Di dalam ruangan luas dengan pencahayaan redup, Nathan bersandar di kursinya dengan kaki terangkat ke meja. Jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan kayu, matanya menatap langit-langit dengan ekspresi bosan. Tapi itu sebelum ponselnya bergetar di atas meja.
Dengan cepat, dia mengambilnya dan melihat nama yang tertera di layar.Will.Nathan langsung mengangkat panggilan itu. "Bagaimana? Apa ada perkembangan?"Dari seberang, suara Will terdengar, sedikit terengah. "Victor baru saja memaksa istrinya masuk ke dalam mobil. Camila menangis, kelihatannya mereka bertengkar sebelum itu."Nathan duduk tegak, ekspresinya berubah tajam. "Apa? Kau yakin dia menangis?""Aku melihatnya sendiri," jawab Will tanpa ragu.Ada jeda sejenak. Nathan menggertakkan giginya, tinjunya mengepal di atas meja. "Tentu saja, Victor. Aku tahu kau tidak akan pernah bisa membuat Camila bahagia.""Ke mana mereka pergi?" tanyanya kemudian."MaWill menggenggam erat setirnya, rahangnya mengeras saat melihat mobil yang dikendarai Raphael semakin jauh di depan. Dia memacu mobilnya lebih cepat, menyalip kendaraan-kendaraan lain di jalanan yang mulai padat. Kecepatan menjadi kunci, dan dia tidak bisa kehilangan targetnya begitu saja.Mobil yang dia ikuti melesat tajam melewati persimpangan, memaksanya untuk menekan pedal gas lebih dalam. Will menggeram frustasi ketika mendapati beberapa kendaraan besar menghalangi jalannya."Sial!" gerutunya, tangannya menggenggam setir dengan kuat.Namun, dia tidak butuh waktu lama untuk kembali mendapatkan celah. Begitu ada ruang terbuka, dia segera menyalip, kembali melesat mengejar mobil yang diyakininya membawa Camila.Beberapa menit berlalu, mobil target akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan tua yang tampak terbengkalai. Will segera menepikan mobilnya sedikit lebih jauh dan mematikan mesin. Dengan cepat, dia keluar dari mobil dan mengamati pergera
Victor menutup telepon dengan Raphael, mengembuskan napas panjang untuk menahan kepanikan yang nyaris melumpuhkan pikirannya. Camila mengalami syok hingga perutnya sakit. Bayangan wajah istrinya yang pucat dan penuh air mata menghantui pikirannya, tapi Victor memaksa dirinya tetap tenang. Dia tidak bisa kehilangan fokus sekarang, terutama ketika perang ini akan segera dimulai. Pintu ruangannya diketuk, dan seseorang masuk tanpa menunggu izin. Liam. Dokter pribadi keluarga Aryasena itu melangkah masuk dengan santai, meskipun matanya tajam menatap Victor yang terlihat berbeda dari biasanya. "Ada apa? Kau memanggilku dengan nada yang serius." Victor menatap sahabatnya itu dengan ekspresi tak terbaca, lalu berdiri dari kursinya. "Sudah waktunya berangkat," kata Victor akhirnya. "Camila sudah lebih dulu pergi ke villa di Utara." Liam mengernyit. "Kau jadi
Liam datang terakhir, menyusul setelah perjalanan panjangnya dari mansion. Begitu dia turun dari mobil, Raphael langsung menyambutnya dengan ekspresi serius."Akhirnya kau datang," kata Raphael sambil melirik jam tangannya.Liam mengangguk, mengeratkan mantel panjangnya yang sedikit berdebu akibat perjalanan. Udara di sekitar villa ini jauh lebih dingin dibanding di kota."Maaf, aku sedikit terlambat. Bagaimana keadaannya?" tanya Liam.Raphael menghela napas. "Syok berat. Sejak perjalanan tadi dia terus diam, dan dia hampir pingsan karena tekanan emosinya."Liam mengernyit. "Bagaimana kondisi fisiknya?""Tidak ada luka serius, tapi dia butuh perhatian khusus. Sejak turun dari mobil, dia langsung masuk ke kamar dan hampir tidak berbicara dengan siapa pun."Liam mengangguk paham. Dia bisa membayangkan bagaimana perasaan Camila saat ini.Raphael menepuk bahu Liam. "Aku harus segera kembali. Kau yang bertanggung jaw
