Bab 78 – Permainan Baru DimulaiAnya tersentak dari tidurnya, napasnya memburu, dan tubuhnya dibasahi keringat dingin. Ia langsung terduduk, tangannya mencengkeram selimut dengan erat. Di sebelahnya, Sarah—ibunya—ikut terbangun dan menatap putrinya dengan cemas. "Anya, ada apa? Kamu mimpi buruk?” Anya masih berusaha mengatur napasnya, matanya penuh kebingungan dan ketakutan. "Ini lebih buruk dari mimpi buruk, Ma...” Sarah semakin khawatir. “Maksudmu apa, sayang? Ceritakan pada Mama.”Anya menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Di dalam mimpiku… aku bertemu Evan. Dia bilang kalau Kenzo bukan anak kandungnya, Ma.”Sarah terkejut mendengar itu. “Anya, itu hanya mimpi. Jangan langsung percaya begitu saja. Lagian bukankah itu lebih bagus? Mama ingin Kenzo segera kembali pada kita, Nak. Dan Mama juga memang berharap kalau Kenzo itu bukan anak kandungnya Anya."Anya menggeleng kuat. “Tapi Ma, kalau itu benar? Kalau Kenzo bukan anak Evan, kenapa mereka mengambilnya dariku? Kenapa mer
“Tidak … tidak mungkin!”Anya terduduk lemas menatap dua garis merah pada alat uji kehamilan di tangannya. Perasaan sedih, bingung, dan takut bercampur menjadi satu.Di tengah kepanikan, ia teringat pada satu nama yang membuatnya seperti ini. "Evan harus tanggung jawab … ini anaknya."Dengan tangan gemetar, Anya mencoba menghubungi pria itu.Satu kali panggilan, dua kali, tiga kali, tak ada jawaban. Setiap panggilan yang tidak terjawab itu membuat hatinya semakin hancur.Namun, Anya tidak ingin berdiam diri. Ia bergegas menemui sahabatnya, Clara, untuk meminta bantuan. Bagaimanapun, Clara adalah orang yang mempertemukannya dengan Evan.Tapi saat tiba di rumah Clara, Anya mendapati rumah itu kosong. Tak ada siapa pun di sana, bahkan orang tua Clara pun tidak ada."Kenapa semua orang menghilang saat aku butuh mereka?" keluh Anya sambil berusaha menahan tangisnya.Kalut dan panik, ia pun memutuskan untuk mendatangi rumah Evan. Dalam hati, ia berharap Evan ada di sana dan bisa diajak bica
Anya berangkat ke kantor dengan kondisi lemas akibat kurang tidur semalaman karena kepikiran dengan kehamilannya. Rasa mual yang terus menyerang perutnya membuat langkahnya semakin berat. Tapi dia tak punya pilihan—pekerjaan di kantor adalah satu-satunya sumber penghidupannya sekarang. Setibanya di kantor, Anya langsung menuju mejanya tanpa menyapa rekan-rekannya seperti biasa. Tumpukan dokumen yang menanti untuk diperiksa membuat kepalanya berdenyut. Dia mencoba fokus, tetapi rasa pusing dan mual semakin tak tertahankan. "Anya, kamu baik-baik saja?" suara lembut Karin, teman satu timnya, membuat Anya tersentak. Anya memaksakan senyum kecil. "Iya, aku cuma kurang tidur. Tidak apa-apa, terima kasih." Namun, beberapa menit kemudian, tubuhnya mulai gemetar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan pandangannya mulai kabur. Anya berdiri dengan tergesa-gesa, mencoba menuju kamar kecil untuk menenangkan diri. Tapi sebelum dia berhasil melangkah jauh, rasa mual yang tak tertahan itu
