Bab 84 – Luka yang Tak Termaafkan Evan masih berdiri di depan pintu rumah Anya, tangannya mengepal, dadanya naik turun menahan emosi. Ketukan kerasnya tak mendapat jawaban. Anya jelas tidak ingin berbicara lagi dengannya. Di dalam rumah, Anya berdiri bersandar pada pintu. Matanya terpejam, dadanya terasa sesak. Tangannya mengepal erat, mencoba mengendalikan amarah dan sakit hati yang bercampur menjadi satu. Sarah, ibunya, berjalan mendekat dengan wajah cemas. “Nak, kau tidak apa-apa?” Anya mengangguk lemah. “Aku lelah, Bu. Aku benar-benar lelah...” Sarah mengusap bahu putrinya dengan lembut. “Kalau begitu, istirahatlah. Jangan biarkan emosimu menguras tenagamu.” Anya menarik napas dalam-dalam. “Aku tidak akan tinggal diam, Bu. Aku harus mendapatkan Kenzo kembali. Aku tidak peduli bagaimana caranya.” Sarah menatap putrinya dengan penuh keyakinan. “Mama tahu kau kuat, Anya. Tapi hati-hati. Evan bukan musuh yang mudah dikalahkan, terutama jika Saraswati masih ada di belakan
Bab 85 – Hujan Luka di Senja Hari Sore itu, langit tampak kelabu. Angin bertiup lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan gerimis yang baru saja reda. Anya berdiri di teras rumah, menyapu dedaunan yang berguguran. Pikirannya masih dipenuhi kegelisahan tentang Kenzo. Namun, belum sempat ia menenangkan diri, suara langkah kaki terdengar mendekat. Anya mengangkat kepala dan melihat dua wanita berdiri di depan gerbang rumahnya. Seorang wanita paruh baya dengan tatapan tajam dan seorang wanita muda yang cantik, tapi dengan ekspresi angkuh. Anya mengernyit. Ia tahu siapa wanita paruh baya itu—Mira, ibu Nathan. Tapi siapa wanita yang bersamanya? Dengan sopan, Anya tersenyum tipis. “Selamat sore, Tante Mira. Ada yang bisa saya bantu?” Mira melangkah masuk tanpa permisi, wajahnya penuh kemarahan. “Kau pasti tahu kenapa aku datang ke sini!” Anya menegakkan tubuhnya, berusaha tetap tenang. “Maaf, saya tidak mengerti maksud Tante.” Mira melipat tangan di dada, ekspresinya semaki
Bab 86 – Luka yang TertinggalSarah menatap putrinya yang masih terisak dalam pelukannya. Hatinya teriris melihat Anya menangis seperti ini, terutama setelah kejadian sore tadi. Ia tahu sesuatu telah terjadi, dan ia tak akan membiarkan putrinya menanggung semuanya sendirian. “Nak, tenangkan dirimu dulu,” ucap Sarah lembut sambil mengusap punggung Anya. Anya menarik napas dalam-dalam, berusaha menghentikan tangisnya. Namun, luka di hatinya terlalu dalam. Ia merasa dunia terus memberinya pukulan tanpa henti. “Apa yang sebenarnya terjadi, Nak?” tanya Sarah penuh keprihatinan. “Kenapa kau terlihat begitu hancur?” Anya menghapus air matanya dengan cepat. Ia tak ingin ibunya ikut cemas. Namun, beban di hatinya terlalu berat untuk ia simpan sendiri. “Tadi sore… Mamanya Nathan datang ke rumah,” Anya berusaha menenangkan suaranya. Sarah mengerutkan kening. “Mira?” Anya mengangguk lemah. “Dia tidak datang sendirian, Ma. Dia datang bersama seorang wanita… Citra. Dia bilang dia tuna
