Bab 36: Api Cemburu ChintyaSetelah malam pertemuan mereka di Kafe Melati, hubungan antara Evan dan Anya mulai memasuki babak baru. Meski awalnya Evan bersikeras menjaga jarak, pekerjaan yang melibatkan keduanya semakin membuat mereka sering bertemu. Proyek baru di perusahaan memberikan alasan yang kuat bagi mereka untuk menghabiskan waktu bersama, meskipun di balik itu semua, Anya memiliki rencana yang jauh lebih berbahaya—menghancurkan rumah tangga Evan dan merebutnya kembali. Chintya, di sisi lain, semakin merasa tersisih. Awalnya ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkan kebersamaan Evan dan Anya, berusaha meyakinkan dirinya bahwa suaminya adalah pria yang setia. Namun, semakin hari, semakin banyak orang di kantor yang mulai berbicara tentang mereka. "Aku lihat tadi Pak Evan keluar makan siang dengan Bu Anya lagi," bisik seorang karyawan saat Chintya kebetulan melewati pantry. Chintya berhenti sejenak, menggigit bibirnya, lalu melanjutkan langkahnya dengan cepat seolah tidak
Bab 37: Kecurigaan Nathan Malam itu, di apartemen mewahnya yang terletak di pusat kota, Anya tengah sibuk membalas email dari Evan ketika suara pintu terbuka. Nathan masuk dengan langkah pelan, matanya menatap tajam ke arah wanita yang tengah duduk di sofa dengan ekspresi serius. Ia memperhatikan bagaimana Anya tampak begitu sibuk dalam beberapa hari terakhir, selalu menghindari percakapan mereka dengan alasan pekerjaan. Nathan berdeham pelan, membuat Anya tersentak sedikit sebelum menoleh ke arahnya. “Kamu kelihatan sibuk sekali akhir-akhir ini,” kata Nathan dengan nada datar, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Anya tersenyum tipis, mencoba terdengar santai. “Ya, proyek di kantor sedang banyak. Bos baru sangat perfeksionis, jadi aku harus kerja ekstra.” Nathan berjalan mendekat, menatapnya lekat-lekat. “Bos baru?” ulangnya pelan. “Evan, maksudnya?” Anya menelan ludah, tetapi ia tetap berusaha tenang. “Iya, memangnya kenapa?” Nathan menyandarka
Bab 38: Luka yang Tak TermaafkanMalam yang sunyi terasa menyesakkan di rumah Anya. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi jendela yang gelap. Di luar, lampu-lampu kota memancarkan cahaya redup yang seakan menggambarkan perasaannya saat ini. Dalam hatinya, ia berbicara pada diri sendiri.“Demi misi balas dendamku, maafkan aku, Nathan. Kamu pria yang baik, tetapi aku tidak bisa menerimamu untuk saat ini," kata-kata itu keluar setelah pertemuannya dengan Nathan beberapa saat yang lalu. dan Nathan sempat mengutarakan perasaannya ke Anya. "Padahal, aku sebenarnya mau denganmu, Nathan. Tapi untuk saat ini aku tidak bisa menerimamu Nathan. Maafkan aku. Mungkin kamu akan sangat kecewa padaku, Nathan," lanjutnya yang masih terbayang wajah Nathan. Anya memejamkan mata, membayangkan semua momen indah bersama Nathan. Senyuman lembutnya, cara Nathan selalu memperhatikannya, bahkan ketika ia sibuk dengan pekerjaannya. Namun, itu semua tidak cukup untuk menghentikannya. Ia sudah membuat pili
