Bab 90 – Perang Hak AsuhDi ruang makan rumah Evan, suasana tampak tegang. Saraswati duduk dengan anggun di kursinya, menyesap teh dengan ekspresi penuh perhitungan. Evan, yang duduk di seberangnya, terlihat lelah dan frustasi. Ia baru saja pulang dari kantor dan ingin istirahat, tetapi ibunya tiba-tiba memulai pembicaraan yang membuatnya semakin terbebani. “Kau sungguh bodoh, Evan,” suara Saraswati terdengar tajam. Evan menghela napas, meletakkan sendok di atas piring. “Apa lagi kali ini, Ma?” “Kau bilang tidak akan memperjuangkan hak asuh Kenzo. Kau benar-benar ingin menyerahkan anakmu begitu saja pada Anya?” Saraswati menatapnya dengan tatapan penuh ketidakpercayaan. Evan memijit pelipisnya. “Ma, sejak awal aku tidak ingin memperpanjang perkara ini. Kalau Anya ingin mengambil hak asuh Kenzo, biarkan saja. Itu memang haknya sebagai ibu.” Saraswati langsung menaruh cangkir tehnya dengan kasar di meja. “Kau benar-benar tidak berpikir panjang, Evan! Jangan jadi pria bodoh!”
Bab 91 – Malam yang Penuh PenyesalanLangit malam tampak kelam, seolah ikut merasakan kehampaan di hati Anya. Ia berjalan tanpa arah di trotoar kota, membiarkan angin dingin menerpa wajahnya yang basah oleh air mata. Hidupnya terasa seperti kapal yang kehilangan arah, hanyut dalam ombak keputusasaan. Anya tidak punya siapa-siapa lagi. Ia kehilangan pekerjaan, kehilangan hak asuh Kenzo, dan bahkan kehilangan sahabatnya. Semua terasa begitu gelap dan tak ada cahaya harapan di ujungnya. Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke depan sebuah klub malam. Lampu neon berkelap-kelip, musik menggelegar dari dalam, dan suara tawa orang-orang mabuk terdengar di sekitarnya. Tanpa berpikir panjang, Anya melangkah masuk. Di dalam klub, suasana begitu ramai dan bising. Anya berjalan menuju bar dan tanpa ragu memesan minuman keras. Ia ingin melupakan segalanya—rasa sakit, kehilangan, dan terutama Evan. Satu gelas... dua gelas... tiga gelas... Namun, bukannya menghilang, rasa sakit itu justru se
Bab 92 – Kecurigaan Chintya dan Amarah yang Memuncak.Pagi masih terasa dingin ketika Evan melangkah masuk ke rumah. Wajahnya tampak letih, pikirannya masih dipenuhi kejadian semalam—Anya yang marah, Nathan yang nyaris menghajarnya, dan perasaan bersalah yang semakin menekan dadanya. Namun, sebelum sempat menghela napas lega, suara Chintya yang tajam menyambutnya. "Dari mana saja kamu semalaman?" Evan menoleh dan menemukan Chintya berdiri di depan pintu ruang tamu dengan tangan bersedekap. Matanya menatap tajam, penuh dengan kemarahan yang ditahan. "Aku…" Evan berusaha mencari alasan yang masuk akal, tetapi kepalanya masih terlalu lelah untuk berpikir jernih. Chintya melangkah mendekat, ekspresinya semakin tegang. "Kamu pikir aku bodoh, Evan? Aku menunggumu semalaman, menghubungimu berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Lalu tiba-tiba kamu pulang pagi dengan wajah seperti itu?" Evan mengusap wajahnya. "Chintya, aku tidak ingin bertengkar sekarang." "Oh, kamu pikir aku akan
