Bab 80 – cemburu Di sebuah ruangan mewah di dalam kediaman keluarga Evan, Chintya duduk gelisah di atas sofa berbahan beludru. Wajahnya tampak cemas, bibirnya sedikit menggigit kuku jari telunjuknya—sebuah kebiasaan yang selalu muncul saat ia merasa terancam. Di seberangnya, Saraswati duduk dengan anggun. Wanita paruh baya itu menuangkan teh ke dalam cangkir porselen dengan tenang, seakan tidak ada ancaman yang perlu dikhawatirkan. Chintya menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada cemas, “Bagaimana kalau Anya benar-benar melawan kita di pengadilan dan mendapatkan hak asuh Kenzo, Ma?” Saraswati tersenyum kecil, menyesap tehnya dengan santai. "Itu tidak akan terjadi," ujarnya penuh keyakinan. "Tapi bagaimana kalau dia bisa? Bagaimana kalau pengadilan berpihak padanya?" Chintya semakin khawatir. "Apalagi dia yang sudah berjuang untuk membesarkan anak itu, Ma,' tambah Chintya. Saraswati menaruh cangkir tehnya ke atas meja dengan suara pelan namun tegas. "Tenanglah, Chint
Bab 81 – Bara di Antara KitaAnya membeku seketika. Matanya bertemu dengan Evan, yang berdiri tak jauh darinya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Di samping Evan, Roy tampak salah tingkah, sadar kalau ucapannya tadi telah menarik perhatian Anya. Anya menelan ludah, hatinya berdebar tanpa alasan yang jelas. Seharusnya dia tak peduli, seharusnya dia bisa berpura-pura tidak melihatnya. Tapi tatapan Evan terlalu menusuk, membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan. Nathan, yang masih berada di sampingnya, menyadari perubahan ekspresi Anya. Ia menoleh dan langsung menangkap sosok Evan yang berdiri kaku di tempatnya. Bibir Nathan melengkung tipis. “Sepertinya ada yang sedang terbakar cemburu,” bisik Nathan pelan, hanya untuk dirinya sendiri. Evan tetap diam. Tangannya mengepal begitu kuat, urat-uratnya terlihat menonjol. Tatapan matanya tajam, penuh kemarahan yang ia sendiri tidak tahu harus ia arahkan ke siapa—ke Nathan yang memeluk Anya, atau ke dirinya sendiri yang masih tak bisa m
Bab 82 – Pemberhentian yang Tak TerdugaPagi itu, matahari baru saja muncul di ufuk timur. Anya tengah bersiap untuk berangkat kerja seperti biasa. Ia baru saja menyelesaikan riasan ringan di depan cermin ketika bel pintu rumahnya berbunyi. "Siapa pagi-pagi begini?" gumamnya, berjalan ke pintu dan membukanya. Seorang kurir berdiri di depan pintu dengan wajah datar. "Permisi, ini ada surat untuk Anda, Bu Anya." Anya mengernyit. Ia menerima amplop putih itu dan mengucapkan terima kasih sebelum menutup pintu. Tangannya bergerak cepat membuka amplop tersebut, membaca isinya dengan seksama. Matanya membelalak. Jantungnya serasa berhenti berdetak sesaat. "Dengan ini kami memberitahukan bahwa terhitung sejak hari ini, Anda tidak lagi bekerja di perusahaan ini. Keputusan ini bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat."Anya meremas surat itu, wajahnya merah padam karena emosi. "Pemecatan?" bisiknya dengan nada tak percaya. Tangannya bergetar, dadanya bergemuruh penuh kemaraha