"Sedang apa sekarang Victor? Aku ingin melihat wajahnya," gumam Camila seorang diri.Camila memandangi taman di luar jendela yang tampak tertata rapi, biasanya dia dan Victor akan berjalan-jalan sore hari untuk menghabiskan waktu bersama, tapi kali ini dia hanya seorang diri diasingkan.Camila menghela napas lelahnya. "Apa Victor masih mencari Selena, apakah dia masih berusaha menemukannya. Aku percaya kalau Victor ingin melindungiku, tapi sayangnya aku juga percaya kalau Victor masih mencintai Selena."Camila memejamkan matanya, dia kembali berpikir tentang semua yang terjadi belakangan ini, semuanya terlalu tiba-tiba. Cintanya pada Victor juga tiba-tiba."Seharusnya aku tidak mencintai Victor hanya karena dia bersikap sedikit baik padaku, harusnya aku bisa menjaga hatiku agar tidak terlalu sakit nantinya," kata Camila.Camila duduk perlahan, mengusap perutnya yang mulai membesar. "Mungkin Victor ingin melindungi hanya karena bayi yang a
Raphael menghentikan mobilnya di bangunan besar yang mewah dan otentik. Dia membuka pintu mobil perlahan, tidak lupa menutupnya kembali. Raphael memasuki pintu yang sudah dibukakan oleh pelayan dan menuju ke arah Joee yang sedang membersihkan meja."Di mana Nyonya Camila?" tanya Raphael tanpa basa-basi.Joee menoleh sebentar, lalu melanjutkan kerjaannya. "Nyonya sedang di taman belakang dengan nyonya besar," jawab Joee.Raphael langsung melanjutkan langkahnya ke halaman belakang dan dia melihat Camila sedang duduk di samping Sophia. Mereka berdua terlihat begitu akrab dan entah kenapa hati Raphael terasa menghangat karena tuannya telah menemukan sesuatu yang akan dia lindungi setelah badai di hatinya berlalu.Raphael melangkahkan kakinya mendekat ke arah mereka berdua. Camila menyadari kehadiran Raphael dan menoleh menatap manik yang menatapnya lumayan tajam. "Nyonya, Tuan memberikan ini untuk komunikasi. Tuan juga mengatakan kalau dia a
Nathan yang berdiri di hadapan mereka semua pembenci Victor. Melihat orang-orang yang berkumpul di pihaknya seakan tercium wangi darah yang sangat dia sukai. Bagaimana Victor akan bertekuk lutut di hadapannya dan dia memenggal kepala Victor sambil tersenyum. "Sekarang Victor tengah dalam masa lengahnya, dia pikir dia akan bisa mengatasi kita, dia tidak mungkin bisa menahan balai serangan yang datang beruntun. Dia terlalu sibuk mengurus koneksinya dan melebarkan kekuasaan sampai lupa harus bersiap sekarang." Perkataan dari Nathan membangkitkan mereka seakan sudah tidak sabar untuk segera menghancurkan nama Aryasena dari peradaban. "Sepertinya begitu, aku sama sekali tidak melihat pergerakan Victor selain dia sibuk untuk menjalin kerja sama dengan beberapa pihak," timpal Alexander. Mereka tertawa puas melihat Victor yang terlihat kecolongan tanpa mereka menyelidiki lebih lanjut. "Itulah sebabnya Aryasena harus
