Di sebuah ruangan kedap suara yang hanya diterangi oleh lampu gantung di tengah langit-langit, Victor duduk di kursi kayu dengan kedua tangan bertaut di depan wajahnya. Di hadapannya, Raphael berdiri dengan ekspresi serius, sementara sebuah laptop terbuka di atas meja, menampilkan beberapa rekaman CCTV yang baru saja mereka dapatkan.
"Ini semua diambil dalam seminggu terakhir," Raphael membuka suara, menekan tombol untuk memutar salah satu rekaman. Layar menunjukkan suasana jalanan kota yang ramai. Kamera menangkap sosok seorang wanita berambut panjang yang melintas di trotoar dengan mantel hitam panjang. Wajahnya tertutup sebagian oleh bayangan, tetapi Victor tidak butuh kejelasan lebih. Dia mengenal gerakan itu, langkah itu. Jari-jarinya mengetuk permukaan meja pelan, matanya tidak berkedip. "Selena ...," bisiknya nyaris tak terdengar. Raphael menekan tombol jeda. "Kami juga menemukan rekaman lain. Ini diamVictor melangkah masuk ke ruang kerjanya dengan ekspresi datar. Namun, alisnya langsung berkerut saat melihat Evelyn berdiri di sana, menatap sesuatu di mejanya. "Kenapa kau ada di sini?" tanyanya dingin. Evelyn menoleh, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Bibirnya melengkung samar sebelum mengangkat sebuah bingkai foto dari meja Victor. "Aku hanya ingin bertanya," ucapnya santai, "sejak kapan kau memajang foto pernikahanmu di sini?" Victor berjalan mendekat, lalu mengambil foto itu dari tangan Evelyn dan meletakkannya kembali ke tempat semula. "Tentu saja sejak aku menikah," jawabnya tenang, tanpa ekspresi. Evelyn tertawa kecil, nada suaranya penuh sarkasme. "Jadi sekarang kau benar-benar menerima pernikahan ini? Bahkan memajang fotonya di ruang kerja?" Victor tidak menjawab. Dia hanya menatap Evelyn dengan pandangan tajam, menunggu apa yang ingin wanita itu katakan.
Victor pulang lebih larut dari biasanya, tapi begitu ia memasuki rumah, rasa lelahnya seakan menghilang dalam sekejap. Camila berdiri di depan pintu dengan senyum lembut di wajahnya, menyambutnya seperti seorang istri yang telah menantinya sepanjang hari. Melihat senyum itu, Victor merasa ada sesuatu yang hangat menyebar di dadanya. Dulu, Camila tidak pernah menyambutnya seperti ini. Dulu, yang ada di wajah Camila hanyalah ketegangan dan ketakutan. Tapi sekarang—sekarang ia bisa melihat kebahagiaan yang nyata dalam mata istrinya. Tanpa ragu, Victor melangkah mendekat dan menarik Camila dalam pelukannya. Ia mencium istrinya dengan segenap hati, mencurahkan semua perasaan yang selama ini tumbuh perlahan dalam dirinya. "Kau terlihat bahagia bersamaku sekarang," ujar Victor pelan, menatap dalam mata Camila. Camila tersenyum lebih lebar, mengangguk kecil. "Itu semua karena kau memperlakukanku dengan baik, Victor."