Bab 93 – Pertemuan yang MenyakitkanEvan duduk di dalam mobil dengan jantung berdegup kencang. Ia menatap layar ponselnya sekali lagi, memastikan bahwa pesan dari Anya memang benar-benar ada. Ia masih tidak percaya bahwa Anya ingin bertemu dengannya. Rasa bahagia mengalir di hatinya, seolah-olah ada harapan baru yang muncul. Mungkinkah Anya sudah memaafkannya? Apakah ini kesempatan baginya untuk memperbaiki semuanya?Dengan semangat yang sedikit berlebihan, Evan menghidupkan mesin mobil dan segera menuju kafe tempat mereka berjanji bertemu. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus membayangkan bagaimana pertemuan ini akan berjalan. Ia membayangkan Anya tersenyum padanya, mengatakan bahwa semua sudah berakhir dan mereka bisa kembali seperti dulu.Namun, begitu ia tiba di kafe dan melihat Anya turun dari mobil bersama Nathan, hatinya langsung mencelos. Senyumnya yang tadinya mengembang perlahan pudar. Evan mengepalkan tangannya di atas meja saat melihat bagaimana Nathan dengan santainya m
Bab 94 – Luka yang Belum Sembuh Nathan menghela napas panjang sambil menggenggam erat tangan Anya. Amarahnya belum reda setelah pertemuan dengan Evan. Matanya masih menyiratkan kemarahan yang tertahan. “Anya, kamu harus melawan. Jangan biarkan Evan memperlakukanmu seperti ini.” Anya terdiam. Kata-kata Nathan menggema di kepalanya, tapi ada perasaan lain yang berkecamuk di hatinya. Hatinya terluka bukan hanya karena Evan merendahkannya, tetapi juga karena ia masih belum bisa sepenuhnya membenci pria itu. “Aku hanya ingin Kenzo kembali padaku, Nathan,” suara Anya bergetar. “Aku tidak peduli dengan Evan, tidak peduli dengan masa lalu, aku hanya ingin anakku.” Nathan mengepalkan tangannya. “Kalau begitu, kita harus melawan. Kalau dia tidak mau mengembalikan Kenzo dengan cara baik-baik, kita akan menggunakan cara lain.” Anya menatap Nathan dengan keraguan. “Maksudmu?” Nathan tersenyum tipis, tapi ada ketegasan di matanya. “Kita bisa membawa masalah ini ke pengadilan, Anya. Kam
Bab 95 – Api yang Kian Membesar Anya masih berdiri di ambang pintu, dadanya naik turun menahan emosi setelah Chintya pergi meninggalkan apartemennya. Pipinya masih terasa panas akibat tamparan tadi, tetapi lebih dari itu, kata-kata Chintya terus terngiang di kepalanya. "Aku peringatkan, Anya! Berhenti berpura-pura menjadi korban! Jangan berani lagi mengganggu rumah tanggaku, atau aku pastikan hidupmu akan lebih menderita!"* Anya mengeratkan genggamannya. Ia tidak akan mundur. Ia tidak akan menyerah. Jika Chintya berpikir ancaman itu bisa menghentikannya, maka dia salah besar. Namun, jauh di dalam hatinya, ada ketakutan yang mulai tumbuh. Chintya bukan hanya wanita biasa—dia istri Evan, seseorang yang memiliki posisi kuat dalam hidupnya. Jika Chintya benar-benar berniat menghancurkannya, ia harus siap menghadapi konsekuensi besar. Saat pikirannya masih kacau, suara ketukan pintu kembali terdengar. Anya menghela napas panjang, berharap itu bukan Chintya yang kembali untuk m
Bab 96 - Cinta yang DiujiNathan yang baru sampai rumah langsung menatap ibunya dengan mata yang penuh kemarahan. Hatinya terasa seperti terbakar oleh kata-kata Bu Rina yang seolah-olah menganggap Anya sebagai sampah yang tidak pantas berada dalam hidupnya.'Kamu dari mana saja, Nathan? Tadi Citra menunggumu cukup lama disini, Nathan," ujar Bu Rina tiba-tiba, tapi Nathan memilih untuk tidak menanggapinya. Ia justru berjalan berlalu menuju arah kamarnya membuat Bu Rina kebingungan dengan apa yang terjadi pada anaknya Nathan. "Nathan, kamu kenapa sih? Nathan," panggil Bu Rina. Karena tidak ada jawaban, membuat Bu Rina justru berjalan menghentikan langkah Nathan dan tiba-tiba membalikkan badan Nathan menatap ke arahnya. "Nathan, kamu berani mengabaikan ibu?" pertanyaan itu membuat Nathan tidak tahan lagi, sampai akhirnya Nathan berkata, "Bu, sebenarnya apa yang Ibu mau?" tanya Nathan dengan suara bergetar menahan emosi.Bu Rina menghela napas panjang, lalu menatap putranya dengan taja