"Kau sungguh-sungguh?" tanya Sebastian tersenyum dengan mata yang berbinar. "Apa kau pikir aku bisa bohong dengan kabar seperti ini? Aku hamil sungguhan dan kita akan menjadi orang tua, oleh sebab itulah aku tidak boleh stres dan aku juga tidak ingin bertemu keluargaku yang akan memicu konflik," jelas Selena. Sebastian bangkit dari duduknya, berjalan mengitari meja dan langsung memeluk Selena, memberikannya banyak kecupan singkat di wajah Selena. "Aku sangat bersyukur mendapat kabar seperti ini, aku harap kita bisa menjadi orang tua yang baik. Aku akan menuruti semua permintaanmu tanpa bertanya lagi. Kita akan pergi jauh setelah ini dan memulai hidup dengan baik," ujar Sebastian. Selena tersenyum, pada akhirnya suaminya bisa mengerti keputusannya tanpa harus bertanya apa pun lagi. Itulah yang dia harapkan, pergi dari keramaian ataupun keluarganya, karena kenangan dulu sangat membuatnya sakit hati. "Baguslah kalau begitu, aku ingin semuanya jadi lebih tenang. Bisakah kita pergi bes
Dominic, Alexander, dan Nathan duduk di ruangan pribadi di salah satu bar eksklusif yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Suasana di antara mereka begitu santai, seolah kemenangan sudah ada di genggaman. Alexander menyandarkan punggungnya ke sofa dengan ekspresi puas. “Aku tidak menyangka Victor akan semudah ini dijatuhkan,” katanya sambil menuangkan minuman ke dalam gelasnya. Nathan tertawa kecil, menggoyangkan gelasnya sehingga cairan di dalamnya berputar perlahan. “Dia terlalu sibuk menjaga istrinya. Itu kelemahannya. Lihat saja, dia bahkan mengirim Camila pergi seolah-olah itu bisa menyelamatkannya. Padahal, dia sendiri yang akan jatuh ke dalam kehancuran.” Dominic tersenyum miring, ikut meneguk minumannya. “Victor selalu merasa dia lebih pintar dari kita, tapi pada akhirnya, dia hanya pria bodoh yang membiarkan emosinya mengendalikan segalanya.” Mereka bertiga tertawa, menikmati perasaan puas yang mengalir
Langit malam semakin gelap, ditingkahi angin yang dinginnya menusuk tulang. Bau darah dan asap masih menggantung di udara. Di tengah kekacauan itu, terkapar tubuh seorang pria—penuh luka dan darah mengalir deras dari bahunya yang tertembak. Napasnya tersengal, tersisa dalam hembusan pendek dan berat.Itu adalah Leon Wibisana.Ia tergeletak di antara semak dan batang pohon tumbang, tangan kirinya menggenggam tanah seolah mencoba bertahan lebih lama.Beberapa langkah dari sana, Victor datang sambil memapah Camila yang masih terpukul secara emosional. Namun pandangannya langsung berubah saat matanya menangkap sosok yang terbaring tak berdaya itu.“Kak Leon!” teriak Camila.Tanpa pikir panjang, Camila melepaskan diri dari Victor dan berlari sekuat tenaga ke arah kakaknya. Langkahnya tertatih, tubuhnya masih gemetar, tapi naluri seorang adik yang putus asa mengalahkan segalanya. Ia langsung berlutut di samping Leon, tangannya mengguncang tubuh kakaknya yang penuh luka.“Jangan tinggalin ak
Jeritan Camila menggema di antara pepohonan hutan yang gelap gulita. Tangisnya pecah saat Nathan mengarahkan pistol ke arah wajahnya, jemarinya sudah di pelatuk, seolah tak ada lagi ampun bagi perempuan yang selama ini menjadi obsesinya. Camila mundur selangkah, tubuhnya gemetar hebat, satu tangannya memeluk erat perutnya yang membesar, mencoba melindungi kehidupan kecil yang sedang tumbuh di dalamnya.Tiba-tiba.Sebuah suara keras menghantam udara. Kepala Nathan tersentak ke samping, tubuhnya limbung sesaat. Sebuah batu besar jatuh ke tanah, sementara di belakangnya berdiri sosok rapuh namun penuh keberanian—Sophia. Nafasnya memburu, tangan yang sudah keriput itu masih gemetar memegang batu lain sebagai pertahanan terakhir."Jangan sentuh menantuku," suara Sophia serak, namun jelas.Nathan mendesis marah, tangannya memegang sisi kepalanya yang mulai berdarah. Perlahan ia berbalik, matanya menyala penuh dendam. Wajahnya penuh amarah saat melihat siapa yang berani menyakitinya.“Bagus,