Bab 87 – Malam yang Tak TerdugaTangan Anya sedikit gemetar saat meraih gagang pintu. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya membukanya. Namun, dugaan Anya dan Sarah salah besar. Bukan Nathan yang berdiri di sana. Melainkan. 'Evan'Pria itu berdiri dengan wajah kusut dan mata yang terlihat redup, seolah menyimpan seribu kepedihan. Ada aroma alkohol samar yang tercium, membuat Anya langsung mengernyit. "Evan?" tanyanya, terkejut. "Kau... sedang mabuk?"Evan menggeleng, tetapi keseimbangannya sedikit goyah. "Aku sadar, Anya... Aku datang karena aku ingin bicara denganmu." Anya menatap pria itu dengan kesal. "Ini sudah malam. Apa yang kau lakukan di sini?"Evan menarik napas panjang, lalu menatap Anya dengan serius. "Aku ingin kau kembali bekerja di perusahaan. Dan lebih dari itu... Aku ingin kau menikah denganku, Anya."Anya membelalakkan mata, hatinya seakan berhenti berdetak sejenak. "Apa?!""Aku ingin kita menikah secara siri," lanjut Evan. "Aku
Bab 88 – Cinta yang Diuji Anya menutup pintu dengan kasar, seolah ingin menutup semua kenangan yang kembali berputar di kepalanya. Tapi bagaimana pun juga, suara Evan yang terus memanggil namanya masih bergema di benaknya. Sarah menatap putrinya dengan napas berat. "Apa kau benar-benar yakin dengan keputusanmu, Nak?" Anya menghela napas panjang, berusaha mengontrol emosinya. "Ibu, aku sudah cukup menderita karena Evan. Aku tidak mau jatuh ke lubang yang sama lagi." Sarah mengangguk pelan, tapi raut wajahnya tetap terlihat khawatir. "Aku hanya tidak ingin kau menyesal nanti, Anya. Karena dari cara Evan memandangmu tadi, aku bisa melihat bahwa dia benar-benar menginginkan kesempatan kedua." Anya tersenyum pahit. "Tapi kesempatan itu sudah hilang, Bu." Sementara itu, di luar rumah, Evan masih berdiri dengan tubuh yang kedinginan. Ia mengeratkan jaketnya yang sudah basah, menatap pintu rumah Anya dengan tatapan penuh tekad. **---** Keesokan harinya, kabar tentang Eva
Bab 89 – Luka di Antara KitaDi rumah mewah milik Evan, Kenzo duduk di ruang keluarga dengan wajah murung. Tangannya memainkan mobil-mobilan kecil di atas meja, tetapi hatinya tidak berada di sana. Bocah kecil itu mendongak ke arah neneknya, Saraswati, yang sedang duduk di sofa sambil menikmati secangkir teh. "Nek," suara kecilnya memecah keheningan. Saraswati menoleh dengan senyum lembut. "Ada apa, sayang?" Kenzo menggigit bibirnya ragu-ragu, lalu akhirnya mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. "Kapan aku bisa bertemu Mama? Aku sangat rindu Mama, Nek." Senyum di wajah Saraswati sedikit memudar, tapi ia segera menguasai dirinya. "Mama Anya sedang di luar kota, sayang. Dia sudah menghubungi kami, tapi katanya dia sibuk dan tidak bisa bertemu denganmu sekarang." Kenzo mengerutkan kening. "Benarkah?" Saraswati mengangguk mantap. "Ya, Nenek tidak mungkin berbohong padamu. Mama Anya bilang dia punya banyak urusan dan belum sempat menemui Kenzo. Kasihan ya, Nak." Mata Kenzo
Bab 90 – Perang Hak AsuhDi ruang makan rumah Evan, suasana tampak tegang. Saraswati duduk dengan anggun di kursinya, menyesap teh dengan ekspresi penuh perhitungan. Evan, yang duduk di seberangnya, terlihat lelah dan frustasi. Ia baru saja pulang dari kantor dan ingin istirahat, tetapi ibunya tiba-tiba memulai pembicaraan yang membuatnya semakin terbebani. “Kau sungguh bodoh, Evan,” suara Saraswati terdengar tajam. Evan menghela napas, meletakkan sendok di atas piring. “Apa lagi kali ini, Ma?” “Kau bilang tidak akan memperjuangkan hak asuh Kenzo. Kau benar-benar ingin menyerahkan anakmu begitu saja pada Anya?” Saraswati menatapnya dengan tatapan penuh ketidakpercayaan. Evan memijit pelipisnya. “Ma, sejak awal aku tidak ingin memperpanjang perkara ini. Kalau Anya ingin mengambil hak asuh Kenzo, biarkan saja. Itu memang haknya sebagai ibu.” Saraswati langsung menaruh cangkir tehnya dengan kasar di meja. “Kau benar-benar tidak berpikir panjang, Evan! Jangan jadi pria bodoh!”
