“Viv, aku mencintaimu. Aku terlalu mencintaimu. Aku bahkan tak reja jika ada yang mengusikmu seperti tadi, menyalahkanmu.” Haikal terus memelukku, seperti anak kecil yang sedang melakukan pembelaan kepada ibunya. Air mata lelaki yang biasanya pantang luruh, kini mendadak membanjiri tanganku yang terus dikecupnya. “Haikal, hentikan tangismu. Kamu laki-laki kan? Dan laki-laki pantang menangis.”“Aku tak tahu kenapa aku secengeng ini jika di depanmu, Viv. Aku tak tahu.”“Sudah, berhentilah menangis. Cepat datangi Lesta, minta maaf lah kepada ia. Kamu seorang kakak dan kamu harus menjadi panutan. Jika salah, kamu harus gentel untuk mengakuinya.”Lelaki itu terdiam, lalu menampakkan senyum tipis. “ Terima kasih, Viv. Aku memang tak salah menempatkan htiku kepada wanita spertimu.”Lelaki itu pamit ke kamar Lesta, sedangkan aku kembali masuk ke dalam kamarku. Di sana, aku menjatuhkan diri ke atas kasur, dengan pandangan yang terus menatap langit-langit kamar. Bayangan Rey terus mampir dal
“Viv, mau kemana kamu?” tanya Haikal yang mendapati diriku hendak keluar kamar dengan tergesa. “E... Itu ..., ada-,”“Turunlah, aku akan menyusul,” jawab Haikal yang sepeti sudah tahu apa yang akan aku ucap. Mataku berbinar, mendapati lelaki yang begitu kurindu akan hadir di depan pelupuk mataku. Meskipun aku tak tahu harus berbuat apa jika di depannya, tapi setidaknya melihat keadaannya yang sedang baik-baik saja membawa sebuah kebahagiaan tersendiri. “Dimana Haikal, Viv?” tanya Rey yang kini tengah duduk di kursi tamu, menatap tajam ke arahku. seorang pelayan maju menghampiriku. “Maaf, Bu. Ada pak Reynan mau bertemu ibu dan bapak.”“Panggilkan Haikal di kamar.”Aku terus berjalan menuruni anak tangga, mendekat ke arah Reynan yang sedang duduk di kursi meneguk kopi panas yang tersaji. “Rey, kopi tak bagus untuk lambungmu,” ucapku lirih menatap cangkir yang di pegangnya. Laki-laki itu tersenyum. “Apa? Maksudmu ini?” ia melihatkan isi cangkir putih di depannya, kopi hitam dengan
Kutatap lekat undangan pernikahan itu, dimana ada nama Rey dan seorang perempuan tertulis di sana, bahkan tampak juga foto Rey bersama seorang wanita di dalamnya. Bermanik mata biru dengan rambut panjang dan gaun mewah. Hatiku yang tadinya teriris, kini kembali menganga. Ditambah lagi taburan garam dan jeruk nipis yang membuat sayatan itu semakin menyakitkan. ‘’Viv, kamu harus bahagia. Bukankah kamu juga sudah menikah? Rey juga pantas untuk mengejar kebahagiaannya,” ucapku menatap cermin besar di depanku, kembali mencoba berkompromi kepada keadaan yang semakin menjauhiku dari yang namanya kebahagiaan. Ponselku bergetar, dan tertulis nama Haikal di dalamnya. Aku masih enggan untuk menjawab bend tersebut, lebih memilih membiarkannya begitu saja, menata hati yang semakin tak jelas rasanya. Aku seperti kembali dikurung rasa sepi, dimana secercah cahaya terasa enggan menghampiri. “Viv, Haikal kurang baik apa? Dia yang selama ini ada untukmu, ia juga begitu mencintaimu, apa kamu akan ter