Malam itu, mansion keluarga Aryasena tampak lebih megah dari biasanya. Lampu-lampu kristal menggantung di langit-langit, menciptakan kilauan yang menambah kemewahan suasana pesta. Musik lembut mengalun di latar, menciptakan atmosfer elegan yang dipenuhi tamu-tamu penting. Para penguasa, kolega bisnis, dan kerabat berkumpul, berbincang satu sama lain sambil menikmati hidangan yang disajikan oleh para pelayan. Di tengah-tengah kemeriahan itu, Victor berdiri di atas podium, menarik perhatian seluruh tamu yang hadir. Dengan setelan jas hitam yang membuat sosoknya semakin berwibawa, ia menatap sekeliling dengan ekspresi penuh kebanggaan. "Selamat malam, semuanya." Suaranya menggema di seluruh aula, membuat semua orang terdiam dan menoleh kepadanya. "Pesta ini digelar bukan hanya untuk mempererat hubungan kita, tetapi juga untuk menyambut kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Dalam beberapa bulan ke depan, keluarga Aryasena akan memiliki penerus baru. Camila, i
Victor menggenggam jemari Camila dengan erat, membimbingnya keluar dari pesta yang masih berlangsung di aula utama mansion. Langkahnya tegap, tapi sedikit lebih lambat dari biasanya—seolah pikirannya tengah dipenuhi oleh sesuatu yang berat. Camila hanya diam, mengikuti Victor menuju ruang istirahat yang lebih tenang. Begitu sampai, Victor menutup pintu di belakang mereka, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan. Camila duduk di sofa, matanya terus mengamati Victor yang berdiri dengan kedua tangan bersedekap, ekspresinya lebih serius dari sebelumnya. Camila menghela napas pelan sebelum akhirnya bertanya. "Kenapa tadi Evelyn berkata seperti itu?" Victor tidak segera menjawab. Ia mengusap wajahnya dengan satu tangan, lalu berjalan ke arah Camila dan duduk di sampingnya. Matanya menatap lurus ke depan, bukan ke arah Camila—seperti sedang mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Ada banyak hal yang ingin kutanyakan, Vi
Sekelebat saja, tetapi cukup untuk membuat Julian bergerak. Ia melangkah dengan cepat, menembus kerumunan tamu yang tertawa dan berbincang, memastikan tidak ada yang menyadari apa yang sedang terjadi. Tangannya sudah bersiap meraih senjatanya sendiri, tapi ia tetap tenang, tidak ingin menimbulkan kepanikan sebelum waktunya. Pria itu mulai bergerak. Julian semakin mempercepat langkahnya. Dan dalam hitungan detik, ia sudah tepat di belakang pria itu. Dengan satu gerakan cepat dan terlatih, Julian menangkap pergelangan tangan pria itu sebelum sempat menarik pistolnya. Tamu-tamu di sekitar mereka tersentak kaget. Beberapa orang yang memperhatikan langsung terdiam, menyadari ada sesuatu yang terjadi. Julian meremas lebih keras, membungkukkan tubuh pria itu sedikit untuk mencegahnya bergerak lebih jauh. "Siapa yang menyuruhmu?" bisik Julian dingin di telinga pria itu. Pr
Victor melangkah kembali ke ruangan utama pesta dengan ekspresi dingin, sorot matanya tajam saat melihat para tamu yang masih berbincang setelah sedikit kekacauan tadi. Meskipun suasana sudah kembali tenang, ia tahu bahwa insiden tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja. Begitu ia menaiki panggung kecil yang sejak tadi digunakan untuk memberikan pidato, perhatian semua tamu langsung tertuju padanya. Camila, yang masih duduk di tempatnya, ikut menatapnya dengan sedikit khawatir. Victor menarik napas, lalu berbicara dengan nada tenang tetapi penuh otoritas. “Saya ingin menyampaikan permintaan maaf atas sedikit gangguan yang terjadi malam ini.” Para tamu mulai saling berbisik, penasaran dengan kelanjutan ucapannya. “Saya pastikan bahwa situasi telah terkendali dan tidak ada ancaman lagi. Namun, ada satu hal yang perlu saya sampaikan kepada kalian semua.” Victor berhenti sejenak, membiarkan ketegangan menggantun