Lima tahun kemudian…."Mama, lihat! Aku lari cepat banget!" seru seorang bocah laki-laki berusia empat tahun sambil terus berlari. Anya duduk di bangku taman, memperhatikan anaknya sambil sesekali tersenyum. Dia sering membawa Kenzo ke taman ini untuk bermain, setidaknya di tengah semua kesulitan hidup, anak itu tetap bisa merasakan kebahagiaan kecil. "Jangan terlalu jauh, Nak!" Anya memperingatkan, tapi anak itu sudah melesat. Tanpa disadari, Kenzo berlari ke arah sebuah mobil mewah yang terparkir di tepi taman. Ia menabrak kaki seorang pria tinggi yang sedang berdiri di sana, sibuk dengan ponselnya. Pria itu menoleh dengan ekspresi terkejut, kemudian berjongkok untuk melihat Kenzo. "Hei, hati-hati, Nak," ucap pria itu. Melihat Kenzo bertemu seseorang, Anya segera bangkit dan berlari mendekat. "Maaf, Pak, anak saya tidak sengaja—" kata Anya terhenti di tengah kalimatnya. Pria itu berdiri dan menoleh ke arahnya. Saat mata mereka bertemu, dunia Anya seperti berhenti sejenak. It
Anya tertegun. Apa ia tidak salah mendengar?“Ma-maaf?” Evan mendengus. “Lupakan,” ujarnya dengan nada kesal yang kentara. Jarinya mengetuk perlahan meja kayu mahoni itu, irama yang tak konsisten seperti pikirannya yang kacau. Ekspresinya sulit ditebak, meski ada sesuatu yang membara di balik pandangannya.Evan membaca setiap detail dokumen itu dengan hati-hati, tapi bukan karena ia peduli pada isi dokumen itu. Ada sesuatu yang jauh lebih besar yang mengusiknya. Anya menggigit bibir gelisah. Keheningan itu membuatnya tidak tenang. ‘Seharusnya aku tidak menjatuhkan lamaran kerja ke sini,’ Anya menggerutu dalam hati. Kalau tahu perusahaan ini milik Evan, Anya tak akan melamar pekerjaan ke tempat ini.Tapi apa boleh buat. Perusahaan ini terkenal dengan gajinya yang besar. Anya tak bisa hanya memikirkan diri sendiri. Bagaimanapun, ia harus mendapatkan pekerjaan ini demi anaknya, Kenzo.Tiba-tiba, suara ketukan terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti dua insan dengan pikiran ber
Anya berdiri di sudut ruangan, memerhatikan interaksi Evan dan wanita bernama Chintya itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Wanita cantik itu tampak lengket pada Evan dengan sikap penuh keakraban. Sesekali, ia tertawa kecil sambil merapikan dasi Evan dengan gaya posesif. Evan, seperti biasanya, tetap tenang dan dingin. Ia tidak menunjukkan perhatian berlebih pada Chintya, tetapi juga tidak menepis keintiman wanita itu. Hal ini membuat Anya semakin tidak nyaman. “Hari ini kau terlihat sangat tampan, Sayang,” ujar Chintya sambil tersenyum manis. “Apa kita benar-benar harus makan siang di restoran? Bagaimana kalau kita cari tempat yang lebih tenang? Hanya kita berdua.” Evan melirik Chintya dengan datar. “Ibu sudah mengatur semuanya. Kita tidak bisa membatalkannya.” Chintya tampak sedikit kesal, tetapi dengan cepat menyembunyikan ekspresinya. “Baiklah. Tapi kau harus janji menghabiskan lebih banyak waktu denganku setelah ini, ya.” Anya menunduk, pura-pura sibuk melihat dokumen
Bab 6 Permainan Evan Pagi itu, Anya melangkah masuk ke kantor dengan langkah berat. Rasa penasaran dan gugup berbaur dalam pikirannya, membuatnya sulit fokus sejak semalam. Ia bahkan tidak bisa tidur nyenyak setelah menerima telepon dari Evan. Pria itu kembali hadir dalam hidupnya, dan, seperti biasa, membawa badai yang membuat hatinya tak karuan. “Tenang, Anya. Ini hanya pekerjaan,” bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan diri. Namun, hatinya tahu bahwa ini lebih dari sekadar pekerjaan. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang membuat Anya merasa terjebak. Ketika ia mengetuk pintu ruangan Evan, jantungnya berdetak kencang. “Masuk,” suara Evan terdengar dari dalam. Anya membuka pintu dan masuk perlahan. Ia mendapati Evan duduk di kursinya, seperti biasa, dengan ekspresi dingin yang sulit ditebak. “Selamat pagi, Pak,” sapa Anya, berusaha terdengar profesional meskipun hatinya kacau. Evan menatapnya tajam, tidak membalas sapaannya. Ia hanya memberikan isyarat d