BabKeesokan paginya, Anya bangun dengan semangat yang sedikit berbeda dari biasanya. Setelah perbincangan panjang dengan ibunya, ia memutuskan untuk bertemu dengan sahabatnya, Dewi, guna mencari pekerjaan. Ia tahu bahwa jika ingin merebut kembali hak asuh Kenzo, ia harus bekerja keras dan menyisihkan uang untuk menyewa pengacara terbaik. Ini bukan perkara mudah, tetapi Anya siap menghadapi segala rintangan.Dengan langkah mantap, Anya menemui Dewi di sebuah kafe kecil tempat mereka biasa bertemu. Begitu melihat Anya datang, Dewi langsung melambaikan tangan dan tersenyum lebar. "Anya! Duduk sini, aku sudah pesan kopi untukmu."Anya duduk dan menarik napas dalam. "Terima kasih, Dewi. Aku benar-benar butuh bantuanmu. Aku harus segera mendapatkan pekerjaan. Aku ingin menyewa pengacara dan merebut kembali Kenzo."Dewi menatap sahabatnya dengan penuh simpati. "Aku mengerti, Anya. Kebetulan di tempatku bekerja sedang membuka lowongan. Kamu bisa melamar di sana. Gajinya lumayan dan kamu bisa
Bab 114Malam mulai larut. Di kamar yang cukup luas namun terasa asing, Anya duduk di sisi ranjang dengan tubuh kaku. Kenzo sudah tertidur di kamar sebelah setelah Nathan menidurkannya dengan penuh kasih sayang. Nathan kembali ke kamar dan menutup pintu perlahan. Lampu kamar redup. Anya tahu, malam ini mereka resmi menjadi suami istri — setidaknya di mata hukum dan masyarakat. Tapi hatinya belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan itu.Nathan duduk di sebelah Anya, lalu memegang tangan istrinya yang dingin. “Kamu kelihatan tegang, Anya.”Anya menoleh pelan dan tersenyum tipis. “Maaf, aku cuma... belum terbiasa.”Nathan mengangguk mengerti. “Aku ngerti kok. Kamu nggak perlu memaksakan diri.”Anya menghela napas. “Aku tahu kamu suamiku sekarang, dan aku juga tahu aku harus jadi istri yang baik. Tapi... untuk yang satu itu, aku belum siap, Nathan. Bukan karena aku nggak percaya kamu, tapi... hatiku belum sepenuhnya pulih.”Nathan memandang wajah Anya dengan tenang. Ia mengusap pipi wanita
Bab 113Evan pulang sebagai sosok yang kalah perang, sampai ia lesu dan tidak begitu bersemangat. sampai Chintya yang sedang bermain dengan ponselnya berdiri dan menghampiri Evan yang sedang membuka jas kerjanya. "Kamu kenapa, Evan? Apa terjadi sesuatu lagi pada mama?"Mata Evan langsung tidak suka dengan ucapan Chintya, yang seperti ingin terjadi sesuatu pada Saraswati, mamanya Evan. "Lah, kamu kok natap aku kayak gitu, Evan? Aku kan hanya sedang bertanya. Apa terjadi sesuatu lagi dengan mamamu, Evan?" Chintya mengulangi ucapannya, membuat Evan menepis badan Chintya dari hadapannya. Evan seperti malas melakukan perdebatan dengan Chintya, karena itu hanya akan menambah masalahnya saja. Alhasil Evan memutuskan untuk mengacuhkan Chintya. Sekalipun Evan tidak suka dengan ucapan Chintya. "Evan, Evan. Kamu kenapa sih?"Chintya mengejar Evan sampai ke dalam kamar. "Van, kamu kenapa?"Dengan bola mata melotot Evan berkata, "Bukan urusanmu!"Chintya jadi kesal, sebab Evan tidak menghargai