Di dalam ruang kerja Victor yang megah dan bernuansa gelap, cahaya dari lampu kristal menggantung di langit-langit memberikan suasana yang tenang, tetapi ada ketegangan yang mengendap di antara dua pria yang tengah berdiri di sana. Raphael duduk di kursi seberang meja kerja Victor, sementara Victor sendiri bersandar di sandaran kursinya, jemarinya saling bertaut di depan wajahnya yang penuh pemikiran. "Kita tidak perlu lagi terlibat lebih dalam dengan masalah Nathan," kata Victor dengan suara yang dalam dan tegas. "Aku sudah mencapai tujuanku—opini para penguasa sudah berpihak pada kita dan sekarang mereka melihat Nathan sebagai ancaman." Raphael menyimak dengan cermat, lalu mengangguk. "Berarti kita berhenti menyerang?" "Ya, tapi jangan melonggarkan penjagaan," Victor menambahkan. "Nathan itu licik. Aku tidak akan terkejut jika semua ini hanyalah bagian dari strateginya untuk membuat kita lengah." Raphael menghembuskan nap
Camila duduk di tepi tempat tidur, tangannya terlipat di atas perutnya yang mulai membesar. Pikirannya terus berputar, mengulang kembali percakapan yang dia dengar tadi di depan pintu ruang kerja Victor. Victor masih mencari Selena. Pikiran itu membuat hatinya nyeri, seolah ada duri yang menancap di sana. Dia menggigit bibirnya, berusaha menahan emosinya. Tidak. Dia tidak boleh membiarkan rasa sakit ini menguasainya. Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka. Victor melangkah masuk, melepaskan jasnya, dan berjalan mendekati Camila dengan ekspresi lembut. “Aku sudah selesai dengan urusanku. Apa kau ingin sesuatu?” tanya Victor sambil berlutut di hadapannya. Tangannya mengusap pelan punggung tangan Camila, mencoba memberikan kenyamanan. Camila mengangkat wajahnya, menatap mata suaminya yang tajam namun hangat. Ada sesuatu dalam tatapan itu—sesuatu yang ingin dia percayai, tapi hatinya masih ragu.
Camila duduk di sisi ranjang, menatap layar tablet yang memperlihatkan beberapa artikel dan foto tentang Elena—putri dari William, sekutu Victor.Cantik, anggun, berpendidikan tinggi, dan yang paling membuatnya terdiam lama… Elena berasal dari keluarga terpandang, memiliki reputasi mentereng di dunia bisnis dan sosial. Camila menghela napas berat, menutup layar tabletnya perlahan.Pikiran-pikiran gelap mulai mengendap di benaknya. Ia memandang bayangannya di cermin besar di seberang ruangan, mengamati dirinya yang kini tengah hamil, dengan lingkaran gelap di bawah mata karena sering sulit tidur akhir-akhir ini.“Elena memiliki segalanya …,” gumamnya lirih. “Sedangkan aku .…”Ia menggigit ujung jarinya, kebiasaan lamanya saat sedang gelisah. Wajahnya mengerut, hatinya diliputi kecemasan. Bagaimana pun, Elena adalah tawaran menarik dalam dunia Victor. Ia takut jika Victor berpaling. Seperti yang dulu dilakukan Victor pada Selena—meninggalkan seorang perempuan untuk perempuan lain.Camil
Udara sore itu terasa hangat, langit dihiasi semburat jingga yang perlahan memudar ke ungu, menyiratkan senja yang menenangkan. Camila melangkah masuk ke dalam mansion dengan senyum ceria yang tak bisa ia sembunyikan. Pertemuan dengan Selena memberi kelegaan dalam hatinya, seolah satu beban besar telah terangkat. Wajahnya bersinar ketika melihat Victor tengah menunggunya di ruang tengah, seperti biasa dengan tatapan lembut yang hanya diperuntukkan untuknya.Victor berdiri, menghampiri Camila dengan langkah ringan, lalu menyentuh pipinya dengan jemari hangat. “Kau tersenyum,” katanya lirih, penuh makna. “Aku senang melihatmu seperti ini lagi.”Camila menatapnya sambil tersipu, lalu menjawab, “Aku juga lega. Setelah semua yang terjadi … aku merasa ini pertama kalinya aku bisa bernapas tanpa beban.”Victor mengangguk, memandangi istrinya dengan mata yang berbinar. “Kalau begitu … setelah ini, apa yang ingin kau lakukan, hm?”Camila menggenggam tangan Victor dengan manja. “Aku ingin makan