Bab 83 – Evan berjalan dengan langkah cepat menuju rumahnya. Kepalanya dipenuhi kemarahan yang membuncah. Ia tak habis pikir bagaimana bisa surat pemecatan Anya keluar tanpa sepengetahuannya, bahkan dengan tanda tangannya yang jelas-jelas ia tidak pernah bubuhkan. Begitu memasuki rumah, ia langsung melihat ibunya, Saraswati, duduk santai di sofa sambil menyeruput teh. Chintya ada di sampingnya, wajahnya terlihat puas seolah baru saja memenangkan pertempuran besar. Evan langsung menghentikan langkahnya di depan mereka. "Mama," suaranya dingin, "Aku ingin penjelasan. Apa maksudnya memecat Anya tanpa konfirmasi dariku?" Saraswati meletakkan cangkir tehnya dengan santai. Ia menatap putranya dengan ekspresi yang sudah dipersiapkan. "Kau masih berani bertanya, Evan?" suaranya terdengar tenang, tapi penuh tekanan. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kau lakukan sejak dulu—menyingkirkan wanita itu dari hidupmu." Evan mengepalkan tangannya. "Mama tidak punya hak untuk mengambil keput
Bab 84 – Luka yang Tak Termaafkan Evan masih berdiri di depan pintu rumah Anya, tangannya mengepal, dadanya naik turun menahan emosi. Ketukan kerasnya tak mendapat jawaban. Anya jelas tidak ingin berbicara lagi dengannya. Di dalam rumah, Anya berdiri bersandar pada pintu. Matanya terpejam, dadanya terasa sesak. Tangannya mengepal erat, mencoba mengendalikan amarah dan sakit hati yang bercampur menjadi satu. Sarah, ibunya, berjalan mendekat dengan wajah cemas. “Nak, kau tidak apa-apa?” Anya mengangguk lemah. “Aku lelah, Bu. Aku benar-benar lelah...” Sarah mengusap bahu putrinya dengan lembut. “Kalau begitu, istirahatlah. Jangan biarkan emosimu menguras tenagamu.” Anya menarik napas dalam-dalam. “Aku tidak akan tinggal diam, Bu. Aku harus mendapatkan Kenzo kembali. Aku tidak peduli bagaimana caranya.” Sarah menatap putrinya dengan penuh keyakinan. “Mama tahu kau kuat, Anya. Tapi hati-hati. Evan bukan musuh yang mudah dikalahkan, terutama jika Saraswati masih ada di belakan
Bab 85 – Hujan Luka di Senja Hari Sore itu, langit tampak kelabu. Angin bertiup lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan gerimis yang baru saja reda. Anya berdiri di teras rumah, menyapu dedaunan yang berguguran. Pikirannya masih dipenuhi kegelisahan tentang Kenzo. Namun, belum sempat ia menenangkan diri, suara langkah kaki terdengar mendekat. Anya mengangkat kepala dan melihat dua wanita berdiri di depan gerbang rumahnya. Seorang wanita paruh baya dengan tatapan tajam dan seorang wanita muda yang cantik, tapi dengan ekspresi angkuh. Anya mengernyit. Ia tahu siapa wanita paruh baya itu—Mira, ibu Nathan. Tapi siapa wanita yang bersamanya? Dengan sopan, Anya tersenyum tipis. “Selamat sore, Tante Mira. Ada yang bisa saya bantu?” Mira melangkah masuk tanpa permisi, wajahnya penuh kemarahan. “Kau pasti tahu kenapa aku datang ke sini!” Anya menegakkan tubuhnya, berusaha tetap tenang. “Maaf, saya tidak mengerti maksud Tante.” Mira melipat tangan di dada, ekspresinya semaki
Bab 86 – Luka yang TertinggalSarah menatap putrinya yang masih terisak dalam pelukannya. Hatinya teriris melihat Anya menangis seperti ini, terutama setelah kejadian sore tadi. Ia tahu sesuatu telah terjadi, dan ia tak akan membiarkan putrinya menanggung semuanya sendirian. “Nak, tenangkan dirimu dulu,” ucap Sarah lembut sambil mengusap punggung Anya. Anya menarik napas dalam-dalam, berusaha menghentikan tangisnya. Namun, luka di hatinya terlalu dalam. Ia merasa dunia terus memberinya pukulan tanpa henti. “Apa yang sebenarnya terjadi, Nak?” tanya Sarah penuh keprihatinan. “Kenapa kau terlihat begitu hancur?” Anya menghapus air matanya dengan cepat. Ia tak ingin ibunya ikut cemas. Namun, beban di hatinya terlalu berat untuk ia simpan sendiri. “Tadi sore… Mamanya Nathan datang ke rumah,” Anya berusaha menenangkan suaranya. Sarah mengerutkan kening. “Mira?” Anya mengangguk lemah. “Dia tidak datang sendirian, Ma. Dia datang bersama seorang wanita… Citra. Dia bilang dia tuna