“Reynan,” ucapku lirih memandang wajah laki-laki berada di hadapku. Kedua mata kami saling berpadu, dengan bibir yang saling terkunci. Menyelam kepada pikiran masing-masing. Syarat otakku mengirimkan sinyal kepada seluruh tubuh, hingga badan terasa kaku, tanpa tercipta gerak sama sekali, hanya alunan jantung yang kini berirama tak menentu. Hembusan nafas yang segar, bersamaan aroma wangi yangi yang begitu kurindukan, kembali memutarkan memori indah dimana aku terus menghabiskan waktu bersamanya. “Maaf, Nona Haikal. Apa anda baik saja?” tanya Rey yang kini melepas pelukannya, setelah memastikan aku berdiri sempurna. Untuk sesaat aku begitu menikmati pelukan itu, hingga kembali ke dalam alam nyata, dimana ada jarak antara aku dan lelaki di depanku. Aku mengangguk. “Lain kali hati-hati,” ucapnya yang tampak dingin. “Rey, kamu baik?” tanyaku sambil menatap tubuh yang seperti membeku. “Seperti yang kamu lihat, aku baik.”Aku memindai ke seluruh tubuhnya, tak ada yang berubah, Rey te
Agasthi cewek yang begitu ceria, ia bahkan sama sekali tak merasa canggung kepadaku.“Viv, aku senang sekali rey punya teman. Kata karyawan kantor, rey itu pendiam dan galak. Aarogan sekali.”‘Apa? Rey kerja? Bukankah kepemimpinannya saat itu dipindah alihkan kepada orang lain? Sebenarmya apa yanh terjafi? Aku tak ,engetahui semuanya.’“Viv, dengar aku kan?” tanya agasthi dengan nada khas manjanya.“IYa, aku dengar.”“Kamu tahu kan kalau rey itu bos yang galak dan arogan?”Aku menggeleng.“Kalian kan berteman, harusnya tahu dong, Viv.”Langkah kami untuk sesaat berhenti Ketika mendapati mobil rey beradfa di parkiran, mobil yang sama dengan yang biasa kami tumpangi sebelumnya. Yang berbeda, dulu hanya kita yang masuk berdua, dan saat ini aku jadi yang ketiga dan bukan siapa-siapa.“Viv, cerita dong, tentang suamiku itu kayak apa?’ tanya agasthi yang begitu antusias, bahkan ia lebih memilih duduk di jok belakang bersamaku, dari pada di depan Bersama calon suaminya.Seperti seorang supir
“Apa maksudmu?” tanyaku menatapnya dengan aneh.“Dulu tiap kali kita bertemu, kamu selalu memamerkan senyummu, saat ini kamu lebih pendiam dan tak menjamuku dengan senyuman, bukankah itu artinya kamu tak Bahagia Kembali bertemuku?”‘Kamu salah, Rey. Salah besar. Andai ada mesin kejujuran dan memainkan di depannya, pastilah kamu akan tahu jika saat ini aku benar-benar merindukanmu, bahkan aku tak bisa menggambarkan betapa bahagianya aku saat Kembali melihat dirimu, merasakan pelukanmu, dan hembusan hangat nafasmu. Yang aku pikir semua tak akan nyata.’“Kamu terlalu cepat mengambil kesimpulan, Rey.”“Kamu salah. Kamu lah yang terlalu cepat mengambil kesimpulan,” ucapnya rey dengan dingin.“Apa maksudmu?”“Kamu yang terlalu cepat melupakan janji-janji yang telah kita buat bersama. Apakah aku sama sekali taka da artinya untukmu, Viv?”“Oh, maafkan, aku hampir lupa salah memanggilmu. Maaf, Nona Haikal.”Aku terdiam, mendengan penuturan dingin dari lelaki di depanku ada rasa sakit yang tak
“Rey, hentikan!” ucapku yang semakin panik.Aku tak bisa membayangkan, bagaimana perasaan haikal jika tahu aku semobil dengan reynan, terlebih lagi saat ini kami berjalan bersama di belakangnya.Lelaki itu seperti tak menggubrisku, justru ia memepercepat laju kendaraannya dengan bringas, berbelok arah dengan menikung, begitupun Ketika menginjakkan opedal rem, tubuhku yang saat ini tak memakai sabuk pengaman hingga terpental.“Turunlah, Viv.”Pintu mobil dibuka oleh rey, hingga menampakkan sebuah pantai nan sepi dan seperti terasing. Tak ada sedikitpun tanda-tanda kehidupan di sini, kecuali para burung yang beterbangan dengan riangnya.Dengan ragu aku menurut, apalagi saat rey mengulurkan tangan, membantuku untuk turun, reflek aku menerima bantuan itu.Kutatap pemandangan nan indah itu, air yang membiru dan tenang, dnegan pasir putih di tepinya, bersamaan dengan ombak lembut yang mnyapa. Tanganku sedikit ditarik oleh lelaki di sebelahku, hingga dengan cepat gelombang lembut menyapa kak