Langkah-langkah kaki terdengar remang di tengah pekatnya hutan, menyusuri jalan setapak yang hampir tak terlihat oleh cahaya bulan. Liam berjalan paling depan dengan tubuh siaga meski lelah mulai tampak dari gerak-geriknya. Di belakangnya, Camila memapah Sophia yang terus gemetar, napas wanita paruh baya itu sesak karena ketegangan dan usia.Camila terus memegangi perutnya yang kian membesar, mencoba menahan kecemasan yang menari-nari dalam pikirannya. Ia menoleh sesekali, memastikan tak ada siapa pun mengikuti mereka, tak ada suara asing selain hembusan angin malam dan gemerisik dedaunan. Namun harapan akan ketenangan itu hanya bertahan beberapa langkah saja.Suara tembakan memecah kesunyian seperti halilintar di malam hari.Camila tersentak dan langsung menoleh ke depan. Liam terduduk dengan satu lutut di tanah. Darah mengucur dari kakinya yang tertembak. Camila membelalakkan mata, menyusul tatapan Sophia yang membeku dalam ketakutan.“Nathan ...,” lirih Camila, suaranya bergetar.D
Udara segar menyambut mereka begitu pintu besi bawah tanah berhasil terbuka. Liam menggulirkan pintu itu dengan sekuat tenaga, menciptakan celah yang cukup lebar untuk dilalui. Sinar matahari senja menyusup masuk ke dalam lorong gelap, mengusir asap dan bayangan kematian yang sempat menyelimuti mereka. Camila mengerjapkan mata, seolah tidak percaya bahwa mereka berhasil keluar. Dengan gerakan perlahan, Liam naik lebih dulu, lalu mengulurkan tangan pada Camila."Ayo, aku bantu," ucapnya pelan.Camila mengangguk, menggenggam tangan Liam erat. Dengan tenaga yang tersisa, ia berusaha naik, satu tangan tetap menjaga perutnya yang membesar. Setelah Camila berhasil keluar, Liam segera membantu Sophia yang terlihat sangat lelah dan gemetar hebat. Wanita paruh baya itu masih sempat menoleh ke belakang, seakan takut ada sesuatu di belakang.Mereka kini berdiri di tengah-tengah hutan. Pepohonan tinggi menjulang di sekeliling mereka, menciptakan keteduhan yang kontras dengan panas dan sesak dari
Asap mulai memenuhi lorong sempit yang menghubungkan ruang belakang villa menuju pintu darurat bawah tanah. Cahaya remang dari lentera kecil yang dibawa Liam menjadi satu-satunya penerang mereka. Camila berjalan sambil menutup hidung dan mulut dengan lengan bajunya, matanya berair karena sesak dan kepanikan yang menggerogoti napasnya. Keringat dingin membasahi pelipisnya, tubuhnya lemah, dan setiap langkah terasa seperti menapaki ujung jurang."Liam ... aku tidak kuat," ucap Camila lirih, tubuhnya hampir roboh.Liam, yang terus memapahnya dengan tangan tegap, merapatkan posisi Camila di sisinya. “Kau harus kuat. Ini demi keselamatanmu,” ujarnya cepat namun tetap tenang, meskipun raut wajahnya menegang karena waktu yang kian menipis.Sophia yang berada di belakang mereka tampak kelelahan, namun matanya masih tajam. Joee berjalan paling akhir, sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengejar mereka. Namun ketika suara tembakan dan ledakan mulai bersahutan di kejauhan, se
Liam membuka pintu kamar dengan tergesa, napasnya berat setelah mendengar tembakan di luar rumah. Sorot matanya langsung mencari satu sosok yang paling ia khawatirkan. Camila.Gadis itu terbangun dengan tubuh bergetar dan wajah panik. Matanya membesar saat melihat Liam masuk dengan ekspresi genting. “Apa yang terjadi? Suara apa itu barusan?” tanyanya tergesa, suaranya nyaris pecah karena cemas.Liam mendekat dan meraih bahu Camila, menatapnya dalam-dalam. “Kita harus pergi dari sini, sekarang juga. Keadaan sudah tidak aman.”Namun Camila tidak langsung bergerak. Matanya berkaca-kaca, dan yang pertama keluar dari bibirnya justru pertanyaan yang tak disangka Liam, “Di mana Ibu?”Liam terdiam sejenak sebelum menjawab, “Nyonya Sophia sedang bersama Joee, mereka sudah bersiap untuk menyusul. Kita harus keluar duluan—”Camila menggeleng cepat, matanya menatap Liam penuh keteguhan. “Aku tidak akan pergi tanpanya. Aku tidak bisa meninggalkan Ibu. Aku tahu ... aku tahu mungkin ini berbahaya, t