Bab 87 – Malam yang Tak TerdugaTangan Anya sedikit gemetar saat meraih gagang pintu. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya membukanya. Namun, dugaan Anya dan Sarah salah besar. Bukan Nathan yang berdiri di sana. Melainkan. 'Evan'Pria itu berdiri dengan wajah kusut dan mata yang terlihat redup, seolah menyimpan seribu kepedihan. Ada aroma alkohol samar yang tercium, membuat Anya langsung mengernyit. "Evan?" tanyanya, terkejut. "Kau... sedang mabuk?"Evan menggeleng, tetapi keseimbangannya sedikit goyah. "Aku sadar, Anya... Aku datang karena aku ingin bicara denganmu." Anya menatap pria itu dengan kesal. "Ini sudah malam. Apa yang kau lakukan di sini?"Evan menarik napas panjang, lalu menatap Anya dengan serius. "Aku ingin kau kembali bekerja di perusahaan. Dan lebih dari itu... Aku ingin kau menikah denganku, Anya."Anya membelalakkan mata, hatinya seakan berhenti berdetak sejenak. "Apa?!""Aku ingin kita menikah secara siri," lanjut Evan. "Aku
Bab 102 — Luka yang DipertontonkanAnya tak bisa tidur semalaman. Matanya sembab, kepalanya berat, dan dadanya sesak. Setiap kali ia memejamkan mata, video itu terus terbayang. Wajahnya yang tampak kacau, tubuhnya yang sempoyongan, tawa orang-orang di sekelilingnya — semuanya jadi luka baru yang dipertontonkan ke seluruh dunia.Di ruang tamu rumah Dewi, televisi terus menayangkan berita tentang video viral itu. Presenter membacakan berita dengan nada serius. _"Sebuah video memperlihatkan seorang wanita yang diduga Anya Wibisono, mantan karyawan Sanjaya Grup, dalam kondisi mabuk berat di sebuah klub malam. Video ini memicu perdebatan di masyarakat, terlebih setelah diketahui bahwa wanita tersebut sedang dalam proses perebutan hak asuh anak dengan Evan Sanjaya."_ Anya menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Tuhan… aku benar-benar habis," gumamnya.Dewi duduk di sebelahnya, menggenggam tangan Anya erat-erat. "Nya, kamu nggak boleh nyerah. Aku tahu siapa kamu. Semua orang yang sayang s
Bab 101Langkah kaki Anya terasa berat saat turun dari mobil Pak Rahmat. Dunia seakan berputar lebih cepat dari biasanya, dan bukan karena ia lelah, tetapi karena jiwanya seperti baru saja dibanting dari tempat tertinggi harapan, lalu jatuh ke jurang yang paling gelap.Anya berdiri di trotoar, menatap gedung tempat ia baru saja kehilangan pekerjaan. Angin sore membelai wajahnya yang terasa panas menahan tangis. Kali ini, ia tidak bisa lagi menahannya. Air mata itu luruh, jatuh satu per satu, menandai luka yang semakin dalam di dalam hatinya.Ia membalikkan badan, menatap langit yang mulai memerah, lalu melangkah pelan. Pikirannya kacau. Dulu ia punya impian untuk kembali berdiri di atas kakinya sendiri, tapi sepertinya Evan tak pernah benar-benar mengizinkan itu terjadi. "Aku benci kamu, Evan. Dan jangan harap aku akan datang ke kamu, Evan. Tidak akan,' lirihnya Anya yang sedang bersedih. Sementara itu, di ruang kerjanya, Evan menatap keluar jendela. Ada rasa puas di wajahnya karena