Aku meneguk air mineral dari rey, menyisakan separuh botol dan mengembalikan kepadanya.“Kenapa gak dihabiskan?” “Untukmu.”Lelaki itu tersenyum tipis. “Kenapa? kamu benar-benar takut aku menaruh racun untukmu? Dan kamu memintaku meminumnya untuk memastikan?”Dengan cepat rey membuka botol kemasan, dan meneguknya sampai habis. Untuk sesaat aku memang memikirkan hal yang sama, kami meminum racun berdua seperti kisah Romeo dan Juliet, tapi mungkinkah rey melakukan itu kepadaku? Sedangkan aku tahu saat ini dihatinya sudah ada Wanita lain.Kami duduk bersama di bibir pantai dengan kaki yang diluruskan, untuk sesaat ombak datang menyapa, membasahi kaki kami, dan membawa pasir pantai menyentuh kulit, hingga air itu Kembali berlalu ke laut, dan beberapa saat kemudian melakukan hal yang sama. Angin sepoi menyapa, dimana tiap rengkuhan rasa dingin itu, membawa beberapa helai rambutku terbang hingga kuncir kuda yang dibuat reynan tampak menari, mengekspose leher jenjangku.Aku menatap air laut
“Iya.” Lelaki itu mengangguk.“Tapi … Bagaimana bisa? Me-re-ka?” tanyaku yang masih tak percaya.“Tutup mulutnya, Viv. Kalau ada lalat masuk,” ucapnya yang membuatku menahan malu. “Bisa tidak, ngomongnya dihalusin dikit!”“Sayang, jangan bengong. Sini duduk sini, kita makan!”“Rey, kita bukan pasangan kekasih. Jangan panggil aku sayang.”“Kalau begitu, maukan kamu jadi kekasihku, Viv?” lelaki itu mendekat dan kini berjongkok di depanku. Sebuah kotak bludru berbuntuk hati itu dibuka hingga menampakkan sebuah cincin dengan kilauan indah di tengannya. Ingin rasanya kujawab iya, tapi saat ini gengsiku masih melebihi segalanya.“Viv, jawablah! Apa kamu mau jadi istriku? Ibu dari anak-anakku?”Aku masih terdiam. Antar hati dan ego kita tengah saling menyerang.“Iya, Viv. Kapan lagi kamu nunggu momen ini?” ucap hatiku.“Janganlah, Viv. Gengsian dikit napa. Meskipun janda, kamu punya harga diri bukan? Bisa jadi kan Reynan hanya iseng kepadamu,” ucap logikaku.“Rey, itu, makanannya sudah data
“Ayo masuk, Viv. Ada apa, ha?” tanya reynan sambil memandang aneh ke arahku. Ya, dari tadi aku terus berusaha melepas pegangan tangannya, juga memutar bola mata menatap sekitar.Suasana resto yang di desain khusus dan indah ini, seakan menjadi saksi antara keromantisan reynan dan agasthi. Sedangkan aku disini? Hanya sebatas obat nyamuk.‘Bodoh kamu, viv, kenapa kamu mau-maunya diajak reynan kesini. Sekarang kamu mati kutukan?’ batinku merutuki diri sendiri.“Vivian, ayo kita masuk, Sayang. Apa perlu aku membopong tubuhmu yang kurus itu,” ucapnya lagi dengan gemas. Apalagi ketika ia memberikan embel-embel sayang di belakang namaku, membuatku jengah. Bisa-bisanya ia mau ketemuan dengan perempuan, tapi tetap sok sayang-sayangan kepadaku.Aku memiringkan bibirku, menampakkan ekspresi tak suka. Dan justru itu membuat reynan terkekeh dan menghadirkan senyum di wajah tampannya.“Gendong atau jalan sendiri?” tanyanya lagi.“jalan,” ucapku dengan nada datar.Ya, aku masuk kedalam resto yang te