Bab 112Pagi itu, matahari seakan enggan bersinar. Langit mendung, seolah ikut merasakan beban di hati Evan. Dengan langkah berat, ia turun dari mobil yang diparkir di depan sebuah gedung megah — tempat pernikahan Anya dan Nathan digelar. Suasana di luar tampak meriah, karangan bunga berjejer, para tamu berdatangan dengan wajah bahagia. Tapi semua itu seperti kabut abu-abu bagi Evan.Roy yang berdiri di sampingnya melirik cemas. “Lo yakin mau masuk, Van?”Evan mengangguk pelan. “Gue harus lihat sendiri… harus pastiin kalau ini bukan kemauan dia.”Mereka melangkah masuk ke dalam gedung. Iringan musik pelaminan terdengar sendu di telinga Evan, seperti menertawakan luka di hatinya. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan di sanalah Anya.Berdiri di pelaminan, mengenakan kebaya putih yang indah… tapi wajahnya pucat, tatapannya kosong. Senyum yang seharusnya merekah di hari bahagia itu justru dipaksakan. Di sampingnya, Nathan tampak begitu perca
Bab 111 Angin malam yang berembus dari celah jendela rumah sakit membawa aroma antiseptik yang menyengat. Lampu-lampu redup di koridor membuat suasana semakin mencekam. Evan berdiri di depan ruangan ICU, menatap kosong ke arah ibunya yang terbaring lemah di balik kaca bening. Tubuh Saraswati dikelilingi alat medis, suara detak monitor jantung terdengar stabil, tapi wajah wanita itu tampak pucat, jauh dari sosok kuat dan angkuh yang selama ini ia kenal. Evan menghela napas berat. Setiap embusan napasnya terasa seperti beban, seolah ada batu besar yang menindih dadanya. Pikirannya kusut. Anya. Mamanya. Chintya. Reza. Nama-nama itu berputar dalam kepalanya bagai badai, memporak-porandakan ketenangannya yang tinggal serpihan. Roy duduk di kursi tunggu, memperhatikan Evan yang seperti kehilangan arah. "Van," panggilnya pelan, "kamu harus kuat, bro. Kita belum selesai di sini." Evan menoleh, mata merahnya menyiratkan kemarahan yang ditahan. "Gue gak habis pikir, Roy. Kenapa hidup gue kay
Bab 110"Saat-saat seperti ini kamu masih memikirkan wanita itu, Evan?'Saraswati yang mengalami stroke ringan menatap kasar ke Evan, dengan ucapannya yang juga terbata-bata dan tidak sejelas kemarin. "Ma, apa salah Anya? Kenapa kamu begitu membencinya, Ma."Saraswati ingin mengatakan kalau Anya tidak sepadan dengan keluarga mereka, tapi entah kenapa rasa sakit yang ia rasa semakin parah. Sampai ia merintih kesakitan, dan melihat hal itu Evan segera berlari untuk memanggil dokter. "Ma, Mama kenapa, Ma?" tanya Evan yang merasa kuatir, dilanjutkan dengan Evan yang berteriak memanggil sang dokter. "Dokter, tolong mama ku, Dok!"Seorang dokter berlari, disusul dengan kedatangan Roy yang tadi permisi keluar. "Ada apa ini, Evan? Apa yang terjadi pada Tante?""Aku dan mama tadi sempat selisih paham, Roy. Dan sekarang Mama kejang-kejang. Aku takut mama kenapa-kenapa, Roy.""Kenapa kamu lakukan itu, Evan? Kamu tahu kalau mamamu dalam keadaan kritis. Kamu malah membebani nya dengan pikiran E
Bab 109. Darah yang Sama, Luka yang SamaSaraswati masih terisak, air matanya mengalir deras. Evan memegang tangan ibunya erat-erat, dadanya sesak menunggu jawaban. Ruangan rumah sakit itu terasa lebih pengap dari biasanya. Hujan di luar belum juga reda, seolah ikut menangisi semua luka yang terbongkar malam itu.“Ma… katakan… apa benar?” suara Evan bergetar, matanya merah.Saraswati mencoba berbicara, namun suaranya masih lemah. “Maafkan Mama… Nak…”Roy berdiri di sisi Evan, ikut menahan emosi. “Bu Saraswati… kami butuh kejelasan.”Saraswati menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan tenaga. “Iya, Evan… Reza… dia ayah kandungmu.”Deg.Kalimat itu seakan menjatuhkan bom di hati Evan. Tangannya gemetar, seolah tidak mampu menopang beban rahasia itu.“Kenapa… Ma? Kenapa selama ini Mama bohong sama aku?”Saraswati menatap Evan dengan tatapan sayu. “Mama… terpaksa, Nak… saat itu Mama nggak punya pilihan. Mama hamil kamu… tapi Rendra… suami Mama, nggak tahu. Waktu itu Reza… dia kasar, di