Bab 7 Laura terisak di atas ranjang dengan kedua tangan masih terborgol. Rasa dingin dari es yang tadi digunakan Zaky mulai menghilang, digantikan dengan tubuh yang lelah dan gemetar. Matanya basah oleh air mata, sementara pikirannya berputar mencari jalan keluar dari neraka ini. Entah sejak kapan, ia akhirnya tertidur karena kelelahan menangis. Dalam tidurnya, wajah ibunya kembali muncul, seperti mencoba meraih dan menenangkannya. "Mama...," bisiknya lirih dalam mimpi. Namun, ketenangan itu hanya sementara. Sebuah suara lirih terdengar dari pintu kamar yang kembali terbuka. Langkah kaki perlahan mendekatinya. Zaky, pria keji yang menculiknya, kini berdiri di samping tempat tidurnya, menatap wajahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kamu cantik... dan kamu akan menjadi milikku," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan setan di tengah kegelapan. Tangan Zaky terulur, mengelus pipi Laura yang masih basah oleh air mata. Sentuhan itu membuat Laura terbangun seketika. Matan
Bab 99..Pagi itu, langit Jakarta sedikit mendung. Tapi tidak ada yang bisa meredam semangat Evan untuk menyelesaikan semua urusannya secepat mungkin. Di pikirannya hanya satu: menemui Anya. Namun sayang, kenyataan tidak selalu sejalan dengan harapan. Meeting penting dengan salah satu calon klien terbesar perusahaan, Pak Alex, memaksa Evan tetap tinggal di kantor. Evan mengenakan jas biru tua dengan dasi perak yang rapi. Wajahnya tampak tenang, tapi pikirannya kusut. Ia masuk ke ruang meeting besar di lantai sembilan, tempat semua petinggi perusahaan akan berkumpul. Roy sudah ada di sana, duduk di ujung meja dan sibuk dengan laptop serta berkas-berkas presentasi.Roy bangkit dan menghampiri Evan begitu pria itu duduk. “Kalau menurut data dan informasi yang aku terima Evan, Pak Alex ini sangat kompetitif dalam memilih perusahaan untuk proyek ini. Tapi kamu tidak usah khawatir. Aku sudah menyusun semua proposal dan data kerja sama yang solid. Kita unggul dari sisi efisiensi biaya dan k
Bab 98 - Di Balik Harapan yang RetakMalam itu, angin menerobos masuk lewat celah jendela kamar Anya yang tak sepenuhnya tertutup. Ia duduk di tepi ranjang, memandangi hasil cek hormon yang masih diletakkan di atas meja. Helaan napasnya berat, seperti beban yang ditarik dari dasar dadanya.Ia mendongak, menatap langit-langit kamar. “Apa semua ini pantas aku alami?” bisiknya lirih.Kepalanya masih berat oleh kejadian tadi sore. Tatapan Evan yang penuh kecurigaan, tuduhan tanpa bukti, dan luka lama yang digali lagi tanpa ampun. Anya merasa dirinya seperti kaca yang jatuh berkali-kali—retak, pecah, dan tak pernah benar-benar utuh lagi.Ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari Evan."Maaf… Aku salah. Aku benar-benar minta maaf, Anya."Anya menatap layar itu lama. Tangannya sempat gemetar, tapi ia tak membalas. Hatinya terlalu lelah untuk menanggapi seseorang yang hanya datang ketika merasa bersalah, bukan karena ingin memperbaiki."Maaf tidak bisa merubah keadaan. Terkecuali kemb
Bab 97 - Jejak Luka yang MengangaEvan masih duduk di balik kemudi mobilnya, memandangi klinik yang kini seolah menelannya bulat-bulat. Detik demi detik berlalu seperti tetes air yang menghantam kesabarannya. Jantungnya berdetak cepat, pikirannya liar menebak-nebak apa yang sedang terjadi di dalam ruangan berwarna putih itu.“Kenapa selama ini aku tidak cukup untuknya?” gumamnya lirih, setengah bertanya pada takdir yang ia sendiri tak mampu pahami.Tiba-tiba pintu klinik terbuka. Langkah kaki yang dinanti itu akhirnya terdengar. Evan segera menunduk, bersembunyi di balik kemudi sambil melirik melalui kaca spion. Napasnya tertahan ketika melihat Anya berjalan berdampingan dengan Nathan, menggenggam selembar kertas hasil pemeriksaan.Evan mengepalkan tangan. “Apa itu... hasil USG?” pikirnya, mencoba membaca ekspresi mereka. Nathan terlihat tenang, sementara Anya... senyum tipis itu membuat Evan serasa ditikam berkali-kali."Apa benar... dia sedang hamil? Dan Nathan yang menjadi ayah dar