Udara sore hari membawa semilir angin lembut yang menyusup masuk ke dalam ruang tamu vila kecil di pinggiran kota. Sebuah tempat netral yang dipilih Victor untuk mempertemukan dua perempuan yang pernah—dan masih—menjadi bagian dari kehidupannya.Camila duduk dengan tubuh tegak di sofa, bersebelahan dengan Victor, namun ada jeda kecil di antara mereka. Tangannya bertaut di atas pangkuan, dan tatapannya sesekali mencuri pandang ke arah wanita yang duduk di seberang, Selena. Wajah Camila terlihat canggung, dan kepalanya lebih sering tertunduk.Selena menyambut kedatangan mereka dengan senyum merekah. Ia tampak begitu hangat dan ramah, seolah tidak ada beban di antara mereka bertiga. Rambut panjangnya tergerai lembut, dan perutnya yang mulai membuncit terlihat jelas di balik gaun panjang berwarna pastel.“Terima kasih sudah datang, Victor, Camila.” Suara Selena terdengar tenang dan bersahabat.Camila membalas senyuman itu dengan anggukan kecil, berusaha keras menyembunyikan rasa canggungn
Pagi di rumah besar keluarga Aryasena masih terasa lengang. Cahaya matahari menyusup pelan lewat jendela besar, menciptakan bayangan hangat di lantai marmer. Di ruang tengah yang hening, Victor duduk bersama Camila. Tangannya menggenggam tangan perempuan itu erat, seolah tak ingin melepaskannya barang sedetik pun.Camila menatapnya dengan tenang, bibirnya membentuk senyum kecil yang lembut. “Victor … kau tidak perlu melakukan semua itu hanya untuk membuatku percaya. Aku sudah percaya padamu. Percaya sepenuh hati.”Victor tidak langsung menjawab. Ia memandangi wajah Camila dalam-dalam, seolah ingin menyimpan tiap detailnya di ingatan. “Aku tahu kau sudah percaya,” katanya akhirnya. “Tapi aku tidak bisa merasa lega jika aku belum membuktikannya langsung di depan matamu. Aku ingin menghapus semua keraguan yang mungkin masih bersisa—meski hanya sedikit.”Camila menghela napas pelan. Ia tahu Victor bukan sekadar berkata—pria itu memang tipe yang akan menyelesaikan semuanya dengan jelas dan
Senja semakin meredup saat Camila dan Victor duduk di teras belakang mansion Aryasena. Bayangan pohon-pohon tinggi memanjang, menciptakan kesunyian yang bersahaja. Namun di hati Camila, gelombang ketidakpastian masih bergulung.“Kau benar-benar bisa melupakan Selena?” tanya Camila pelan, hatinya berdegup kencang. “Evelyn mirip sekali dengannya … Aku takut, kau akan teringat lagi padanya.”Victor menatap Camila dengan lembut, merangkul pinggang istrinya. “Haruskah aku membawa Selena ke hadapanmu, lalu bersumpah di depan Tuhan bahwa hubungan kami telah benar‑benar kandas?” ucapnya tenang, suaranya mantap. “Aku menegaskan sekali lagi, yang kusayangi sekarang hanyalah kau, Camila. Tak ada yang lain. Apa itu saja belum cukup setelah semua perjuanganmu?”Camila terdiam, mengerjakan pergumulan di dalam dada. Benar, Victor telah menanggalkan segala kekuasaannya, mempertaruhkan nyawa, bahkan melupakan rasa sakit lamanya hanya demi menyelamatkan dirinya. Air matanya mengalir perlahan saat ia me
