sama persis dengan SpectraVant,” ujar Reagan lagi.
Antrian pesan mengular di depan meja kasir restoran cepat saji ini. Dua pria tampan menarik perhatian banyak mata ketika mereka masuk ke dalam sana.“Biar aku yang mengantri. Kamu bisa pergi mencari meja, Reagan,” ucap Jonas. Reagan hanya mengangguk setuju. Kemudian tanpa menunggu persetujuan Reagan, Jonas ikut masuk ke dalam barisan.Ketika Reagan belum terlalu jauh melangkah, Jonas baru teringat sesuatu. “Apa kamu punya permintaan khusus untuk pesanannya?”Reagan berbalik dan menggeleng pelan. “Tidak ada. Aku bisa makan apapun yang kamu pesan.”Reagan membiarkan Jonas memilih makanan apapun. Selain dia tidak memiliki pantangan, saat ini Reagan cukup lapar dan i
Di kelas yang riuh dengan celotehan para mahasiswa itu, Nayla menyibukkan diri dengan berselancar di media sosial. Semenjak Universitas Georgia dinobatkan sebagai pemenang kompetisi peretasan internasional minggu lalu, nama kampusnya menjadi cibiran warganet. Nayla duduk di satu kursi paling pojok dekat jendela. Bersama laptop yang menampilkan laman artikel tentang kompetisi itu. Foto sosok peretas handal sekaligus perwakilan kampusnya, SpectraVant, disorot sebagai gambar pratinjau artikel yang sudah dibaca lebih dari satu juta kali itu. “Dia pasti orang yang hebat.” Nayla bergumam. “Andai dia tidak memakai topeng. Kalau dilihat dari proporsi tubuhnya, sepertinya dia pria tampan.” Di saat pikiran Nayla merenungkan sosok SpectraVant. Seseorang mengisi bangku di samping Nayla. Dia melirik sekilas pada layar laptop Nayla yang menyala kemudian mencibir. “Di malam Valentine minggu lalu, aku rasa tidak ada yang bisa membuat Reagan tunduk di ranjang. Termasuk kamu, Nayla,” ucap Belva. W
Kenyataan mereka menemukan nama perusahaan yang tak asing, membuat Reagan dan Erik menepikan mobil di sebuah restoran cepat saji. Satu potong paha ayam baru saja Erik habiskan. Bahkan kunyahan terakhirnya masih bekerja. “Ini diluar prediksi kita. Bagaimana mungkin Jordan Consisto dan Croma Tech saling tempur?” ucap Erik tidak percaya. Dia tidak bisa berhenti menggelengkan kepala seperti maskot restoran. Sedang Reagan, dia fokus pada berkas yang diberikan Pricilla tadi. Membaca detail perusahaan Croma Tech di sana. “Dari lini bisnis, mereka berpijak di dua segmen berbeda. Jordan dengan batu baranya, dan Croma dengan perusahaan teknologinya. Kira-kira apa korelasinya?” “Berbagai kemungkinan bisa terjadi,” sahut Reagan. “Kita perlu melacak rekam jejak kedua perusahaan itu sebelum menjalani proyek yang mereka berikan.” Erik mengangguk paham. “Keduanya adalah klien kita. Jika mereka saling bertolak belakang, bagaimana kita bisa menjalankan proyek mereka?” Reagan tahu maksud Erik. Dia
Sebuah Ferrari model F8 sudah terparkir di lobi apartemen ketika Reagan keluar dari lift. Wajahnya mengeras. Suasana hatinya mendadak buruk setelah mendapatkan telepon dari Erik. Malam ini dia harus meninggalkan Claire seorang diri. Meski Reagan sudah memberikan berbagai alasan untuk tetap tinggal dan menemani wanita itu, Claire tetap memaksanya pergi. Reagan memasuki mobil Erik, dengan sedikit debuman saat menutup pintu. Erik yang duduk di sampingnya, bergerak gelisah di balik kemudi. “Maafkan aku, aku tidak berniat mengganggu momen intimmu itu,” ucap Erik. Saat ini dia diselimuti oleh rasa bersalah. Dia hanya berniat menelepon Reagan untuk sekedar mengingatkan janji temu mereka dengan Pricilla. Tetapi naas, momen yang Erik pilih kurang tepat. Reagan menghela napas berat, “Bagaimanapun sudah terjadi,” katanya datar. “Claire langsung memintaku pergi setelah mendapat telepon darimu.” Erik menelan ludah berat. Andai dia tahu Reagan baru saja mendapat lampu hijau dari Claire untuk m