Bab 96 - Luka yang Tak Kunjung Sembuh Sarah terdiam. Matanya berkaca-kaca menyaksikan amarah putrinya yang meluap seperti bendungan jebol. Ia tahu betul, Anya sudah terlalu lama memendam luka. Luka yang terus digores oleh mereka yang mengaku mencintai, tapi justru mengambil segalanya. “Anya... cukup, Nak. Jangan menyakiti dirimu sendiri dengan terus membenci,” ucap Sarah lembut, tapi penuh ketegasan. Ia menggenggam bahu Anya, mencoba menenangkannya. Namun Anya menepis pelan tangan ibunya. Air matanya mengalir deras. “Bagaimana bisa aku memaafkan, Ma? Dia ambil Kenzo dariku! Sekarang bahkan pekerjaanku pun dia halangi. Apa Evan pikir dia Tuhan yang bisa mengatur segalanya?” Suara Anya meninggi. Napasnya memburu. Wajahnya merah karena amarah yang meluap. Sarah menarik napas panjang. Ia tahu ini bukan saatnya menasihati panjang lebar. Tapi ia juga tahu, membiarkan Anya terbakar dalam dendam hanya akan menghancurkannya lebih dalam. “Evan memang salah... sangat salah. Tapi kamu j
Bab 95"Aku tidak bisa membiarkan ini, Evan sudah benar-benar kelewatan," ujarnya menggerutu. setelah Anya mendapat kabar penolakan dari perusahaan tempat di mana ia hendak menjatuhkan lamaran. Tapi sayangnya Evan justru meminta asistennya Roy untuk mengawasi setiap gerak gerik Anya. Sampai-sampai Evan bisa menolak lamaran kerja Anya, sekalipun itu tidak berada di perusahaan Evan sendiri. "Aku tidak akan memaafkanmu Evan," lanjut ujar Anya. Sangking kesalnya, Anya memutuskan untuk menemui Evan hari itu juga. Sampai ia berangkat ke perusahaan Evan. Tapi sayangnya setibanya di perusahaan Evan, Anya justru tidak bisa bertemu dengan Evan. Kata mereka para pegawai Evan, Evan sedang keluar kantor. Anya awalnya tidak percaya, sampai ia mencari keberadaan mobil Evan di parkiran. Tapi benar saja, Anya tidak menemukan adanya mobil Evan. "Mungkinkah Evan keluar? Terus, aku harus bagaimana? Masak iya aku harus menemui Evan di rumahnya? Malas ah ketemu dengan dua wanita yang menyebalkan itu,"
Bab 94 – Kebenaran yang TerungkapLangit mendung menggantung rendah di atas gedung tinggi Sanjaya Grup saat Anya dan Dewi tiba di lobi utama. Perasaan harap dan gugup bercampur dalam dada Anya, sementara Dewi tampak optimis dan percaya diri. Mereka berdua melangkah menuju lantai tempat kantor HRD berada.“Tenang saja, Anya,” bisik Dewi saat mereka memasuki ruangan. “Aku sudah bilang ke mereka soal kamu. Mereka bahkan tampak tertarik.”Namun, saat Dewi menyampaikan kedatangan mereka kepada resepsionis, ekspresi ramah yang semula terpancar di wajah staf tersebut berubah menjadi kaku.“Satu momen, saya panggilkan Ibu Sisca dari HRD,” ujar staf tersebut dengan suara datar.Tak lama kemudian, Sisca—wanita paruh baya dengan raut wajah tegas dan pakaian formal rapi—muncul dari balik pintu kaca. Dewi langsung berdiri dan menyambutnya dengan senyum.“Selamat pagi, Bu Sisca. Ini Anya, teman saya yang ingin saya rekomendasikan. Dia sangat kompeten dan—”Namun, Sisca mengangkat tangannya, memoton