Suasana ruang penghakiman masih menegang ketika vonis terhadap Nathan diumumkan. Desis kebencian dan gumaman setuju membanjiri ruangan, namun belum sempat semua kembali tenang, suara berat dan bergetar terdengar dari sisi kanan ruangan.“Bukankah … hukuman itu terlalu berlebihan?” tanya Lucas Ardhana dengan suara serak yang ditahan oleh amarah sekaligus kepanikan. Tubuhnya berdiri tegak, namun sorot matanya jelas gelisah.Semua kepala keluarga menoleh padanya, termasuk Victor yang berdiri di tengah dengan Camila di sisinya. Victor menatap Lucas tanpa berkedip, lalu melangkah maju dengan langkah lambat dan penuh tekanan.“Berlebihan?” ulang Victor dingin, suaranya memotong udara seperti pisau. “Ibuku mati ditusuk berulang kali. Camila—istriku—hampir kehilangan nyawanya dan anak kami. Dan kau ingin bilang hukuman ini … berlebihan?”Lucas mengepal tangannya. “Tapi kau membuat anakku tak lagi bisa hidup normal! Kau memotong dua tangannya, satu kakinya. Itu sama saja menyuruhnya mati perla
Camila duduk di kursi kayu di sudut ruangan, matanya tak pernah lepas dari tubuh Victor yang kini tengah diperban dan dirawat oleh dokter lain. Biasanya Liam yang akan mengurus semua luka Victor, tapi kondisi Liam yang tengah kritis membuat hal itu mustahil. Kini, seorang dokter tua dengan gerakan cekatan menyeka darah yang masih tersisa dan membalut luka panjang di sisi tubuh Victor dengan hati-hati.Victor menahan nyeri tanpa suara. Hanya napasnya saja yang sesekali terdengar berat. Namun saat matanya bertemu dengan pandangan Camila, senyum kecil ia hadirkan seolah ingin menyampaikan bahwa semuanya baik-baik saja.Camila hanya bisa menggenggam tangannya sendiri erat-erat, menahan semua rasa khawatir yang menggelegak dalam dadanya. Ketika sang dokter akhirnya selesai, ia hanya mengangguk sopan sebelum keluar meninggalkan ruangan tanpa banyak kata.Camila segera bangkit, menghampiri sisi tempat tidur dan duduk di tepinya.“Kau harus beristirahat sekarang,” ucapnya lirih sambil mengelu
Sinar matahari pagi menyusup pelan lewat celah jendela kamar yang setengah tertutup tirainya. Udara terasa sunyi, berat oleh duka yang masih menggantung di antara napas-napas yang tertahan. Di depan cermin, Camila berdiri dalam diam, memandang pantulan dirinya yang dibalut gaun hitam sederhana. Warna gelap itu menambah pucat pada wajahnya yang memang sudah kehilangan rona sejak hari-hari penuh luka itu datang bertubi-tubi.Pintu kamar terbuka perlahan. Langkah kaki mendekat pelan di belakangnya. Lalu sepasang lengan kuat memeluknya dari belakang, membawa kehangatan di antara dinginnya suasana berkabung. Victor menyandarkan dagunya di pundak Camila, menghela napas panjang sebelum akhirnya berbisik, “Kau tak perlu ikut, Camila. Seperti yang aku bilang tadi di mobil … kau cukup istirahat.”Camila menatap bayangan Victor di cermin, lalu menggeleng pelan dengan senyum kecil yang lebih mirip luka daripada kebahagiaan. “Aku masih kuat …,” bisiknya lirih. “Aku harus ikut … aku ingin mengantar
Langit malam semakin gelap, ditingkahi angin yang dinginnya menusuk tulang. Bau darah dan asap masih menggantung di udara. Di tengah kekacauan itu, terkapar tubuh seorang pria—penuh luka dan darah mengalir deras dari bahunya yang tertembak. Napasnya tersengal, tersisa dalam hembusan pendek dan berat.Itu adalah Leon Wibisana.Ia tergeletak di antara semak dan batang pohon tumbang, tangan kirinya menggenggam tanah seolah mencoba bertahan lebih lama.Beberapa langkah dari sana, Victor datang sambil memapah Camila yang masih terpukul secara emosional. Namun pandangannya langsung berubah saat matanya menangkap sosok yang terbaring tak berdaya itu.“Kak Leon!” teriak Camila.Tanpa pikir panjang, Camila melepaskan diri dari Victor dan berlari sekuat tenaga ke arah kakaknya. Langkahnya tertatih, tubuhnya masih gemetar, tapi naluri seorang adik yang putus asa mengalahkan segalanya. Ia langsung berlutut di samping Leon, tangannya mengguncang tubuh kakaknya yang penuh luka.“Jangan tinggalin ak