Sore ini Lesta sudah boleh pulang, reynan pun sudah pulang ke rumahnya. Aku berdiri di balkon kamar terus menatap ke arah halaman, berharap lelaki itu kembali datang untuk menghampiriku.‘Viv, kenapa kamu kegatelan sepeti ini?’ batinku.‘Bukan kegatelan, tapi hanya meluruskan omongan reynan,’ balas batinku kembali.Aku masuk ke kamar, merebahkan diri, lalu kembali bangkit dan ke balkon, melakukan aktifitas yang tak jelas. Hari telah berganti malam, cahaya sang mentari mulai menghilang, diganti rembulan dan bintang yang berkelip di langit dengan indahnya. Suasana hatiku semakin memburuk, tatkala mengingat malam ini reynan ada acara bertemu dengan Agasthi.Kuraih layar pipih di sakuku, tak ada pesan selain dari operator yang mengabarkan kuota mulai menipis.‘Rey, apakah karena kamu akan bertemu dengan agasthi, hingga melupakan aku seperti ini? Bukankah kamu berjanji ketika sampai ke rumah, akan memberiku kabar?’Aku kembali masuk ke dalam kamar, duduk di bibir ranjang. Entah, untuk keb
“I-ini ....”Lelaki itu tampak sungkan, ketika aku membaca jejeran huruf di dalamnya. “Agasthi?” tanyaku kaget. Entah kenapa aku merasa cemburu, ketika ada nama wanita lain di dalam ponsel reynan. “I-iya, Viv.”Lelaki itu terdiam, memilih menaruh ponsel kesayangannya ke sofa. “Diangkat saja, Rey, takutnya penting.”“Bukan apa-apa, Viv, dia hanya ....”Belum juga reynan melanjutkan perkataannya, aku sudah menggeser tombol hijau itu ke atas, hingga panggilan agasthi dan rey tersambung. Ini memang bukan perlakuan yang bijak, bahkan tidk beratitude, tapi tak tahu kenapa, rasa penasaranku semakin memuncak. Apalagi aku tahu kalau agasthi adalah wanita mantan calon istri reynan, dan bahkan ia sangat mencintai lelaki yang kini duduk di dekatku. Tidak lupa kutekan tombol speaker, supaya pembicaraan ini terdengar bersama, hingga tak ada dusta antara reynan kepadaku. “Rey, jadi kan kita ketemuannya?” tanya Agasthi dengan suara khas manjanya. Ketemuan? Apa maksudnya? Lelaki itu berjanji ak
“Rey, aku bertanya serius. Kamu datang kapan? Kenapa gak bangunin aku?”Lagi-lagi ia hanya menjawabnya dengan senyuman, membuatku kesal. Kucubit lengannya, hingga ia mengaduh kesakitan. “Viv, i-itu ... Bisa pelan dikit?”Aku tak menggubrisnya, masih kesal dengan apa yang ia perbuat, juga dengan mimpi yang baru saja kudapat. Meskipun sebenarnya, aku bersyukur karena semua hanya mimpi. Reynan datang kesini, masih dengan ia yang semula, tanpa predikat seorang Nara pidana. “Viv, beneran sakit,” ucapnya sambil meringis. Aku menatap tangan yang baru saja Kucubit, darah segar mengalir. Aku baru menyadari jika Medan keisenganku adalah bekas luka Rey. “Rey, maaf,” ucapku penuh rasa bersalah. “Tak apa.”“Tapi sampai berdarah ni tanganmu.” Aku masih menatap darah segar yang kini mengalir melewati jarinya. “Ya sudah, bantu obati, Viv.”“Aku Carikan perban dan obat merah dulu.”Baru saja aku bangkit, tangan ini diraih oleh Reynan. “Obatnya bukan itu, tapi ...”Lelaki itu berdiri mendekatk
Malam ini kuhabiskan di kamar rumah sakit, menemani Lesta yang keadaannya mulai membaik. Ia terus bercerita dengan mimpi dan cita-citanya, hingga tetesan air mata membasahi pipi gadis cantik itu tatkala menceritakan tentang kakaknya. “Kak Viv disini, Les. Aku akan selalu ada untukmu,” ucapku sambil memeluk lembut tubuh ringkihnya. Aku bahkan tak menyadari baru beberapa hari saja tubuh kecil Lesta semakin mengurus.Wanita cantik itu tersenyum, lalu membalas pelukanku. Hingga jam minum obat tiba, dan ia mulai terlelap ke dalam mimpinya. Kulihat jam dinding di ruang kamar ini, waktu telah menunjukkan pukul 22.00 wib, Alisa pun telah tidur di atas sofa tanpa selimut yang menutup tubuhnya. Aku meraih tas kecilku yang berada di atas meja, mengeluarkan benda pintar yang dibelikan haikal untukku. Kosong. Tak ada notif pesan maupun panggilan sama sekali. “Ya Tuhan, jaga Reynan. Semoga ia baik-baik saja,” ucapku yang kini kembali duduk di sofa sebelah Lisa tertidur. Akupun ikut menyanda