Bab 39: Pertemuan yang MenyayatPagi itu, Anya memutuskan untuk keluar dari rumah setelah semalaman tidak bisa tidur. Udara sejuk pagi yang biasanya menenangkannya kini tidak membantu sama sekali. Pikirannya penuh dengan bayangan Nathan dan Evan. Ia memutuskan untuk pergi ke swalayan kecil di dekat rumahnya, berharap mendapatkan sedikit distraksi. Saat memasuki swalayan, langkah Anya terhenti. Matanya langsung menangkap sosok Nathan yang sedang berdiri di depan rak minuman, mengenakan jaket kulit hitam yang biasa ia pakai. Jantung Anya berdegup kencang. Biasanya, Nathan selalu menyapanya lebih dulu, tetapi kali ini tidak. “Nathan?” panggil Anya, mencoba menarik perhatian pria itu. Nathan meliriknya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke botol air mineral yang ada di tangannya. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memasukkan botol itu ke keranjang belanjanya dan berjalan menjauh tanpa menoleh sedikit pun ke arah Anya. “Nathan, tunggu,” kata Anya lagi, mengejarnya. Namun,
Bab 40Ruangan itu terasa sunyi ketika Evan duduk di belakang mejanya, mengamati Roy yang masih berdiri di hadapannya. Dengan ekspresi datar, ia melirik laporan yang baru saja diberikan Roy, lalu meletakkannya begitu saja tanpa membacanya. "Kamu boleh keluar," kata Evan akhirnya. Roy mengangguk dan berbalik menuju pintu. Namun, baru saja ia sampai di ambang pintu, suara Evan kembali terdengar. "Roy, panggil Anya untuk menemuiku sekarang juga." Roy sempat menoleh, sedikit bingung, tetapi ia tetap menjawab, "Baiklah, Pak." Dengan langkah cepat, ia berjalan menuju ruangan Anya. Setibanya di sana, ia mengetuk pintu dan melihat Anya yang tengah sibuk dengan pekerjaannya. "Anya, kamu dipanggil Bos Evan," katanya. Anya mengerutkan kening, tampak bingung. "Ngapain dia manggil aku? Padahal laporannya sudah aku letakkan di atas mejanya." Roy mengangkat bahu. "Mungkin ada yang salah dengan yang kamu buat." Anya menggeleng. "Gak mungkin. Aku sudah memastikan semuanya sebelum men
Bab 41. Evan duduk di tepi ranjang, bersiap untuk tidur ketika Chintya tiba-tiba melontarkan kata-kata yang membuatnya menelan ludah. "Evan, Mama ingin seorang cucu dari kita. Dan aku bilang, bagaimana mungkin aku hamil kalau kamu saja jarang melakukan hubungan intim denganku?" Pikiran Evan langsung buyar. Sejak tadi, kepalanya penuh dengan bayangan Anya. Dan sekarang, Chintya berbicara tentang anak? Evan menoleh perlahan, menatap Chintya dengan ekspresi datar. "Kamu kenapa diam saja, Evan? Aku tidak mau disalahkan dalam hal ini! Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik untukmu, Evan! Sekarang tugasmu untuk memberikan aku keturunan Evan. Apa kamu mendengar ku, Evan?" Evan masih tetap diam. Chintya bisa saja bicara apa pun, tapi bagi Evan, pernikahan mereka hanya formalitas. Dia menikahi Chintya bukan karena cinta, melainkan karena perintah Saraswati, ibunya. Chintya tampaknya semakin kesal karena sikap Evan yang tidak bereaksi. "Terus, kamu mau apa, Chintya?" Evan akhi
Bab 42Rencana jahat Sarawati. Langit sore yang mendung seakan mencerminkan isi hati Chintya yang hancur. Matanya sembab akibat tangisan sepanjang perjalanan pulang ke rumah ibunya, Rita. Saat mobilnya berhenti di depan rumah, ia buru-buru keluar, berlari kecil ke dalam, dan langsung memeluk sang ibu begitu bertemu di ruang tamu. "Ma… aku tidak bisa hamil…" isaknya tertahan di bahu Rita. Rita yang sedang duduk di sofa terkejut dengan pengakuan itu. Dia merasakan tubuh Chintya bergetar dalam pelukannya. "Chintya, apa yang kamu katakan?" Chintya melepaskan pelukannya dan menatap sang ibu dengan mata merah. "Aku baru saja pulang dari dokter kandungan. Aku diperiksa, dan dokter bilang kalau aku tidak akan bisa memiliki anak, Ma… Evan pasti akan menceraikanku…" Rita tercekat. Hatinya remuk mendengar kenyataan itu. "Astaga, Chintya…" Ia menggenggam tangan putrinya erat. "Aku tidak mau berpisah dengan Evan, Ma. Aku mencintainya! Aku tidak peduli jika dia tidak mencintaiku. Aku