Bab 91 – Malam yang Penuh PenyesalanLangit malam tampak kelam, seolah ikut merasakan kehampaan di hati Anya. Ia berjalan tanpa arah di trotoar kota, membiarkan angin dingin menerpa wajahnya yang basah oleh air mata. Hidupnya terasa seperti kapal yang kehilangan arah, hanyut dalam ombak keputusasaan. Anya tidak punya siapa-siapa lagi. Ia kehilangan pekerjaan, kehilangan hak asuh Kenzo, dan bahkan kehilangan sahabatnya. Semua terasa begitu gelap dan tak ada cahaya harapan di ujungnya. Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke depan sebuah klub malam. Lampu neon berkelap-kelip, musik menggelegar dari dalam, dan suara tawa orang-orang mabuk terdengar di sekitarnya. Tanpa berpikir panjang, Anya melangkah masuk. Di dalam klub, suasana begitu ramai dan bising. Anya berjalan menuju bar dan tanpa ragu memesan minuman keras. Ia ingin melupakan segalanya—rasa sakit, kehilangan, dan terutama Evan. Satu gelas... dua gelas... tiga gelas... Namun, bukannya menghilang, rasa sakit itu justru se
Bab 115Pagi itu, suasana di rumah Nathan masih terasa panas setelah keributan dengan mama Nathan. Anya memilih diam, menahan semua rasa sakit dan kehinaan yang terus dilemparkan padanya. Ia tahu, tidak ada gunanya berdebat dengan wanita yang dari awal tak pernah menerimanya dan Kenzo.Nathan sudah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, wajahnya masih terlihat lelah dan kusut setelah pertengkaran tadi. Namun begitu menatap Anya yang duduk memeluk Kenzo di sofa ruang tamu, Nathan menghampirinya.“Sayang…” Nathan memanggil lembut.Anya menoleh, memaksakan senyum tipis. "Iya?"Nathan jongkok di hadapan Anya, meraih tangannya. “Aku harus pergi kerja sekarang. Aku tinggal kamu dengan Kenzo di sini, apa tidak apa, sayang? Dan tolong... jangan tanggapi apapun yang Mama katakan. Aku nggak mau kamu makin terluka.”Anya mengangguk pelan. "Aku ngerti, Nathan..."Namun sebelum Nathan benar-benar berdiri, Anya mengeratkan genggaman tangannya. "Na
Bab 114Malam mulai larut. Di kamar yang cukup luas namun terasa asing, Anya duduk di sisi ranjang dengan tubuh kaku. Kenzo sudah tertidur di kamar sebelah setelah Nathan menidurkannya dengan penuh kasih sayang. Nathan kembali ke kamar dan menutup pintu perlahan. Lampu kamar redup. Anya tahu, malam ini mereka resmi menjadi suami istri — setidaknya di mata hukum dan masyarakat. Tapi hatinya belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan itu.Nathan duduk di sebelah Anya, lalu memegang tangan istrinya yang dingin. “Kamu kelihatan tegang, Anya.”Anya menoleh pelan dan tersenyum tipis. “Maaf, aku cuma... belum terbiasa.”Nathan mengangguk mengerti. “Aku ngerti kok. Kamu nggak perlu memaksakan diri.”Anya menghela napas. “Aku tahu kamu suamiku sekarang, dan aku juga tahu aku harus jadi istri yang baik. Tapi... untuk yang satu itu, aku belum siap, Nathan. Bukan karena aku nggak percaya kamu, tapi... hatiku belum sepenuhnya pulih.”Nathan memandang wajah Anya dengan tenang. Ia mengusap pipi wanita