Udara malam begitu hening, seolah waktu berhenti berputar di dalam kamar itu. Hanya suara napas lembut Camila yang terdengar, teratur dan tenang, pertanda tubuhnya akhirnya mendapatkan jeda dari kecemasan yang menggerogoti selama berjam-jam. Liam duduk di kursi di samping ranjang, tubuhnya sedikit condong ke depan sambil terus mengamati wajah Camila dengan seksama. Sesekali matanya berpindah ke alat pengukur detak jantung portable di meja kecil di dekat ranjang, memastikan semuanya tetap stabil.Belum ada kabar apa pun dari Victor sejak ledakan terakhir yang mengakhiri percakapan mereka. Tapi Liam tahu, jika Victor adalah seseorang yang bisa bertahan dari pertempuran sebelumnya, maka kali ini pun dia akan kembali. Hidup-hidup. Dan menang.“Aku hanya perlu menjaganya … sampai Victor datang,” gumam Liam dalam hati, hampir seperti doa.Tiba-tiba suara engsel pintu berderit pelan, membuyarkan lamunannya. Liam menoleh cepat. Sosok wanita paruh baya dengan gaun tidur berwarna putih pucat b
Begitu suara ledakan menggema dari seberang telepon, Victor segera memutuskan sambungan. Ia memejamkan mata sejenak, menahan amarah dan kekhawatiran yang menyeruak di dadanya. Tangannya yang menggenggam ponsel mengepal kuat, sebelum ia menyelipkannya ke dalam saku celana.Tidak ada waktu lagi untuk terjebak dalam emosi. Perang telah benar-benar dimulai, dan dirinya tidak boleh goyah, tidak saat ini.Victor berbalik cepat, mengambil sebuah ransel besar yang telah disiapkannya sejak dua hari lalu—penuh dengan senjata dan peralatan bertahan hidup. Ia melangkah tegas menuju batas barat hutan, lalu berlari masuk ke dalam lebatnya pepohonan tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.Hutan itu sunyi, hanya suara langkah kaki Victor yang memecah kesunyian, bersama desau angin yang menggoyang dedaunan. Ia berhenti di sebuah titik yang tampak biasa saja—hamparan tanah berlumpur dengan semak belukar dan dedaunan kering. Namun, bagi Victor, tempat ini adalah benteng rahasia yang tidak pernah diketahu
Langit malam menggantung pekat tanpa bintang, seperti turut menyembunyikan maksud yang tersembunyi di balik keheningan malam itu. Di sepanjang jalan menuju kediaman William, deru mesin kendaraan terdengar teratur. Puluhan mobil melaju dengan lampu yang diredam, nyaris tanpa suara selain deru pelan ban yang menggilas aspal.Nathan duduk di kursi belakang mobil utamanya, pandangannya tertuju ke depan dengan ekspresi penuh perhitungan. Di kendaraan lain yang berada tepat di sampingnya, Dominic terlihat mulai gelisah. Tangannya mengetuk-ngetuk lutut dengan tidak sabar, lalu ia mengaktifkan radio komunikasi."Kenapa jalan ini sangat sepi?" suara Dominic terdengar dalam alat komunikasi. "Tidak ada penjagaan, tidak ada blokade, bahkan jejak pergerakan pun tidak ada."Nathan mengangkat radio yang sama di tangannya, lalu menjawab dengan tenang, "Mungkin saja mereka hanya memusatkan pertahanan mereka di dalam mansion. Ini bisa menjadi taktik untuk menipu kita agar lengah."Namun, tatapan mata N