Bab 43 . Anya tengah sibuk dengan tumpukan dokumen di hadapannya. Hari ini, Evan menugaskannya untuk menyelesaikan laporan yang cukup penting. Meski sedikit lelah, Anya tetap berusaha fokus. Namun, konsentrasinya buyar ketika ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia melirik layar dan melihat nama ibunya, Sarah, terpampang di sana. Dengan cepat, Anya mengangkat panggilan itu. "Anya... seseorang membawa Kenzo bersamanya! Mama sudah berusaha mencegahnya, tapi Mama tidak berhasil. Bagaimana ini, Anya?" suara ibunya terdengar panik, membuat jantung Anya langsung berdegup kencang. "Apa?! Kenzo dibawa siapa, Ma?" tanya Anya, suaranya bergetar. "Ma... Mama tidak tahu. Orang itu terlihat terburu-buru. Mama sudah mencoba menahan Kenzo, tapi dia tetap membawanya!" Tubuh Anya langsung gemetar. Ia merasakan ketakutan luar biasa. Kenzo, putranya, hilang dibawa seseorang, dan ia tidak tahu siapa orang itu. Pikirannya langsung dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Tanpa berpikir panjang, Anya se
Bab 101Langkah kaki Anya terasa berat saat turun dari mobil Pak Rahmat. Dunia seakan berputar lebih cepat dari biasanya, dan bukan karena ia lelah, tetapi karena jiwanya seperti baru saja dibanting dari tempat tertinggi harapan, lalu jatuh ke jurang yang paling gelap.Anya berdiri di trotoar, menatap gedung tempat ia baru saja kehilangan pekerjaan. Angin sore membelai wajahnya yang terasa panas menahan tangis. Kali ini, ia tidak bisa lagi menahannya. Air mata itu luruh, jatuh satu per satu, menandai luka yang semakin dalam di dalam hatinya.Ia membalikkan badan, menatap langit yang mulai memerah, lalu melangkah pelan. Pikirannya kacau. Dulu ia punya impian untuk kembali berdiri di atas kakinya sendiri, tapi sepertinya Evan tak pernah benar-benar mengizinkan itu terjadi. "Aku benci kamu, Evan. Dan jangan harap aku akan datang ke kamu, Evan. Tidak akan,' lirihnya Anya yang sedang bersedih. Sementara itu, di ruang kerjanya, Evan menatap keluar jendela. Ada rasa puas di wajahnya karena
Bab 7 Laura terisak di atas ranjang dengan kedua tangan masih terborgol. Rasa dingin dari es yang tadi digunakan Zaky mulai menghilang, digantikan dengan tubuh yang lelah dan gemetar. Matanya basah oleh air mata, sementara pikirannya berputar mencari jalan keluar dari neraka ini. Entah sejak kapan, ia akhirnya tertidur karena kelelahan menangis. Dalam tidurnya, wajah ibunya kembali muncul, seperti mencoba meraih dan menenangkannya. "Mama...," bisiknya lirih dalam mimpi. Namun, ketenangan itu hanya sementara. Sebuah suara lirih terdengar dari pintu kamar yang kembali terbuka. Langkah kaki perlahan mendekatinya. Zaky, pria keji yang menculiknya, kini berdiri di samping tempat tidurnya, menatap wajahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kamu cantik... dan kamu akan menjadi milikku," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan setan di tengah kegelapan. Tangan Zaky terulur, mengelus pipi Laura yang masih basah oleh air mata. Sentuhan itu membuat Laura terbangun seketika. Matan