Kedua lelaki itu mendekat, dimana tiap langkah lebar yang mengarah menuju kami, menambah rasa ketakutan dalam hatiku. Suara sepatu dinas yang bersentuhan dengan lantai rumah sakit, seperti membawa alunan genderang kematian. Tubuhku gemetar, bahkan aku harus menarik nafas panjang untuk sedikit melegakan rasa panik ini. Rey melirik ke arahku, menggenggam tangan yang mulai bergerak tak jelas karena Tremor, “Semua akan baik-baik saja,” Tak ada ucapan itu, tapi dari sorot mata teduh Rey, seperti mengutarakan hal untuk aku bisa tenang. “Ma-maaf, ada perlu apa, Pak?” tanyaku yang memulai pembicaraan terlebih dulu. “Selamat sore, Bu Vivian, Pak Reynan. Saya hanya ingin meminta bapak reynan untuk datang ke kantor polisi. Ini surat panggilannya,” ucap salah satu petugas tersebut sambil memberikan sebuah lampiran. Rey mengambil kertas tersebut, sekilas membacanya dengan fokus mata yang menyusuri jejeran huruf di dalamnya. “Saya akan datang, Pak.”“Baik, terima kasih atas kerja samanya.”Ked
Baik Rey dan aku dibuat kikuk kala menatapnya. "Indra sudah ditemukan. Ayo ikut aku," ucap Om Gunawan menatap lelaki di sebelahku. "Kamu mau pergi, Rey?" tanyaku ragu. Masih tersimpan dalam ingatan bagaimana om Gunawan mengarahkan senjata ke arah Reynan, lalu berbalik arah menembakkan timah panas ke arahku, dna berakhir dengan Haikal yang menerima tembakan itu. Masih terekam begitu jelas bagaimana darah Haikal mengalir bersamaan ia yng menutup mata dan menghembuskan nafas terakhirnya. Aku menggeleng, seperti tak ikhlas jika lelaki yang pernah menjadi bos ku itu pergi. "Maafkan aku. Aku janji pasti akan kembali," ucapnya sambil melepas genggaman tangannya perlahan. "Rey," ucapku lirih. Aku begitu takut terjadi sesuatu hal kepada Reynan. Apalagi ia akan pergi bersama om Gunawan, dan hendak bertemu Indra. Mereka berdua adalah musuh, ya g ingin sekali menghabisi Reynan. Reynan masih berjalan mengekori om Gunawan. Hingga punggung keduanya mulai lenyap dari pandangan, ketik melewati
"Viv, apa tadi ada yang masuk ke kamar kalian?" tanyanya panik. Aku semakin bingung tatkala mengingat perawat tadi masuk dan menyuntikkan cairan obat ke tubuh Lesta. "Iya. Seorang perawat masuk dan memberikan obat. Apa ada yang salah, Rey?"Aku tak tahu lagi, harus bertanggung jawab seperti apa jika keadaan Lesta semakin memburuk karena kecerobohan ku. "Tidak apa, Viv. Aku kira Indra kabur dan masuk kesana.""Maksudmu Indra belum ketemu juga? Bagaimana keadaan di luar? Apa semua baik-baik saja.""Iya, Indra kabur setelah tembakan mengenai lengannya, dan sekarang aku bersama Gunawan.""Om Gunawan?""Aku akan segera datang kesana." Benar saja dalam hitungan menit, Dua lelaki masuk ke dalam kamar, satu lelaki yang paling kucintai dan paling kunanti kedatangannya, dan satunya lagi lelaki yang paling kutakuti. Aku memindai tubuh lelaki itu dari bawah ke atas, takut jika ada senjata bertimah panas melekat di antara pakaiannya. Namun, dari sorot mata kedua lelaki itu seperti tak memil