Bab 113Evan pulang sebagai sosok yang kalah perang, sampai ia lesu dan tidak begitu bersemangat. sampai Chintya yang sedang bermain dengan ponselnya berdiri dan menghampiri Evan yang sedang membuka jas kerjanya. "Kamu kenapa, Evan? Apa terjadi sesuatu lagi pada mama?"Mata Evan langsung tidak suka dengan ucapan Chintya, yang seperti ingin terjadi sesuatu pada Saraswati, mamanya Evan. "Lah, kamu kok natap aku kayak gitu, Evan? Aku kan hanya sedang bertanya. Apa terjadi sesuatu lagi dengan mamamu, Evan?" Chintya mengulangi ucapannya, membuat Evan menepis badan Chintya dari hadapannya. Evan seperti malas melakukan perdebatan dengan Chintya, karena itu hanya akan menambah masalahnya saja. Alhasil Evan memutuskan untuk mengacuhkan Chintya. Sekalipun Evan tidak suka dengan ucapan Chintya. "Evan, Evan. Kamu kenapa sih?"Chintya mengejar Evan sampai ke dalam kamar. "Van, kamu kenapa?"Dengan bola mata melotot Evan berkata, "Bukan urusanmu!"Chintya jadi kesal, sebab Evan tidak menghargai
Bab 112Pagi itu, matahari seakan enggan bersinar. Langit mendung, seolah ikut merasakan beban di hati Evan. Dengan langkah berat, ia turun dari mobil yang diparkir di depan sebuah gedung megah — tempat pernikahan Anya dan Nathan digelar. Suasana di luar tampak meriah, karangan bunga berjejer, para tamu berdatangan dengan wajah bahagia. Tapi semua itu seperti kabut abu-abu bagi Evan.Roy yang berdiri di sampingnya melirik cemas. “Lo yakin mau masuk, Van?”Evan mengangguk pelan. “Gue harus lihat sendiri… harus pastiin kalau ini bukan kemauan dia.”Mereka melangkah masuk ke dalam gedung. Iringan musik pelaminan terdengar sendu di telinga Evan, seperti menertawakan luka di hatinya. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan di sanalah Anya.Berdiri di pelaminan, mengenakan kebaya putih yang indah… tapi wajahnya pucat, tatapannya kosong. Senyum yang seharusnya merekah di hari bahagia itu justru dipaksakan. Di sampingnya, Nathan tampak begitu perca
Bab 111 Angin malam yang berembus dari celah jendela rumah sakit membawa aroma antiseptik yang menyengat. Lampu-lampu redup di koridor membuat suasana semakin mencekam. Evan berdiri di depan ruangan ICU, menatap kosong ke arah ibunya yang terbaring lemah di balik kaca bening. Tubuh Saraswati dikelilingi alat medis, suara detak monitor jantung terdengar stabil, tapi wajah wanita itu tampak pucat, jauh dari sosok kuat dan angkuh yang selama ini ia kenal. Evan menghela napas berat. Setiap embusan napasnya terasa seperti beban, seolah ada batu besar yang menindih dadanya. Pikirannya kusut. Anya. Mamanya. Chintya. Reza. Nama-nama itu berputar dalam kepalanya bagai badai, memporak-porandakan ketenangannya yang tinggal serpihan. Roy duduk di kursi tunggu, memperhatikan Evan yang seperti kehilangan arah. "Van," panggilnya pelan, "kamu harus kuat, bro. Kita belum selesai di sini." Evan menoleh, mata merahnya menyiratkan kemarahan yang ditahan. "Gue gak habis pikir, Roy. Kenapa hidup gue kay
Bab 110"Saat-saat seperti ini kamu masih memikirkan wanita itu, Evan?'Saraswati yang mengalami stroke ringan menatap kasar ke Evan, dengan ucapannya yang juga terbata-bata dan tidak sejelas kemarin. "Ma, apa salah Anya? Kenapa kamu begitu membencinya, Ma."Saraswati ingin mengatakan kalau Anya tidak sepadan dengan keluarga mereka, tapi entah kenapa rasa sakit yang ia rasa semakin parah. Sampai ia merintih kesakitan, dan melihat hal itu Evan segera berlari untuk memanggil dokter. "Ma, Mama kenapa, Ma?" tanya Evan yang merasa kuatir, dilanjutkan dengan Evan yang berteriak memanggil sang dokter. "Dokter, tolong mama ku, Dok!"Seorang dokter berlari, disusul dengan kedatangan Roy yang tadi permisi keluar. "Ada apa ini, Evan? Apa yang terjadi pada Tante?""Aku dan mama tadi sempat selisih paham, Roy. Dan sekarang Mama kejang-kejang. Aku takut mama kenapa-kenapa, Roy.""Kenapa kamu lakukan itu, Evan? Kamu tahu kalau mamamu dalam keadaan kritis. Kamu malah membebani nya dengan pikiran E