Bab 7 Anya duduk di meja kerjanya dengan wajah masam. Tumpukan berkas yang baru saja diletakkan Evan terasa seperti gunung yang mustahil didaki. Ia memandang dokumen-dokumen itu dengan perasaan campur aduk: marah, kesal, dan putus asa. "Dia benar-benar gila!" gerutunya pelan sambil menatap tumpukan itu. "Tidak berperikemanusiaan. Bagaimana bisa dia menyuruhku menyelesaikan semuanya dalam satu hari? Apa dia pikir aku robot?" Tangannya mulai membuka dokumen satu per satu, meskipun pikirannya penuh dengan sumpah serapah untuk pria yang kini berada di ruangannya. Anya tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana Evan selalu menemukan cara untuk membuatnya menderita. Sementara itu, di ruangan lain, Evan duduk dengan nyaman di kursinya. Matanya tertuju pada layar komputer di depannya, yang memperlihatkan aktivitas Anya melalui kamera pengawas. Ia melihat bagaimana wanita itu berkutat dengan berkas-berkasnya, bibirnya bergerak seolah-olah sedang mengumpat. Evan tersenyum kecil. "Dasar ke
Bab 78 – Permainan Baru DimulaiAnya tersentak dari tidurnya, napasnya memburu, dan tubuhnya dibasahi keringat dingin. Ia langsung terduduk, tangannya mencengkeram selimut dengan erat. Di sebelahnya, Sarah—ibunya—ikut terbangun dan menatap putrinya dengan cemas. "Anya, ada apa? Kamu mimpi buruk?” Anya masih berusaha mengatur napasnya, matanya penuh kebingungan dan ketakutan. "Ini lebih buruk dari mimpi buruk, Ma...” Sarah semakin khawatir. “Maksudmu apa, sayang? Ceritakan pada Mama.”Anya menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Di dalam mimpiku… aku bertemu Evan. Dia bilang kalau Kenzo bukan anak kandungnya, Ma.”Sarah terkejut mendengar itu. “Anya, itu hanya mimpi. Jangan langsung percaya begitu saja. Lagian bukankah itu lebih bagus? Mama ingin Kenzo segera kembali pada kita, Nak. Dan Mama juga memang berharap kalau Kenzo itu bukan anak kandungnya Anya."Anya menggeleng kuat. “Tapi Ma, kalau itu benar? Kalau Kenzo bukan anak Evan, kenapa mereka mengambilnya dariku? Kenapa mer
Bab 77 – Pertarungan Tanpa AkhirChintya berdiri di sana, tubuhnya gemetar dengan amarah yang tak tertahan. Air matanya jatuh, tetapi sorot matanya penuh kebencian. Semua mata kini tertuju padanya. Anya mengangkat dagunya sedikit, tidak ingin terlihat lemah di depan wanita yang telah menghancurkan hidupnya. Nathan berdiri lebih dekat, siap melindunginya jika sesuatu terjadi. “Jadi kau benar-benar memilih wanita itu, Evan?” Chintya mengulang pertanyaannya dengan nada yang lebih tinggi. Evan menghela napas panjang. “Chintya… Ini bukan soal memilih siapa, ini soal kebenaran. Aku sudah terlalu lama dibutakan.” Chintya tertawa pahit. “Kebenaran? Dan kau baru sadar sekarang setelah aku mengorbankan segalanya untukmu?” Anya menyilangkan tangan di dadanya. “Pengorbanan? Kau tahu apa tentang pengorbanan, Chintya? Kau mencuri lima tahun hidupku dan anakku. Kau dan ibu mertuamu merampas hakku sebagai ibu, dan kau masih berani bicara soal pengorbanan?” Chintya mengepalkan tangan, mena