Bab 99..Pagi itu, langit Jakarta sedikit mendung. Tapi tidak ada yang bisa meredam semangat Evan untuk menyelesaikan semua urusannya secepat mungkin. Di pikirannya hanya satu: menemui Anya. Namun sayang, kenyataan tidak selalu sejalan dengan harapan. Meeting penting dengan salah satu calon klien terbesar perusahaan, Pak Alex, memaksa Evan tetap tinggal di kantor. Evan mengenakan jas biru tua dengan dasi perak yang rapi. Wajahnya tampak tenang, tapi pikirannya kusut. Ia masuk ke ruang meeting besar di lantai sembilan, tempat semua petinggi perusahaan akan berkumpul. Roy sudah ada di sana, duduk di ujung meja dan sibuk dengan laptop serta berkas-berkas presentasi.Roy bangkit dan menghampiri Evan begitu pria itu duduk. “Kalau menurut data dan informasi yang aku terima Evan, Pak Alex ini sangat kompetitif dalam memilih perusahaan untuk proyek ini. Tapi kamu tidak usah khawatir. Aku sudah menyusun semua proposal dan data kerja sama yang solid. Kita unggul dari sisi efisiensi biaya dan k
Bab 98 - Di Balik Harapan yang RetakMalam itu, angin menerobos masuk lewat celah jendela kamar Anya yang tak sepenuhnya tertutup. Ia duduk di tepi ranjang, memandangi hasil cek hormon yang masih diletakkan di atas meja. Helaan napasnya berat, seperti beban yang ditarik dari dasar dadanya.Ia mendongak, menatap langit-langit kamar. “Apa semua ini pantas aku alami?” bisiknya lirih.Kepalanya masih berat oleh kejadian tadi sore. Tatapan Evan yang penuh kecurigaan, tuduhan tanpa bukti, dan luka lama yang digali lagi tanpa ampun. Anya merasa dirinya seperti kaca yang jatuh berkali-kali—retak, pecah, dan tak pernah benar-benar utuh lagi.Ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari Evan."Maaf… Aku salah. Aku benar-benar minta maaf, Anya."Anya menatap layar itu lama. Tangannya sempat gemetar, tapi ia tak membalas. Hatinya terlalu lelah untuk menanggapi seseorang yang hanya datang ketika merasa bersalah, bukan karena ingin memperbaiki."Maaf tidak bisa merubah keadaan. Terkecuali kemb
Bab 97 - Jejak Luka yang MengangaEvan masih duduk di balik kemudi mobilnya, memandangi klinik yang kini seolah menelannya bulat-bulat. Detik demi detik berlalu seperti tetes air yang menghantam kesabarannya. Jantungnya berdetak cepat, pikirannya liar menebak-nebak apa yang sedang terjadi di dalam ruangan berwarna putih itu.“Kenapa selama ini aku tidak cukup untuknya?” gumamnya lirih, setengah bertanya pada takdir yang ia sendiri tak mampu pahami.Tiba-tiba pintu klinik terbuka. Langkah kaki yang dinanti itu akhirnya terdengar. Evan segera menunduk, bersembunyi di balik kemudi sambil melirik melalui kaca spion. Napasnya tertahan ketika melihat Anya berjalan berdampingan dengan Nathan, menggenggam selembar kertas hasil pemeriksaan.Evan mengepalkan tangan. “Apa itu... hasil USG?” pikirnya, mencoba membaca ekspresi mereka. Nathan terlihat tenang, sementara Anya... senyum tipis itu membuat Evan serasa ditikam berkali-kali."Apa benar... dia sedang hamil? Dan Nathan yang menjadi ayah dar
Bab 96 - Luka yang Tak Kunjung Sembuh Sarah terdiam. Matanya berkaca-kaca menyaksikan amarah putrinya yang meluap seperti bendungan jebol. Ia tahu betul, Anya sudah terlalu lama memendam luka. Luka yang terus digores oleh mereka yang mengaku mencintai, tapi justru mengambil segalanya. “Anya... cukup, Nak. Jangan menyakiti dirimu sendiri dengan terus membenci,” ucap Sarah lembut, tapi penuh ketegasan. Ia menggenggam bahu Anya, mencoba menenangkannya. Namun Anya menepis pelan tangan ibunya. Air matanya mengalir deras. “Bagaimana bisa aku memaafkan, Ma? Dia ambil Kenzo dariku! Sekarang bahkan pekerjaanku pun dia halangi. Apa Evan pikir dia Tuhan yang bisa mengatur segalanya?” Suara Anya meninggi. Napasnya memburu. Wajahnya merah karena amarah yang meluap. Sarah menarik napas panjang. Ia tahu ini bukan saatnya menasihati panjang lebar. Tapi ia juga tahu, membiarkan Anya terbakar dalam dendam hanya akan menghancurkannya lebih dalam. “Evan memang salah... sangat salah. Tapi kamu j