Bab 109. Darah yang Sama, Luka yang SamaSaraswati masih terisak, air matanya mengalir deras. Evan memegang tangan ibunya erat-erat, dadanya sesak menunggu jawaban. Ruangan rumah sakit itu terasa lebih pengap dari biasanya. Hujan di luar belum juga reda, seolah ikut menangisi semua luka yang terbongkar malam itu.“Ma… katakan… apa benar?” suara Evan bergetar, matanya merah.Saraswati mencoba berbicara, namun suaranya masih lemah. “Maafkan Mama… Nak…”Roy berdiri di sisi Evan, ikut menahan emosi. “Bu Saraswati… kami butuh kejelasan.”Saraswati menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan tenaga. “Iya, Evan… Reza… dia ayah kandungmu.”Deg.Kalimat itu seakan menjatuhkan bom di hati Evan. Tangannya gemetar, seolah tidak mampu menopang beban rahasia itu.“Kenapa… Ma? Kenapa selama ini Mama bohong sama aku?”Saraswati menatap Evan dengan tatapan sayu. “Mama… terpaksa, Nak… saat itu Mama nggak punya pilihan. Mama hamil kamu… tapi Rendra… suami Mama, nggak tahu. Waktu itu Reza… dia kasar, di
Bab 108. Kamu anakku, Evan Beberapa hari berlalu, Saraswati masih belum sadarkan diri. Evan hampir tak pernah beranjak dari samping ranjang ibunya. Wajahnya kusut, matanya merah karena kurang tidur. Roy masih setia menemani, meski suasana di antara mereka sering diwarnai diam. Suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota, seorang perawat datang menghampiri Evan. “Maaf, Pak Evan… ada seorang pria yang ingin bertemu. Katanya penting.” Evan mengernyit. “Siapa?” “Beliau menolak menyebutkan nama… tapi memaksa, katanya ini soal masa lalu Ibu Saraswati.” Evan saling pandang dengan Roy. “Suruh masuk.” Tak lama, seorang pria berusia sekitar 50-an dengan wajah asing, mata tajam, dan senyum licik masuk ke ruangan. Tubuhnya tegap, meski keriput sudah mulai terlihat di wajahnya. “Evan… akhirnya kita ketemu juga.” “Siapa lo?” bentak Evan, langsung berdiri. Pria itu menoleh sebentar ke Saraswati yang terbaring lemah. “Aku... orang yang pernah sangat dekat sama ibumu. Bahkan… lebih dari yan
Bab 107 Di rumah Evan, suasana begitu mencekam. Saraswati baru saja tiba dari perjalanan singkatnya, wajahnya masih penuh amarah dan kecewa. Evan yang sejak tadi duduk di ruang tamu langsung berdiri saat melihat ibunya datang. "Mama... kenapa nggak langsung ke bandara? Kan besok malam Mama harus berangkat!" ujar Evan, berusaha menahan nada suaranya. Saraswati menatap Evan dengan sorot tajam. "Kamu pikir Mama ini pengecut kayak yang kamu kira? Mama nggak akan pergi dari sini cuma karena kamu takut sama Nathan atau Anya itu!" Evan mengepalkan tangannya. "Mama, ini demi keselamatan Mama! Situasi sekarang kacau! Dan Mama harus tahu diri, selama ini Mama sudah hancurin hidup orang, bahkan nyakitin Anya!" "Anya! Anya! Anya! Dari dulu yang kamu bela cuma perempuan itu! Kamu lupa siapa yang besarin kamu, Evan?! Kamu tega ngomong kayak gitu ke Mama kamu sendiri?!" bentak Saraswati, suaranya meninggi. "Karena Mama keterlaluan! Mama maksa Nathan buat jauhin Anya, bikin dia tersiksa… M