Bab 76 – Luka yang Tak Termaafkan Evan berdiri di ambang pintu, menatap punggung Anya yang semakin menjauh bersama Nathan. Langkahnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahan kakinya untuk mengejar wanita itu. Tapi apa haknya sekarang? Setelah semua kebohongan yang ia telan mentah-mentah, setelah semua luka yang Anya tanggung sendirian selama lima tahun… apakah ia pantas meminta maaf? Saraswati mendekat, ekspresi wajahnya penuh ketidaksetujuan. "Evan, kau tidak boleh membiarkan wanita itu pergi begitu saja! Kalau dia membawa kasus ini ke pengadilan, reputasi keluarga kita bisa hancur!" Evan berbalik menatap ibunya, tatapannya kali ini dingin. "Kau masih peduli dengan reputasi, Ma? Setelah semua yang kau lakukan?" "Aku melakukan ini untuk melindungimu!" Saraswati bersikeras. "Wanita itu hanya ingin menghancurkan hidupmu. Dan Kenzo… dia mungkin anakmu, tapi dia dibesarkan olehnya. Bagaimana kau yakin dia tidak mengajarkan kebencian terhadap kita?" Evan mengepalkan tang
Bab 75 – Kebenaran yang Tersembunyi Evan menatap ibunya dengan sorot mata tajam. Pertanyaan yang baru saja keluar dari mulutnya menggantung di udara, menciptakan ketegangan yang nyaris meledak. Saraswati, yang biasanya penuh percaya diri, tiba-tiba tampak goyah. Wajahnya memucat, namun ia segera menegakkan bahunya, berusaha mempertahankan wibawanya di depan semua orang. "Apa benar, Ma?" desak Evan sekali lagi. Saraswati tersenyum tipis, namun tatapannya penuh kebencian saat beralih pada Anya. "Dan kalaupun benar, apa pedulimu? Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, Evan. Wanita seperti dia tidak pantas berada di sampingmu, apalagi melahirkan anakmu." Kata-kata itu bagaikan belati yang menusuk hati Anya. Kenangan lima tahun lalu kembali membanjiri pikirannya—hari ketika ia diusir dengan hinaan yang meremukkan harga dirinya. "Evan, aku datang padamu waktu itu. Aku memohon agar kau mengakui anak kita, tapi apa yang aku dapatkan? Ibumu mengusirku seperti sampah dan menganggap
Bab 74 – Luka yang Tak Terlihat Anya berdiri di depan cermin besar rumahnya bersama Nathan. Wajahnya masih sembab, namun sorot matanya memancarkan tekad yang membara. Ia mengusap air mata yang tersisa, meneguhkan hatinya bahwa ia tak akan membiarkan siapa pun merenggut Kenzo darinya. Nathan yang berdiri di dekat pintu hanya memperhatikannya dalam diam. Ia tahu betapa hancurnya hati Anya, tapi di balik itu, ia juga melihat kekuatan luar biasa yang sedang bersemi dalam diri wanita itu. “Aku harus bicara dengan Evan,” suara Anya memecah keheningan. Nathan menghela napas berat. “Kamu yakin? Kalau ibunya tahu, mereka bisa saja memanfaatkan pertemuan itu untuk menjatuhkanmu.” Anya berbalik, menatap Nathan dengan mata yang memerah. “Aku tidak peduli. Aku harus tahu alasannya. Kenapa tiba-tiba mereka begitu ngotot mengambil Kenzo? Ada sesuatu yang mereka sembunyikan, dan aku harus mengetahuinya.” Nathan mendekat, meraih tangan Anya dengan lembut. “Aku akan menemanimu. Aku tida
Bab 73 – Bara di Balik Dendam Anya berdiri mematung di depan pintu ruang kerja Evan, matanya menatap kosong pada layar ponselnya yang baru saja menampilkan nama Saraswati. Kata-kata dingin wanita itu terus terngiang di kepalanya—*“Bersiaplah kehilangan segalanya.”* Tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Nathan yang berdiri di sisinya bisa merasakan betapa rapuh, sekaligus marahnya wanita itu saat ini. “Kita harus mengambil Kenzo kembali,” suara Anya terdengar pelan, tetapi penuh dengan tekad membara. Nathan mengangguk, matanya menatapnya penuh keyakinan. “Aku akan membantumu, Anya. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan mereka memisahkanmu dari Kenzo.” Anya menelan ludah, mencoba mengendalikan emosinya. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa menghadapi Saraswati dan Evan tidak akan semudah itu. “Kita butuh rencana,” lanjut Nathan. “Aku akan menghubungi pengacaraku. Kita bisa melawan mereka secara hukum.” Namun, Anya menggeleng p