Bab 95"Aku tidak bisa membiarkan ini, Evan sudah benar-benar kelewatan," ujarnya menggerutu. setelah Anya mendapat kabar penolakan dari perusahaan tempat di mana ia hendak menjatuhkan lamaran. Tapi sayangnya Evan justru meminta asistennya Roy untuk mengawasi setiap gerak gerik Anya. Sampai-sampai Evan bisa menolak lamaran kerja Anya, sekalipun itu tidak berada di perusahaan Evan sendiri. "Aku tidak akan memaafkanmu Evan," lanjut ujar Anya. Sangking kesalnya, Anya memutuskan untuk menemui Evan hari itu juga. Sampai ia berangkat ke perusahaan Evan. Tapi sayangnya setibanya di perusahaan Evan, Anya justru tidak bisa bertemu dengan Evan. Kata mereka para pegawai Evan, Evan sedang keluar kantor. Anya awalnya tidak percaya, sampai ia mencari keberadaan mobil Evan di parkiran. Tapi benar saja, Anya tidak menemukan adanya mobil Evan. "Mungkinkah Evan keluar? Terus, aku harus bagaimana? Masak iya aku harus menemui Evan di rumahnya? Malas ah ketemu dengan dua wanita yang menyebalkan itu,"
Bab 94 – Kebenaran yang TerungkapLangit mendung menggantung rendah di atas gedung tinggi Sanjaya Grup saat Anya dan Dewi tiba di lobi utama. Perasaan harap dan gugup bercampur dalam dada Anya, sementara Dewi tampak optimis dan percaya diri. Mereka berdua melangkah menuju lantai tempat kantor HRD berada.“Tenang saja, Anya,” bisik Dewi saat mereka memasuki ruangan. “Aku sudah bilang ke mereka soal kamu. Mereka bahkan tampak tertarik.”Namun, saat Dewi menyampaikan kedatangan mereka kepada resepsionis, ekspresi ramah yang semula terpancar di wajah staf tersebut berubah menjadi kaku.“Satu momen, saya panggilkan Ibu Sisca dari HRD,” ujar staf tersebut dengan suara datar.Tak lama kemudian, Sisca—wanita paruh baya dengan raut wajah tegas dan pakaian formal rapi—muncul dari balik pintu kaca. Dewi langsung berdiri dan menyambutnya dengan senyum.“Selamat pagi, Bu Sisca. Ini Anya, teman saya yang ingin saya rekomendasikan. Dia sangat kompeten dan—”Namun, Sisca mengangkat tangannya, memoton
Bab 93 – Penolakan yang Mencurigakan Dewi berdiri dengan gelisah di ruang HRD Sanjaya Grup. Ia baru saja menyerahkan dokumen lamaran milik Anya dan berharap prosesnya akan berjalan lancar. Salah satu staf HRD, Sisca, sedang membaca berkas lamaran itu dengan ekspresi yang sulit ditebak. Beberapa detik kemudian, Sisca menatap Dewi dengan pandangan serius. “Maaf, Bu Dewi, tapi sepertinya kami tidak bisa menerima lamaran dari saudari Anya.” Dewi mengerutkan kening. “Maaf? Maksudnya, kenapa? Bukankah kalian sedang butuh tambahan staf? Anya punya latar belakang kerja yang bagus. Dia sangat bersemangat untuk bekerja.” Sisca tampak sedikit canggung, tetapi ia tetap menjaga profesionalitasnya. “Kami merasa... Anya tidak sesuai dengan kriteria calon karyawan yang sedang kami cari.” “Apa maksudmu dengan 'tidak sesuai kriteria'?” tanya Dewi dengan nada heran. “Kalian bahkan belum mewawancarainya. Bagaimana bisa kalian tahu dia tidak cocok?” Sisca menunduk sebentar, lalu menatap Dewi dengan s