Bab 108. Kamu anakku, Evan Beberapa hari berlalu, Saraswati masih belum sadarkan diri. Evan hampir tak pernah beranjak dari samping ranjang ibunya. Wajahnya kusut, matanya merah karena kurang tidur. Roy masih setia menemani, meski suasana di antara mereka sering diwarnai diam. Suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota, seorang perawat datang menghampiri Evan. “Maaf, Pak Evan… ada seorang pria yang ingin bertemu. Katanya penting.” Evan mengernyit. “Siapa?” “Beliau menolak menyebutkan nama… tapi memaksa, katanya ini soal masa lalu Ibu Saraswati.” Evan saling pandang dengan Roy. “Suruh masuk.” Tak lama, seorang pria berusia sekitar 50-an dengan wajah asing, mata tajam, dan senyum licik masuk ke ruangan. Tubuhnya tegap, meski keriput sudah mulai terlihat di wajahnya. “Evan… akhirnya kita ketemu juga.” “Siapa lo?” bentak Evan, langsung berdiri. Pria itu menoleh sebentar ke Saraswati yang terbaring lemah. “Aku... orang yang pernah sangat dekat sama ibumu. Bahkan… lebih dari yan
Bab 107 Di rumah Evan, suasana begitu mencekam. Saraswati baru saja tiba dari perjalanan singkatnya, wajahnya masih penuh amarah dan kecewa. Evan yang sejak tadi duduk di ruang tamu langsung berdiri saat melihat ibunya datang. "Mama... kenapa nggak langsung ke bandara? Kan besok malam Mama harus berangkat!" ujar Evan, berusaha menahan nada suaranya. Saraswati menatap Evan dengan sorot tajam. "Kamu pikir Mama ini pengecut kayak yang kamu kira? Mama nggak akan pergi dari sini cuma karena kamu takut sama Nathan atau Anya itu!" Evan mengepalkan tangannya. "Mama, ini demi keselamatan Mama! Situasi sekarang kacau! Dan Mama harus tahu diri, selama ini Mama sudah hancurin hidup orang, bahkan nyakitin Anya!" "Anya! Anya! Anya! Dari dulu yang kamu bela cuma perempuan itu! Kamu lupa siapa yang besarin kamu, Evan?! Kamu tega ngomong kayak gitu ke Mama kamu sendiri?!" bentak Saraswati, suaranya meninggi. "Karena Mama keterlaluan! Mama maksa Nathan buat jauhin Anya, bikin dia tersiksa… M
Bab 106Di ruang tamu yang sepi, Roy duduk berhadapan dengan Evan. Keduanya sama-sama tegang, menyimpan beban masing-masing.“Bos,” ucap Roy pelan. “Gue tahu situasinya kacau… tapi gue punya saran.”Evan menoleh, matanya sayu tapi penuh waspada. “Apa?”Roy menarik napas. “Kirim Mama lo ke luar negeri, Van. Jauh, sementara waktu. Biar aman. Daripada dia ditahan di sini atau diserang orang. Lagian… lo juga gak bakal tega liat dia di balik jeruji, kan?”Evan terdiam. Wajahnya keras, tapi hatinya runtuh. Roy benar. Walau bagaimanapun, Saraswati tetap ibunya.“Tapi Anya… dia udah terlalu terluka, Roy. Gue gak mau Anya tahu… kalau gue malah lindungi Mama.”Roy mengangguk. “Justru itu. Lo harus pinter jaga sikap depan Anya. Biar seolah-olah Mama lo pergi karena lo usir… padahal lo selamatin dia.”Evan menghela napas berat. “Susah, Roy… tapi kayaknya itu satu-satunya jalan.”Belum sempat Evan mengambil keputusan, suara mobil berhenti di depan rumah Anya. Nathan keluar dengan langkah cepat d