Bab 72 – Api yang Membakar BatasAnya masih berdiri di hadapan Nathan, hatinya berkecamuk di antara rasa sakit dan pengakuan cinta pria itu. Ia ingin mempercayai Nathan—ingin menyerahkan bebannya—tetapi luka masa lalu mengingatkannya bahwa tidak ada yang benar-benar tulus. Namun, lamunannya buyar ketika ponselnya bergetar di dalam genggaman. Nama *Mama* tertera di layar, membuat keningnya berkerut. Ia menjawab panggilan itu, tetapi yang menyambutnya adalah suara isakan panik. “Ada apa, Ma?” tanyanya, cemas. “Kenapa Mama menangis?” Nathan yang berdiri di sampingnya ikut khawatir, mencoba menangkap isi percakapan dari ekspresi tegang di wajah Anya. “Anya…,” suara Sarah bergetar di seberang sana. “Mamanya Evan… dia… dia membawa Kenzo. Mereka membawa pengacara dan… mengambil Kenzo begitu saja!” Dunia Anya seketika berhenti berputar. Dadanya terasa sesak, tangannya mengepal di sisi tubuh. “Apa?” suaranya melengking, penuh amarah. Nathan mendekat, meletakkan tangannya di bahu An
Bab 71 – Bara di Balik CintaAnya melangkah keluar dari ruang kerja Evan dengan hati yang dipenuhi kepuasan. Permainan baru saja dimulai, dan ia sudah berada di depan. Senyum sinis menghiasi wajahnya saat membayangkan betapa hancurnya Chintya di dalam sana. Perempuan itu terlalu lemah untuk menghadapi kenyataan. Dan kelemahan itulah yang akan ia manfaatkan. Namun, langkahnya terhenti di ujung koridor ketika seseorang tiba-tiba berdiri di hadapannya. Nathan. Pria itu bersandar di dinding dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Matanya menatap Anya tajam, penuh dengan ketidaksetujuan yang jelas. "Kita perlu bicara," ucap Nathan pelan, tapi nada suaranya tegas. Anya mendesah pelan, seolah enggan meladeni. "Kalau ini tentang Evan dan Chintya, aku tidak ingin mendengar ceramahmu, Nathan," jawabnya, melanjutkan langkah. Namun, Nathan dengan sigap meraih lengannya, menghentikannya. "Aku serius, Anya," suaranya lebih dalam, nyaris seperti peringatan. "Apa yang sedang kau
Bab 70 – Api Dalam Sekam Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Di ruang kerjanya, Evan duduk termenung di balik meja kayu besar, menatap kosong pada segelas whiskey yang belum ia sentuh. Pikirannya kacau—terlalu banyak hal yang berputar di kepalanya. Chintya, Anya, pernikahan yang diambang kehancuran. Pintu ruang kerja terbuka pelan. Anya melangkah masuk tanpa mengetuk, mengenakan blus hitam yang membalut tubuhnya dengan anggun. Ada ekspresi tenang di wajahnya, tetapi tatapan matanya menyimpan sesuatu yang jauh lebih gelap. "Aku pikir kau butuh teman bicara," ucap Anya lembut, menutup pintu di belakangnya. Evan mendesah, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, Anya. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tidak berakhir." Anya mendekat, berdiri di samping meja, lalu bersandar dengan santai. "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Evan. Kau bukan pria jahat. Kau hanya terjebak dalam pernikahan yang tidak kau inginkan." Kat